Enggan Menyunting Rasa

1702 Words
"Kidung malam payungi lamunan, ingatkan ku pada sekuntum raga. Yang pernah mengisi cerita, dalam nuansa yang hampir sempurna. Namun takdir berkata lain, kita tersekat dan tak lagi erat. Hingga akhirnya aku dan kamu menyerah, harus melepas manisnya gula gula cinta. Meski dua jiwa masih saling menyunting rasa." ________ Dee, Stuck With You. "Astaga, apa yang kau lakukan disini." Ekspresi Aurora tiba-tiba berubah panik ketika menemukan keberadaan Jason tepat di sampingnya. Sejenak perempuan itu mengalihkan mata dari Jason menatap ke sekeliling kafe seolah takut jika kedekatannya terlihat oleh pelayan lain. Aurora menghela napas lega, beruntung suasana kafe tampak rame, sehingga membuat para pelayan sibuk melayani tamu dan tidak memperhatikan ke arah mereka. Aurora mengembalikkan pandangannya kepada Jason, menatap lelaki itu dengan garang. "Cepat menyingkir dari hadapanku." ucapnya pelan mendesis.  Jason bergeming, menatap Aurora dengan seksama sambil mengulas senyum tipis. Dia sangat menikmati kepanikan Aurora, perempuan itu terlihat semakin cantik dan sungguh membuat jantung Jason berdebar keras.  "Beristirahatlah jika kau tidak ingin aku mengganggu pekerjaanmu." tanpa memperdulikan ekspresi Aurora yang pucat pasi, Jason menggerakkan jemarinya kemudian menyelipkan anak rambut yang menempel di dahi Aurora di telinganya. "Pergilah ke ruanganku. Kau boleh beristirahat disana." "Apa maksudmu?" sahut Aurora dengan cepat menyelipkan nada geraman disana. "Aku masih memiliki banyak pekerjaan. Lagipula ini bukan jam istirahat, aku tidak ingin menjadi pusat perhatian Jason."  "Karena itulah aku menyuruhmu untuk segera pergi ke ruanganku. Aku tidak akan membiarkanmu bekerja hingga menghabiskan seluruh tenagamu. Perhatikan dirimu, kau sangat kacau, wajahmu memerah dan keringatmu bercucuran." ucap Jason dengan mengomel, menunjukkan sikap protektif. Aurora memutar bola matanya, sekali lagi pandangannya terjatuh untuk menatap keseluruhan kafe itu sebelum kemudian menatap Jason untuk berkata.   "Kau hampir membuatku gila. Tolong pergilah, aku sangat tidak nyaman dengan keadaan ini." wajah Aurora memelas karena rasa frustasi yang sangat, suaranya mencicit. Jason mengangkat kedua bahunya, melangkah mendekat ke arah Aurora seolah-olah tidak mempedulikan dengan tatapan semua orang yang mengarah pada mereka. "Kau tidak memiliki pilihan sama sekali. Bergegaslah pergi atau kau akan semakin menjadi pusat perhatian disini." Jason berujar enteng, membuat Aurora menatap tajam dirinya. Kali ini giliran Aurora yang bergeming tanpa kata, tidak menuruti perkataan Jason. Dia bersikeras mempertahankan keinginannya, mengabaikan semua orang yang telah menatap  padanya.  Sudut bibir Jason sedikit terangkat, "Kau menolak perintahku? Pergilah Aurora sebelum aku membuat sesuatu yang bisa menggemparkan seluruh kafe ini." Jason menatap Aurora dengan penuh arti, "Kau tidak ingin ku cium detik ini juga bukan? Karena wajahmu yang berpeluh ini sungguh menggodaku, kau terlihat sangat menggiurkan." sambungnya menatap bibir Aurora dengan kurang ajar.  Seketika itu pula, mata Aurora terbelalak karena syok, menatap tidak percaya ke arah Jason. Aurora menghela napas panjang-panjang untuk menahan kekesalannya dan berusaha menenangkan diri. Mata coklat Aurora bertatapan langsung dengan mata hijau Jason, menyelipkan ancaman ngeri disana. Aurora menggertakkan giginya sebelum kemudian menyingkir dari hadapan Jason, dia tidak ingin perkataan lelaki itu menjadi kenyataan. "Ke ruanganku Aurora." Aurora langsung menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Jason. Dengan kekesalan yang semakin menjadi-jadi, dia memiringkan tubuhnya menatap jengkel kepada lelaki itu. Keningnya berkerut tiba-tiba saat melihat Jason mengulas senyum lebar, terlihat seperti orang bodoh. "Baik tuan." sahut Aurora singkat, kemudian dengan segera melanjutkan langkahnya, memenuhi perintah Jason.  Jason menipiskan bibirnya, tidak suka dengan jawaban Aurora yang menyebut dirinya tuan. Perempuan itu selalu saja membangun jarak dengan dirinya, seolah-olah Aurora hendak membangun dinding besar untuk penghalang mereka. Jason menghembuskan napas gusar, jemarinya diangkat untuk mengusap wajahnya dengan kasar. Jason mengalihkan pandangannya seiring dengan punggung Aurora yang tak terlihat lagi, rahangnya mengeras ketika melihat seisi kafe tampak berbisik-bisik, memandang ke arah Aurora yang tak lagi berjejak dengan tatapan sinis. Ekspresi Jason menggelap, suaranya rendah mengancam ketika berkata. "Segera turunkan pandangan kalian jika masih ingin tetap hidup." ucap Jason dingin yang langsung membentangkan keheningan mencekam di kafe itu.  ________________________________________________________________________________________________________ "Makan Cleo." Darren memberi perintah dengan sedikit meninggikan suaranya, membuat Cleo langsung menggelengkan kepala cepat-cepat, menolak perintah lelaki itu dengan tegas. Melihat sikap Cleo yang bersikeras menolak perintahnya, Darren menyentuhkan jemari di dahinya, memijat pelan karena rasa pusing yang tiba-tiba melanda. Dengan gerakan tenang Darren melangkah kemudian mendudukkan diri di tepi ranjang Cleo, matanya mengawasi putra kesayangannya itu dalam diam. Lalu entah kenapa, dia terdorong untuk menggerakkan tangannya, hendak mengusap kepala Cleo. Jemarinya sedikit canggung ketika menyentuh rambut halus Cleo, dengan hati-hati ujung jemari Darren menyentuh, membelai kepala Cleo lembut.  Di detik yang sama, Cleo mengangkat wajahnya, mempertemukan dua pasang mata biru itu secara langsung. Kehangatan langsung membanjiri benak Cleo,  tertegun dalam waktu yang cukup lama ketika melihat sisi lembut ayahnya yang sama sekali tidak pernah diperlihatkan padanya. "Apa kau ingin ayah menyuapimu?" ucap Darren tiba-tiba dengan suara lembut, menyentak Cleo dari lamunan. Cleo menganggukkan kepala pelan dan sedit ragu, masih memandang lekat ke wajah ayahnya. "Aku.. mau." sahutnya dengan mencicit. Darren mengulas senyum tipis, lalu meraih nampan itu, membawa padanya. "Buku mulutmu, kau ingin ayah menyuapimu bukan?"  Cleo menurut, lalu membuka mulutnya lebar-lebar. "Ayah tidak bekerja?" ujar Cleo dengan mulut penuh, membuat Darren terkekeh pelan. "Habiskan dulu makananmu, setelah itu kau boleh berucap." ucap Darren mengusap pipi Cleo lembut. Suara tawa yang baru saja menyapa indera pendengarannya, membuat Cleo melebarkan matanya seketika. Tanpa sadar, seluruh makanan yang berada dalam mulutnya  telah berhasil melewati kerongkongannya. Cleo membuka mulutnya sedikit, kemudian menutupnya lagi, ragu untuk berkata sesaat.  "Ayah... kau bisa tertawa?" pada akhirnya pertanyaan yang tak pernah di duga Cleo berhasil meluncur dari bibir mungilnya.  Darren tertegun, buru-buru menarik tangannya dari pipi Cleo. Lalu Darren berdehem kecil mengusir suasana yang tidak mengenakkan itu, secepat kilat menguah ekspresinya menjadi datar.  "Makanlah, ayah ingin pergi bekerja." Darren mencuri pandang ke arah Cleo, tidak berani menatap putranya secara langsung.  Cleo melipat bibirnya, sekuat tenaga menahan tawa ketika melihat ekspresi Darren yang canggung. "Ayah sangat tampan jika sedang tertawa. Aku saja terpesona sejenak." sambungnya kemudian semakin bersemangat untuk melempar godaaan kepada Darren. Segera setelah itu, tulang pipi Darren mulai dihiasi rona merah. Bibirnya melengkung, membentuk garis yang sangat tipis, berhati-hati menyembunyikan senyumnya. Darren beranjak dari ranjang Cleo, menundukkan kepala untuk menatap Cleo dengan datar. "Ayah pergi dulu. Cepat habiskan makananmu." perintahnya dengan suara gugup, kemudian segera beranjak dari hadapan Cleo menuju pintu. "Ayah, kau membawa makananku." Seketika itu pula langkah Darren terhenti, matanya dipejamkan sesaat karena rasa malu yang sangat. Seluruh umpatan telah berkumpul di mulutnya, hendak disemburkan pada siapapun untuk melampiaskan kekesalannya. Darren menghela napas pendek, lalu menghadapkan tubuhnya ke arah Cleo. Tanpa kata dia melangkah arah meja yang terletak disisi kiri ranjang Cleo, kemudian menaruh mangkuk itu serampangan lalu berbalik hendak berjalan menuju pintu. Sepeninggal Darren, kedua kaki Cleo langsung ditarik untuk ditekuk di atas ranjang, kemudian tubuhnya ditegakkan lalu punggungnya sedikit dibungkukkan sementara wajah Cleo ditelungkupkan di permukaan ranjang, tertawa terbahak-bahak disana. Cukup lama dirinya tertawa seorang diri, sebelum sebuah suara pintu terbuka mengalihkan perhatiaannya. Cleo mengangkat wajahnya, memiringkan kepalanya lalu menoleh ke asal suara. "Naomi, ada apa?" tanya Cleo lembut sambil menegakkan punggung sepenuhnya. Naomi membungkukkan punggungnya, memberi hormat dengan tenang. "Tuan muda, anda harus bergegas untuk membersihkan diri."  Cleo mengerutkan keningnya, "Untuk apa? Memangnya aku hendak kemana?"  "Tuan Darren hendak membawa anda pergi menemui nona Aurora. Sebab itulah anda perlu membersihkan diri... Perkataan Naomi tiba-tiba tersangkut di tenggorokannya saat merasakan tubuhnya ditubruk keras dan sepasang tangan mungil secepat kilat melingkari pinggangnya. Tanpa perlu menoleh, dia sudah mengetahui bahwa Cleolah yang tengah memeluknya saat ini. Ada senyum tulus yang muncul di bibir Naomi sebelum kemudian mendorong pundak Cleo perlahan, menatapnya lembut. "Ayo tuan muda, bersiaplah untuk menemui ibumu."  Kata-kata itu membuat senyum Cleo mengembang sedetik setelah wajahnya mendongak ke arah Naomi. “Sungguh? Apa ayah mengatakan hal itu padamu?’ “Tentu saja. Apakah tuan muda sedang meragukan perkatanku?” Tanya Naomi melempar senyum menggoda. Senyum Cleo semakin melebar, tetapi matanya menyipit penuh perhatian. “Jangan menyebutku tuan muda. Harus berapa kali lagi aku mengatakannya padamu.” Sambungnya kemudian dengan wajah cemberut. Perkataan Cleo itu membuat Naomi terdiam, sekejap, hanya sekejap saja Naomi tertegun lalu mengulas senyum manis lagi di bibirnya.  “Lebih baik anda bersiap-siap. Tuan Darren akan sangat marah besar jika saya belum juga melaksanakan perintahnya.” Naomi langsung meraih tangan Cleo lembut, sengaja mengalihkan topik perbincangan mereka. Dengan wajah yang masih cemberut, Cleo menurut. Dia melangkah malas ketika Naomi membawa dirinya menuju kamar mandi. Perempuan itu selalu saja memiliki cara untuk menghindari segala pertanyaannya. Tentu saja Cleo sudah mengetahui bahwa Darrenlah yang telah menciptakan batas-batas antara dirinya dan pelayan perempuan itu. ______________________________________________________________________________ “Kau yakin kita akan aman jika bergerak malam ini?” Darren berucap tanpa ekspresi tetapi ada kesungguhan di dalam matanya yang langsung terbaca oleh Anthonio. Dia memang tidak bisa memahami Darren karena lelaki itu tidak memiliki perasaan tetapi dia mengerti maksud dari setiap tatapan Darren. Seperti saat ini, lelaki itu tidak bertanya namun memerintah. “Saya sudah memastikan tuan, begitupun dengan segala resikonya jika kita mengalami kegagalan.” Sahut Anthonio penuh percaya diri.  Darren mengangkat alisnya, “Kau mengenalku bukan? Aku tidak memiliki toleransi dengan kegagalan.” Tatapannya berubah tajam, menghunus ke dalam mata Anthonio. “Baik tuan, saya mengerti.” Jawab Anthonio dengan pasti tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Darren menganggukkan kepala, menatap Anthonio dengan pandangan menilai, lalu memberi isyarat  supaya mendekat padanya. Anthonio mengangguk patuh, lalu melangkah mendekat ke arah Darren. Kepalanya masih menunduk, tidak berani menatap Darren secara langsung. “Angkat wajahmu dan dengarkan baik-baik perintahku.” Ujar Darren dengan suara dingin tiba-tiba yang langsung disanggupi oleh Anthonio. Anthonio menelan kegugupannya dan berusaha untuk menengkan diri ketika berhadapan dengan mata biru tajam itu. Baru kali ini jantungnya berdebar keras karena rasa cemas yang sangat tetapi sekuat tenaga dirinya menahan debaran menyiksa itu dan menyembunyikan kegugupannya di wajah datarnya. Darren kembali mengamati Anthonio dari ujung kaki hingga ujung kepala sebelum kemudian berucap. “Jangan membunuh mereka tanpa seizinku. Pergunakan terlebih dulu otakmu sebelum ototmu. Bawa mereka padaku hidup-hidup setelah itu biarkan aku yang memutuskan apa yang harus kau lakukan selanjutnya.”     Hai hai.... Kami kembali, hihihi Teman- teman jangan lupa tap love yah, gak maksa sih. Kalau menarik di hati readers sekalian gpp dong love nya di tap.? Maaf kalau gak post tiap hari sebenarnya lagi nunggu ACC kontrak dulu. Doain yah cepat Clear, biar up terus deh.... Oh iah kalau ada saran dan masukan boleh banget loh, dipersembahkan untuk memberikan komentar yang positif di novel ini. Terimakasih semuanya, sampai jumpa di next chapter ✌️?                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD