Bab 2

843 Words
“Maksudnya gimana ya, Mas?” tanyaku takut-takut dengan bibir gemetar. Dia yang telah berbalik, kembali memutar badannya menghadapku.  “Apa perkataanku kurang jelas?” Dia balik bertanya dengan wajahnya yang tak berhenti masam.   “Aku … aku ….” Entah apa yang harus aku ucapkan agar dia mengasihaniku. Jangankan untuk tidur di kursi atau lantai, bahkan di kasur pun aku tidak nyaman. Rasa mual kerap melanda dan menyiksa.  “Aku apa? Mau beralibi kalau kamu sedang hamil? Hemh, jangan takut. Tentu saja aku tahu. Kamu tahu, kata apa yang cocok untuk barang bekas?” tanyanya dengan bibir terangkat sebelah.  Aku menggeleng pelan seraya menatapnya.  Tubuhnya dia condongkan mendekatiku, lalu berucap,”Sampah!” katanya.  Ada perih yang mendesir pada luka yang menganga. Namun, sepertinya justru itu yang membuat dia bahagia.  Aku menunduk dalam. Kata-katanya sangat menohok. Benar sekali, aku ini seperti sampah, bekas dipakai orang.  “Jika kamu tidak suka, kamu boleh bilang pada ibu mertuamu itu. Aku tidak akan keberatan. Mungkin dia akan mencarikanmu laki-laki lain sebagai penggantiku,” ucapnya.  Apakah ini sebuah ancaman, bahwa Tnate Rita pun tidak akan bisa merubah keangkuhan lelaki yang baru saja resmi menjadi suamiku ini. Lagi pula, jika aku bilang sama Tante Rita, lalu aku ganti lagi suami? Apa kata orang nanti?  Semua ini salahku, jadi aku harus mengalah sampai batas sabar. Apa aku lebih baik membunuhnya saja? Bayi ini maksudku. Dan terlepas dari pernikahan pura-pura ini. Tapi, apakah harus membuat dosa lagi setelah satu kesalahan fatal yang menyebabkan pernikahan ini terjadi?  Hatiku mencelos. Tidak. Aku tidak ingin berbuat kesalahan lagi. Akan aku anggap ini adalah sebagian balasan untukku dari Tuhan. Akan jauh lebih baik jika pembalasan yang aku terima itu di dunia, karena balasan di akhirat jauh lebih pedih.  “Nggak,” jawabku pelan. Dia menyunggingkan seulas senyuman sinis.  “Kenapa harus saja ada perempuan murahan yang begitu mudahnya menyerahkan diri pada laki-laki yang bukan suaminya? Dan melempar kotorannya pada lelaki lain yang tak berdosa,” ucapnya pelan penuh penekanan.  “Kalau kamu nggak suka dengan pernikahan ini, kenapa kamu menerimanya?” tanyaku lancang.  Dia mendekatkan diri.  “APa kamu benar-benar ingin tau apa yang membuatku menerima tawaran ini?” tanyanya dengan suara hampir berbisik. Tangannya terulur dan mencengkeram bahuku. Aku diam menunggu dia melanjutkan ucapannya. Namun, aku lihat mulutnya masih ragu untuk berucap. Hanya tatapannya yang seolah menghujam ke relung hati.  “Aku membenci ibuku, sama seperti aku membencimu sekarang. Kalian sama saja. Perempuan murahan yang memberikan tubuhnya begitu saja pada laki-laki yang bukan haknya. Apa kalian tidak berpikir, bagaimana kalau seandainya bayi yang kalian lahirkan ke dunia ini tidak akan memiliki seorang ayah?” ucapnya membuatku bingung. Ibunya? Bukannya ibunya itu Tante Rita, sama dengan Rico. Aku memang tidak pernah mengetahui keberadaan Albany, sampai hari di mana Tante Rita mempertemukan kami untuk membicarakan tentang pernikahan.  “Tapi tenang saja. Walaupun aku membencimu, aku tidak akan menceraikanmu dan membiarkan bayi tak berdosa itu tak memiliki ayah. Karena aku tahu, bagaimana sulitnya hidup tanpa seorang ayah,” ucapnya lagi membuatku semakin terbelalak.  Teka-teki apa ini? Apa maksud semua yang diucapkan Albany itu?  Namun, sebelum aku membuka mulut, dia mengempaskanku begitu saja hingga terjatuh di atas sofa.  Tubuhku yang didorong, tapi kenapa justru hatiku yang sakit? Aku hanya bisa menatap dia  yang secepat kilat memakai kaos lalu melempar handuknya padaku. Sehina itukah aku di matanya? Aku keluar membawa handuk basah itu dan menggantungnya di jemuran handuk. Ada Tante Rita di ruang makan sedang menikmati secangkir teh. Wanginya begitu menggugah selera. Rasa mual yang sejak tadi terasa, mendadak hilang.  “Hai, Za. Sini duduk. Mau minum teh atau kopi?” tawarnya.  “Iya, Tante,” jawabku lalu duduk di seberangnya. Lalu, terdengar Tante Rita yang meminta ART-nya untuk membuatkan secangkir teh untukku.  “Tante,” ucapku ragu sesaat setelah menyesap seteguk teh dari cangkir keramik putih. Wanita berparas cantik itu sontak mengalihkan pandangannya padaku.  “Iya, Za?” “Apa boleh kalau aku mau tidur di kamarnya Rico. Rasanya aku kangen sekali mencium wangi tubuhnya. Melihat barang-barangnya dia,” pintaku memelas. Padahal, sebenarnya aku tidak mau sekamar dengan lelaki angkuh itu. Hatiku terlalu sakit melihat sikapnya. Tante Rita hanya tersenyum. “Memangnya kamu nggak mau menjadi dekat sama Al? kalian udah nikah, lho. Apa nanti Al nggak akan menjadi cemburu kalau seandainya tahu istrinya masih memikirkan mantan calon suaminya?” tanya Tante Rita.  Tidak mungkin, batinku. Yang ada dia malah akan merasa senang kalau aku tidak ada di kamarnya. “Emh, hanya malam ini, Tante. Aku bener-bener kangen sama Rico,” jawabku memohon.  Tante Rita kembali tersenyum. “Baiklah, Sayang. Lakukan apapun yang membuatmu nyaman di rumah ini. Mungkin kalian memang masih perlu penjajakan,” jawabnya dan membuat hatiku senang. Setidaknya malam ini aku tidak harus melihat wajah juteknya.  “Oiya, Tante. Apa aku boleh nanya sesuatu?” tanyaku ragu.  “Iya, apa?” jawab Tante Rita dengan wajahnya yang selalu terlihat ramah. Persis seperti Rico, putranya. “Apa Albany itu anak Tante dan Om Hendro?” tanyaku dan membuat raut wajah Tante Rita keruh seketika.  Ada apa ini? Jadi, siapa sebenarnya Albany di keluarga ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD