Ke Rumah Sakit

1109 Words
"Sejak kapan kamu bangun mas? apa aku membuatmu terbangun?" tanyaku. Aku berusaha menyembunyikan kekawatiranku, setelah menumpahkan segala keluh kesahku di atas sajadah, seperti aku tidak begitu takut lagi dengan semua yang akan terjadi. "Sejak aku mendengar isak tangis, kupikir ada kuntilanak yang masuk kedalam kamarku. Tenyata bidadari surgaku yang sedang bermunajat," jawab mas Damar antara melucu dan menyanjung. Sanjungan yang tidak pantas disandangkan padaku. "Kemarilah," ucapnya mengulurkan tangan. Aku mendekat padanya, melipat jarak diantara kami. Mas Damar meraih tanganku begitu aku sudah berada di dekatnya, lalu menyuruhku duduk disampingnya. "Kenapa menangis malam-malam begini?" tanyanya. "Enggak kenapa-napa mas, aku hanya terharu. Aku terharu dan bahagia berada di antara kalian, aku berharap bisa terus berada di antara kalian." "Tentu, kamu akan menjadi menantu kesayangan dan istri kesayanganku," sahutnya sambil memelukku. "Tidurlah lagi, pagi masih lama. Tidak baik wanita hamil menangis dan terjaga di malam hari." Ku turuti perintahnya, aku berjalan ke sisi tempat tidur dan kembali merebahkan tubuhku. "Bisakah kita bersama selamanya?" gumamku dengan mata terpejam. "Tentu bisa, kita akan bersama selama," sahut lelaki yang tidur di sampingku itu. Mas Damar membawaku dalam pelukannya, menjadikan lengannya untuk bantal kepalaku. "Kata ibu, wanita hamil akan melakukan hal-hal yang tidak biasa dan hatinya sensitif. Aku tidak menyangka kamu akan seperti ini secepat ini." Mas Damar berkata sambil membelai rambutku, aku hanya diam. Membiarkannya mengatakan apa yang ingin dia katakan, aku hanya akan menikmati kebersamaan kami. Kelak jika kami berpisah, akan menjadi kenangan yang indah bagiku. *** Kami tidak jadi pulang ke kota, ibu mertuaku melarang kami melakukan perjalanan saat aku hamil muda, beliau bilang bisa berbahaya untuk calon bayi kami. Aku bisa apa selain menurutinya, mereka memperlakukan diriku dengan baik dan aku betah tinggal di sini. Pekerjaan mas Damar yang sejatinya harus dilakukan di kota, akhirnya di handle dulu oleh orang lain. Ibu mertuaku bilang, kami boleh kembali ke kota saat kandunganku sudah memasuki usia empat atau lima bulan. Mama dan papa kami kabari lewat sambungan video call, mereka juga senang mendengar kabar kehamilanku. Selama menjalani kehamilan, mereka begitu perhatian. Apapun keinginanku akan segera dicarikan, bahkan tetangga-tetangga juga kadang ikut mencarikan. Seperti saat aku ingin buah srikaya, mereka sibuk mencari hingga kampung sebelah karena memang sedang tidak musim dan pohonnya jarang ada. Entah kenapa juga aku ingin buah itu, tiba-tiba saja aku membayangkan rasa manisnya saat mengulum biji-bijinya dalam mulutku. Sampai dua hari buah itu tidak ditemukan juga, hingga dihari ke tiga, sore-sore tetangga mengantarkan satu kantong plastik berisi buah yang memiliki permukaan tidak rata itu. Tidak lama kemudian tetangga yang lain mengatarkan juga, dan selepas Maghrib Mas Damar juga membawakan untukku. Katanya karyawannya menemukan saat mengantarkan pesanan telur yang cukup jauh dari desa ini. Begitulah, banyak yang sayang kepadaku. Selama hamil, aku tidak mau di ajak ke bidan. Tapi aku meminum vitamin serta s**u untuk ibu hamil, selalu ada alasan untuk menolak suamiku yang akan membawaku untuk cek kehamilan. Aku sudah telat tiga bulan sejak saat itu, tapi untuk mas Damar dan keluarganya baru dua bulan. Memang hitungan kami berbeda satu bulan. Rasa mual seperti sudah menghilang, tapi pinggang sakit mulai sering terasa. Padahal aku masih hamil muda, konon katanya pinggang sakit jika sudah hamil tua. Seperti menjelang subuh ini, pinggangku terasa sakit dan perut bagian bawahku juga terasa kram. Aku menahan sakit dan mengabaikannya, kupikir ini efek dari aktivitas kami semalam seperti yang terjadi saat aku dilarikan ke UGD oleh Mas Damar. Aku terus menahannya dan memilih untuk pergi ke kamar mandi saja, siapa tahu air hangat bisa menghilangkan rasa sakit ini. Aku di buat terkejut saat membuka celana dalamku, nampak flek berwarna kecoklatan tercetak di sana. Ini seperti saat aku hendak haid pertama kali. Sesungguhnya aku ingin mengabaikannya, namun aku berpikir jika terjadi apa-apa pada janinku artinya aku sengaja membunuhnya. Dulu memang aku ingin melenyapkannya, tapi kini aku sadar jika itu akan menambah dosaku saja. Ku percepat acara mandiku, setelah itu membangunkan suamiku dan menungguinya untuk beribadah bersama. "Mas, perutku sakit dan keluar flek seperti saat aku hendak datang bulan." Aku berkata sambil melipat mukena. "Hah?!" yang bener?" sahut mas Damar khawatir. Aku menganggukkan kepala. "Kenapa tidak bilang dari tadi?" "Aku pikir kita harus salat dulu." "Ya sudah, cepetan ganti baju dan kita ke rumah sakit. Langsung ke dokter, lebih baik kita melakukan USG!" titahnya. "Tapi mas ...." "Tidak ada tapi-tapian Amelia, kali ini kamu harus menurut dan kita akan ke dokter sekarang!" Aku menurutinya, berganti pakaian lalu pergi ke dokter setelah berpamitan kepada kedua mertuaku. "Apa masih sakit?" tanya mas Damar sambil fokus menyetir. "Tidak terlalu," jawabku. "Mudah-mudahan dia tidak kenapa-napa," ucapnya sambil mengelus perutku. "Yang kamu sayangi bukan darah dagingmu mas," ucapku dalam hati. Untuk sampai ke rumah sakit daerah, kami harus berkendara cukup lama. Untung saja tidak ada kemacetan berarti di daerah sini jadi kami bisa lebih cepat sampai ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju poliklinik obygn setelah mendaftar lalu menunggu antrean. Aku sudah pasrah dengan semuanya, jika hari ini semuanya akan terbongkar aku tidak peduli lagi. Sudah ku siapkan mentalku jauh-jauh hari. Setelah lama menunggu, akhirnya namaku di panggil. Kami berdua masuk ke ruangan dokter. Di dalam ruangan serba putih itu, tampak seorang dokter laki-laki duduk di belakang meja. Dokter yang masih cukup muda itu mempersilahkan kami duduk. Setelah kami duduk, dokter menanyakan keluhanku. Aku menjawab pertanyaan seperti yang terjadi padaku, pinggang sakit, perut kram dan flek kecoklatan. "Kehamilan pertama?" tanya dokter itu. "Iya dokter," jawabku. "Ibu pernah memeriksakan kehamilan sebelumnya?" tanyanya lagi. "Tidak dokter." "Kita lakukan USG saja yaa," ucapnya. Aku hanya bisa mengiyakan, tidak ada pilihan lain lagi bukan. Dokter itu menyuruhku duduk di ranjang pasien, di sampingnya ada alat USG yang sudah menyala. Alat dengan monitor kecil berwarna hitam putih yang aku sendiri tidak tahu apa sebutannya. Mas Damar duduk di kursi di samping tempatku tertidur. Seorang perawat wanita membantuku mengoleskan sebuah cream di perutku, lalu dokter itu menempel sebuah alat di atas perutku. Menggerakkannya kesana kemari seperti mencari sesuatu. Yang aku lihat hanya gambar berwarna hitam putih yang tidak aku fahami sama sekali. Dokter itu hanya diam, tidak seperti yang sering aku tonton di televisi jika USG dokternya akan memberitahukan ini dan itu lalu adegan selanjutnya suami akan senang dan mencium istrinya. Setelah dirasa cukup, dokter muda itu menyudahi apa yang dilakukannya dan perawat kembali membantuku membersihkan sisa cream dari perutku dengan tissue. Dokter kembali menyuruh kami duduk di kursi kembali, aku dan mas Damar berpandangan dengan banyak tanya berkecamuk dalam pikiran. "Bapak dan ibu masih sama-sama muda, masih banyak kesempatan untuk memiliki buah hati kembali," Dokter itu menjeda ucapannya. Perasaanku mulai tidak enak, sepertinya hal yang akan dikatakannya bukanlah berita yang baik. Hatiku makin berdebar begitu merasakan tangan mas Damar yang dingin menyentuh dan mengengam tanganku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD