Pipi Merona Malu Karena Tergoda

1673 Words
"Di remang cahaya malam, saat langkah ku sedikit terlambat. Aku tahu hatimu tak pernah menginginkan, namun apa daya, hasrat kutahan, berderai. Aku tahu ini bukan awal kasih, bukan pula akhir. Namun hadirmu datang temani sepi, malah semakin ku merasa sendiri. Jauhnya raga berkelana, seperti mencari harapan diatas keresahan, tanpamu, aku seperti raga yang kosong." _____Dee, Stuck With You Happy Reading Guys. "Bagaimana rasanya?" Jason menatap Ken dan Shasa yang sedang menikmati ice cream secara bergantian. Tampak kecemasan yang sangat melumuri matanya. Jason bahkan menahan napas sejenak hanya untuk menanti jawaban dari Ken dan Shasa. "Rasanya seperti ice cream. Memangnya apalagi?" Musnah sudah. Suara dingin Ken yang seolah mengalahkan es kutub langsung membuat Jason mendengkus. Lelaki itu selalu berhasil merusak suasana hatinya. "Kau benar. Rasanya memang seperti ice cream." Jason menyahuti dengan wajah kesal kemudian memasukkan potongan ice cream besar itu ke dalam mulutnya. Shasa terbelalak, hampir saja tersendat ludahnya sendiri. "Bagaimana kau melakukannya? Apa kau sedang ingin bermain sirkus? Mulutmu besar sekali, kau bahkan tidak menggigit ice cream itu sama sekali." Dengan keadaan mulut yang masih penuh Jason menoleh ke arah Shasa. "Ice cream tidak digigit tetapi dijilat." sambungnya kemudian. Mendengar itu, Ken langsung memasang wajah bingung seolah berpikir keras. "Apa kau bermaksud pada sesuatu yang asing?" tanyanya dengan nada penasaran, "Hanya bisa dijilat tetapi tidak untuk digigit." Detik itu juga, Jason terbatuk oleh ludahnya sendiri. Dadanya seolah terhimpit hingga membuat napasnya sedikit sesak. Mata Jason berubah tajam ketika memandang ke arah Ken. "Apa yang kau katakan. Hentikan pikiran kotor mu." hardik Jason dengan suara sedikit keras. Ken sungguh memiliki kecerdasan yang paling tinggi diantara anak-anak panti. Itulah kenapa bocah itu tampak jauh lebih dewasa dan selalu mencerna dengan baik setiap perkataan. Dan Jason mengerti maksud lelaki itu, Ken tengah membicarakan hal m***m yang disimpulkan dari pengamatannya sendiri. Ken menipiskan bibirnya, melempar tatapan sinis pada Jason. "Apa kau pernah mencobanya?" Jason tergeragap, matanya sedikit melebar dipenuhi rasa syok. Ada rona merah yang menjalar di tulang pipinya, membuat Jason terpaksa harus menundukkan kepala karena malu. "Apa yang sedang kalian bicarakan." Ketiga orang itu menoleh serempak ke pemilik suara. Shasa melebarkan senyumnya ketika melihat keberadaan Aurora. Kemudian dia menggeser tubuhnya, sedikit merapat pada Ken, memberi ruang pada Aurora untuk duduk. "Duduklah di sampingku Aurora." ucap Shasa sambil menepuk-nepuk kursi berbahan kayu jati itu. Aurora tersenyum lembut kemudian mengambil duduk di sebelah Shasa. Segera setelah itu, Shasa langsung menggeser kembali tubuhnya, merapatkan pada Aurora. "Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan? Tampaknya begitu serius hingga aku harus menebaknya sendiri." Aurora berujar dengan sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat ke arah Ken dan Jason. Sejenak keheningan melanda, suasana begitu canggung hingga membuat Jason berdehem kecil untuk membelah suasana yang tidak mengenakkan itu. "T-tidak ada. Hanya perbicangan sesama lelaki saja. Jangan khawatir, kami tidak membicarakan hal-hal yang serius." sahut Jason, berungkali menghela napas menahan rasa gugup. Ken mengangkat alisnya, lalu menoleh ke arah Jason. "Jason mengatakan hal yang benar Aurora, kami hanya membicarakan tentang prinsip seorang lelaki." sahut Ken tersenyum penuh arti. Aurora mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh kedua lelaki berbeda usia itu. Tetapi saat melihat wajah Ken yang datar seperti biasa, Aurora mengusir segala firasat buruk itu. Jason tidak mungkin berbohong, anak itu selalu bicara jujur padanya. "Kalian sudah selesai? Kita harus segera pulang, hari mulai sore. Ibu Amira akan mencemaskan kita nanti." ditatapnya ke arah Ken dan Shasa penuh ingin tahu kemudian. "Cepat habiskan ice cream kalian." Shasa mengangguk cepat, menuruti perkataan Aurora dengan segera. "Kenapa cepat sekali pulang? Apa kalian masih tidak ingin berjalan-jalan di taman ini?" tanya Jason tiba-tiba dengan wajah cemberut. "Tidak. Kami tidak bisa membantah perkataan Aurora. Jika paman masih ingin berjalan-jalan, lakukan saja sendiri. Kami harus pulang, benarkan Ken." Shasa menyenggolkan bahunya di bahu Ken, membuat keasyikan Ken yang sedang menikmati ice creamnya terganggu. Ken menggeram, menatap Shasa dengan jengkel. Tampak jeda panjang yang terurai disana sebelum Ken menghela napas pendek lalu menoleh kepada Jason. "Ayolah Jason, jangan bersikap kekanak-kanakan. Perhatikan wajahmu, kau sudah seperti Shasa. Cengeng dan manja." Ken berujar dengan menyelipkan cemoohan yang kental, membuat mulut Jason menganga lebar tidak percaya. "Kenapa kau membawa-bawa namaku. Kalau aku manja dan cengeng, lantas dirimu apa? Kau sudah seperti lemari pendingin dua pintu saja. Kaku dan dingin." sahut Shasa tak mau kalah sambil melototkan matanya garang. Melihat pertikaian itu, Aurora segera beranjak dari duduknya kemudian melangkah maju dan berdiri di antara Ken dan Shasa. Kepalanya menunduk menatap ke arah mereka sementara tatapannya berubah serius. "Apa aku menyuruh kalian bertengkar? Kenapa kalian terlihat seperti kucing dan tikus. Benar-benar membuat ku jengkel saja." Setelah mengucapkan itu Aurora membalikkan badan, melangkah maju sambil menghentakkan kakinya hendak menuju mobil tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti saat mendengar suara dari balik punggungnya. "Aurora, kau mau kemana?" Jason memandangi punggung Aurora dengan kening berkerut. Aurora memutar bola mata, kemudian membalikkan badan dengan cepat. "Tentu saja ingin ke mobil. Menurut mu kemana lagi aku harus pergi." sahutnya dengan nada sedikit meninggi karena emosi yang mulai memuncak. "Ke mobil?" gumam Shasa pelan lalu memandangi wajah Aurora dengan dalam, "Mobil mana yang kau maksud Aurora. Bukankah mobil berada di... "Pergilah ke sebelah kanan. Mobil berada disana, yang hendak kau tuju itu adalah taman bermain untuk anak-anak seusia 7 tahun." Ken menyahuti cepat sebelum Shasa menyelesaikan kalimatnya. Pipi Aurora merah padam bukan main, rasa panas menjalar hingga ke lehernya. Tetapi dia berusaha mengabaikan kalimat menohok Ken dan memasang wajah datar sebelum kemudian mengikuti arahan Ken. Sementara itu, tawa membahana yang saling bersahutan langsung menguar dari ketiga orang itu. Ken bahkan melepaskan kontrol dirinya dan malah menikmati wajah Aurora yang merah padam karena malu. Untuk saat ini biarkan kelakuannya terurai, sungguh pemandangan yang sangat langka melihat Aurora malu-malu seperti itu. Jason membungkukan punggungnya karena tawa yang tak kunjung berhenti, masih jelas di ingatan Pipi Aurora yang memerah laksana api membakar, terlihat cantik sekaligus menggemaskan. Air mata bahkan mengalir di sudut matanya tanpa sadar. _______________________________________ "Ada apa?" Suara berat Darren yang tiba-tiba terdengar membuat pelayanan perempuan itu tersentak kaget. Dengan segera kakinya melangkah mundur kemudian membungkuk sopan ke arah Darren. "Ampun tuan, saya hanya membawa makanan kepada tuan muda. Akan tetapi sejak tadi tuan muda mengurung diri di dalam kamar dan tidak ingin keluar." sahut pelayan itu takut-takut. Darren mengangkat alisnya, memandang punggung yang masih membungkuk padanya. "Angkat punggung mu dan tatap aku saat bicara." perintah Darren tegas yang langsung dituruti pelayan itu. Rasa gugup bercampur ketakutan langsung membuat punggungnya menegang. Pasalnya tuannya itu tidak pernah membiarkan para pelayan menatap ke arahnya apalagi sampai berbicara langsung seperti ini. Darren terdiam sambil menilai, matanya yang awas tampak diturunkan sedikit untuk mencuri pandang ke bagian d**a perempuan itu. "Naomi?" Mata Naomi seketika terbelalak, dengan gerakan refleks punggungnya langsung membungkuk. Pantas saja tuannya itu menyuruh dirinya untuk menghadap ke arahnya ternyata hanya untuk mengetahui nama yang terpampang di bagian d**a kirinya. Ya. Setiap pelayanan wanita ataupun laki-laki yang bekerja disini, pasti akan diberi seragam dengan menempelkan nama masing-masing. Hal itu karena Darren sangat sulit untuk mengingatkan sebuah nama. "M-maafkan kelancangan saya tuan. Saya telah lupa memperkenalkan diri terlebih dulu sehingga membuat anda repot-repot memberi perintah." sambung Naomi kemudian dengan suara gemetaran lalu mencengkram pinggiran nampan itu. Darren menganggukkan kepala kecil, "Hm, tidak apa-apa. Berikan padaku nampan itu. Lanjutkan saja pekerjaan mu." Naomi menurut, kemudian menyerahkan nampan berisi makanan itu dengan hati-hati. Lalu Naomi membungkuk kembali sebelum kemudian berbalik, melangkah menuju tangga. Darren melirik makanan itu dengan sekilas. Kemudian langsung menempelkan kartu cadangan yang membuat pintu itu seketika terbuka lebar. Ekspresi datar ketika melangkah memasuki kamar Cleo tetapi matanya menajam. "Makan, Cleo." perintah Darren dengan suara mendesis. Cleo bergeming, sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari siaran TV itu. Acara kartun yang tersuguh di hadapannya seolah lebih menarik daripada harus menanggapi perkataan Darren. "Makan atau ayah akan memaksamu dengan kasar." sambung Darren kemudian kali ini kesabarannya mulai menipis. Perkataan Darren yang berisi ancaman itu berhasil mengalihkan sedikit perhatian Cleo. Dia melihat ke arah Darren dari sudut matanya, bibirnya mengatup rapat tidak ingin berucap. "Kau menolak?" Darren langsung meletakkan nampan itu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi nyaring. Cleo mendengus kesal, "Letakkan saja disitu. Aku masih belum lapar." Ekspresi Darren menggelap, rahangnya mengeras. "Cukup Cleo! Kau sudah sangat keterlaluan!" teriak Darren dengan kemarahan membahana. Cleo menurunkan kedua kakinya di karpet berbulu kemudian menggerakkan tangannya untuk melempar makanan itu. "Aku tidak mau makan!" teriak Cleo tidak mau kalah. Habis sudah. Kali ini aura panas dari kemarahan yang berkobar seketika menguar dari diri Darren. Dengan gerakan kilat Darren melangkah maju ke arah Cleo, menundukkan punggungnya sedikit untuk kemudian meraih dagu Cleo dengan jemarinya yang kokoh. "Jaga sikap mu. Hanya karena kau seorang Light bukan berarti aku akan melunak padamu. Makanan itu dihasilkan dari seluruh tenaga karyawan ku, bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah. Berani sekali kau membuangnya tanpa seizin ku." desisnya dengan suara kasar kemudian sedikit mengencangkan cengkramannya. Bibir Cleo menipis, matanya membalas tajam menantang dengan berani kepada Darren. "Apa makanan itu juga dihasilkan dari bisnis kotor mu? Berapa nyawa yang telah kau renggut untuk menghasilkan makanan itu?" Darren tertegun, matanya melebar karena keterkejutan. Tanpa sadar cengkramannya telah mengendur dari dagu Cleo. Perlahan punggungnya mulai menegak sementara pandangannya masih melekat pada Cleo. Jantungnya sendiri berdebar tak terkendali, merasa sangat terganggu dengan tatapan mengintimidasi Cleo. Padahal Cleo sama sekali tidak menaikkan nada bicaranya tetapi entah kenapa tiba-tiba jantung Darren berdebar kencang seolah ketakutan. "Malam ini ayah. Aku menginginkan jawaban malam ini. Ancaman ku masih berlaku, aku bersungguh-sungguh dengan itu. Aurora harus menjadi ibuku, dia sangat ku cintai." Cleo menyambung kemudian setelah jeda yang cukup lama. Hai hai.... Kami kembali, hihihi Teman- teman jangan lupa tap love yah, gak maksa sih. Kalau menarik di hati readers sekalian gpp dong love nya di tap.? Maaf kalau gak post tiap hari sebenarnya lagi nunggu ACC kontrak dulu. Doain yah cepat Clear, biar up terus deh.... Oh iah kalau ada saran dan masukan boleh banget loh, dipersembahkan untuk memberikan komentar yang positif di novel ini. Terimakasih semuanya, sampai jumpa di next chapter ✌️?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD