Takdir Yang Tak Diinginkan

1647 Words
“Akan bagaimanapun engkau nanti, meski kau selalu berubah-ubah selayaknya rembulan, terkadang sabit terkadang separuh teradang pula purnama. Aku akan tetap berada disini, disisimu, sebagai matahari yang tak pernah berubah apalagi beranjak dari tempatku. Ingatlah, bukan candra maupun surya yang berbeda terbit dan terbenamnya. Mereka sebenarnya bertahta di angkasa yang sama, hanya saja waktu mereka bersua ada pada fajar dan senja.” _______ Dee, Stuck With You. Ketika Jason hendak melepaskan sabuk pengamannya, seketika itu pula dia tertegun saat keheningan menyapa. Jason menolehkan kepala ke samping, senyumnya langsung mengembang ketika menemukan Aurora tengah tertidur damai. Rupanya sepanjang perjalanan mereka, dia tidak menyadari bahwa Aurora sudah terjatuh dalam tidur. Pikirannya terfokus pada jalanan sepenuhnya dan ingin cepat-cepat sampai di panti asuhan supaya perempuan itu segera beristirahat. Jason menghadapkan tubuhnya kea rah Aurora sepenuhnya, memandangi wajah cantik itu dalam diam. Lalu dengan perlahan menggerakkan tangannya, menyentuh sisi kepala Aurora. Jason merapikan rambut Aurora yang terjauh menutupi sebagian wajahnya, menyelipkan rambut itu kebelakang telinga Aurora. Sentuhannya seringan bulu, sangat lembut membelai wajah Aurora. Kebiasaan tidur lelap Aurora yang tidak akan terbangun dalam situasi apapun membuat Jason menggelengkan kepala. Perempuan ini sangat ceroboh dalam menaga dirinya, itulah kenapa Jason tidak pernah mengizinkan Aurora pulang tanpa dirinya setelah selesai bekerja. Sebab perempuan ini makhluk tidur yang bisa tertidur dimana saja tanpa pertimbangan matang terlebih dulu. Jason refleks menarik tangannya ketika Aurora menggerakkan kepalanya dan sedikit menggeliat mencari posisi nyaman, membuat punggungnya menegang. Perempuan itu kini tengah tertidur di dadanya, membuat jantung Jason berdetak kencang. Ditatapnya dalam-dalam wajah Aurora, menikmati setiap keindahan dari garis wajah cantiknya. Bibir sensual, alis mata hitam tebal, bulu mata yang lentik dan tebal, lengkap dengan hidung mancungnya semakin menambah kecantikan Aurora. Sampai saat ini tidak seorang pun wanita yang mampu mendebarkan jantungnya, berbeda dengan hanya melihat Aurora, Jason tidak mampu menahan diri untuk tidak jatuh hati padanya. Sebab pada akhirnya, siapa yang bisa menduga sahabatnya itulah yang mampu menggetarkan hatinya. Jason menyelipkan tangannya di belakang kepala Aurora, menarik lembut untuk kemudian menyandarkan dengan nyaman di dadanya. Dia tidak ingin waktu cepat berlalu, mengusir kehangatan langka ini. Jason segera menempelkan wajahnya di kepala Aurora, memejamkan mata sejenak seolah menikmati ketenangan syahdu itu. Sungguh nyaman, aku seperti menemukan rumahku bersamamu Aurora. Jason memunculkan senyum tipis di bibirnya sambil membisikkan kata-kata itu di dalam batinnya. _______________________________________ "Ken, apa yang kau lakukan disana?" Mendengar namanya dipanggil tiba-tiba, membuat punggung Ken menegang sesaat. Dengan gerakan kilat, tangannya menarik kain panjang putih itu, menutup jendela kaca yang menampakkan dunia luar. Kemudian Ken membalikkan badan, melempar tatapan datar seolah tidak terjadi apa-apa ke arah Shasa. "Tidak ada. Hanya sedang menghitung bintang." ucapnya dengan singkat, sama sekali tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. "Apa katamu? Menghitung bintang?" sambil melangkah mendekati Ken, dia berucap, kening Shasa bahkan berkerut kebingungan mendengar jawaban implisit lelaki itu. "Apa yang ingin kau lakukan?" Ken langsung menghadang langkah Shasa yang hendak ke jendela kaca. "Ingin melihat bintang, memangnya apa lagi?" sahut Shasa tidak mau kalah. "Tidak perlu, bintangnya sudah tidak ada." Ken mencengkram erat-erat gorden, menyembunyikan sesuatu di balik jendela kaca itu. Dahi Shasa semakin berkerut, "Apa yang kau katakan? Sedetik lalu masih ada sekarang kau mengatakan tidak ada. Aku pikir kau terlalu pintar hingga membuat otakmu terkadang mengalami kerusakan sistem." Shasa mendesis dengan suara kasar, kemudian mengalihkan pandangan ke balik punggung Ken. "Menyingkirlah dari sana Ken. Aku tidak lagi ingin melihat bintang, Aurora sampai saat ini tak kunjung pulang. Aku hanya ingin tahu apakah mobil paman Jason sudah berada di depan rumah?" Ken menelan ludah, wajahnya berubah pucat pasi sementara tubuhnya membeku. Otaknya dipaksa berpikir keras, menyusun kata-kata supaya Shasa mengurungkan niatnya. Tetapi dirinya kehilangan kewaspadaan, sebab tanpa disadari olehnya Shasa telah melangkah ke arah pintu. Ken menarik paksa kesadarannya sebelum kemudian berlari untuk menahan gerakan tangan Shasa yang hendak membuka pintu. Namun, di detik yang sama, Ken dan Shasa langsung menoleh bersamaan ketika melihat pintu telah di buka. Beruntung Shasa segera menyingkir, jika tidak mungkin dirinya akan merintih kesakitan karena terbentur oleh pintu yang terbuka tiba-tiba. "Aurora?" wajah cantik Shasa bersinar, matanya berbinar senang ketika menemukan keberadaan Aurora disana. "Hei... kenapa kalian belum juga tidur?" ucap Aurora lembut, seketika berlutut di depan Shasa lalu membuka kedua tangannya untuk menyambut pelukan perempuan itu. "Aku tidak bisa tidur. Aku sangat mengkhawatirkan mu. Kau tidak biasanya pulang hampir larut malam begini." dengan nada merengek manja Shasa berucap, menempelkan wajahnya di d**a Aurora. "Maafkan aku sayang, kafe sangat ramai hari ini dan itu membuatku harus bekerja lebih keras lagi sehingga melupakan waktu pulang." Aurora berujar lemah, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Shasa menarik wajahnya, lalu membawa kedua tangannya, menangkupkan wajah Aurora di telapak tangan mungilnya. "Jangan terlalu memforsir tenaga mu Aurora. Kau tahu bukan jika aku sangat menyayangimu, aku tidak ingin kau sakit." Shasa berucap dengan mata berkaca-kaca. Aurora terkekeh pelan, lalu mengecup dahi Shasa singkat. "Baiklah sayang, aku sudah pulang. Jadi, tolong jangan menangis." Aurora mengapit ujung hidung Shasa pelan dengan kedua jemarinya. Bersamaan dengan selesainya perkataan Aurora, wajah Shasa kembali bersinar cerah, bibir mungilnya memunculkan senyum lebar. Kemudian Shasa melemparkan tubuhnya kedalam pelukan Aurora yang hangat. Aurora langsung melingkarkan kedua tangannya di pundak kecil Shasa kemudian mengecup pipi gadis kecil itu dengan lembut. Mata Aurora tertuju pada Ken yang sejak tadi menatap interaksi mereka dengan diam. Lelaki itu sudah terbiasa melihat kemesraan antara dirinya dan juga Shasa. Sebab itulah, Ken hanya bisa bergeming, sama sekali tidak tertarik untuk melibatkan diri dalam suasana itu. "Apa ibu Amira sudah tidur?" ucap Aurora pelan ke arah Aurora. Ken membuka mulutnya hendak menyahuti perkataan Aurora tetapi sebuah suara yang menyusul di balik punggungnya seketika mengurungkan niatnya. "Ibu menunggu sejak tadi. Kau tidak mengerti bagaimana pusingnya ibu menghadapi sikap keras kepala Shasa yang memaksa untuk tetap tidak tidur sebelum melihat mu." Ibu Amira berucap sambil mendengkus, menatap Shasa dengan jengkel. "Kau tidak ingin makan malam? Ibu sudah memasak makanan kesukaan mu dan seluruh anak-anak panti juga telah tertidur pulas sejak tadi." sambungnya memberi jawaban tegas ketika mendapati mata coklat Aurora memandangi seluruh ruangan itu, hendak mencari-cari keberadaan penghuni panti lainnya. Aurora tersenyum simpul, menarik tubuhnya perlahan dari Shasa sebelum kemudian berdiri dari posisi berlutut. Aurora melempar tatapan menenangkan ketika melihat Shasa hendak melayangkan protes yang langsung membuat gadis kecil itu mengatupkan mulutnya. "Terimakasih ibu, tetapi saat ini aku sedang tidak lapar. Aku hanya ingin tidur, seluruh tubuhku terasa kebas dan ingin segera dibaringkan." jemari Aurora diangkat ke arah punggungnya, memberi pijatan lembut disana. Ibu Amira menghela napas pendek, "Baiklah, kau boleh istirahat. Lagipula Ken dan Shasa harus segera tidur. Besok mereka harus bangun pagi lebih cepat untuk ke sekolah." Wajah Shasa seketika berubah masam saat mendengar kalimat terakhir ibu Amira. "Tidak bisakah aku menikmati tidurku sepanjang hari tanpa perlu memikirkan bangun pagi hanya untuk berangkat sekolah? Rasanya sangat menyebalkan jika harus bangun pagi-pagi." sahut Shasa dengan sikap jengkel yang kental membuat suasana diantara mereka hening sesaat. Senyum Aurora terurai cepat, kepalanya menunduk menatap Shasa yang seolah enggan membalas tatapannya dan memilih untuk melempar pandangan ke arah lantai. "Dasar bodoh. Jika kau tidak bersekolah bagaimana mungkin kau bisa merubah masa depanmu." pada akhirnya Kenlah yang terlebih dulu membelah keheningan dengan kalimat pedasnya, membuat Shasa mengangkat kepalanya cepat-cepat lalu melempar tatapan marah pada lelaki itu. "Aku tidak bicara padamu. Kenapa kau menyahuti perkataan ku." Shasa melepaskan tangannya dengan kasar dari genggaman Aurora, melangkah mendekati Ken lalu mendongakkan dagunya seperti ingin menantang. "Kau harus menggunakan otak mu dengan baik terlebih dulu sebelum mulutnya berbicara. Kau memang sangat bodoh." sambung Ken kemudian menyelipkan hinaan kental di setiap kata-katanya. Perkataan Ken tentu saja semakin menyulut kemarahan Shasa. Dengan berani, dia mengangkat sebelah kakinya kemudian menginjak kaki Ken sekuat tenaga, membuat lelaki itu seketika menjerit keras karena kesakitan. "Shasa, apa yang kau lakukan?" Ibu Amira berlari mendekati Ken, memeluk lelaki itu dengan sigap. Sementara Shasa tetap memasang sikap tenang, tidak peduli dengan kesakitan Ken. Hingga ketika merasa sentuhan di punggungnya yang disusul dengan suara lembut Aurora, wajah Shasa langsung menunduk penuh dengan rasa bersalah. "Kau sudah keterlaluan sayang, minta maaflah pada Ken." nada suara Aurora tetap lembut, kesabarannya sungguh luar biasa. Shasa meremas kedua tangannya, "Dia mengejekku dan mengatakan ku bodoh. Apa aku tidak berhak marah Aurora?" "Sayang" jemari Aurora meraih dagu Shasa lembut kemudian menghadapkan padanya, mempertemukan pandangan mereka. "Hanya karena kau diejek bukan berarti kau harus membalasnya dengan kasar seperti itu. Ken tidak bermaksud demikian, dia hanya tidak mampu berucap dengan kata-kata yang lebih baik. Minta maaflah padanya, sebab dengan meminta maaf tidak akan membuat mu menjadi seorang yang rendah diri. Kau mengerti, hm?" Shasa menyusutkan air matanya dan menatap Aurora dengan sedih. Kemudian dia menganggukkan kepala lemah lalu membalikkan punggungnya hendak melangkah ke arah Ken sebelum suara pintu yang dibuka keras menyentak punggungnya dan dengan refleks mengurungkan niatnya. Aurora yang mendengar suara pintu seperti didobrak kuat langsung membalikkan badan. Di detik itu pula, jantung Aurora bertalu cepat hendak meloncat keluar ketika melihat Darren telah berdiri dengan sikap pongahnya di pintu. Lelaki itu tersenyum miring sementara matanya menatap kedalam mata Aurora seolah menembus dadanya. Napas Aurora tercekat, tubuhnya membeku kaku. Bahkan ketika lelaki itu bersuara, Aurora sama sekali tidak mendengar jelas, sebab debaran jantungnya yang sangat kuat membuat konsentrasinya pecah. Darren mengangkat alisnya sebelum kemudian berucap dengan suara dingin nan tegas. "Kita bertemu lagi Aurora, jika aku tidak salah mengingat, ini adalah pertemuan yang ketiga. Bukankah itu menjadi pertanda bahwa kita memang telah ditakdirkan untuk bersama?" Hai hai.... Kami kembali, hihihi Teman- teman jangan lupa tap love yah, gak maksa sih. Kalau menarik di hati readers sekalian gpp dong love nya di tap.? Maaf kalau gak post tiap hari sebenarnya lagi nunggu ACC kontrak dulu. Doain yah cepat Clear, biar up terus deh.... Oh iah kalau ada saran dan masukan boleh banget loh, dipersembahkan untuk memberikan komentar yang positif di novel ini. Terimakasih semuanya, sampai jumpa di next chapter ✌️?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD