Bab 3

966 Words
Itu, biar nanti Om Hendro aja yang jelasin sama kamu. Atau … Albany sendiri. Tante tidak berhak menjelaskan ini sama kamu.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan embusan napas panjang. Aku tak ingin lagi memaksa jika Tante Rita tak berkenan menjelaskan.  “Iya, Tante nggak apa-apa. Za mau istirahat dulu ya. Rasanya lelah sekali, mungkin efek dari kehamilan juga,” pamitku padanya. Seulas senyum kembali terukir di wajahnya, walaupun tak semanis biasanya.  “Iya, Sayang. Istirahatlah,” katanya mengiringi langkahku menuju kamar Rico.  Kamar itu ada di lantai dua. Aku pernah ditunjukan oleh almarhum calon suamiku itu, dulu. sebuah kamar yang luas dan tentu saja nyaman. Kamar ini berwarna hijau muda. Rico bilanng, dia suka warna hijau, karena warna itu menggambarkan ketenangan dan menjadikan tidur lebih mudah. Itu katanya.  Aku menyentuh setiap barang di sana yang masih terawat dengan baik. Wangi kamar ini pun masih sama dengan waktu terakhir kali aku menginjakan kaki di sini. Aku menuju lemari dan membukanya. Deretan baju milik Rico terlihat rapi tergantung di sana. wangi parfum bahkan aroma tubuhnya seolah masih tertinggal di sini.  Entah nyata ataukah hanya ilusiku belaka. Aku memeluk baju itu dan menghisap wanginya dalam-dalam. Aku begitu merindukan sosok itu. Sosok yang selalu mencintai dan menjagaku. Tentu saja, selain malam terkutuk itu.  “Al, Papa harap kamu bisa menerima Zanna. Setidaknya sampai anak itu lahir.” Sayup-sayup aku mendengar suara Om Hendro di luar. Sepertinya dia seddang mengobrol dengan Albany.  “Tentu saja, kedatanganmu mengajakku tinggal  di sini semata-mata hanya untuk anaknya Rico. Anak kesayanganmu itu, kan. Aku memang tidak pernah mendapat tempat di sini. Tenanng saja, aku masih punya hati dan otak untuk menerima bayi dan mantan calon menantumu itu.” Kini terdengar suara Albany.  Aku mendekat ke pintu agar terdengar lebih jelas obrolan mereka. Sungguh sangat mencengangkan. Siapa sebenarnya Albany itu. Aku bahkan tidak pernah mengetahui jika Rico memiliki saudara, sampai hari rencana pernikahan itu.  Aku membuka pintu sedikit. Terlihat dua orang yang memiliki garis wajah yang memang mirip itu berdiri berhadapan. Om Hendro terlihat lebih menahan emosinya dibandingkan Al yang berapi-api.  Aku harus mendengarkan percakapan mereka agar tahu apa sebenarnya yang terjadi.  “Al, Zanna bukan mantan calon menantu Papa, tapi dia menantu di rumah ini, karena kamu juga anak Papa,” ucap Om Hendro dengan suara lembut.  Albany menarik sebelah ujung bibirnya.  “Itu karena Rico sudah tidak ada. Coba Anda pikirkan lagi baik-baik. Apakah Anda akan mencariku jika putra kebanggaanmu itu masih hidup dan sehat walafiat?” Albany berucap sambil tersenyum sinis.  “Aku yakin itu tidak akan pernah terjadi, Bapak Hendro yang terhormat. Kau akan tetap membiarkanku hidup di jalanan dan kelaparan,” tunjuk Albany ke luar sana.  Keningku mengerut seketika. Jadi  Albany itu memang anaknya Om Hendro dan selama ini dia hidup di luar sana. Lalu, siapa ibunya? Om Hendro menatap nanar pada putranya itu. Wajah penuh sesal tergambar jelas di sana.  “Maafkan Papa, Al. Selama ini—“ “Selama ini kau hidup enak bergelimang harta, hingga kau melupakan benih yang kautanam di rahim seorang perempuan miskin. Itu yang ingin kau katakan? Lalu sekarang, karena putramu itu mati dan kau tidak memiliki lagi ahli waris, kau mencariku dan melemparkan kotoran yang sudah diperbuat oleh putra kesayanganmu itu.”  Om Hendro menggeleng pelan. Namun, sepertinya Albany belum puas meluapkan emosinya.  “Aku tahu bagaimana rasanya diolok-olok, disebut anak haram yang tak memiliki ayah. Karena itu, aku bersedia menerima perempuan itu jadi istriku,” ucap Albany.  Rasa perih kembali berdesir. Menyileti hati dan menaburkan sejumput garam ke atasnya. Sepertinya Albany memiliki masa lalu yang suram hingga menjadikannya seperti itu.  Dia menderita karena dosa yang diperbuat orangtuanya. Berzina, di dunia saja hukumannya sudah jelas. Bukan hanya si Pendosa saja yang menanggung, tapi anak itu pun harus ikut menanggungnya. Menanggung malu, menanggung hinaan dan cibiran orang. Air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Ada rasa haru, karena Albany mau menolongku menutupi aib. Kini giliranku yang akan membantunya menyembuhkan luka yang tercipta sejak lama. Sekarang mungkin aku belum mencintainya. Tapi esok, mungkin aku akan menjadikannya cinta sejatiku.  Aku akan mencoba meruntuhkan gunung es yang membentengi hatinya. Mencairkan dan menjadikannya sehangat mentari di musim semi.  Aku memutuskan tidak akan jadi tidur di kamar Rico, lebih baik aku tidur di kamar suamiku dan mendekatinya sedikit demi sedikit.  Tubuhku yang luruh ke lantai perlahan bangkit, bersamaan dengan pintu di sebelahku yang terbuka. Aku mendongak, wajah itu menatapku sinis. Air mata yang masih tergenang segera kuseka dengan punggung tangan.  “Mas,” ucapku gugup. Tak menyangka jika dia akan masuk ke kamar ini. Sepertinya mereka menyudahi perdebatannya.Dia sedikit menarik sebelah bibirnya. “Kamu di sini rupanya. Tentu saja. Kamar ini jauh lebih bagus dari milikku,” gumamnya sembari memindai seisi ruangan.  Ya, aku akui. Kamar Rico memang lebih bagus dari milik Al.  “Bu-bukan begitu,” elakku. “Aku hanya tidak ingin mengganggu tidurmu. Jadi … mungkin sebaiknya aku tidur di sini dulu.”  “Oh, begitu?” gumamnya sambil manggut-manggut dan berbalik membelakangiku.  “Rico selalu mendapatkan yang terbaik. Dan aku hanya mendapatkan bekas dia. Bukan begitu?” tanyanya dan kembali menghadapku. DEG! Sepertinya dia akan terus bersikap seperti itu hingga luka jiwanya sembuh.  “Emmh … i-itu ….” Aku menunduk. “Sudah, tidak perlu kamu jawab. Aku sendiri sudah tahu jawabannya.” Dia tersenyum masam. Tok! Tok! Sebuah ketukan membuyarkan obrolan kami. Aku menoleh ke pintu, menyembul wajah Tante Rita di sana. “Za kamu ….” Ucapan Tante Rita terhenti saat melihat jika Albany juga ada di sini.”Al, kamu juga di sini?” tanya Tante Rita ramah.  Albany hanya melirik sekilas lalu kembali melihat-lihat setiap sudut kamar Rico.  “Tidak perlu berbasa-basi, Nyonya. Aku tahu kau membenciku dan bahkan kau bahagia melihat ibuku gila,” ucapnya santai. Mataku terbelalak, demikan juga dengan Tante Rita. Dia bahkan terlihat menelan salivanya berat.  Apa lagi ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD