bc

My Jerk Husband

book_age18+
250
FOLLOW
1K
READ
billionaire
arranged marriage
arrogant
drama
bxg
city
secrets
affair
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Bagi Adsilla Claretta Jasmine … sosok Adelardo Agustine Pranaja merupakan cinta pertamanya semasa remaja yang tidak mungkin bisa dia gapai. Namun, seolah keajaiban itu benar-benar ada, Silla tiba-tiba bertemu dengan sahabat mendiang ibunya yang merupakan ibu dari Ardo. Hal mengejutkan terjadi ketika wanita paruh baya itu memohon agar Silla mau menikah dengan Ardo yang terkenal playboy setelah dirinya pernah sakit hati karena dicampakan oleh kekasihnya di masa lalu.

Silla menerima perjodohan itu karena dia masih mencintai Ardo, tapi ternyata hidup berumah tangga dengan Ardo sangat membuatnya tersiksa. Pria itu memiliki banyak kekasih bahkan secara terang-terangan mengakuinya di depan Silla. Silla harus menahan sakit hati setiap memergoki sang suami sedang bermesraan dengan kekasih-kekasihnya saat di luar rumah.

Tetapi Silla tidak ingin menyerah begitu saja. Dia tidak ingin membiarkan suaminya terus menjadi seorang playboy sehingga dia pun memutuskan untuk menghadapi semua kekasih suaminya. Melawan mereka sampai semua kekasihnya mundur dari kehidupan Ardo.

Yang menjadi pertanyaannya, berhasilkah Silla menyingkirkan semua kekasih gelap sang suami? Selain itu, tanpa dia ketahui ternyata sang suami menyimpan sebuah rahasia besar. Temukan jawabannya di dalam kisah ini. Kisah seorang istri yang sangat tegar dan kuat sehingga tak ingin dirinya dikalahkan oleh wanita-wanita yang ingin merebut suaminya.

chap-preview
Free preview
SATU
Hanya suara tangis dan raut wajah sedang berduka yang terlihat di dalam rumah duka tersebut. Terlihat seorang wanita tengah menangis tersedu-sedu di samping dua jenazah yang terbujur kaku, sudah siap untuk dimakamkan.  Wanita itu adalah Adsilla Clareta Jasmine, wanita mapan berusia 26 tahun yang harus tabah menerima kenyataan baru saja kehilangan orang tuanya karena sebuah kecelakaan lalu lintas yang membuat keduanya tewas di tempat.  Silla merasa seorang diri sekarang karena dia merupakan anak semata wayang yang tidak memiliki sanak saudara. Walau dia memiliki beberapa orang kepercayaan yang akan membantunya menangani perusahaan milik sang ayah yang kini resmi menjadi milik Silla sebagai pewaris tunggal.  Ketika proses pemakaman berlangsung, Silla masih tak sanggup menghentikan air mata, terlebih saat satu demi satu orang yang melayat meninggalkan area pemakaman sehingga hanya Silla dan beberapa orang saja yang masih berada di sana.  Silla berjongkok seraya menaburkan bunga ke atas makam ibu dan ayahnya.  “Papa, Mama, kenapa kalian meninggalkan aku? Sekarang aku harus bagaimana tanpa kalian?”  Ada sekitar tiga orang yang menemani Silla di sana, dua di antaranya merupakan pelayan di rumahnya, sedangkan satu orang lagi, seseorang yang sejak tadi meneteskan air mata karena tak kuasa menahan kesedihan ditinggalkan sahabatnya secepat ini.  Wanita paruh baya itu bernama Lidya Pranaja, sahabat dekat ibu Silla sejak mereka duduk di bangku SMA, puluhan tahun yang lalu. Lidya berjongkok lalu memeluk Silla yang tiada henti menangis sambil menaburkan bunga padahal dua gundukan makam itu sudah penuh dengan kelopak bunga.  Lidya mengusap-usap punggung Silla, mencoba menenangkan sosok anak yang luar biasa berduka karena ditinggal pergi orang tuanya. “Sabar ya. Kamu harus kuat, Silla. Tante yakin kamu pasti bisa menghadapi cobaan ini.”  “Tapi aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang. Aku sendirian.” Isak tangis Silla semakin terdengar kencang membuat siapa pun yang mendengarnya ikut merasakan kesedihannya.  Lidya tak berani mengatakan apa pun lagi karena jauh di dasar hatinya, dia bisa merasakan kehancuran yang tengah dirasakan Silla saat ini. Karena itu, dia memilih diam, hanya kedua tangannya yang terus bergerak di punggung Silla, masih berusaha menghibur dan menenangkannya.    ***   Silla tersenyum lebar setelah melihat sosok orang yang sedang menunggu di ruangannya ternyata adalah Lidya. Wanita paruh baya yang merupakan sahabat baik mendiang ibunya itu sering sekali menemuinya. Terhitung satu bulan sudah berlalu semenjak proses pemakaman orang tuanya di mana di hari itu pula dia kembali bertemu dengan Lidya setelah cukup lama tak pernah bertemu. Mereka sering bertemu selama satu bulan ini bahkan sudah sering bepergian bersama.  “Tante Lidya, maaf ya membuat Tante menunggu lama.” Silla menghampiri Lidya yang terlihat duduk sendirian di sofa di dalam ruangannya. Memeluknya sebelum dia pun ikut mendudukan diri di samping wanita paruh baya tersebut. Sosok wanita yang sekarang sudah Silla anggap seperti ibunya sendiri karena selama satu bulan ini Lidya yang menemaninya menghadapi masa-masa sulit setelah ditinggal pergi orang tuanya.  “Tidak apa-apa, Sil. Kamu pasti sibuk ya belakangan ini?” Silla mengangguk karena ya, belakangan ini dia sibuk mengurus perusahaan ayahnya yang kini mau tidak mau harus dia yang memimpin. Padahal Silla tak pernah berkeinginan menjadi pemimpin sebuah perusahaan. Impian Silla yang sebenarnya adalah menjadi seorang dokter, tapi keadaan berkata lain. Perusahaan ayahnya tak mungkin dia abaikan begitu saja.  “Lumayan, Tan. Lagi banyak proyek yang aku urus.” “Proyek apa, Sil?”  Silla tersenyum mendengar Lidya yang terlalu banyak ingin tahu tentangnya, meskipun Silla tidak keberatan karena dia tahu Lidya hanya sedang menunjukan kepeduliannya.  “Proyek pembangunan apartemen, Tan. Perusahaan sedang membangun beberapa unit apartemen secara besar-besaran. Banyak investor yang mau menanamkan saham jadi kami manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.”  “Wah, hebat. Ternyata kamu berbakat juga ya  memimpin perusahaan.” Silla terkekeh dengan wajah tersipu malu mendengar pujian Lidya yang menurutnya berlebihan. “Tidak kok, Tan. Aku hanya meneruskan proyek Papa yang sudah ditangani sebelum beliau wafat. Ya, aku hanya meneruskannya saja.” Seketika wajah Silla berubah sendu karena kini dia kembali mengingat mendiang orang tuanya yang begitu mendadak pergi untuk selamanya.  Lidya tahu dia salah bicara karena pembahasan mereka membuat Silla kembali teringat pada dukanya, padahal dia datang ke kantor Silla karena ada masalah penting yang ingin dia bicarakan.  “Sudah jangan dipikirkan terus. Papa sama Mama kamu pasti bangga melihat kesuksesan kamu. Tante juga bangga sama kamu, Sil.” “Terima kasih, Tan. Tante berlebihan. Padahal aku belum meraih kesuksesan apa pun.”  Lidya merasa sudah cukup untuk berbasa-basi karena itu dia bergegas mengutarakan tujuan sebenarnya mendatangi Silla sampai nekat datang langsung ke kantornya di saat biasanya dia akan mengunjungi Silla di rumahnya.  Lidya berdeham sejenak sebelum mulutnya terbuka untuk memulai pembicaraan, “Sil, kamu ingat tidak sama anak Tante?”  Silla terlihat mengerjapkan mata, mungkin sedang mengingat-ingat orang yang dimaksud Lidya. “Anak Tante yang mana ya? Aku pernah bertemu belum sama dia?” “Sudah sepertinya. Itu loh waktu nenek kamu meninggal, kamu pernah bertemu sama anak Tante. Tante lihat kalian sempat mengobrol waktu itu.”  Detik itu juga Silla tertegun, pikirannya sekarang melanglang buana pada kejadian yang baru saja disebutkan Lidya. Ya, sepertinya dia mengingat kejadian itu karena sebenarnya kenangan saat sang nenek tiada merupakan sebuah kenangan yang tidak akan pernah dilupakan oleh Silla sampai kapan pun.  “Adelardo nama anak Tante. Ardo panggilannya.” Lidya menambahkan penjelasan agar Silla mengingat sang putra yang sedang dia maksud.  “Iya, aku ingat Kak Ardo. Bagaimana kabarnya sekarang, Tan?” Lidya memasang wajah sumringah, luar biasa senang karena Silla ternyata masih mengingat putra sulungnya tersebut. “Ardo baik-baik saja. Dia juga sekarang sama seperti kamu, jadi pemimpin perusahaan semenjak ayahnya meninggal tahun lalu karena serangan jantung.”  Silla menemukan raut wajah Lidya langsung berubah sendu, dia pun ikut bersalah karena sepertinya ingatan tentang mendiang suaminya membuat Lidya kembali berduka. “Aku turut berduka cita untuk kepergian Om. Maaf ya, Tan, dulu aku tidak datang ke acara pemakamannya.”  Lidya tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala, “Tidak masalah, Sil. Waktu itu kan kita juga belum sering bertemu atau berkomunikasi seperti sekarang.” Lidya kembali berdeham karena entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba terasa kering untuk mengutarakan apa yang akan dia minta pada Silla sebentar lagi.  “Hm, membicarakan tentang Ardo, Tante sebenarnya sedih sekali.” Silla mengernyitkan dahi, menyadari Lidya tidak sedang berpura-pura karena saat berkata demikian raut wajah wanita paruh baya itu memang terlihat memendam kesedihan yang mendalam. Silla penasaran apa sebenarnya yang membuat Lidya yang begitu baik hati itu menjadi bersedih hanya karena membicarakan putranya, Ardo.  “Memangnya kenapa dengan Kak Ardo, Tan?” “Jadi, dia itu sekarang belum menikah padahal usianya sudah 29 tahun. Padahal Tante sudah tidak sabar ingin menggendong cucu dari dia. Tapi dia selalu menolak setiap kali Tante suruh menikah.”  Silla mulai serius mendengarkan cerita Lidya mengenai Ardo tersebut, “Kenapa Kak Ardo tidak mau menikah? Dia belum memiliki kekasih?” “Itulah masalahnya, Sil. Ardo itu senang bergonta-ganti pasangan. Dia tidak pernah serius menjalin hubungan dengan satu wanita. Tante khawatir, Sil. Ardo sering bilang dia tidak mau menikah seumur hidupnya.”  Silla terbelalak, terkejut bukan main mendengar pengakuan Lidya, terlebih sekarang dia melihat Lidya mulai meneteskan air mata. Silla yang merasa peduli refleks memeluk wanita paruh baya itu, berusaha menenangkan.  “Tante takut dia benar-benar tidak mau menikah seumur hidupnya. Padahal Tante ini sudah tua, Tante juga sakit-sakitan. Barusan saja Tante ke sini setelah berobat jalan ke rumah sakit.”  “Tante sakit? Sakit apa?” tanya Silla, mulai mengkhawatirkan kondisi Lidya. Tak ingin jika dia harus kehilangan lagi seseorang yang begitu baik dan peduli padanya.  Lidya melepaskan diri dari pelukan Silla, dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop kini berada di tangannya dan tanpa ragu dia serahkan pada Silla.  Silla yang penasaran ingin mengetahui isi di dalam amplop itu pun menerimanya tanpa ragu, bergegas membukanya karena ingin segera membaca isi di dalam amplop yang dia yakini merupakan laporan hasil lab Lidya dari pihak rumah sakit.  Silla membaca laporan medis di secarik kertas itu dengan seksama, tertegun ketika kini dia mengetahui penyakit yang diderita Lidya cukup parah dan kronis. Wanita itu mengidap stroke ringan yang kapan pun bisa kambuh jika kondisi tubuhnya tidak dijaga dengan baik.  “Tante sering merasakan badan Tante rasanya aneh. Terutama di bagian kaki. Kadang-kadang sulit digerakkan. Karena penasaran, Tante lalu memeriksakan diri ke dokter, ternyata itu hasil lab-nya. Tante punya gejala stroke, Sil. Mungkin umur Tante juga tidak akan lama lagi ya.”  Silla tanpa ragu kembali memeluk Lidya. Tidak, dia tidak ingin mendengar kabar buruk seperti itu. Tidak setelah dia mendengar kabar paling buruk dalam hidupnya yaitu saat mendengar kabar orang tuanya yang tewas karena kecelakaan. Dia tidak ingin kehilangan Lidya yang sudah dia anggap sebagai pengganti sang ibu.  “Tante Lidya pasti baik-baik aja kok. Aku yakin. Yang penting sekarang Tante banyak istirahat. Jangan terlalu capek apalagi melakukan pekerjaan yang membuat badan Tante terbebani. Tante juga jangan banyak pikiran ya.”  “Bagaimana Tante tidak banyak pikiran, Sil? Tante itu kepikiran terus sama Ardo. Tante ingin sekali melihat Ardo menikah dan memberi Tante cucu sebelum Tante pergi dari dunia ini.”  Silla tertegun, tak tahu harus mengatakan apa karena untuk masalah ini dia juga kebingungan menyelesaikannya.  Silla yang sempat melamun tercekat karena Lidya yang tiba-tiba menggenggam kedua tangannya, “Sil, begitu mengetahui penyakit yang Tante miliki, Tante langsung ke sini karena ada sesuatu yang mau Tante minta sama kamu.”  Silla meneguk ludah, walau dia belum mendengar permintaan Lidya, tapi entah kenapa jantungnya kini berdetak tak karuan tanpa dia ketahui penyebabnya. Silla pun memberikan anggukan, mengizinkan Lidya untuk melanjutkan perkataannya yang belum selesai.  “Keinginan terbesar Tante sekarang itu hanya melihat Ardo berhenti bermain-main dengan wanita di luar sana dan dia serius berumah tangga dengan satu wanita. Tante tahu jika meminta Ardo mencari wanita untuk dia nikahi pasti dia akan menolak seperti biasa. Karena itu Tante pikir, harus Tante yang bertindak.”  Genggaman tangan Lidya pada Silla semakin mengerat, selama Lidya mengutarakan keinginannya, Silla sama sekali tidak menyela. Dia benar-benar mendengarkan dengan seksama apa yang diinginkan Lidya saat ini.  “Tante tidak ingin Ardo menikah dengan wanita sembarangan. Tante ingin dia menikah dengan wanita yang baik, pengertian dan tulus bisa membimibing Ardo menjadi lebih baik lagi untuk ke depannya.”  Ketegangan mulai terpancar di wajah Silla ketika Lidya tiba-tiba menyentuh wajahnya, mengusapnya lembut layaknya seorang ibu yang sedang membelai wajah putrinya dengan penuh kasih sayang.  “Tante tahu siapa wanita yang bisa membimbing Ardo. Tante sudah menemukannya. Wanita itu kamu, Sil. Cuma kamu.”  Detik itu juga Silla terbelalak, jadi inikah makna di balik jantungnya yang tiba-tiba berdetak cepat karena hatinya seolah sudah memiliki firasat hal inilah yang akan dikatakan Lidya?  “Kamu sudah Tante anggap seperti anak sendiri karena kamu juga anak sahabat baik Tante. Tapi bukan hanya karena kamu anak sahabat baik Tante, Tante sampai sayang sekali sama kamu. Tapi karena kamu itu anaknya baik, sopan, ramah, perhatian. Tante jadi sayang sama kamu dan sudah menganggap kamu sebagai anak sendiri.”  Lidya menghela napas panjang, sebelum kembali menatap wajah Silla disertai kedua matanya yang berkaca-kaca seolah sedang menahan tangis. “Tante ingin sekali kamu benar-benar menjadi anak Tante. Kalau kamu menikah dengan Ardo, artinya kamu akan menjadi bagian dari keluarga Pranaja. Kamu akan menjadi menantu sekaligus putri Tante.”  Silla tersentak di saat Lidya tiba-tiba menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, itu sebuah permohonan yang tulus dari Lidya dan berharap keinginannya itu bisa dikabulkan oleh Silla.  “Tante mohon, kamu mau menikah dengan Ardo. Walaupun Ardo sekarang sangat buruk kelakuannya, tapi jika itu kamu, Tante percaya kamu pasti bisa membimbing dia ke jalan yang benar. Membuat Ardo berubah dan menyadari kesalahannya yang selalu mempermainkan wanita di luar sana.”  “Sil, kamu mau ya menjadi menantu Tante?”  Silla hanya mampu tertegun, tak tahu lagi harus berkata apa terutama saat dia melihat air mata kini mulai berjatuhan dari kelopak mata Lidya yang terlihat mulai keriput. Menatap wajah Lidya yang pucat membuat Silla semakin kebingungan untuk memberikan jawaban.    ***   Semua yang dikatakan Lidya hari ini terus terngiang-ngiang di pikiran Silla. Dia bahkan tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya selama berada di kantor.  Selepas mendengar permintaan Lidya, Silla belum memberikan jawaban apa pun karena dia meminta Lidya memberinya waktu untuk berpikir. Pernikahan bukan mainan, Silla tidak ingin menikah karena keterpaksaan. Dia ingin menikah sekali seumur hidupnya, sama sekali tidak ingin jika sampai pernikahannya gagal di masa depan nanti hanya karena dirinya menikah akibat perjodohan.  Silla sedang berada di kamarnya saat ini, duduk merenung sembari duduk di atas tempat tidur. Tentu saja pikirannya kini sedang melanglang buana pada pembicaraannya dengan Lidya tadi siang.  “Kak Ardo ya,” gumam Silla, menyebut nama putra Lidya yang jika dia bersedia menerima permintaan Lidya artinya pria itu akan menjadi calon suaminya.  Leher Silla tiba-tiba memutar, kini tatapannya tertuju pada sebuah rak dimana ada beberapa buku dan sebuah boneka diletakan di sana. Tubuh Silla bergerak, dari posisi duduk kini menjadi tegak berdiri. Kedua kakinya bergerak mendekati rak tersebut.  Ketika dirinya berdiri tepat di depan rak, satu tangannya terulur ke depan. Bukan untuk mengambil buku yang menumpuk dan tersusun rapi. Melainkan untuk mengambil satu-satunya boneka yang bersandar sendirian pada dinding rak, terlihat kesepian karena boneka itu tidak memiliki teman. Hanya menjadi satu-satunya boneka milik Silla yang begitu dia jaga dan sayangi.  Silla menatap boneka itu, dan seketika ingatan tentang masa lalunya terbayang di pikiran Silla. Sebuah boneka gadis bertudung ungu yang menjadi saksi bisu ketika Silla menemukan cinta pertamanya. Boneka Masha And The Bear.  Kejadian itu terjadi sekitar 13 tahun yang lalu saat Silla masih duduk di bangku SMP. Satu hari yang begitu buruk untuk Silla karena di hari itu dia tidak bisa berhenti menangis. Bukan tanpa alasan dia begitu bersedih di hari yang begitu mendung, bahkan langit pun terlihat ikut meneteskan air hujan seolah ikut merasakan kesedihan yang sedang dirasakan Silla.  Silla berduka karena hari itu nenek yang begitu dia sayang telah tiada. Sosok nenek yang selalu menceritakan dongeng sebelum tidur untuknya telah pergi meninggalkan Silla untuk selamanya. Silla tiada henti menangis, gadis remaja itu bahkan berjongkok sendirian di teras rumah, tak peduli meski air hujan mengenai dirinya.  Orang tua dan keluarganya yang lain sudah membujuk tapi tidak ada satu pun yang berhasil membuat Silla berhenti menangis dan mau masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu akan semakin menangis kencang setiap kali ada orang yang berusaha mengajaknya masuk ke dalam, membuat kini tidak ada yang berani mengganggu Silla lagi. Silla pun dibiarkan berjongkok sendirian di teras rumah dengan satu tangannya yang menengadah ke depan, menampung air hujan yang berjatuhan dari langit.  Silla mengerjapkan mata karena air hujan tiba-tiba berhenti menetes, padahal di luar sana hujan deras masih mengguyur bumi. Silla menyadari ada yang tidak beres sehingga dia pun mendongak ke atas untuk melihat penyebab air hujan tak berjatuhan ke telapak tangannya lagi. Dia menemukan sebuah payung melindunginya. Rupanya tanpa sadar seseorang berdiri di belakang Silla dan sedang melindunginya dari air hujan dengan menggunakan payung berwarna pink muda tersebut.  “Kamu siapa? Jangan ganggu aku. Tinggalkan aku sendiri,” ucap Silla ketus, respon yang sama persis seperti yang dia berikan untuk semua orang yang mencoba membujuknya agar mau masuk ke dalam rumah.  Silla bahkan mendorong sepasang kaki yang masih berdiri kokoh di belakangnya seolah si pemilik kaki tidak ingin beranjak pergi meski Silla mengusirnya berulang kali.  Kedua mata Silla terbelalak ketika pemilik kaki itu tiba-tiba berjongkok di sampinganya, masih memayungi kepala mereka agar tidak terkena guyuran hujan. Silla mengerjapkan mata saat melihat wajah orang itu dari jarak begitu dekat. Rupanya dia seorang pemuda asing yang baru pertama kalinya ditemui Silla, seorang pemuda yang dia perkirakan merupakan siswa SMA. Mungkin tiga tahun lebih tua darinya.  Pemuda itu begitu tampan, membuat Silla tertegun dan terpaku menatap wajah si pemuda yang kini sedang mengulas senyum manis untuknya.  “Aku tahu kamu sedih sekarang karena nenekmu meninggal. Aku juga pernah mengalami kejadian seperti yang kamu alami sekarang.”  Silla tak mengatakan apa pun, gadis remaja itu hanya menatap wajah si pemuda seolah lupa cara berkedip.  “Waktu itu adik laki-lakiku meninggal. Padahal dia sangat dekat denganku. Rasanya memang menyedihkan kehilangan orang yang kita sayang. Tapi yang namanya manusia itu pasti semuanya akan merasakan mati. Aku …” Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri, sebelum jari telunjuknya kini tertuju pada Silla. “… kamu juga. Suatu hari nanti pasti akan mati dan terkubur di tanah seperti nenek kamu.”  Silla menundukan kepala, dia menyadari yang dikatakan pemuda asing itu memang benar, tapi tetap saja kesedihannya karena ditinggal pergi sang nenek, belum bisa hilang dari hatinya.  “Aku biasanya selalu ditemani nenek. Mama sama Papa sibuk bekerja di kantor. Hanya nenek yang menemani aku di rumah.” Suara serak Silla akhirnya mengalun, menceritakan alasan dirinya bisa sesedih itu.  “Nenek juga yang setiap malam membacakan aku dongeng. Memasakkan makanan kesukaanku. Menemaniku bermain atau mengerjakan PR sekolah. Mama tidak punya waktu untuk menemaniku karena itu nenek yang menggantikannya.”  Air mata Silla kembali berjatuhan, karena tak ingin pemuda itu melihatnya, dia menutupi wajahnya yang banjir dengan air mata itu dengan menggunakan kedua tangannya. “Aku sekarang sendirian. Nenek sudah pergi. Aku pasti kesepian lagi,” ucapnya di tengah-tengah isak tangisnya yang memilukan.  “Sendirian? Siapa bilang kamu sendirian?”  Suara pemuda itu kembali mengalun, Silla pun membuka telapak tangannya yang menutupi wajah dan terkejut luar biasa saat melihat sebuah boneka terulur padanya. “Sekarang kamu punya ini. Kamu tahu ini boneka apa?”  Silla mengangguk karena dia tahu persis boneka itu. Boneka dari tokoh kartun cukup terkenal yang saat duduk di bangku sekolah dasar sering Silla tonton, “Masha And The Bear,” jawabnya.  “Ya, betul. Tokoh Masha ini keren ya. Dia berteman dengan beruang. Padahal beruang kan binatang buas, seram lagi. Tapi Masha bisa menaklukannya loh. Mereka jadi teman baik.”  Silla mengerucutkan bibir, merasa pemuda itu menganggapnya sebagai anak kecil padahal dia sudah besar, dia sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama sekarang. “Kamu mau memberikan boneka itu untukku?” tanyanya sembari memasang raut wajah ketus.  Tapi si pemuda tetap memberikan senyum, “Iya. Supaya dia jadi teman kamu mulai sekarang.” Silla mendengus, tak mau menerima boneka yang menurutnya lebih cocok diberikan pada anak TK. “Aku tidak mau menerimanya. Kamu pikir aku anak kecil?” “Jadi kamu bukan anak kecil?” “Tentu saja bukan. Aku ini sudah besar. Sudah SMP.” “Kalau begitu kenapa kamu bersikap seperti anak kecil?”  Silla tertegun, tidak paham sedikit pun maksud ucapan si pemuda asing yang bahkan tak dia ketahui namanya tersebut.  “Kamu menangis di sini sendirian dan mengamuk setiap ada yang membujuk kamu masuk ke dalam rumah. Itu apa namanya kalau bukan bukti kamu masih kecil? Seperti anak TK saja. Itu lihat …”  Si pemuda menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah belakang, yang membuat Silla ikut menoleh ke arah yang ditunjuknya.  “Mama sama Papa kamu khawatir sama kamu. Kalau kamu memang sudah besar seharusnya kamu tidak melakukan tindakan seperti anak kecil begini. Ayo, masuk ke dalam. Buktikan kalau kamu sudah besar dan bukan anak TK yang pantas dikasih boneka ini.”  Tersinggung mendengar ucapan si pemuda, Silla pun bergegas bangkit berdiri dari posisi berjongkoknya. “OK. Aku masuk ke dalam rumah sekarang.”  Silla berniat melangkah pergi, tapi gerakannya terhenti karena pemuda itu tiba-tiba mencekal lengannya. Silla mendelik tajam, menoleh ke belakang. “Apa lagi?” tanyanya, sinis.  “Ada yang ketinggalan. Ini … boneka ini buat kamu.” “Aku kan sudah bilang kalau …” “Bukan karena kamu masih anak-anak alasan aku memberikan boneka ini untuk kamu tapi karena aku harap setiap melihat boneka ini kamu akan mengingat Masha yang begitu hebat sampai bisa bersahabat dengan beruang. Aku harap sudah dewasa nanti kamu bisa sehebat Masha, bisa menaklukan rintangan sebesar apa pun di hidup kamu.” Pemuda itu mengulurkan boneka semakin mendekat ke arah Silla.  Karena merasa tidak memiliki pilihan lain, Silla pun akhirnya menerima boneka itu.  “Selain itu, alasan aku memberikan boneka ini padamu supaya kamu selalu mengingat aku setiap kali menatapnya.”  Silla kembali memakukan tatapan pada si pemuda yang kembali mengulas senyum ramah, membuatnya terlihat semakin menawan dan tanpa sepengetahuan pemuda itu, jantung Silla berdetak cepat sekarang.  “Kalau kamu menatap boneka itu ingat juga tentang aku ya. Namaku, Adelardo. Kamu bisa memanggilku Ardo. Jadilah gadis yang hebat seperti Masha ya, Silla.”  Silla mengulas senyum saat pikirannya yang telah melanglang buana ke masa lalu, kini sudah kembali pada kenyataan. Dia mengusap boneka Masha yang selama 13 tahun selalu menemaninya semenjak diberikan oleh pemuda itu.  “Kak Ardo ya,” gumam Silla sembari tersenyum membayangkan sosok pemuda yang menjadi cinta pertamanya itu mungkin akan benar-benar manjadi suaminya di masa depan nanti.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook