Bad Ayah - Prologue

1183 Words
Aku menangis tersedu-sedan. Mataku sudah membengkak bagaikan bola ping-pong dan cairan bening ini nggak kunjung mau berhenti keluar dari hidungku. Bolehkah aku menyesal karena telah dilahirkan di dunia ini? Bukan! Salah, seharusnya nggak masalah kalau aku lahir di dunia ini, tapi kenapa harus di keluarga ini? Seandainya saja Tuhan mengizinkan makhluknya untuk memilih di keluarga mereka ingin dilahirkan, pasti sekarang hidupku nggak akan semenderita ini. Selama dua tahun ini, aku bertahan mendengar cacian yang keluar dari mulut kedua orang tuaku—lebih tepatnya hanya Mama, karena Papa hanya menatap istrinya yang senang berbuat sesuka hatinya tanpa berkomentar sedikit pun. Pria itu sangat tenang bagaikan sedang menonton acara opera sabun yang menyenangkan. Mereka menyalahkanku atas kematian kakakku. Alisha itu hanya alat untuk membantu menyokong hidup Amel. Pernah sekali aku mendengar pembicaran Mama dan Papa ketika aku melewati kamar mereka yang kebetulan pintunya sedang nggak tertutup rapat. Hatiku sakit sekali mendengar ucapan mereka, tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya anak kecil yang masih menumpang hidup dan menerima makanan dari mereka. Ingin marah pun aku nggak bisa, suaraku seakan tersangkut di tenggorokan dan nggak bisa dikeluarkan. Ternyata selama ini, seorang Alisha yang dilahirkan untuk mendonorkan organ-organnya pada kakaknya sendiri? Hati anak mana yang nggak tersayat mengetahui fakta menyakitkan itu? Semua orang yang ada di rumah ini membenciku, kecuali Mbok Yamin—asisten rumah tangga dan Mang Joko—supir yang merangkap sebagai tukang kebun di rumah ini. Hanya mereka yang tahu bagaimana penderitaan yang kurasakan. Mereka selalu menatap iba padaku, terlebih mendapati tubuhku yang kadang dipenuhi dengan luka lebam yang sudah berusaha kututupi dengan pakaian, tapi tetap saja masih ada yang terlihat. Aku hidup di sini bagaikan seorang yang menumpang, benalu yang hanya menyusahkan mereka, bukan sebagai anak dari kedua orang tuaku. Pernah terbersit di pikiranku untuk lari atau pun kabur dari rumah yang memberikan kesengsaraan ini. Tapi apa daya, nyaliku terlalu ciut untuk melakukan itu. Aku bahkan nggak pernah bertemu dengan saudara atau kerabat dari kedua orang tuaku. Jangankan saudara atau kerabat, bertemu dengan kakek dan nenekku saja nggak pernah. Apalagi aku nggak memiliki teman dekat yang bisa menampungku jika aku kabur dari sini. Jadi, pemikiran untuk kabur dari sini akan kusingkirkan sebentar. Bukan berarti aku nggak akan melakukannya, tapi ini bukan saat yang tepat. "Kamu tau, awalnya kamu hanya digunakan untuk membantu hidup Amel, kupikir ada yang bisa kamu donorkan padanya. Tapi apa? Amel pergi sia-sia, malah kamu yang hidup disini. Dasar anak sialan, kamu kira kamu bisa hidup dengan tenang setelah ini!?" bentak Mama sembari menarik rambutku sampai kepalaku mendongak untuk menatapnya. Setiap kali selalu begitu. Jam pulang kerja seakan merupakan momok yang begitu menakutkan bagiku. Setiap pulang kantor, hanya bentakkan yang terdengar masuk ke dalam indra pendengaranku dan kekerasan fisik yang kurasakan pada sekujur tubuhku. Dan ketika ibuku itu melayangkan pukulan pada salah satu anggota tubuhku, atau mulutnya yang mengeluarkan caci maki dengan bahasa yang menyakitkan hati dan telinga, rasanya yang ingin kulakukan saat itu hanyalah menghilang dari hadapannya atau mungkin mati saja sekalian. Toh, untuk apa lagi aku bertahan hidup disini sedangkan orang tuaku saja nggak mengharapkan kehidupanku. Ingin sekali aku berteriak di depan muka Mama kalau aku muak. Muak dengan segala sikap dan perlakuannya yang selama ini nggak pernah berlaku adil padaku dan Amelia. Anak itu bagaikan anak emas yang nggak boleh sedikit pun merasakan lecet di tubuhnya, sedangkan aku… entahlah. Aku hanya gadis berusia delapan belas tahun yang bahkan baru menyelesaikan sekolahku. Apa salahku dulu sampai-sampai semua ini harus terjadi padaku? Selama ini aku berusaha menahan semua kesakitan dan perlakuan dari mereka, dengan harapan suatu hari sikap mereka akan berubah padaku. Walaupun sedikit saja, setidaknya mereka mengintrospeksi diri. Hany aitu yang kuharapkan, tapi sampai detik ini, bukannya membaik. Mereka semakin keterlaluan. Nggak pernah sekalipun aku melewatkan untuk berdoa kepada yang di atas. Tapi apa hasilnya? Nol besar. Memang Mama sudah membenciku dari sananya. Bahkan mungkin sebelum aku lahir. Tapi, kalau wanita itu nggak menginginkanku, kenapa juga harus melahirkanku ke dunia ini? Apa nggak sebaiknya ia menggugurkan kandungannya sebelum berkembang menjadi janin dan malah menyiksaku seperti sekarang ini? Aku memang nggak dekat dengan Amelia, tapi bukan berarti kami bermusuhan. Kami hanya jarang berinteraksi karena aku nggak tau harus berbicara apa padanya. Setiap kali aku ingin memulai percakapan, mata tajam Mama sudah duluan menyelidikku, menyorot tajam sebelum melotot padaku. Itu tanda bahwa wanita itu ingin aku menjaga jarak sejauh mungkin dari putri emasnya. Bahwa aku nggak pantas walau hanya sekadar berinteraksi dengan kakakku sendiri. Tanpa sepengetahuan mereka, aku membanting tulang, bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan pangan kecil setiap pulang sekolah. Jangan kalian pikir kedua orang tuaku itu memberikan fasilitas yang sama padaku. Mang Joko hanya bertugas untuk mengantar Amelia ke sekolah, tapi tidak denganku. Kami bahkan berbeda sekolah. Kakakku itu bersekolah di sekolah internasional, sedangkan aku hanya di sekolah swasta biasa yang standarnya sangat jauh dari sekolahnya Amelia. “Oke!” Aku bangkit dari lantai kemudian menepis tangan Mama sampai terlepas dari rambutku. “Sudah cukup saya bertahan selama ini. Cukup, saya muak! Saya pikir kalian akan berubah suatu hari, tapi selama dua tahun terakhir, tingkah kalian, terutama Anda…” Jari telunjukku menuding di depan wajah ibuku. Persetan dengan semua sopan santun dan tata krama. Aku hanya ingin menyemburkan apa yang sudah kupendam selama ini. “Semakin menjadi-jadi.” “Anda yang melahirkan Amelia dengan penyakit sialan yang menggerogoti tubuhnya! Kenapa saya yang Anda salahkan?" tanyaku sarkatis. Kini, nggak ada air mata lagi yang mengalir dari kedua mataku. Netraku sudah nggak mampu menghasilkan genangan. "Oh, kamu sudah berani melawan, Anak Sialan?" bentaknya sembari berusaha meraih anggota fisikku yang bisa dijangkaunya. Tapi aku segera menghindar sehingga guci dan hiasan antik yang berjejer di belakangku terjatuh kemudian hancur berkeping-keping. Papa yang baru masuk ke dalam rumah bertanya, "Kenapa ruang tamu seperti kapal pecah begini? Ada rebut-ribut apa ini?" Mataku menatap nanar pada pria itu, dirinya berlagak seakan nggak tahu suguhan pertunjukkan yang sedang terjadi di hadapannya. Padahal bisa dikatakan hampir setiap hari pria itu akan mendapatiku yang disiksa oleh istrinya tanpa alasan yang jelas. "Sekarang, kamu keluar! Keluar dari rumah ini. Pa, bawa anak sialan ini keluar!" Tubuhku sudah didorong dengan kasar menuju pintu keluar oleh wanita itu. “Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di hadapanku, Anak Sialan! Pergi sejauh mungkin dari sini!” Dengan senang hati aku akan segera pergi meninggalkan mereka. Untuk apa aku menghargai orang tua seperti mereka kalau mereka bahkan nggak bersikap layaknya orang tua pada anaknya. “Tanpa Anda dorong, saya juga akan keluar dari rumah terkutuk ini sekarang!” bentakku menepis tangannya yang berada di pundakku. “Semoga kita nggak akan pernah bertemu lagi, Orang Tua Nggak Bertanggung Jawab!” sambungku sebelum meraih tas ransel yang teronggok di lantai untuk pergi meninggalkan rumah terkutuk itu beserta pemiliknya yang berkelakuan lebih parah dari seekor hewan. Mulai detik ini, mereka benar-benar akan memutuskan kontak apapun yang berhubungan dengan mereka. Apapun tanpa terkecuali! Aku berjalan melewati Papa yang hanya mematung di tempatnya tanpa berusaha menahan kepergianku atau sekadar membuka suaranya. Pria yang benar-benar payah! Selamat tinggal neraka duniaku, terima kasih sudah membuat hari-hariku yang menyedihkan menjadi bertambah suram, batinku sebelum menutup pintu rumah dengan kencang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD