Bad Ayah - Part 2

2655 Words
"Tapi..." Belum sempat aku melanjutkan, suaranya sudah lebih dulu menyelaku. "Apa?" Astaga, judes sekali pria ini. Nggak ada ramah-ramahnya sedikitpun.   "Tapi saya sudah membayar uang kos saya untuk tiga bulan ke depan," cicitku, takut-takut perekrutanku sebagai baby sitter ini akan dibatalkan. Kudengar pria itu mendengus sebelum berkata, "Nanti saya tukar uangmu itu. Yang penting kamu 24 jam disini untuk jagain anak saya aja." "KTP kamu sama saya dulu. Nanti saya balikin setelah difotokopi," lanjutnya sambil mengangkat KTP milikku dengan tangan kanannya. "Bik!" teriaknya di depanku seperti seorang Tarzan. Walaupun suaranya nggak kuat seperti di hutan, tetap saja itu nggak sopan sekali. Ibu yang tadi membukakan pintu untukku, berjalan tergopoh-gopoh menghampiri tempat kami. "Ya, Tuan?" "Panggil Quinn kemari, Bik," perintahnya tanpa menyematkan kata tolong di depan kalimatnya. Bagaimana pria ini bisa memerintah orang yang jauh lebih tua darinya seenak jidat seperti ini? Walaupun ibu itu diupah olehnya, apa pantas pria itu bersikap demikian? Wanita yang dipanggil dengan sebutan ‘Bik’ tadi mengangguk kemudian pergi meninggalkan kami. "Dewa." Aku mengerutkan kening. Nggak mengerti sedikit pun dengan ucapannya beberapa detik yang lalu. Dewa? Dewa apa? Dewa Yunani? Seakan sadar dengan kerutan yang tercetak di keningku, ditambah lagi dengan raut wajahku yang bingung, pria itu kembali berucap, “Nama saya.” Aku menggangguk kecil dan tersenyum tipis. Oh, ternyata namanya Dewa. Macho dan aristrokat. Setelah keterdiaman kami beberapa saat, aku bertanya, "Kalau boleh saya tau, ada berapa orang yang akan ada di rumah ini saat malam hari?" Katakanlah pertanyanku itu sedikit lancang, tapi jujur aku penasaran kenapa pria dengan tampang sepertinya ini bersedia bersusah-susah meng-interview calon pengasuh anaknya, yang mana itu seharusnya dilakukan oleh istrinya ‘kan? Lalu, ke mana perginya istri pria ini? Bodoh kamu, Al. Bisa aja istrinya lagi ada urusan di luar rumah, batinku berteriak. Benar juga, aku ‘kan datang kemari tanpa planning dan mendadak. Kini, otakku yang terkadang lamban ini sudah bisa mengerti kenapa pria itu yang mewawancaraiku. “Hanya ada tiga orang,” jawabnya setelah berdecak. Apa aku menyinggung privasinya dengan pertanyaanku? Habislah kamu, Alisha, peringat batinku. Setelah mencerna kalimatnya, aku mulai menemukan kejanggalan. Kenapa hanya bertiga? Bukannya seharusnya berempat? Pak Dewa, istrinya, anaknya, dan aku—pengasuh anaknya. “Kenapa cuma bertiga, ya? Bukannya seharusnya berempat?” gumamku tanpa sadar dengan kepala sedikit miring karena berusaha menghitung dengan benar. Pasti ada yang keliru dari kalimat pria itu. Aku yakin. "Saya belum menikah!" ketusnya. Maaf, tapi sepertinya telingaku sedang mengalami masalah. Apa pria ini serius dengan ucapannya yang tadi? Belum menikah? Berarti pria ini masih lajang ‘kan? Jadi, anak siapa nanti yang akan kuasuh kalau bukan anaknya? "Jad..." Ucapanku terhenti karena suaranya yang menginterupsi. Pak Dewa melambaikan tangannya pada sosok gadis kecil yang sedang berdiri di sudut ruangan. "Quinn, sini!" Gadis kecil dengan rambut yang dikepang di kedua sisi kepalanya itu berlari menghampiri kami. "Ini Kakak yang akan jaga kamu mulai sekarang. Jangan bandel lagi, ya. Ayah pusing cariin kamu pengasuh terus! Ini udah Kakak yang kelima loh dalam sebulan ini." Nada gusar terdengar dari suaranya. Memikirkan aku adalah pengasuh kelima selama sebulan ini untuk gadis itu sudah membuatku bisa membayangkan seberapa nakal atau pembangkangnya gadis itu. Tapi, tetap saja wajah imut dan polosnya itu nggak bisa diabaikan. Belum lagi kedua pipinya yang gembul itu membuatku ingin sekali mencubit atau bahkan mengigitnya karena gemas. Kulihat gadis itu hanya mengangguk tanpa membalas ucapan ayahnya. Tanganku yang semula berada di atas pangkuanku, kini ditarik oleh gadis berkepang dua itu untuk mengikutinya entah kemana. Awalnya aku ingin menolak karena tuan rumahnya sedang duduk di hadapanku, tapi karena tatapan dari Pak Dewa seakan memerintahku untuk mengikuti anaknya itu, maka disinilah aku sekarang. Di depan pintu kayu bewarna putih yang digantung dengan papan kayu bertuliskan ‘Quinn’s Playroom’. Membaca papan yang tergantung di pintu saja aku sudah bisa menerka kalau ini adalah ruangan bermainnya. Hal itu semakin diperkuat dengan warna-warna pastel lucu yang mendominasi ruangan itu ketika aku masuk ke dalamnya. Ada sebuah tenda kecil dengan kelambu di sekelilingnya dan beragam jenis mainan yang berserakan di lantai. Ada beberapa set alat masak-masakkan yang kuyakini harganya cukup menguras kantung karena rupanya yang bagaikan pinang dibelah dua dengan alat masak yang asli. Selain itu, ada cermin dengan tinggi seratus centi lebih—kutaksir yang berada di sisi sebuah lemari lima susun bewarna putih. Aku nggak ingin lagi membayangkan berapa kocek yang harus dikeluarkan hanya untuk ruangan bermain yang mungkin setara dengan ruang bermain anak artis ibukota. "Nama kamu siapa, Sayang?" tanyaku sambil duduk di karpet polkadot bewarna merah jambu yang digelar di tengah kamar. "Laquinna Mohv, Kak," jawabnya dengan ketus dan ogah-ogahan. Ya, kupikir tadi gadis ini nggak seperti yang kupikirkan—nakal dan pembangkang karena dirinya yang mengajakku untuk mengikutinya menuju ruangan ini. Tapi sepertinya bukan nakal atau pembangkang yang cocok untuk mendeskripsikan sikapnya. Lebih cocok dikatakan kalau gadis ini... jutek. “Mohv yang m-o-v-e?” tanyaku dengan mengeja untuk memastikan. Namanya unik sekali, membuatku penasaran saja. “Ih, bukan!” jawabnya dengan ketus. “Itu moov, kalau namaku mohv. M-a-u-v-e,” lanjutnya. Bukannya tersinggung dengan kalimat ketus yang keluar dari mulutnya, menurutku itu malah lucu sehingga mengundang tawa untuk meledak dari mulutku karena bibirnya yang mengerut dan maju ke depan beberapa centi. Menggemaskan. Aku menganggukkan kepala, nggak ingin berdebat dengan gadis ini. Toh, apa yang dikatakannya juga benar, jadi apa yang perlu kudebatkan juga ‘kan? "Umur kamu berapa?" tanyaku lagi. Quinn yang tadi sibuk dengan alat masaknya, kini berbalik menghadapku. Gadis itu menunjukkan lima jarinya. “I am five,” katanya dengan bahasa inggris yang tergolong fasih untuk anak seusianya. Mungkin bahasa inggris adalah bahasa pertamanya sehingga bisa selancar ini walaupun usianya masih lima tahun. Selain ketus dan jutek, gadis itu bisa dikatakan hiperaktif. Terbukti dari kelakuannya yang bergerak ke sana ke mari tanpa lelah. Belum ada sekali pun aku melihat dirinya duduk tenang bersamaku di karpet berbintik ini. "Quinn, ayo makan siang!" Suara panggilan itu berasal dari luar kamar. Mungkin suara asisten rumah tangga yang tadi dipanggil ‘Bik’oleh Pak Dewa. Aku menggandeng tangan Quinn menuju ruang makan, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan boneka kelinci putih miliknya. Ketika sampai di ruang makan, benar saja. Lauk pauk sudah terhidang di atas meja lengkap dengan tiga piring nasi. "Oh iya, Bibik lupa. Nama kamu siapa, Nak?" tanya Bibik padaku ketika tanganku sedang mengambil sendok di laci transparan yang terletak di samping penanak nasi. "Alisha, Bik. Biasanya dipanggil ‘Al’, tapi kalau Bibik mau panggil yang lain juga nggak masalah kok,” jawabku dengan seulas senyum. “Kalau nama Bibik sendiri siapa?” tanyaku balik. "Nama saya Tanti." Aku mengangguk kemudian menyendokkan beberapa lauk ke piring milik Laquinna. “Itu nasi kamu, ya, Al. Yang paling banyak,” kata Bik Tanti sembari memindahkan tiga mangkuk sup ke atas meja. Satu untukku, satu untuk Quinn dan satu lagi entah untuk siapa. Mungkin untuk Bik Tanti. "Quinn makan, ya. Mau Kakak suapin atau makan sendiri?" tanyaku ketika menyiramkan beberapa sendok kuah ke atas nasinya agar nggak terlalu kering ketika masuk ke tenggorokan gadis itu. "Makan sendiri aja. Quinn 'kan udah besar," jawabnya lagi-lagi dengan nada ketus. Bik Tanti yang sudah bergabung denganku dan Quinn di meja makan hanya menggelengkan kepala melihat anak majikannya itu. Sedangkan aku hanya terkekeh pelan tanpa tersinggung atau malah sakit hati dengan perlakuannya yang malah menurutku sangat lucu itu. * Hampir satu jam lebih aku menemani Quinn yang nggak kunjung menghabiskan makanannya. Gadis itu terus saja mengemut makanannya di dalam mulut tanpa mengunyahnya. Bik Tanti yang kuyakini sudah lebih berpengalaman dalam mengurus anak kecil pun angkat tangan dengan kebiasaan Quinn yang satu ini. Setelah Quinn menyelesaikan acara makannya, gadis itu menyuruhku untuk mengikutinya menuju kamar miliknya yang terletak di lantai dua. Lagi-lagi, ada papan dengan tulisan ‘Quinn’s’ yang tergantung di pintu kamarnya. Tiga jam setelahnya, Quinn menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Awalnya, gadis itu memintaku untuk mengerjakan semua soal-soal itu dan dihadiahi gelengan tegas dariku. Aku nggak mau membodohi anak orang di saat orang tuanya dengan susah payah mencari nafkah untuk menyekolahkannya dan aku malah di sini mengerjakan semua tugasnya lalu membiarkan gadis ini menjadi bodoh? Oh, tidak, terima kasih. Sebenarnya bukan pelajarannya yang susah sampai memakan waktu selama itu, tapi memang gadis itu yang nggak bisa duduk tenang selama mengerjakan soal-soal itu. Setiap menyelesaikan satu soal, gadis itu akan segera turun dari kursi belajarnya kemudian bermain dengan mainannya, atau bahkan turun ke bawah hanya untuk sekadar mengambil mainan lainnya yang ada di ruang bermainnya. Walaupun harus dengan usaha extra dalam membujuknya untuk tidur dan kalimat-kalimat ketus yang keluar dari mulutnya, Laquinna akhirnya terlelap beberapa menit kemudian setelah aku mematikan lampu kamarnya. Aku kemudian turun ke bawah menuju ruang bermain Laquinna setelah memastikan gadis itu benar-benar terlelap—bukan hanya memejamkan mata lalu menyelimutinya sampai ke leher. Setelah itu baru aku keluar dari kamarnya dengan hati-hati agar nggak menimbulkan suara berderit dari pintu yang kututup. Ketika kakiku sudah menginjak di lantai paling bawah, mataku menemukan sosok Pak Dewa yang sedang bersandar pada punggung sofa dengan laptop yang berada di pangkuannya. Pria itu terfokus pada laptopnya , sedangkan televisi yang ada di hadapannya dibiarkan terbuka begitu saja tanpa menontonnya. Benar-benar pemborosan listrik. Kepala Pak Dewa yang awalnya menunduk kini mendongak sehingga mata kami saling menatap. Kuberikan seulas senyum tipis dengan kepala yang mengangguk padanya lalu berjalan menuju ruang bermain Laquinna untuk membereskan mainannya yang bertebaran di seluruh ruangan itu. * Tok! Tok! Tok! "Masuk." Aku membuka kenop pintu perlahan ketika dipersilahkan. Lagi-lagi aku kembali terkagum dengan salah satu bagian dari rumah ini, ruang kerja milik Pak Dewa. Ruangan ini nggak lebih besar dari kamar Laquinna, tetapi yang membuatku tertarik adalah salah satu bagian dindingnya yang sudah ditukar seluruhnya dengan kaca transparan yang kini menampilkan suasana jalanan saat malam hari dengan bulan sabit yang berpendar di langit. "Ada masalah?" tanyanya setelah menghentikan laju jarinya yang menari di atas keyboard laptop miliknya tanpa bersusah payah memutar kursi untuk menatapku. Pak Dewa hanya menatapku dari kaca yang menampakkan pantulan diriku di sana. "Saya mau permisi pulang untuk ambil baju sebentar, Pak," jelasku gugup. Tentu saja gugup. Gadis mana yang nggak gugup saat berhadapan dengan pria berwajah seperti Dewa Yunani yang parahnya sedang bertelanjang d**a seperti pria yang ada di depanku ini? Walaupun hanya disuguhi oleh pemandangan punggungnya, tetap saja itu membuatku ketar-ketir. "Besok aja," jawabnya singkat tanpa memikirkan keadaanku yang sudah kucel karena hanya mandi sekali saat pagi tadi. "Tapi saya belum bersih-besih seharian ini, Pak. Bapak mau ada aroma nggak sedap yang menguar dari rumah Bapak?" tanyaku sedikit kalem, berharap Pak Dewa merubah pikirannya. "Pantes aja tercium bau nggak sedap daritadi," balasnya. Aku diam-diam menghela napas dengan pelan agar Pak Dewa nggak tersinggung dengan ulahku, padahal pada faktanya di atas kepalaku kini sudah mengepulkan asap karena terpancing oleh sikap datarnya itu. "Balik aja sendiri. Saya males keluarin mobil lagi," tambahnya. Aku mengangguk sendiri. Siapa juga yang minta diantarin olehnya, toh aku bisa balik ke kos-an sendiri. Pria ini terlalu percaya diri sepertinya. Ya, walaupun memang wajahnya itu sungguh memanjakan mata. "Kalau gitu, saya pergi dulu, Pak. Permisi," gumamku lalu berbalik untuk meninggalkan ruangan ini. Belum sempat tanganku memutar kenop pintu, suaranya sudah kembali menginterupsi sehingga membuat pergerakanku terhenti. "Berhenti!” perintahnya. Tanpa membalas perintahnya itu, aku memutar tubuh untuk menghadapnya kemudian melempar pandangan bertanya-tanya pada Pak Dewa yang kini sudah memutar kursinya sehingga mata kami bertemu. "Saya antar." Aku menatapnya dengan kening berkerut. Cepat sekali pria itu merubah keputusannya. Sepertinya belum ada lima menit sejak pria itu menyuruhku pergi sendiri, tapi kini Pak Dewa sudah berdiri di depanku dengan entah kunci apa yang sudah berada di tangannya. “Tapi... saya bisa balik sendiri, Pak,” cicitku namun masih tetap mengekori Pak Dewa di belakang. Pria itu mendengus, mengabaikan ucapanku kemudian menghidupkan mesin motornya. "Cepat naik!” perintahnya. Sepertinya pria ini punya kegemaran memerintah orang karena hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, ia sudah memberikanku perintah dua kali. Akhirnya aku mematuhinya tanpa berucap lagi. "Maaf, Pak,” gumamku ketika meletakkan tanganku pada pundaknya sebagai penopang. “Saya belum pernah naik motor sebagus ini soalnya,” lanjutku ketika sudah duduk di belakangnya. Sebelum melajukan motor itu, Pak Dewa memerintahku lagi untuk segera memakai helm yang baru disodorkannya. Aku belum siap dengan kegiatan mengaitkan kaitan helm itu, namum pria itu sudah lebih dulu melajukan motornya. Tubuhku hampir saja merosot turun dari tempat duduk tinggi ini dan menubruknya kalau saja aku nggak menahan tubuhku sendiri. "Pegangan. Nanti kamu terbang gara-gara ditiup angin.” Maksudnya, aku terlalu kurus seperti kertas sampai-sampai bisa diterbangkan oleh angin, begitu? "Aku tau kok badanku seperti triplek, datar tanpa lekuk! Tapi nggak perlu diperjelas juga kali,” gumamku tanpa sadar. Tentunya pria itu bisa mendengar dengan jelas gumamanku karena jarak kami yang sedekat ini. Pak Dewa berbalik menatapku ketika berhenti di lampu merah. "Pegang pinggang saya, bukan besi yang di belakang. Kamu mau jatuh lalu jungkir balik nanti?" sindirnya. Dengan canggung, tanganku meraih sisi bajunya seperti anak kecil yang sedang menarik baju orang tuanya karena takut hilang di antara kerumunan orang. Mana berani aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Bisa-bisa, aku terkena penyakit jantung di usia dini. "Pegangan yang erat!" perintah Pak Dewa dengan volume yang lebih keras karena hembusan angin yang meredam suarannya. Aku hanya mendengus pelan mendengar perintahnya itu. Untungnya ada angin yang meredam suara dengusanku, kalau nggak, aku pasti sudah habis dipelototi oleh Pak Dewa. Aku yakin. "Iya, Pak!" balasku nggak kalah kencang dengan suaranya. Perjalanan selama lima belas menit terasa cepat karena arus lalu lintas yang sudah lancar, terlebih lagi kami menggunakan motor sehingga bisa menyalip sana sini seperti pembalap F1. "Bapak tunggu disini, ya. Saya mau kemas barang-barang dulu. Bentar aja kok, nggak lama," kataku pada Pak Dewa yang masih duduk di atas motornya yang terparkir di depan gerbang karena pria nggak diizinkan untuk masuk ke kos-an khusus wanita ini. Pria itu bersedekap dengan kepala mengangguk, lalu berkata, "Cepat. Saya nggak suka nunggu." Aku berjalan masuk ke dalam menuju kamarku tanpa memerdulikan perkataannya kemudian secepat mungkin memasukkan seluruh barangku ke dalam tas ransel. Untungnya barangku hanya sedikit, sehingga nggak membutuhkan waktu yang lama untuk mengemasnya. Aku berjalan menuju rumah utama yang ditempati Ibu Pemilik Kos dengan ransel yang tersampir di pundakku. "Oh, Nak Alisha. Ada apa, ya, jam segini cari Ibu?" "Saya mau pindah dari sini, Bu," ucapku mantap. "Pindah kemana? Kamu 'kan udah bayar uang kos untuk tiga bulan ke depan." Aku tersenyum kecil kemudian menjawab, "Nggak apa-apa, Bu. Pekerjaan baru saya memang menuntut untuk harus tinggal di rumah majikan saya." “Kalau gitu, Ibu balikkan uang kamu, ya...” Belum sempat wanita berdaster itu menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu memotongnya. “Nggak usah, Bu. Anggap aja itu rezeki untuk Ibu, dari orang baik.” Yang bernama Dewa, lanjutku dalam hati. Benar ‘kan? Kalau pria itu nggak baik, untuk apa ia harus merugi dengan mengganti uang kos yang sudah kubayar ini? “Tap...” Aku menggelengkan kepala, menolak wanita ini untuk melanjutkan ucapannya. "Hati-hati, ya, Nak. Sekarang di negara kita rawan kejahatan. Apalagi kamu gadis dan cantik sekali. Kalau mau ngontrak lagi, balik aja kesini, ya. Ibu akan dengan senang hati membuka pintu untuk kamu,” kata Ibu itu sebelum mengelus lengan atasku beberapa kali. Aku mengangguk kemudian berkata, "Kalau begitu saya pergi dulu, Bu," pamitku kemudian menyalami tangannya sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu. "Lama sekali kamu ini!" semprot Pak Dewa ketika aku sudah berdiri di hadapannya. Aku meringis mendengar ucapannya itu. Nyatanya aku hanya menghabiskan waktu dua puluh menit di dalam tadi. "Cepat naik! Malah melamun lagi," lanjutnya. * Sesampainya kami di rumah, Pak Dewa memanggilku, "Alisha." "Ya? Ada apa, Pak?" tanyaku sembari menatapnya, menunggu lanjutan dari panggilannya barusan. "Anggap aja seperti rumah sendiri agar kamu nyaman disini. Demi Laquinna." Setelah berkata demikian, pria itu berlalu dari hadapanku. Meninggalkanku seorang diri dan mematung di balik pintu masuk. Demi Laquinna. Demi Laquinna. Demi Laquinna. Iya lah, semuanya demi Laquinna. Memangnya siapa kamu? Hanya baby sitter mendadak yang baru bekerja satu hari, rutukku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD