Kebahagiaan Semu

1222 Words
Acara ngunduh mantu di rumah mertuaku digelar secara meriah, banyak kerabat dan tetangga yang datang juga. Ini lebih seperti pesta kedua di rumah mempelai pria. Semua orang datang memberikan doa restu pada pernikahan kami. Sejenak aku melupakan kepedihan dalam hatiku, menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang menerimaku dengan hangat. Usai acara, mama papa dan keluargaku menginap satu malam lagi di rumah ini. Mereka pulang esok harinya, meninggalkanku di sini bersama Damar, suamiku. Mertuaku ingin kami tinggal dulu di sini selama satu bulan, awalnya Damar tidak setuju karena khawatir aku tidak mau. Namun aku mengiyakan, perasaanku jauh lebih tenang di tempat ini. Suasana desa yang sejuk dan asri membuat pikiranku jernih dan tubuhku tidak memperlihatkan tanda-tanda kehamilan seperti mual-mual misalnya. Hari-hari kulalui dengan mengikuti apa yang suamiku lakukan. Kadang kala aku mengikutinya ke kandang untuk memeriksa karyawannya yang mengurus peternakan milik keluarganya dengan jumlah ayam puluhan ribu ekor yang dibagi dalam banyak kandang-kandang. Pantas saja mereka menjadi keluarga kaya, usaha mereka tidak tanggung-tanggung. Kadang kala, aku mengikutinya ke kebun kopi dan memetik buah berwarna merah itu jika sudah matang, ternyata mereka juga memiliki kebun kopi yang cukup luas. Aku si Amelia yang tadinya tidak menyukai kehidupan di desa, sekarang menikmatinya. Ternyata bersama orang yang kita sukai, di manapun akan terasa nyaman dan menyenangkan. Tidak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Sebulan sudah aku tinggal di sini bersama Damar dan keluarganya, menikmati kasih sayang dari mereka. Sore ini, aku dan suamiku bersiap-siap untuk kembali ke kota. Semua sudah disiapkan, kami sudah berpamitan. Namun saat aku memasuki mobil, lagi-lagi aku tidak suka dengan aromanya. Perutku terasa mual, sekuat tenaga aku menahannya tapi tak bisa. Bergegas aku keluar dari mobil dan memuntahkan isi perutku di parit yang ada di depan halaman rumah. Air disana mengalir lancar jadi aku memilih tempat itu untuk memuntahkan isi perutku. Aku pikir tidak akan sempat jika aku harus mencari kamar mandi ke dalam rumah besar itu. Aku terus muntah-muntah hingga sebuah tangan mengurut tengkukku. "Mas ... Aku mual dengan aroma mobil itu," lirihku. Sejak di kampung ini, memang aku memanggilnya dengan sebutan mas seperti permintaannya. Benar kata dia, disini tidak ada istri yang memanggil suaminya hanya dengan namanya. "Jangan-jangan kamu hamil nak?" ucap mertuaku yang tiba-tiba saja sudah ada didekat kami. Aku menatap bergantian antara suamiku dan mertuaku dalam diam. "Mungkin betul kata ibu, sejak disini kamu tidak pernah datang bulan," sahut mas Damar. Memang sejak di rumah ini aku rajin salat, aku mulai menjalankan semua kewajiban yang dibebankan kepada orang Islam. Aku benar-benar bertaubat dari dosaku. "Ayo kita ke bidan," ajak lelakiku. Aku menggelengkan kepala, jika aku ke bidan pasti akan ketahuan jika aku terlambat dua bulan, bukan satu bulan. "Belikan saja aku alat uji kehamilan, kita cek sendiri dulu ya," pintaku. Mas Damar mengiyakan permintaanku, membawaku kembali ke kamar. Acara kembali ke kota di tunda terlebih dahulu. Setelah mengantarkan aku ke kamar, lelaki itu segera pergi mencari alat uji kehamilan seperti yang aku inginkan. Perasaan was-was kembali menghampiri diriku. Ternyata tidak mudah menutupi sebuah dosa, hatiku selalu di liputi dengan rasa bersalah dan kekawatiran. Setelah cukup lama meninggalkanku, Mas Damar kembali dengan membawa kantong plastik hitam dan menyodorkan padaku. "Aku membeli dengan berbagai merek, cobalah sekarang," ucapnya. Dengan enggan aku menerima plastik yang di ulurkan padaku. Kupilih salah satu dari benda tersebut yang paling bagus, aku hanya perlu satu saja. Karena sudah pasti hasilnya adalah positif. Setelah kupilih satu, segera ke kamar mandi dan menggunakannya. Dan seperti yang sudah aku duga, hasilnya tetap positif. Saat keluar kamar mandi, suamiku sudah menunggu di depan pintu kamar mandi dengan antusias. "Bagaimana hasilnya?" tanyanya. Ku ulurkan beda putih itu pada mas Damar, matanya berbinar, senyumnya mengembang, dia langsung memelukku dan menciumiku. Tergambar jelas kebahagiaan di wajahnya. "Terimakasih, aku bahagia," ucapnya sambil memeluk erat tubuhku. "Itu bukan anakmu mas," ucapku dalam hati. Mataku berembun, sesak rasanya terus-menerus menipu lelaki yang tulus sepertinya. Mas Damar langsung mengandeng tanganku, mengajakku ke rumah depan. Di sana ada bapak dan ibu mertuaku sedang duduk bersantai. "Buk, Amelia hamil. Ibu dan bapak akan jadi eyang," ucap mas Damar dengan mengebut-gebu. Ibu mertuaku langsung bangkit dari duduknya dan menghampiriku dan memelukku. "Apa itu benar nak?" tanyanya. Aku menganggukkan kepala, bertambah lagi orang yang aku bohongi. Ya Allah ... apa taubatku akan diterima jika aku terus saja melakukan dosa seperti ini. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. "Kenapa menangis? apa karena bahagia?" tanya ibu mertuaku. Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan anggukan, tak bisa berkata apapun karena sesak di dadaku. Terlihat bapak mertuaku memeluk putranya dengan bahagia. "Panggil simbok yang biasa memasak disini kalau lagi ada acara, kita bikin syukuran untuk kebahagiaan ini," titah bapak mertua pada suamiku. "Baik pak," jawab mas Damar. Lelaki itu menghampiriku, "Kamu istirahat saja yaa, aku akan pergi dulu," ucapnya sambil mengusap kepalaku. Aku mengangguk mengiyakannya. Setelah kepergian Mas Damar, ibu membawaku ke kamar dan menyuruhku beristirahat. Segera ku tutup pintu begitu beliau pergi dari kamarku. Aku berjalan linglung menuju jendela yang terbuka. Badanku merosot ke lantai, aku menangis meratapi semuanya. Bagaimana aku akan memperbaiki semua ini, semua orang bahagia dengan adanya calon bayi yang ada di perutku, yang bahkan bukan darah daging mereka. Gemericik air dari arah kolam membuat diriku semakin ingin menangis. Benar-benar kebodohan yang nyata, wanita yang menyerahkan kegadisannya bukan pada pasangan halalnya. Begitu banyak kebohongan dan dosa yang terus mengiringinya. *** Di sepertiga malam aku bersimpuh, meminta ampunan dari Tuhanku dan memohon belas kasihNya. Acara syukuran tadi siang begitu meriah, semua orang mendoakanku dan bergembira dengan kehamilanku. Bayi dalam kandunganku adalah generasi ke tiga yang akan lahir pertama kali di keluarga ini. Anak-anak dari saudara bapak dan ibu belum ada yang menikah, jadi bayiku adalah cucu pertama juga cicit pertama. Semua orang berbahagia dengannya. Hubungan persaudaraan keluarga suamiku begitu kental, sepertinya mereka tidak pernah bertengkar dan cek-cok. Semua ikut berbahagia jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan. "Ya Allah yaa Tuhanku, aku tidak tahu jika kebodohan yang aku lakukan dahulu akan berdampak seburuk ini. Calon anakku tidak bisa bernasab pada siapapun selain padaku, suamiku tidak bisa menjadi ayah dan walinya, bahkan lelaki yang menjadi sebab kehadirannya juga tak berhak menjadi walinya. Ampuni hamba MU yang bodoh ini ya Allah. Ijinkan aku tetap ada di antara mereka, ijinkan aku tetap mendapatkan kasih sayang suamiku, setidaknya sampai anak ini lahir, anak ini tidak bersalah biarkan dia mendapatkan kasih sayang lengkap saat ada dalam perutku. Aku juga membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya dalam melewati masa-masa kehamilan ini. Setelah dia lahir nanti, aku akan mengatakannya yang sebenarnya pada suamiku." Aku terisak sambil berdoa. "Ya Allah ... sejak mulai dewasa aku adalah putri yang berbakti, hingga usia dua puluh tiga tahun aku tetap menjadi wanita yang menjaga diri, aku adalah teman yang baik bagi sahabat-sahabatku, dan aku juga berbuat baik pada orang yang membutuhkan. Jika semua itu bisa bernilai kebaikan dihadapanMu, ijinkan aku mendapatkan dan menikmati kebahagian ini . Aku berjanji akan mengatakan jika aku sudah berzina dan bayi ini adalah hasil dari perbuatan itu, ijinkan aku mendapatkan kebahagiaan selama tujuh bulan lagi wahai Tuhan Yang Maha Pengasihan dan Penyayang." Aku tidak bisa mengucapkan doa yang aku inginkan lagi, aku hanya terisak-isak di atas sajadah dengan doa-doa panjang yang aku lantunkan dalam hati. Setelah puas menangis, aku bangkit dari tempat itu. Berdiri dan membenahi mukena serta sajadah. Dadaku berdebar kencang saat melihat Mas Damar sudah bangun dengan posisi duduk menatap ke arahku. Sejak kapan dia bangun, apa dia mendengar semuanya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD