Pertemuan

1703 Words
Lengkaplah sudah luka ini menghujam, mengurungku di sangkar emas bertahtakan air mata. Terkulai lemas tak berdaya di singgasana mu, melewati detik tanpa tujuan. Dalam derap gerimis yang pongah, sengaja ku basuh pipi ku yang memerah. Pada tanah yang gersang nan tandus, sengaja ku tanam bunga Indah berduri. Menyusupkan sebaris kata penuh dendam Menenggelamkan nurani di atas pengharapan yang pupus. Tentang luka yang menganga, Terselip namamu abadi disana. Di bawah kakimu, aku tersungkur tanpa nyawa. _____ Dee, Stuck With You. Aurora tertegun lama. Matanya terpaku pada sosok anak lelaki yang berdiri dengan tatapan memohon padanya. Sebersit rasa iba mulai menyusup di benaknya, entah apa yang terjadi pada cerita anak kecil itu tetapi Aurora dapat melihat jelas kerinduan yang di balut kesedihan di sorot mata biru itu. Aurora mengulas senyum lebar sebelum kemudian membungkuk di hadapan Cleo, ditopangnya tubuhnya dengan kedua lutut yang bertumpu di atas lantai. "Kenapa tidak boleh, tentu saja Cleo bisa ikut." ujarnya dengan tenang, mengusap kepala Cleo dengan sayang. Seketika itu pula kedua sudut bibir Cleo terangkat tinggi, memamerkan senyum lebarnya lalu tanpa sadar melingkarkan kedua tangan mungilnya di leher Aurora, menenggelamkan tubuhnya kembali kedalam pelukan hangat Aurora. "Terimakasih ibu." ucap Cleo dengan nada bersemangat, tanpa menghilangkan senyum lebarnya ketika menarik wajahnya untuk kemudian menatap Aurora. "Ayo kita pergi ibu." Cleo menarik tangan Aurora, membantunya untuk bangkit dari posisi bertumpu. Kehangatan. Hal yang pertama sekali menghayuti benak Aurora ketika jemari mungil Cleo menggenggam tangannya. Sejenak Aurora kembali tertegun, membiarkan lelaki kecil itu menuntun langkahnya dan menarik tubuhnya yang seolah kaku. Hingga ketika Aurora merasakan sentuhan lembut dari jemari mungil lainnya, kesadaran Aurora langsung kembali sepenuhnya "Shasa?" sambil menunduk kepala ke arah Shasa, Aurora berucap. "Kakak hampir melupakanku." ujar Shasa dengan memasang wajah cemberut. Dan ekspresi Shasa itu berhasil membuat Aurora tertawa keras, dia melepaskan tangannya perlahan dari genggaman Cleo, menatap ke arah lelaki kecil itu penuh arti. Cleo yang memahami isi dari tatapan Aurora, memutuskan untuk berdiam diri sambil mengamati interaksi antara Aurora dengan Shasa. "Putri tidur ku yang cantik, mana mungkin aku melupakan dirimu apalagi sampai meninggalkanmu. Ibu Amira akan menarik telingaku sampai merah nanti jika sampai aku melakukan itu." Aurora menyipitkan matanya, sengaja memasang wajah curiga. "Apa putri tidur ini akan merasa senang jika aku mendapat hukuman?" Mata bulat nan besar Shasa melebar saat itu juga, ekspresinya terkejut bercampur takut. Secepat kilat Shasa berlari untuk kemudian memeluk Aurora. Kedua tangannya dengan sigap melingkari pinggang Aurora sekuat tenaga. "Tidak boleh. Aku akan memarahi Ibu Amira jika kakak sampai mendapat hukuman." ucapnya dengan suara tegas. Aurora terkekeh pelan kemudian mengusap kepala Shasa dengan lembut. "Ayo lebih baik kita pergi. Cleo sudah lama menunggu kita." sambungnya kemudian sambil melempar senyum ke arah Cleo. Shasa menurut, menarik wajahnya lalu menoleh kepada Cleo. Dengan sikap posesif dia meraih tangan Aurora, memasang wajah kesal ketika berkata. "Hei rambut emas, kau tidak boleh terlalu menyukai kak Aurora yah. Aku sangat tidak suka berbagi, kau mengerti tidak?" ujarnya kemudian. Cleo menipiskan bibirnya, perempuan kecil ini sungguh berani menggertaknya bahkan tidak takut sedikit pun padanya. Cleo melirik jalinan tangan itu, menatap dengan mencemooh sebelum kemudian melangkah maju dan meraih tangan kiri Aurora. "Kita sudah impas sekarang. Ayo cepat jalan, jangan banyak berceloteh." ucapnya menarik tangan Aurora terlebih dulu. Shasa melangkah dengan menghentakkan kakinya sementara bibirnya tidak berhenti untuk mendumal. Aurora yang terfokus pada Shasa tidak menahan diri untuk tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengenggam erat kedua tangan yang berada di sisi kiri dan kanannya kemudian melangkah bersama. Tampak senyum kebahagiaan menghiasi wajah mereka, Cleo bahkan tidak berhenti untuk mendongak, menatap wajah Aurora yang menoleh ke arah Shasa. Ada perasaan hangat yang memenuhi hatinya, sesuatu yang bahkan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Langkah kaki mereka telah mencapai gerbang sekolah, Aurora berhenti sejenak lalu menoleh kepada Cleo. Sebelum Aurora berkata, dahinya berkerut hendak menimbang-nimbang kalimat yang tepat untuk diucapkan. Sebab melihat dari pakaian dan kulit Cleo, terlihat jelas bahwa lelaki kecil itu bukan berasal dari kalangan seperti dirinya dan Shasa. "Cleo?" "Ya ibu?" sahut Cleo dengan nada lembut. Senyum Aurora langsung melebar, ditatapnya penuh cinta kepada Cleo sebelum kemudian berkata. "Apa kau tidak keberatan jika kita berjalan kaki?" "Tidak masalah." Cleo menyahut cepat dan dengan tegas. "Jangan khawatir ibu, aku ini seorang lelaki. Hanya berjalan kaki saja tidak akan membuatku pingsan." sambungnya penuh percaya diri. "Angkuh sekali dia. Awas saja jika kau merengek akan ku tendang bokongmu." jawab Shasa dengan ketus, membuat Ekspresi Cleo mengeras. "Memangnya aku terlihat seperti perempuan! Ayah ku tidak mengizinkan ku untuk menjadi seorang lelaki lemah seperti kaum perempun." hardik Cleo dengan d**a naik turun karena emosi. "Apa maksudmu! Kenapa kau menatap ku dengan mata biru mengerikan itu! Dasar cengeng." sahut Shasa tak kalah emosi. Persetan dengan segalanya, Cleo melepaskan genggamannya dari tangan Aurora kemudian melangkah cepat ke depan Shasa dan mendorong perempuan kecil itu hingga terjatuh di lantai. Aurora yang menyaksikan semua itu seketika melebarkan mata, ekspresinya syok bercampur terkejut. Perlahan dia menoleh ke arah Cleo, menatap horor pada lelaki kecil itu. Entah mengapa aura yang menguar dari Cleo tampak menyeramkan, dirinya bahkan hampir tidak mengenali sosok Cleo saat ini. Kesadaran Aurora terenggut paksa ketika mendengar suara isak tangis, dia langsung berjongkok dihadapan Shasa, membantu perempuan kecil itu untuk berdiri. "Apa yang kau lakukan Cleo! Mengapa kau menyakiti Shasa." dengan nada tinggi Aurora berujar, ada kilat kemarahan di matanya. Namun sayangnya Cleo sama sekali tidak terpengaruh, dia malah memasang wajah tenang seolah tidak terjadi apa-apa. "Perempuan kecil ini menghinaku." sahutnya tanpa ekspresi. Cleo sangat sadar bahwa apa yang dilakukannya itu sungguh keterlaluan. Meskipun begitu hatinya yang keras sama sekali tidak merasa tersentuh dengan adegan tangis mengharukan di hadapannya. Namun ketika menyadari tatapan mata Aurora yang menyala karena amarah, Cleo merasakan kesedihan yang sangat di hatinya seolah perasaan hangat yang memenuhi hatinya sudah lenyap tersapu angin, menyisakan kehampaan disana. "Apa? Bagaimana mungkin kau mengatakan hal itu sementara Shasa sama sekali tidak menghinamu." Aurora berujar suara yang sedikit menggeram. "Dia menghinaku ibu! Dia mengatakan aku ini cengeng seolah-olah aku adalah lelaki lemah!" tambah Cleo berteriak. "Dia tidak menghinamu Cleo. Berhenti untuk selalu menyalahkan Shasa. " Aurora menyela cepat, menarik Shasa merapat kepadanya. "Sikapmu sungguh keterlaluan. Kau hanya seorang anak kecil tetapi dengan berani menghina kaum perempuan. Kau mengatakan kaum perempuan lemah dan bersikap seolah kami tidak pantas untuk dibandingkan dengan para lelaki. Aku benar-benar tidak mengerti darimana kau mendapatkan pemahaman seperti itu. Kau seperti tidak memiliki sopan santun dan berperilaku seenaknya. Kau sangat sombong Cleo, aku menyesal sudah sempat menaruh rasa sayang padamu. Nyatanya kau sama saja seperti kaum bangsawan lainnya, begitu angkuh dan tidak punya hati." sambungnya kemudian memberi penekanan di akhir kalimat. Kalimat Aurora yang diucapkannya dengan cepat dan gamblang membuat Cleo tertegun. Matanya yang biru menatap Aurora dengan berkaca-kaca, dia bukanlah seorang yang bodoh, Cleo sangat memahami setiap makna di balik perkataan Aurora. Dan sayangnya kalimat Aurora sama seperti ribuan panah yang menembus d**a Cleo, mengukir luka menganga disana. Karena itulah Cleo menundukkan kepalanya membiarkan pipinya dialiri sungai-sungai kecil nan hangat. Sejenak Aurora tertegun, mengigit lidahnya yang tak bertulah namun berpotensi untuk menyakiti. Ketika melihat punggung Cleo bergetar karena tangis ada rasa kekecewaan bercampur sedih yang menyusup di hati Aurora. Ingin rasanya Aurora menarik tubuh kecil itu kemudian merengkuhnya kedalam pelukannya yang hangat. Perlahan dan hati-hati Aurora melepaskan tangan Shasa dari genggamannya, melangkah maju untuk mendekati Cleo. Namun langkah Aurora langsung berhenti ketika mendengar sebuah suara dingin tepat di belakang Cleo. "Aku pasti akan membuat mu sangat menderita perempuan." Seketika itu juga kepala Aurora mendongak dan langsung disuguhkan pada sosok lelaki tampan bermata biru tajam yang juga sedang menatapnya. Dahi Aurora berkerut sementara kebingungan tampak jelas di matanya. Sementara Darren yang sejak tadi menyaksikan interaksi Cleo dan kedua perempuan itu tidak menahan diri untuk melangkah maju mendekati mereka dengan gerakan mengancam. Ekspresinya menggelap seolah menahan amarah yang siap meledak. Darren berdiri di samping Cleo sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sebelum kemudian menarik lelaki kecil itu ke belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan pada putraku." ucap Darren dengan mengatupkan rahangnya. "Putra? Cleo putramu?" tanya Aurora seolah tidak percaya. Darren menipiskan bibirnya, ada sinar sinis mengerikan di matanya ketika berkata. "Namanya Cleo Eileen Light, putraku Darren Criss Light seorang pengusaha kaya raya yang pastinya memiliki pengaruh kuat di seluruh dunia ini. Apa itu cukup menyakinkan mu?" Mata Aurora memandangi wajah Darren seksama, dia menipiskan bibirnya menyelipkan senyum mengejek di sana. Kini dia mengetahui asal dari kesombongan Cleo ternyata lelaki ini pun turut mengagungkan diri dan sikapnya yang begitu pongah sungguh membuat Aurora jengkel. Dia sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan tatapan mengancam Darren malah Aurora sengaja mengangkat dagunya ketika berkata. "Maaf tuan, tapi aku sama sekali tidak peduli akan hal itu. Kau telah membuang tenaga mu secara percuma karena aku sama sekali tidak terkesima." Rupanya keberanian Aurora yang secara gamblang berhasil mengobarkan api kemarahan Darren. Di detik yang sama ketika Aurora menyelesaikan kalimatnya, telapak tangan Darren langsung menempel di leher Aurora untuk kemudian mencekiknya sekuat tenaga. Matanya berkilat merah sementara ekspresinya mengeras, Darren sama sekali tidak memperdulikan suara raungan tangis Shasa dan juga Cleo. Lelaki itu seperti monster ganas yang siap untuk meremukkan seluruh tulang yang menempel di tubuh Aurora. Dengan perlahan tanpa melepaskan tangannya dari leher Aurora, Darren membawa wajahnya untuk kemudian berbisik di telinga Aurora. "Ketahuilah wahai perempuan, aku sangat membenci jenis perempuan seperti mu. Terlihat seperti macan ganas dan menyeramkan namun dalam sekejap akan berubah seperti kucing jinak hanya karena sedikit sentuhan lembut. Mulai detik ini ku pastikan bahwa air mata kehancuran akan selalu menetes di pipimu hingga kau memilih untuk menyerah dan mati. Itu adalah harga yang pantas untuk air mata putraku." Welcome to my new story... Terimakasih buat yang sudah baca apalagi yang sudah tap dan juga yang udah kasih komentar. Buat yang belum baca buruan baca, soalnya novel ini gak kalah seru sama novel sebelumnya....hehhehe Jadi teman-teman novel ini yang akan menemani kalian karena Ella dan Liam akan segara tamat, semoga kalian suka yah... dan mohon sekali untuk meninggalkan komentar yang positif yah... jika ingin menjadi silent reader juga tidak apa-apa, saya sangat menghargai itu. Dan semoga cerita ini bermanfaat yah teman-teman. Terimakasih untuk semua support nya yah... Maaf saya gak bisa balas apa-apa selain berterimakasih... Love you guys❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD