Bad Ayah - Part 3

2290 Words
Aku terbangun dengan napas memburu. Mataku menatap langit kamar dengan nyalang. Jam beker yang kuatur semalam bahkan belum sempat berdering. Entah berapa lama aku berbaring dengan posisi yang kerap berubah-ubah karena nggak bisa kembali memejamkan mata lagi. Tepat jam enam, aku berjalan menuju kamar Quinn. Tentunya setelah aku membersihkan diriku terlebih dahulu dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan untukku, Quinn, dan Pak Dewa. Hari ini, tugasku adalah menemani Laquinna ke sekolah dan menungguinya di sana sampai jam pulang sekolah tiba, tentu saja atas perintah ayahnya yang datar dan sedikit garang itu. Setelah memakai pakaian bersih terakhir yang kubawa, aku menghampiri Laquinna yang masih bergelung di dalam selimutnya tanpa terganggu dengan kehadiranku yang ada di dalam kamarnya. "Quinn," panggilku sambil menghidupkan lampu kamar setelah lebih dulu mematikan lampu tidurnya yang berada di nakas sebelah tempat tidur. "Ergghh," erang gadis itu tanpa membuka matanya. Tangan Laquinna malah menarik selimutnya agar menutupi wajah sampai ke atas kepalanya. "Quinn..." panggilku sekali lagi. "Ini udah jam enam lewat loh," sambungku kemudian menarik selimutnya dengan tanganku. Gadis itu masih saja kekeuh nggak ingin membuka matanya walaupun tubuhnya sudah lagi dilapisi oleh selimut. "Quinnnnn..." ulangku dengan tarikan yang panjang. "Nanti kamu telat, Sayang. Atau perlu Kakak panggil Ayah kamu? Supaya Ayah yang bangunin aja, ya?" tanyaku. Gadis kecil itu sontak membuka matanya dengan lebar dan melotot padaku dengan bibirnya yang maju ke depan beberapa centi. Mata itu kemudian menatapku dengan pandangan memohon setelah kuberikan seulas senyum lebar yang sarat akan ledekan.  "Ih, jangan! Nanti Ayah marah, Kak.” "Nggak mau ‘kan kalau Kakak panggilin Ayah kesini? Ya, udah. Ayo, mandi," ajakku kemudian membawanya ke dalam gendonganku untuk menuju ke kamar mandi. Selama acara memandikan Quinn, tubuhku nggak luput dari cipratan air karena ulah gadis. Belum lagi ketika tangan kecilnya itu mengoleskan busa yang dihasilkan oleh sabun dan shampoo yang digunakannya pada tangan sampai ke pakaianku. Ingin marah, tapi nggak ada amarah yang bisa kukeluarkan untuk gadis ini. Apalagi ketika melihatnya tertawa dengan rambut yang dipenuhi oleh busa itu, hatiku rasanya ambyar melihat pemandangan seperti itu. Aku menahan tangan kecil Laquinna yang sudah bersiap-siap ingin mencipratiku dengan air lagi. Tanganku sudah berkacak di pinggang, tetapi bukannya takut, gadis itu malah terbahak keras sehingga menular padaku yang juga ikut tertawa bersamanya setelah itu. Maka gagal sudah rencanaku untuk terlihat galak di depan Laquinna. "Ayo ke sini, Quinn. Nanti kamu masuk angin kalau kelamaan di kamar mandi." Aku mengambil handuk kemudian membungkuskannya pada tubuh Quinn sebelum menggendongnya lagi untuk keluar dari kamar mandi. Tanganku meraih sepasang seragam milik Laquinna beserta dengan dasinya yang berbentuk pita. "Quinn nggak suka seragam itu!" Jari telunjukknya mengarah pada seragam sekolah yang ada di dalam genggamanku dengan wajah kesal dan mata yang melirik dengan tajam. Tatapanku menurun pada sepasang seragam itu. Sepertinya nggak ada yang salah dengan seragamnya. Hanya kemeja berlengan kembang dan rok bewarna biru elektrik dengan motif tartan serta dasi yang bermotif sama dengan roknya. "Loh? Kenapa?” tanyaku sambil mengusapkan minyak telon pada perut kemudian memakaikan kaus dalaman padanya. “Ini seragamnya ‘kan bagus, Quinn,” sambungku lalu menunjukkan kedua pakaian itu di hadapannya. "Itu warna biru. Biru 'kan untuk boy, aku suka warna pink, Kak. Pink is for girl. Kakak ini gimana, sih?" Aku menggelengkan kepala mendengar keluhan anak itu. Inilah akibat dari film pahlawan super atau mainan boneka Barbie sehingga membentuk pemikiran anak-anak bahwa warna merah jambu adalah warna untuk anak perempuan, sedangkan warna biru adalah warna untuk anak laki-laki. Pada faktanya, warna-warna pastel terang seperti merah jambu dulu digunakan untuk mencerahkan warna kulit di Benua Eropa dan Amerika pada abad ke-19, bukan untuk menyatakan jenis kelamin. Akibat dari penyetaraan jenis kelamin berdasarkan warna itulah, jarang sekali ditemukan anak laki-laki yang menyukai warna merah jambu. Laquinna awalnya menolak saat aku meminta gadis itu untuk memasukkan tangannya ke lubang yang ada pada atasannya. Walaupun raut wajahnya masih belum berubah, setidaknya gadis itu mau menuruti permintaanku pada akhirnya dan membuatku memberikan seulas senyum. "Semua warna itu boleh untuk siapa aja, Sayang," jelasku dengan tangan yang sudah membuka kancing rok milik Laquinna dan menahannya di depan kaki gadis itu agar dirinya bisa melangkah masuk ke dalam celah kosong yang ada pada rok itu. "Bahkan, boy juga boleh suka warna pink loh," sambungku. Quinn menatapku dengan mata berkaca-kaca, membuat hatiku terenyuh seketika. "Tapi... Quinn nggak suka, Kak," protesnya lagi. Karena aku sudah kehilangan akal untuk menanggapi protesnya itu, maka tanganku mengusap pipinya beberapa kali. Berharap Laquinna bisa melupakan masalah sepele ini sejenak. "Anak cantik kalau pakai warna apa aja tetap cantik. Quinn cantik 'kan?" tanyaku setelah mendapat pencerahan. Gadis itu langsung mengangguk, mata berkaca-kacanya yang kulihat tadi, kini sudah sirna. "Kamu pakai kaos kaki dulu, ya.” Tanganku menyodorkan sepasang kaus kaki bewarna putih dengan aksen renda di sekelilingnya. “Kakak mau ganti baju dulu karena udah kamu basahin," sambungku sembari menunjukkan hasil dari ulahnya di kamar mandi tadi. Tubuhku bergeming di depan pintu kamar Laquinna ketika berpas-pasan dengan Pak Dewa yang juga baru saja keluar dari kamarnya. "Alisha," panggilnya dengan muka bantal yang kentara dan suara serak parau yang sarat akan baru bangun tidur. Pria yang sedang berdiri beberapa meter di hadapanku ini sepertinya harus dibelikan penutup atasan atau baju yang layak untuk dipakai karena setiap kali aku bertemu dengannya, pria itu selalu tanpa atasan. Jangan-jangan sebentar lagi, Pak Dewa juga akan menanggalkan bawahannya. Kalau itu, sih maunya kamu, seru batinku dalam hati. "Selamat pagi, Pak. Ada apa, ya, manggil saya?” "Laquinna udah bangun?" tanyanya. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban iya pada pertanyaannya. "Tukar baju kamu. Pakaian dalammu tercetak dengan jelas di sana," perintahnya kemudian berlalu untuk memasuki ruang kerjanya yang juga berada di lantai dua­—sebelah kamar Pak Dewa. Semalam aku sedikit terkejut ketika diantar oleh Bik Tanti ke dalam kamar yang akan kutempati. Kukira aku akan mendapatkan kamar yang sesuai dengan kamar pengasuh pada umumnya. Tapi, aku malah ditempatkan di kamar tamu yang terlalu mewah untuk title-ku di rumah ini yang notabenenya hanya seorang pengasuh. Bik Tanti bilang, nggak ada kamar lain lagi di rumah ini. Jadi, aku menerimanya saja tanpa protes. Lagipula, aku nggak mungkin tidur dengan Laquinna ‘kan? Apalagi tanpa izin dari ayahnya dan juga kasur di kamar gadis itu adalah kasur single yang hanya bisa memuat satu orang saja. Mataku melirik ke bawah ketika sosok Pak Dewa sudah sepenuhnya hilang dari pandanganku. Begitu pun denganku, aku langsung berlari masuk ke kamarku yang ada di sebelah kamar Quinn. Lancang sekali matanya. Pengen aku colok pakai garpu rasanya, gerutuku dalam hati sambal mengganti pakaianku yang basah tadi dengan pakaian baru. Untung saja pakaian yang kucuci di kamar mandi kemarin malam sudah kering karena adanya pendingin ruangan di kamarku. Kalau nggak, aku pasti sudah kelimpungan karena hanya membawa tiga pasang pakaian ke sini. "Quinn, udah pakai kaos kakinya?" tanyaku ketika memasuki kamarnya. Gadis itu duduk di atas tempat tidur dengan satu kaki yang terangkat, sedangkan kaki lainnya sudah terpasang kaos kaki. "Udah," jawabnya singkat sembari menurunkan kakinya setelah dipasangkan kaos kaki. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala kemudian menghampiri Quinn yang sudah turun dari tempat tidurnya. Tanganku kembali mengangkat gadis itu ke atas tempat tidur lalu berjongkok di hadapannya. "Ini salah, Sayang. Garisnya seharusnya di depan, bukan disamping," jelasku sambil memperbaiki letak kaos kakinya yang salah itu. "Ayo! Kita sarapan, ya," ajakku dengan menyodorkan tanganku agar digenggam olehnya. Tapi gadis itu malah melongos pergi meninggalkanku lalu turun ke lantai bawah untuk menikmati sarapannya. Laquinna menatap nasi goreng buatanku yang ada di hadapannya dengan berbinar. Tapi wajahnya kemudian cemberut ketika tangannya baru saja hendak menyuapkan sendok itu ke dalam mulut. “Kenapa?” tanyaku karena pergerakan gadis itu yang tiba-tiba berhenti, nggak kunjung memasukkan suapan sendok itu ke dalam mulutnya. "Quinn nggak suka sayur, Kak," protesnya dengan tangan yang kembali meletakkan sendok itu di atas piring. Aku harus berpikir sebentar. Otakku berusaha menemukan kalimat terbaik yang kuharap bisa merubah ketidaksukaannya itu. "Kenapa? Sayur enak loh, Quinn.” Tangannya meraih sebuah kacang polong yang tampak di antara nasi goreng buatanku dan menatapnya dengan bergidik. "Kakak aja suka sayur. Kenapa Quinn nggak suka? Emangnya Quinn nggak mau kuat seperti Kakak?" sambungku. Dua jarinya kini sudah mengapit dua lembar daun selada yang ada di pinggiran piring dan dua iris timun. “Aku nggak mau itu. They scared me.” gumamnya. Posisi dudukku kini berubah menghadap Laquinna. “Pokoknya, Quinn nggak mau ada makanan yang warnanya hijau di atas piring,” sambungnya. Aku mengangguk lalu memindahkan seluruh makanan bewarna hijau yang ada di piringnya. Untungnya kacang polong yang kumasukkan tadi nggak terlalu banyak sehingga hanya butuh waktu sebentar untuk memisahkan benda itu dari nasi goreng buatanku. Setidaknya ini lebih baik daripada gadis itu terus memprotes tentang makanan bewarna hijau yang ditemukan di antara makanannya dan menghabiskan waktu sehingga ia akan telat pergi ke sekolah. Dan apa? Tentu saja aku yang akan ditegur oleh ayahnya. "Quinn mau kayak Disney Princess yang cantik," katanya tiba-tiba dengan mulut yang masih dipenuhi oleh makanan. Aku terkekeh kemudian menyelipkan serbet pada kerah bajunya agar seragamnya itu nggak terkena noda makanan. "Princess juga makan sayur, Sayang. Karena mereka makan sayur itulah, badan mereka bagus dan sehat. Jadi, itu artinya Quinn juga harus makan sayur, ya.” Laquinna terdiam sesaat. Mulutnya berhenti mengunyah dengan mata yang menatap ragu padaku. Gadis itu berusaha memercayai kalimat persuasif yang baru saja kukeluarkan. Semenit kemudian, kepalanya mengangguk dan itu menerbitkan senyum pada bibirku. Kemarin malam, Pak Dewa sudah berpesan padaku untuk memasak sarapan setiap harinya. Tapi pria itu nggak memberitahuku kalau anaknya ini benci dengan sayuran yang bewarna hijau. Untungnya bekal yang kusiapkan untuk Laquinna di sekolah nanti nggak ada sayurnya sama sekali. Kalau tadi aku memasukkan benda hijau itu, pasti sekarang aku harus memisahkannya dan itu tentu saja menambah pekerjaanku. Untungnya, Tuhan masih berbaik hati padaku. Sosok Pak Dewa akhirnya muncul dari arah undukan tangga ketika Quinn sudah berhasil menghabiskan setengah dari makanannya. Gadis itu masih dengan mode mengemut makanannya sampai-sampai pinggangku terasa pegal di karena menungguinya. “Pagi, Ayah,” gumam Laquinna dengan mulut yang masih terisi oleh makanannya. Pria yang mengenakan kemeja slim fit bewarna biru itu berjalan menuju meja makan lalu memberikan kecupan pada puncak kepala Laquinna dan membalas sapaan anaknya. “Pagi, Sayang.” Pak Dewa kemudian berjalan melewatiku dengan aroma maskulin yang menguar kemudian duduk di ujung meja. Bahkan aroma parfumnya itu masih bisa terhirup oleh indra penciumanku padahal jarak kami yang sudah lumayan jauh. Aku kira atasannya udah lenyap semua, ternyata masih ada, batinku sembari menunduk dan bayang-bayang tubuh bagian atasnya yang polos kemarin tiba-tiba berkeliaran di dalam benakku dan itu membuat wajahku panas ketika memikirkannya. Aku tersentak dari pikiranku ketika Pak Dewa bertanya, "Nggak makan?" Aku menggeleng kemudian kembali menyuapkan sesendok nasi goreng pada Laquinna. Tatapan intens yang diberikan oleh Pak Dewa membuatku merasakan sesuatu yang aneh. Kedua matanya itu seperti pemburu yang sedang mengintai mangsanya sehingga membuatku menjadi kikuk. "Nanti saya makan di sekolah aja, Pak," jelasku setelah berusaha mengontrol suara yang akan dikeluarkan oleh pita suaraku ini. Mataku terpaku pada Pak Dewa yang sedang menunduk untuk menikmati sarapannya. Lagi-lagi, aku terlarut dalam lamunanku sendiri. Otakku masih saja terus bertanya-tanya tentang keberadaan sosok istrinya yang belum kujumpai sampai saat ini. Padahal Pak Dewa sudah bilang kalau ia belum menikah, tapi aku enggan percaya pada pria itu. Walaupun rasa ingin tahuku sudah pada tahap yang sangat aku, tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang harus kuketahui saat ini. Toh, Pak Dewa adalah majikanku dan aku hanya pengasuh anaknya. Hanya sebatas itu saja status di antara kami. Seharusnya aku nggak boleh kepo terhadap kehidupan pribadi majikanku itu ‘kan? * Pak Dewa masuk ke dalam mobilnya setelah mengecup kedua pipi putrinya. Aku mengekori Laquinna untuk masuk ke dalam mobil yang akan dikemudikan oleh Pak Amrin—supir yang bekerja untuk Pak Dewa. Laquinna menatapku dengan sebal dengan mulut yang dicebikkan. “Kak, Quinn udah telat ini,” pekiknya ketika melihat jam yang ada di sisi atas pendingin mobil. “Udah sampai kok. Itu sekolahnya udah nampak di depan,” balasku sembari menunjuk ke arah sekolah Quinn yang sudah terlihat. “Nanti kalau Quinn dimarahin sama gurunya gimana?” tanyanya dengan mata menerawang. Gadis itu kini merasa cemas, itu terlihat jelas dari raut wajahnya sekarang. "Quinn?" panggilku yang sudah lebih dulu keluar dari mobil. Laquinna tersentak kemudian segera menyambar uluran tanganku lalu menarikku untuk mengikutinya setelah gadis itu keluar dari mobil. "Quinn, jangan lari-lari kayak gitu. Astaga, kamu baru makan. Nanti muntah loh.” Aku kembali meraih tangannya yang baru saja merenggangkan genggaman kami. "Iya, makanya Kakak jalannya yang cepat dong!" dumel Laquinna. “Biasa waktu berangkat sama Ayah nggak pernah telat,” sambungnya. Aku menghela napas, gadis ini pasti berpikir kalau akulah penyebab dari keterlambatannya ini. Pada faktanya, jalanan macet saat menuju sekolah inilah penyebabnya. Dan tentu saja itu nggak bisa dikompromi. Jadi, ini sama sekali bukan salahku. Kamu yang makannya kayak lagi ngemut permen, Dek, gemasku dalam hati. Untungnya Laquinna memiliki mata bulat polos yang bisa sedikit meredamkan kekesalanku padanya. Laquinna berjalan di depanku dengan tangan kami masih bertaut, lebih tepatnya aku terlihat seperti ditarik oleh gadis itu padahal aku mengekorinya yang sedang menunjukkan arah menuju kelasnya. Ketika sampai di depan kelas Quinn, seorang wanita yang kutaksir berumur tiga puluhan sedang berdiri di depan pintu dan menyapa Laquinna dengan senyumnya. Wanita yang kuyakini adalah guru itu juga memberikan senyuman serupa padaku. “Kakak tunggu di kursi yang ada di depan kelas, ya,” bisikku yang sudah menyejajarkan tinggiku setinggi Quinn dengan cara berjongkok dan dihadiahi gadis itu dengan anggukan di kepalanya. “Good morning, Laquinna. Have a seat, please,” ucap guru itu lalu bergeser untuk memberikan ruang pada Quinn agar gadis itu bisa masuk ke dalam kelasnya. Aku kemudian meninggalkan kelas itu untuk menempati salah satu kursi yang ada di depan kelas Laquinna setelah meminta maaf kepada gurunya atas keterlambatan gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD