Bab 2: Wallpaper di Ponsel Suamiku

1227 Words
“Mas, kenapa foto Fitri yang kamu jadikan wallpaper?” Aku bertanya dengan nada yang agak tinggi. Belum hilang degup keras di jantungku, kini mataku giliran yang mulai bereaksi. Terasa berbayang kini aku memandang sebab air mata yang mau luruh jatuh membasahi pipi. “Lho, memangnya kenapa, Git? Fitri kan adikku.” Mas Haris menjawab dengan santai. Lelaki itu kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap ke arahku dengan wajah heran. “Kamu kenapa menangis?” Suara Mas Haris sangat lembut. Tangannya yang panjang dan besar mengusap air mata ini dengan gerakan pelan. “Kamu … sebenarnya ada apa dengan Fitri?” Bibirku gemetar saat menanyakan kalimat barusan padanya. Wajah Mas Haris langsung berubah. Tangan berbulunya yang tadi hinggap di pipi, cepat-cepat dia tarik kembali. “Apa maksudmu?” Nada Mas Haris dingin. Terdengar nada keberatan dari pertanyaannya. Aku seketika merasa ketakutan. Takut dia marah dan melakukan hal yang tak kuinginkan. “T-tidak ….” “Dia adikku. Perempuan paling penting nomor dua setelah Mama. Apa aku salah menyayangi adikku sendiri?” Nada Mas Haris makin naik. Seketika membuatku panik luar biasa dan semakin menangis. Aku sudah tak tahu, berapa pasang mata yang menoleh ke arah kami sebab keributan ini. “M-maaf, Mas,” kataku sembari meraih tangannya. Kuakui aku tak memiliki kekuatan untuk bertanya lebih. Aku langsung menyesal. Mengapa harus kukatakan pertanyaan seperti tadi. Akankah Mas Haris marah besar padaku setelah ini? “Apa kamu cemburu, Gita?” Suara Mas Haris mulai merendah. Hatiku langsung sedikit lega. Sungguh, aku tak ingin suamiku marah. Bukan apa-apa. Dia baik. Belum tentu aku bisa menemukan yang sepertinya jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku. “S-sedikit, Mas.” Aku menunduk. Mengusap air mata dan mencoba untuk menenangkan diri. Ya, mungkin aku sudah salah cemburu pada ipar sendiri. Dia adalah adik kandung suamiku. Mana mungkin mereka memiliki hubungan spesial lebih dari sekadar saudara kandung. Pikiranku memang kotor. Aku benar-benar sangat menyesal. “Gita, dia adikku. Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak. Dia cuma punya aku setelah Mama meninggal. Papa dingin dan tidak dekat padanya. Apakah aku salah kalau perhatian dan sayang pada adikku sendiri?” Mas Haris menggenggam tanganku. Lelaki berbulu mata lebat dan alis yang setali tiga uang tersebut menatapku lekat-lekat. Seketika aku merasa sangat malu sekaligus menyesal. Dasar aku yang bodoh. Mengapa bisa aku berpikir sejauh itu? Tak lama, menu yang kami pesan berupa rawon, selat solo, dan dua gelas jus apel tersebut datang. Aku buru-buru menyambar sehelai tisu dan mengusap cairan hidung yang mulai mau meluber. “Terima kasih, Mas,” kata Mas Haris kepada pramusaji yang mengantarkan makanan. “Sama-sama, Pak.” Pramusaji bertubuh tinggi kurus itu lalu berlalu sembari membawa nampannya. Untung lelaki itu tak melirik-lirik ke arahku yang baru saja habis menangis ini. Kalau tidak, bertambah-tambah lah rasa maluku. “Makanlah, Git.” Mas Haris merangkul tubuhku. Lelaki itu tersenyum sangat manis hingga menampakkan kedua lesung pipit yang dalam. Dia tampan menurutku. Bahkan sangat tampan. Aku beruntung bisa memilikinya. Padahal, dengan uang yang banyak dan rupa menawan, bisa saja Mas Haris menikahi gadis belia belasan tahun ketimbang perawan tua sepertiku. Maka dari itu aku harus banyak bersyukur dan berhenti untuk berpikiran buruk kepadanya. “Iya, Mas,” jawabku sembari menyuap selat solo yang kupesan tadi. “Kamu jangan berpikir yang bukan-bukan lagi ya, Sayang.” Mas Haris mengusap-usap rambutku. Aku hanya bisa mengangguk sembari mengulas sebuah senyum kepadanya. “Sayangi Fitri seperti adikmu sendiri, Gita. Kasihan dia. Tolong jalin terus keakraban dengannya.” Kata-kata Mas Haris membuatku jadi agak tersudut. Aku selalu berusaha untuk dekat padanya, tapi bagaimana kalau si Fitri sendiri yang tampak menjaga jarak denganku? Tiap kuajak jalan berdua, dia selalu saja ada alasan. Kalau diajak jalan bertiga pun, jarang-jarang dia mau. Namun, lain cerita kalau hanya berdua dengan Mas Haris. Pasti gerakannya selalu cepat. “Baik, Sayang,” jawabku sekenanya. “Makasih ya, Gita. Aku tahu kamu istri yang baik.” Mas Haris tanpa malu-malu mendaratkan sebuah ciuman di puncak kepalaku. Padahal, di sekitar kami banyak sekali pengunjung resto yang tengah menikmati makanan di meja-meja persegi yang mereka tempati. Ponsel Mas Haris yang tergeletak di atas meja, tiba-tiba mengeluarkan dering. Aku langsung menoleh menatap ke arah layarnya. Ada sebuah panggilan dari kontak bernama ‘My Sweety’. Ya, itu adalah Fitri. Bahkan nama kontak untuk nomornya lebih manis ketimbang kontakku yang diberi nama ‘Istri’ oleh Mas Haris. Seketika nafsu makanku pun lenyap. Pisau dan garpu yang berada di tanganku langsung kuletakkan di atas selat solo yang bahkan belum habis separuhnya. “Halo, Sayang,” kata Mas Haris saat mengangkat telepon dari adik kesayangannya. Kulihat wajah Mas Haris begitu berseri-seri. Dia tak henti tersenyum meski hanya berbicara jarak jauh dengan si Fitri. “Mas lagi di mal sama Mbak Gita. Kenapa, Fit?” tanya Mas Haris dengan nada yang sangat lembut. “Jemput? Kamu di mana memangnya?” Aku cuma bisa menahan jengkel saat diam-diam mendapati wajah Mas Haris yang semakin berseri-seri. Wajar kan kalau aku makin menaruh curiga kalau suamiku sikapnya terus-terusan begini? “Oh, di rumah Mega. Oke, Mas jemput, ya. Bentar tapi. Mas baru aja makan.” Mas Haris terdiam sesaat. Seperti sedang mendengarkan khotbah panjang dari adiknya. “Lho, ya berdua lah jemputnya. Sama Mbak Gita juga. Masa Mbak Gita ditinggalin.” Aku menelan liur. Apa kan kubilang! Bahkan dia hanya mau dijemput oleh Mas Haris tok! Apa salahku memangnya? Mengapa dia tidak mau semobil denganku? “Oke, oke. Jangan ngambek dong, Sayang. Iya, tunggu, ya. Mas ke sana. Sendirian.” Tercengang aku mendengar kalimat Mas Haris. Lelaki itu … tega-teganya dia lebih mementingkan adiknya ketimbang aku sebagai istri yang kini mendampinginya. Lantas, dia akan pergi tanpa diriku? Deg-degan sekali aku menunggu Mas Haris mematikan ponsel. Akhirnya lelaki itu melepaskan alat komunikasi selulernya juga. Tak enak hati dia menoleh ke arahku. Wajahnya seperti tengah menyimpan beban. “Git, aku jemput Fitri dulu, ya?” “Terus, aku sendirian di sini, Mas?” Dadaku langsung sesak. Air mataku rasanya mau tumpah lagi. “Iya. Kamu di sini dulu. Atau, mau kuantar pulang sekalian?” Mas Haris terlihat bingung. Nada bicaranya begitu gamang. “Kamu nggak lihat, makananku bahkan baru kesentuh dua tiga suap.” Kali ini aku benar-benar tak kuat untuk menahan desakan air mata. Aku menangis lagi. Sekarang lebih pilu dari yang tadi. “Gita, please, ngertiin posisiku. Aku nggak mau Fitri ngambek. Dia nanti bakal nggak mau makan dan ngurung diri di kamar.” Terus, bagaimana dengan perasaanku? Apa itu sama sekali tidak penting untuk Mas Haris? “Aku ikut,” kataku sembari menghapus air mata dan memakai tas selempang warna beige milikku. “Jangan, Gita. Kamu kuantar saja sampai rumah, setelah itu aku jemput Gita.” Mas Haris menahan lenganku. “Memangnya ada masalah apa kalau aku ikut kalian, Mas?” Mas Haris terdiam. Lelaki itu seolah tak berdaya. Aku tak suka dengan pertengkaran. Namun, kalau sudah begini, masa aku hanya diam saja terus menerus? “Oke. Kalau terjadi apa-apa dengan Fitri, kamu tidak bakal bisa kumaafkan.” Mas Haris bangkit dari duduknya. Pergi meninggalkanku untuk menuju meja kasir yang berada di depan. Aku benar-benar sesak. Kuhapus air mata ini sembari menyambar belanjaan yang kuletakkan di kursi depan yang menghadap ke arahku. Ingin rasanya kulemparkan lingerie ini sekalian ke muka Fitri. Aku kesal dengan anak itu hari ini. Benar-benar sangat kesal. Tuhan, tolong tunjukkan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi di antara Mas Haris dan adik iparku tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD