Tertunduk Di Bawah Kekuasaan

1540 Words
"Bahkan tatkala kebencian menebar keanggunannya, hati pun tetap terpesona. Keanggunan yang sungguh membuat bertekuk lutut padanya. Sebab ibarat matahari yang terduduk dengan kepongahan di singgasana emasnya, terasa panas membakar tubuh, tetap saja bumi menantikannya. Seperti diriku, yang telah diracuni luka namun tetap memilih untuk berani mencinta." _____ Dee, Stuck With You Darren melangkah cepat dengan ekspresi menggelap. Auranya sungguh membuat ruangan itu seperti nuansa horor yang mencekam, begitu ngeri dan menakutkan. Seluruh pengawal yang bertugas di depan pintu segera membungkukan punggungnya kemudian membuka pintu. Sungguh degup jantung mereka hendak melompat saat merasakan aura Darren yang mengerikan. Bahkan punggung mereka pun tidak berani ditegakkan meskipun Darren telah berlalu, memasuki rumah. Seolah udara tampak enggan beranjak dan tetap meninggalkan aura menakutkan Darren disana. Sementara Antonio yang sudah terbiasa dengan sikap Darren hanya memasang wajah datar. Tidak ada ketakutan di wajahnya, dia berjalan dengan tenang mengikuti langkah Darren yang hendak menuju ruangan khusus. Anthonio mengetahui itu, dengan sigap dia melangkah cepat untuk mendahului Darren lalu menempelkan telapak tangannya dan membuat pintu besi itu bergeser. Anthonio membungkukkan badan dengan tunduk memberikan ruang supaya Darren melangkah masuk. "Pergilah. Aku ingin sendiri." ucap Darrn dengan suara dingin tanpa menoleh kepada Anthonio. "Baik tuan." sahut Anthoni kemudian segera menyingkir dari hadapan Darren. Bunyi klik seketika menyapa indera pendengaran Darren setelah dirinya berada dalam ruangan itu. Cahaya dari sinar lampu temaram langsung menerpa ketika Darren memberikan perintah tegasnya. Ruangan yang dipenuhi dengan berbagai persenjataan lengkap itu membuat kemarahan Darren sedikit berkurang. Tampaknya untuk saat ini Darren hanya perlu mengeluarkan sedikit keringat supaya bayang-bayang Aurora entah dari pikirannya. Darren menipiskan bibir, memandangi seluruh senjata yang menempel di dinding dengan seksama. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk membawa Aurora kedalam ruangan ini kemudian menunjukkan keahliannya dalam bermain pisau ataupun senjata. Membayangkan perempuan itu menjerit keras karena ketakutan sungguh membuat hati Darren meluap bahagia. Tetapi Darren menahan diri, akan ada saatnya memberikan pelajaran yang sangat penting untuk perempuan itu. Nanti. Yah, suatu saat nanti. "Ada apa dengan wajah cantikmu ini?" Aurora yang sedang berdiri dengan tatapan kosong langsung terhenyak ketika mendengar sebuah suara. "Astaga Jason, apa kau sungguh ingin membunuhku?" sahut Aurora melempar tatapan kesal lalu melanjutkan pekerjaannya untuk membersihkan meja. Mendengar itu, Jason langsung mengerutkan dahi, memiringkan kepalanya hendak menatap wajah Aurora. "Kau belum membalas pernyataan cintaku. Bagaimana mungkin aku membiarkan mu pergi terlebih dulu." Jason berucap gamblang, tidak memperdulikan wajah Aurora yang cemberut. "Kau menjengkelkan. Sudahlah Jason, berhenti menggodaku. Aku masih ingin tetap bekerja di kafe ini." jawab Aurora dengan ketus, sengaja mengalihkan pembicaraan dari topik yang tidak menyenangkan itu. Jason menipiskan bibirnya, "Siapa yang berani memecat mu? Apa kau lupa, akulah pemilik kafe ini. Jika ada yang berani mengganggu mu, katakan padaku. Aku ku tunjukkan seberapa besar pengaruh ku di kota ini." sambungnya dengan sikap pongah yang sengaja ditunjukkan. Aurora memutar bola matanya, tidak berhenti bersungut-sungut melihat sikap Jason. "Pergilah. Kau semakin merusak suasana hatiku." sambung Aurora yang tanpa sadar telah melemparkan kecurigaan pada Jason. "Merusak suasana hati?" Jason berucap sambil memandangi wajah Aurora, "Ada apa denganmu? Terjadi sesuatu di panti?" Aurora langsung melayangkan tatapan datar pada Jason, berusaha untuk terlihat baik-baik saja. "Tidak. Aku baik-baik saja. Apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau bisa berkata seperti itu?" jawab Aurora dengan melempar pertanyaan. "Sungguh? Kau sedang tidak menyembunyikan sesuatu dariku bukan?" Jason menyipitkan matanya hendak menilai keseluruhan ekspresi Aurora. "Tentu saja tidak. Percaya saja padaku, semuanya sangat baik. Aku mungkin hanya kelelahan saja." Aurora mengulas senyum tipis, untuk menyembunyikan perasaannya. Jason bergeming, membiarkan tatapannya lekat ke wajah Aurora. Dia menghela napas pendek saat tidak menemukan ekspresi yang berbeda dari wajah Aurora. Perempuan itu selalu saja seperti ini, sangat pintar menyembunyikan perasaannya hingga membuat Jason kesulitan untuk memahaminya. "Baiklah. Jika terjadi sesuatu padamu segera katakan padaku. Jangan sampai kau berani berbohong atau merasa sungkan padaku. Kau mengerti?" dengan nada tegas Jason berucap, menyelipkan ancaman disana. Aurora menegakkan punggungnya lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat-cepat. Jason tersenyum simpul, senyum manis yang terpatri di wajah Aurora sungguh membuatnya dadanya berdebar memuja. Perempuan itu hanya mengenakan pakaian pelayanan yang kebesaran tetapi kecantikannya sungguh mampu menyilaukan mata dan membuat sekumpulan bunga tampak iri. "Cantik sekali." Aurora mengerutkan dahi ketika telinganya menangkap suara Jason yang terdengar samar-samar. "Kau bilang apa?" tanyanya ingin memperjelas. Pipi Jason langsung merona karena malu. Dia berdehem kecil untuk mengusir kecanggungan yang melanda sebelum kemudian berkata. "Tidak ada. Lanjutkan saja pekerjaan mu." ucapnya dengan suara datar. Aurora menganggukkan kepala sekali lagi, kemudian kembali memfokuskan perhatian kepada pekerjaannya. "Aurora?" "Hm?" jawab Aurora tanpa perlu menoleh kepada Jason. "Bagaimana jika kita pergi bersama untuk menjemput Ken dan Shasa. Aku sudah lama tidak bertemu dengan kedua bocah nakal itu." Jason berujar sambil mempelajari ekspresi Aurora, menyiapkan diri dengan baik jika saja Aurora menolak permintaannya. "Ide yang sangat bagus. Kita akan mampir sebentar ke sekolah Ken dan Shasa. Mereka juga pasti sangat merindukanmu." Seketika jawaban tegas Aurora langsung membuat wajah Jason berbinar cerah. Bibirnya mengulas senyum lebar karena rasa bahagia yang meluap. Jantungnya yang bertalu kencang sangat sulit diredakan hingga membuatnya kesulitan berkata-kata untuk sesaat. "Oke. Aku... aku akan menyiapkan diri terlebih dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Aurora, Jason langsung membalikkan badannya melangkah dengan tergesa menuju ke arah lift. Sungguh sesuatu hal yang langka, Aurora benar-benar memenuhi permintaannya. Jason hampir berteriak keras karena senang tetapi keadaan kafe yang sangat ramai siang itu mengharuskan dia untuk menahan diri. Sementara Aurora yang menatap kepergian Jason hanya mengerutkan keningnya bingung. Setelah lelaki itu lenyap dari pandangannya Aurora mengedikkan bahunya kemudian kembali membalikkan badan ke depan. "Bukankah ayah sudah keterlaluan?" Suara Cleo yang berujar tiba-tiba dari arah tangga membuat langkah Darren yang hendak menuju meja terhenti. Dia membalikkan badan, mengangkat alisnya ke arah Cleo. "Jaga sikapmu Cleo. Jangan melewati batas." sahut Darren datar kemudian membalikkan badan. "Bukankah sikap yang kumiliki saat ini adalah hasil didikan seorang tuan Light? Di usiaku yang masih 9 tahun kau bahkan sudah memperlakukan ku layaknya lelaki dewasa seusia mu. Jadi sikap mana yang anda maksud telah melewati batas?" Darren mengepalkan tangannya, menahan emosi yang mulai memuncak di ubun kepalanya. Matanya memandang bergerak memindai keseluruhan ruangan itu. Dan tanpa perlu memberi perintah seluruh pengawal dan pelayan sekaligus meninggalkan ruangan itu, tidak ingin terkena imbas dari kemarahan Darren. "Sekali lagi ayah katakan jaga sikapmu Cleo." sambungnya dengan geraman. Cleo menipiskan bibirnya, kemudian menjejalkan kakinya untuk menapaki lantai itu, berjalan mendekati Darren. "Kenapa kau membenci Aurora? Dia perempuan yang sangat baik. Aku menyukainya." ujar Cleo lantang, melupakan sikap formal diantara mereka. Mendengar nada bicara Cleo yang sudah melewati batas, Darren langsung membalikkan badan, menatap tajam kepada lelaki yang memiliki keseluruhan wajahnya itu. "Kau? " tanyanya mengulangi sikap lancang Cleo, "Aku ini ayahmu, kenapa kau memanggil ayah dengan sebutan kau. Dimana sopan santun yang telah ku ajarkan padamu." tanya dengan suara sedikit keras. Cleo bergeming, tidak memperdulikan amarah Darren yang siap meledak. "Kau hanya mengajarkan ku bersikap layaknya bangsawan. Membekaliku dengan pedang dan pistol seperti seorang pangeran yang telah disiapkan untuk kemudian hari melanjutkan tahta raja. Tetapi... kau tidak pernah membekaliku dengan kasih sayang. Aku hidup dengan kemewahan yang hampa tanpa ada cinta disana. Bukankah aku ingin sungguh menyedihkan ayah?" Cleo memutuskan untuk mengungkapkan seluruh perasaannya, memberi penekanan kuat di akhir kalimatnya. "Aku hanya menginginkan seorang ibu." sambungnya dengan suara gemetaran. Darren tertegun, baru kali ini jantungnya berdebar kencang karena rasa bersalah yang mendalam. Ketika melihat mata biru Cleo yang berkaca-kaca, hati Darren seolah diremas kuat, membuat napasnya sedikit tercekat. Kerinduan yang terlihat jelas di mata Cleo membuat Darren kehilangan kata, otaknya tidak lagi mampu bekerja untuk menyusun kalimat. "Tapi kau, yang dengan kejamnya mengangkat tanganmu dan melukai perempuan rapuh itu. Perempuan yang membuatku benar-benar merasakan kehadiran ibu. Kau hampir membunuhnya." Cleo kembali berucap setelah keheningan yang lama melanda diantara mereka. Mendengar itu, Darren hanya mampu membalas tatapan Cleo dengan mulut yang terkatup rapat. Tidak bisa mengelak dari kenyataan yang menohok kedalam hatinya. Darren mengangkat tangannya untuk mengusap wajahnya seolah frustasi. Kemudian melepas napas kasar sebelum kemudian berucap. "Cukup. Ayah sedang tidak ingin membahas perempuan itu." putus Darren dengan ekspresi gusar kemudian membalikkan badan. "Tidak bisakah ayah menikahinya? Aku menginginkan Aurora menjadi ibuku." Perkataan Cleo yang sama sekali tidak pernah diduga olehnya sekali lagi lagi berhasil menghentikan langkahnya. Rahang Darren mengeras, Cleo sudah keterlaluan dan kali ini dia harus bersikap tegas supaya lelaki itu tidak asal bicara tanpa perlu menimbang. "Ayah bilang hentikan Cleo!" Suara teriakan Darren yang tiba-tiba menggema sedikit menghadirkan ketakutan di dalam benak Cleo. Kakinya perlahan mundur ketika melihat Darren melangkah semakin mendekat padanya. "Kau sudah keterlaluan." sambung Darren dengan mendesis lambat-lambat. "Kau sangat tahu bahwa ayah membenci pernikahan. Dan kau malah dengan mudah menyuruh ayah untuk menikahi perempuan itu. Apa kau tahu, kelancangan mu ini sungguh membuat ayah ingin segera melenyapkan perempuan sialan itu." Cleo menghentikan langkahnya ketika kaki belakangnya telah membentur sisi ujung tangga. Di bawah tatapan Darren yang memerah seolah hendak menerkamnya hidup-hidup membuat Cleo harus menahan napas karena rasa takut. Cleo memejamkan mata berusaha untuk menenangkan dirinya. Lalu entah keberanian darimana Cleo mengangkat kepalanya, melempar tatapan tak kalah tajam kepada Darren "Coba saja. Coba lenyapkan Aurora, maka di detik itu pula aku akan menembak kepala ku sendiri. Lebih baik aku menyusulnya daripada harus hidup dengan ayah kejam seperti mu." sahutnya pelan dan lambat-lambat, memastikan bahwa Darren memahami perkataannya. "Karena itu menikahlah dengan Aurora, jika kau menolak, aku akan mengakhiri hidupku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD