Bad Ayah - Part 1

2409 Words
Kakiku berjalan tanpa arah setelah keluar dari gerbang rumah, entah kemana kedua kaki ini akan membawaku. Aku sudah benar-benar pasrah sekarang. Sekarang sudah sore menjelang malam, langit yang awalnya cerah kini sudah mulai menggelap. Jujur, ada rasa sedikit ketakuan untuk berjalan sendirian saat ini. Walapun aku sudah terbiasa berpergian sendiri, tapi aku nggak pernah keluar dari rumah kalau sudah jam segini. Mungkin aku harus mencari tempat kos bulanan atau penginapan yang murah, setidaknya aku butuh tempat untuk berteduh hari ini. Aku nggak ingin menghamburkan uangku dengan menginap selama satu malam di hotel—walaupun berbintang dua dan kemudian membuatku nggak bisa menyambung hidup lagi keesokan harinya. Menginap di rumah teman? Ah, lupakan saja. Sudah kubilang, aku nggak punya teman yang bisa menampungku di rumah mereka karena pada dasarnya aku hanyalah kutu buku di sekolah dan cleaning service setelah jam sekolah usai.   Beberapa tahun yang lalu­—saat sekolah menengah pertama, aku punya satu teman baik, yang tulus mau berteman denganku tanpa memandang apapun. Namanya Tabitha. Hanya gadis itu yang mau berteman denganku. Tapi semenjak kelas satu SMA, gadis itu pindah ke sekolah lain dan akhirnya kami nggak pernah lagi bertukar kabar sampai sekarang. Setelah tiga tahun berpisah, kami nggak pernah lagi bertemu walau hanya sekali. Bahkan kini aku nggak tahu gadis itu masih berada di kota yang sama denganku atau mungkin sudah pindah ke negara lain. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Aku terus berjalan tanpa memedulikan angin malam yang sudah membelai sekujur tubuhku, gigiku bahkan sampai bergemelutuk beberapa kali karena dinginnya angin itu. Kakiku berjalan  menuju kawasan perumahan yang menyediakan jasa kosan sambil terus memikirkan apa yang harus aku lakukan setelah ini. Daerah ini sangat dekat dengan sebuah universitas negeri, maka nggak heran kalau di sinilah pusat kos-kosan untuk anak muda yang membutuhkan kos dengan harga yang terjangkau. Kakiku melangkah masuk ke dalam sebuah rumah yang bertuliskan 'menyediakan tempat kos khusus untuk mahasiswi / pekerja (wanita)' Walapun aku bukan termasuk salah satu dari dua kategori di atas, langkahku tetap mantap untuk menghampiri rumah itu. "Permisi." Kuketuk pintu rumah tersebut. "Iya? Ada apa ya, dek?" tanya seorang ibu paruh baya yang memakai daster setelah pintu terbuka. "Saya mau ngekos, Bu," jelasku. “Itu tadi di depan pagar saya baca, di sini tempat kos untuk mahasiswi sama pekerja wanita, ya, Bu?” tanyaku memastikan. Ibu pemakai daster yang kuyakini adalah pemilik kos-an ini mengangguk mengiyakan pertanyaanku. Setelah menyelesaikan proses pembayaran, Ibu Kos memberikanku kunci kamar lalu aku diizinkan untuk masuk ke dalam. Ternyata di belakang rumah utama bertingkat satu tadi, masih ada sebuah rumah yang nggak kalah besar dari rumah utama. Lagi-lagi rumah di belakang itu bertingkat satu. Aku menyusuri sebuah lorong untuk mencari nomor kamarku sesuai nomor yang tertera di kunci yang diberikan Ibu Kos tadi. Ketika pintu terbuka, mataku hanya menangkap ada sebuah tempat tidur kecil, penanak nasi dan sebuah kipas angin kecil. Tempat cucian baju terletak di bagian paling ujung dari rumah ini, sedangkan hanya ada dua  kamar mandi yang disediakan untuk delapan kamar. Jadi, dua fasilitas itu harus dibagi-bagi penggunaannya dengan penghuni lain yang ada di sini. * Ternyata keputusan impulsif untuk tidur di sini nggak buruk sama sekali. Kenapa aku nggak pergi dari rumah saja dari dulu? Kenapa juga harus menghabiskan waktu dua tahun di dalam sana. Astaga aku lupa, aku masih berusaha mengumpulkan pundi-pundi uang saat itu dan untungnya sangat berguna di saat seperti ini—diusir dari rumah. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi ketika aku melihat layer ponsel. Sebelum sampai disini, aku sempat membeli sebuah ponsel. Walaupun bekas dan sudah ketinggalan zaman, tapi kondisinya masih bagus dan kurasa cukup mahal ketika pertama dirilis dulu. Setidaknya aku bisa mengakses beberapa sosial media dan internet dengan ponsel ini karena dua hal itu sangat penting di zaman sekarang. Setelah berbaring menatap langit-langit kamar sampai satu jam lamanya, kuputuskan untuk segera bersiap-siap, mencari cara agar dapat bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Pintu kamar mandi sudah tertutup ketika aku keluar dari kamar. Pasti sudah ada orang yang menggunakannya dan aku adalah orang kedua yang mengantri. Beginilah nasib kalau tinggal di kos murah tanpa kamar mandi di dalam kamar, kalau aku bergerak selangkah saja dari sini, pasti langsung diserobot oleh yang lain. Terpaksalah aku harus menunggu beberapa menit hanya untuk bisa membersihkan diri. * Ketika pintu kamar mandi kubuka, kedua mataku langsung menemukan antrian di depanku yang sudah memanjang bak ular kobra. Ada yang masih setengah memejamkan matanya, bahkan ada pula yang sedang memegang gayung sambil menyikat giginya dengan sebelah tangan. Mulut yang dipenuhi oleh busa bewarna putih itu membuatku bergidik. Aku segera beranjak dari tempatku sebelum pemandangan itu semakin terasa menggelikan bagiku. Aku selalu memasukkan dua potong pakaian ke dalam tas yang kubawa kemana pun. Diriku seakan-akan sudah mengantisipasi jikalau aku diusir dari rumah tanpa aba-aba, setidaknya sudah ada yang kupersiapkan, misalnya tabungan di dompet, pakaian ganti, fotokopian akte kelahiran dan kartu keluarga. Ini seperti pertanda yang Tuhan berikan padaku agar nggak menjadi gelandangan yang tidur di kolong jembatan ketika diriku angkat kaki dari rumah. Entah pekerjaan apa yang bisa kudapatkan hanya dengan bermodalkan ijazah tamat SMA. Untuk zaman sekarang, yang lulusan strata satu saja susah mencari pekerjaan. Apalagi untuk anak SMA yang baru saja lulus sepertiku. Yang bisa kulakukan hanya menunggu sampai mukjizat itu benar-benar terjadi dalam hidupku sambal terus berusaha tanpa pantang menyerang. Atau setidaknya biarkanlah Tuhan mengirimkanku seorang pangeran berkuda putih yang merupakan turunan Sultan dari Dubai atau Arab. Tujuan pertamaku adalah kafe yang dekat dengan tempat kos. Lumayan juga untuk menghemat ongkos akomodasi kalau mendapat pekerjaan disana. Siapa tahu mereka sedang membutuhkan karyawan. Toh, aku bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan pundi-pundi uang kecuali menjual harga diriku sebagai seorang gadis. Setelah mencetak beberapa set dokumen di kedai fotokopi yang ada di sebelah kafe itu, aku segera meletakkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk melamar kerja ke dalam sebuah map bewarna biru. "Mbak. Saya lihat di brosur yang ditempel di depan pintu, disini lagi butuh posisi untuk  waitress, ya?" tanyaku ketika masuk ke dalam kafe dan menemukan seorang pelayan yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. Dengan nada ramah, pelayan itu menjawab, "Maaf, Mbak. Itu udah diisi orang lain, cuman belum dilepas aja brosurnya." Aku menghela nafas. Kecewa mendapati fakta tersebut. "Oh, ya. Kalau begitu, makasih ya, Mbak,” kataku lalu meninggalkan kafe itu dengan Langkah yang berat. Hampir empat jam aku berkeliling, dari satu tempat ke tempat lain aku mencari lowongan pekerjaan. Tapi nggak ada satu lowongan pun yang bisa kudapatkan. Entah kemana lagi kali ini aku harus pergi. Terik matahari yang bersinar di atas kepalaku nggak menyurutkan sedikit pun niatku untuk mencari pekerjaan. Walaupun rasanya kepalaku sudah berat, perutku sudah keroncongan, dan mulutku sudah kering karena kehausan, itu semua nggak akan menjadi halanganku untuk terus berusaha. Demi hidupku sendiri. * Selama tujuh hari terakhir, aku terus berkeliling untuk mencari pekerjaan. Semua tempat sudah kususuri, dari yang dekat sampai yang jauh sekali pun. Mungkin hanya lubang tikus saja yang belum kudatangi dalam kurun waktu seminggu ini. Tapi belum ada yang membuahkan hasil. Belum ada telepon yang mengatakan bahwa diriku diterima bekerja di salah satu tempat aku meletakkan surat lamaranku. Malang sekali memang nasibku ini. Bukan hanya itu saja, fakta uang tabunganku yang sudah semakin menipis juga membuatku pusing tujuh keliling. Untuk mengisi perut dan mem-fotokopi surat-surat yang diperlukan untuk melamar kerja itu benar-benar menguras isi dompetku. "Bu, saya mau tempenya dua sama mie-hun goceng, ya," pesanku pada ibu penjual pecal yang kebetulan berhenti di depan sebuah komplek perumahan yang cukup elit. “Minta kuah cabenya yang banyak juga ya, Bu,” sambungku. Aku ingin menyalurkan kepusinganku dengan mengonsumsi makanan pedas. "Mukanya kok lesu gitu, Neng?" tanya ibu penjual pecal itu sembari menyodorkan pincuk yang telah terisi oleh makanan pesananku. "Iya, Bu. Lagi cari kerjaan. Udah seminggu ini keliling kesana kemari, belum ada panggilan sama sekali. Hari gini cari kerjaan susah banget ternyata, Bu," keluhku sambil melahap potongan tempe yang sudah digunting, tentunya setelah membayar pesananku terlebih dahulu. "Wah, kebetulan sekali. Kemarin baru aja ada asister rumah tangga yang  katanya majikannya lagi cari pengasuh untuk anaknya," kata ibu itu. Mataku langsung berbinar mendengar informasi dari wanita itu. Semoga saja ini adalah awal yang baik. "Seriusan, Bu?" pekikku kegirangan. "Iya, Neng. Kayaknya rumah majikannya yang nomor dua paling awal. Rumahnya ada di sebelah kanan kalau Ibu nggak salah.” Setelah ibu penjual pecal itu pergi, segera kulahap makananku karena ingin segera menuju rumah yang dimaksud oleh ibu tadi.   Ketika sampai di depan rumah kedua yang berada di sebelah kanan, aku masih menatap sekeliling, memastikan agar rumah yang kudatangi ini sudah benar. Kedua mataku nggak bisa berhenti mengagumi desain rumah bergaya minimalis modern itu. Besar, ah tidak, lebih tepatnya sangat besar. Hanya satu kata yang bisa mendeskripsikan pemandangan di hadapanku itu, menakjubkan. Pasti akan menyenangkan kalau aku bisa bekerja disini. Tanpa kusadari, kedua sudut bibirku tertarik sehingga membentuk sebuah senyuman kecil, itu senyum pertamaku setelah diusir dari rumah. Belum sempat jariku menekan tombol bel yang berada di sisi gerbang, sebuah suara dari interkom yang terpasang di sebelah bel tadi sudah lebih dulu menginterupsiku. Telingaku menangkap suara pria paruh baya yang bertanya padaku, "Cari siapa, ya, Mbak?" "Oh! Ini saya mau lamar kerja, Pak. Saya dengar dari ibu penjual pecal di depan, katanya di sini lagi butuh pengasuh anak," jawabku. Seketika, pintu gerbang bergerak berlawanan arah setelah pria paruh baya tadi yang kuyakini adalah satpam, memutuskan sambungan interkom tanpa bertanya lebih banyak lagi padaku. Aku berjalan menuju pos yang berada dekat dengan gerbang untuk bertanya pada bapak tadi. "Pak, itu majikannya beneran lagi cari pengasuh anak 'kan, ya?" tanyaku memastikan. "Kalau itu saya kurang tau, Mbak. Coba Mbaknya masuk aja, ya. Setelah itu, tekan aja bel yang ada di depan pintu utama," jawab Pak Satpam sambil menunjuk pintu utama yang berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri saat ini. Aku mengangguk sambil tersenyum kemudian berjalan menuju rumah utama. Sesampainya di depan pintu kayu bewarna hitam. Jariku menekan bel tersebut sekali lagi karena pintu tersebut belum terbuka sambil mataku yang kembali  mengagumi eksterior rumah ini yang didominasi oleh warna putih, hitam, dan abu-abu. Menurutku, ketiga warna tersebut sangat maskulin. Walaupun aku seorang perempuan, tapi ketiga warna itulah yang menjadi favoritku dari dulu hingga sekarang. Jadi, bisa dibangkan seberapa aku menyukai rumah ini ‘kan? Padahal aku bahkan belum masuk ke dalam sekali pun dan melihat interior rumah ini. "Cari siapa ya, Dek?" tanya seorang ibu yang kutaksir berusia sekitar setengah abad ketika membuka pintu yang ada di hadapanku. "Ehm... saya dengar di sini lagi butuh pekerja, ya, Bu. Kata ibu yang jual pecal di depan komplek, majikan Ibu lagi cari pengasuh untuk anaknya. Benar, Bu?" tanyaku memastikan karena bapak yang berada di pos satpam tadi nggak bisa menjawab pertanyaan yang serupa dariku. Kepala wanita paruh baya tersebut mengangguk kemudian berkata, "Iya! Padahal baru kemarin sore saya cerita. Udah ketemu aja secepat ini, mana geulis pisan lagi." Aku tersenyum kecil mendengar pujian darinya. Kapan, ya, terakhir kalinya aku mendengar ada yang memuji cantik seperti tadi? Seingatku belum ada sampai sekarang. "Kalau gitu, yuk masuk aja dulu, Nak," kata Ibu itu sambil mempersilahkanku untuk duduk di sofa yang rasanya begitu empuk ketika bokongku sudah berada di permukaannya. "Saya panggilkan dulu bos saya, ya. Tunggu sebentar disini disini." Sebelum pergi, kuukir sebuah senyum untuknya lalu menganggukkan kepala pertanda iya. Sembari menunggu, mataku meneliti setiap sudut ruang tamu ini. Sesuai dugaanku, desain di dalam rumah ini masih sama, yaitu didominasi oleh warna yang serupa dengan eksteriornya. Perabot yang minim, membuat ruangan ini terkesan bersih dan luas. Nggak berselang lama, seorang pria berbadan kekar dengan tato di beberapa bagian tubuhnya sudah berdiri di hadapanku. Tanpa atasan dan hanya memakai celana jeans lusuh yang terdapat koyakan di beberapa bagiannya. "Mau jadi baby sitter?" tanya pria itu setelah duduk berhadapan denganku. Jadi, ini yang akan menjadi majikanku nanti? Pria berbadan kekar dan bertato ini? Aku bergidik membayangkan apa pekerjaan yang dilakoninya sampai-sampai bisa mengoleksi tato yang bisa dikatakan lumayan banyak itu di tubuhnya. Jangan-jangan… pria ini adalah ketua geng mafia atau sejenisnya? Selain tatonya itu, ada hal lain yang membuatku sampai bisa berpikiran kalau pria di hadapanku ini adalah berprofesi gelap, yaitu ekspresi dinginnya dan bibirnya yang nggak sekali pun mengukir senyum sedari tadi, tipis dan datar. Kepalaku mengangguk. Singkirkan prasangka burukku terhadap pria itu sejenak. Bagaimana pun, aku harus tetap menerima pekerjaan ini untuk menyambung hidup ‘kan? "Iya, Pak,” jawabku setelah meneguk ludah yang terasa tersumbat di tenggorokanku. Tangannya terulur padaku. "KTP!" "Maaf? KTP siapa?" tanyaku kebingungan karena pria itu tiba-tiba mengulurkan tangannya padanya dan membuatku terkejut mendapati gerakannya yang spontan itu. "KTP kamu. Biar ada jaminan kalau kamu orang baik-baik," jelasnya masih dengan ekspresinya yang nggak berubah sedikit pun. Apakah kartu tanda penduduk milikku ini akan ditahan sebagai jaminan untuk bekerja disini? Dengan ragu, kusodorkan benda pipih itu padanya. Kulihat, pria itu membaca biodata diriku setelah menerima kartu itu. "Alisha Putri Danishwara?" gumamnya. "Iya, Pak." "Masih 18 tahun? Kuliah?" "Iya, saya masih delapan belas, tapi saya nggak kuliah, Pak. Nggak punya biaya soalnya," jelasku. Pada faktanya, aku ingin sekali mengenyam pendidikan lagi setelah menamatkan sekolah. Tapi apa daya, untuk menyambung hidup saja sepertinya sudah menjadi sebuah masalah yang cukup berat untukku, bagaimana lagi kalau aku terus kekeuh dengan impianku ‘kan? Masalah itu akan kupikirkan nanti, setidaknya aku harus mendapatkan pekerjaan lebih dulu saat ini. "Rumah kamu di kawasan cukup elit dan melamar untuk menjadi baby sitter? Nggak masuk akal!" cibirnya. Nggak mungkin aku membeberkan masalah yang menimpaku saat ini. Bisa-bisa, aku langsung ditendang keluar dari rumah ini dan kesempatanku untuk mendapatkan pekerjaan akan lenyap seketika. "Orang tua saya… udah nggak ada," jawabku ragu. Maafkan mulutku yang sudah berdosa ini, Tuhan, batinku meringis dalam hati. Akhirnya aku bisa sedikit bernapas dengan normal karena pria itu nggak lagi membom-bardirku dengan pertanyaannya yang membuat jantungku berpacu kencang dan perutku melilit mulas. Hmn… pria yang kritis dan teliti. "Oke, diterima, tapi kamu harus tinggal di disini. Dua puluh empat jam di rumah ini.” Aku mengangguk senang, tetapi nggak mungkin kutunjukkan di hadapan majikanku ini ‘kan? Jangan sampai pria ini ilfeel padaku bahkan saat aku belum mulai bekerja. "Ada asisten rumah tangga yang pulang setiap jam lima sore. Jadi, kamu yang bertugas mencuci piring bekas makan malam di luar dari tugasmu menjadi pengasuh anak saya,” sambungnya. Aura dingin yang dikuarkannya membuatku menjadi sedikit canggung dan segan. Kalau ingin jujur pada diriku sendiri, pria ini benar-benar menarik. Entah itu hanya pendapatku saja atau orang lain juga berpikiran seperti itu. Jaga hati dan matamu, Alisha. Pria ini adalah milik orang lain, batinku mengingatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD