Hujan Terakhir Bersamamu

1561 Words
"Senandung lagu mendekap lirih romansa jiwa, benak menyapa raut wajah yang nyaris tenggelam. Dalam lautan mimpi sang penghirup malam, melawan hujan, mereguk jejak tanpa nama dunia. Dia yang mencoba membaca arah, dalam gelap, memanggil cahaya yang tersembunyi di balik aksara. Berdiri sendiri mencoba mengenal suara kerinduan, adakah dia disana masih terpaku menatap kenangan. Kemana kau akan berlari, melepas pagi dan mencoba memutar mentari. Apakah kau masih terlelap dan terus bermimpi, memuja cinta tanpa rasa haus duniawi. Kenangan hujan memanggilmu dan tetap memanggil namamu, meski luka mencoba menjauhkan dirimu dari putaran waktu masa lalu. Bulan disana masih merindukanmu, untuk kembali padanya, tanpa menghapus tangisan hujan di wajahmu."  ______ E. Natasha, Puisi Tentang Hujan Kedua. Happy Reading Guys. Pada sebuah malam yang menyimpan banyak cerita, ditemani hujan deras menandakan langit yang tak lelah menangis. Dua orang tengah bercakap-cakap dalam sunyi, tak sedikitpun suara mereka terdengar. Hanya sesekali terdengar gerakan tangan yang sedang membalikkan lembaran, kesejukan seakan membuat mata tak lagi terjerat rasa kantuk. Ada rona merah di ppi yang hadir tanpa malu, bibir mungil mulai mengulas senyum saat mendengar suara lembut itu seolah bersenandung. Di pangkuannya, perempuan cantik bermata hazel itu membaringkan kepala.  "Aurora, tolong ceritakan  dongeng tentang tuan puteri hujan." nada suaranya mulai bersemangat, mata hazel itu berbinar. Aurora tersenyum lembut lalu menenggelamkan jemarinya di kelembutan rambut Shasa. "Tuan putri hujan?" Apa kau bersungguh-sungguh ingin mendengarnya?"  Sasha menganggukkan kepala antusias, "Sangat. Aku sangat ingin mendengarnya. Ayo cepat ceritakan."  Wajah Sasha yang cemberut seolah merengek hendak menahan tangis, membuat Aurora terkekeh kecil, namun tiba-tiba ekspresinya berubah serius ketika berucap. "Baiklah. Tetapi kau harus berjanji, setelah ini kau akan tidur." "Tentu saja, Aurora adalah tuan putri. Maka aku harus menuruti apapun perintahnya." Shasa memamerkan senyum lebarnya, lalu meraih jemari Aurora untuk kemudian menautkan jari kelingkingnya di jari kelingking Aurora, seolah membentuk janji pasti.    Aurora tertawa singkat, lalu menundukkan wajahnya di wajah Shasa, mengecup dahi perempuan mungil itu penuh perasaan. "Baiklah, ayo kita mulai. Kau siap?" tanya Aurora sambil menaik turunkan alisnya hendak menggoda Sasha. Shasa hanya tersenyum tipis, tidak ingin menyahuti perkataan Aurora. Dirinya sungguh tidak sabar untuk mendengarkan dongeng klasik yang indah itu. Sementara Aurora memandangi wajah Sasha sejenak lalu berdehem kecil untuk menetralkan suaranya. Tatapannya tertuju penuh pada lembaran buku yang berisi dongeng pengantar tidur yang berada di tangannya. "Pada suatu hari, seorang Tuan Putri berdiri di bawah rintik air langit, matanya menerawang jauh ke dalam hutan, dia tak beranjak meski hujan semakin deras. Dedaunan bergoyang mengikuti tiupan angin kencang, mungkin sebentar lagi akan ada topan, namun tak sedikitpun terlihat gerakan yang ia tunjukkan. Ada apa gerangan?" Aurora menjeda sejenak sambil melebarkan matanya, seolah -olah terkejut, lalu kembali melanjutkan. "Pada saat yang sama dari dalam hutan seorang Pangeran tampan muncul bersama rombongan berkuda kerajaan, seekor kijang dengan panah menancap memberitakan akan keberhasilan berburu siang ini. Dimana kali pertama sang Raja Mulia mengijinkan anaknya untuk berburu.  Krena di usia 17 tahun dianggap cukup dewasa untuk membawa sendiri regu berburu kerajaan ke dalam hutan. Putra mahkota itu berhasil membawa dua ekor kelinci meskipun hal itu merupakan pengalaman pertama baginya. Senyum Pangeran terus mengembang meski rintik hujan membasahi bajunya, dia sama sekali tidak memperdulikan itu. Tiba-tiba..." Aurora sengaja menggantung hanya untuk menoleh pada Shasa, mempelajari ekspresinya. Bibir Aurora mengulas senyum tipis saat melihat keseriusan di wajah Shasa. "Pangeran berhenti mendadak saat dihadapannya kini berdiri seorang putri kerajaan, sendirian, membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Dia melangkah mendekati sang tuan putri, mengitarinya dengan dahi berkerut. Benarkah berita yang selama ini beredar, bahwa ada seorang tuan putri kerajaan yang membeku jika dia menyentuh air hujan? Walaupun bukti telah tersaji di depan mata toh Pangeran masih tetap tidak dapat mempercayainya begitu saja."   "Lalu apa yang terjadi pada tuan putri itu? Apakah dia ditinggalkan oleh pangeran?" suara Shasa yang tiba-tiba menyahut membuat mulut Aurora yang tadinya terbuka hendak melanjutkan cerita  langsung mengatup rapat. "Bersabarlah sayang. Cerita ini tidak akan selesai jika kau turut menyahuti." Aurora memperingati Shasa dengan lembut, memasang ekspresi pura-pura galak. Mendengar itu, Shasa hanya tersenyum tanpa dosa. "Maafkan aku Aurora. Aku sangat penasaran dengan ceritamu itu." "Dengarkan saja dengan baik. Supaya rasa penasaran mu segera terjawab." sahut Aurora kembali memfokuskan pikiran dan pandangannya kepada buku dongeng itu.  Sasha mengangguk patuh kemudian memasang telinganya dengan tajam, bersiap untuk mendengarkan kelanjutan kisah itu. "Kemudian sang pangeran memandangi wajah tuan putri dengan seksama lalu bergumam sendiri seolah berbicara dengan sang putri." Aurora berdehem kembali, lalu memasang ekspresinya serius, dan membuat suaranya sedikit membahana, menirukan suara lelaki sebisanya mungkin. "Tuan putri begitu ayu, parasmu seperti bunga. Lalu mengapa tubuh indahmu harus terbasahkan hujan dingin hingga ketulang? Apa yang telah terjadi padamu?" Aurora berdehem lagi untuk mengubah suaranya menjadi seperti semula. "Dan.. tepat ketika pangeran menyelesaikan kalimatnya, kedua mata tuan putri langsung terbuka, bola matanya berwarna biru bak berlian dari lautan dalam. Akan tetapi tatapannya menyiratkan kesedihan. Detik itu juga pangeran merasakan jantungnya berdetak tak menentu. Jemarinya diangkat hendak menyentuh kehalusan permukaan wajah sang putri namun seketika diurungkan saat sebuah suara teriakan yang berisi perintah tegas terdengar dari balik punggung sang pangeran. Pangeran segera membalikkan badan hendak menaiki kudanya, tetapi sebelum punggungnya berbalik, sang pangeran menyempatkan diri untuk  membungkuk di hadapan tuan putri memberi hormat kerajaan sebelum dengan berat hati meninggalkannya sendirian di tepi hutan, dimana hewan buas bebas berkeliaran." sambung Aurora kemudian, lalu menutupkan  lembaran buku dongeng itu pertanda cerita telah berakhir.  "Sekarang, giliranmu untuk memenuhi janji." ucap Aurora menyipitkan mata, memandang dalam kepada Shasa. Shasa bergeming, dahinya berkerut seolah hendak memikirkan sesuatu. "Pangeran itu sangat bodoh, mengapa meninggalkan tuan putri sendirian? Bukankah ketika merasakan jantung berdebar saat bertemu seseorang menandakan bahwa ada kemungkinan telah jatuh hati?" Pertanyaan itu seketika mengurungkan niat Aurora untuk berbaring, tangannya yang hendak menaruh buku dongeng ke atas meja langsung menggantung di udara. Aurora mengalihkan tatapannya ke arah Sasha dengan perlahan. "Darimana kau mengetahui hal itu?" tanya Salsa dengen ekspresi menyelidik, mencoba mencari jawaban di wajah Shasa.  "Tentu saja dari paman Jason. Dia yang mangatakan padaku, bahawa jantungnya berdebar keras setiap melihatmu. Ketika aku menanyakan alasannya, paman Jason malah mengatakan sesuatu hal yang aneh." jawab Shasa dengan mulus tanpa jeda sama sekali. "Sesuatu yang aneh? Apa itu?" Arora mengerutkan dahinya, melempar pertanyaan yang mendesak jawaban Shasa. Shasa menggigit ujung lidahnya, entah kenapa ada keraguan besar yang tiba-tiba menyusup di hatinya. Tetapi Shasa menggelengkan kepala, mencoba mengusir keraguan itu lalu membalas tatapan Aurora dengan berani.  "Paman Jason mengatakan bahwa dia telah lama menaruh hati padamu Aurora, paman Jason mencintaimu." ucap Shasa yang langsung membuat punggung Aurora menegang. Darren yang sedang disibukkan dengan kertas-kertas di hadapannya, menggeram kesal saat pikirannya tak mampu berkonsentrasi. Malam semakin menua, kecemasan yang sangat menghayuti benaknya saat ini. Dari balik jendela kaca itu, dia melihat bahwa hujan semakin bersemangat membasuh isi bumi. Setiap tetesannya seolah menghantarkan nuansa syahdu di hatinya. Darren memutuskan untuk beristirahat sejenak dari perkerjaannya, memundurkan punggungnya perlahan untuk bersandar di kursi. Pikirannya mengambang, membawa ingatannya pada pertemuan pertama dengan Aurora dulu. Darren tidak pernah menduga, Cleo bisa menaruh hati dan perhatian sedalam itu pada Aurora. Perempuan itu sangat kaku, kulitnya yang putih sama sekali tidak bersinar malah terlihat pucat seperti mayat. Entah mantra apa yang dimiliki Aurora hingga mempu mengurai kekauan Cleo dan membuat tergila-gila padanya. Darren menempelkan  jemari di dahinya untuk memijatnya pelan, rasa pusing yang melanda membuat suasana hatinya sangat buruk. Bagaimana mungkin dirinya mampu memenuhi permintaan Cleo? Menikahi Aurora? Tidak sedetik pun dirinya memikirkan kaum wanita lagi sejak menyadari bahwa cintanya telah ternoda. Darren menipiskan bibirnya, kemudian mendongakkan kepala menatap ke langit dinding yang terdiam membisu. Sayangnya langit malam ini tampak memahami isi hatinya dengan baik, membuat seisi bumi meringsut dari dingin malam yang kelam. Ketika ingatannya kembali mengambang pada pertemuan yang tidak menyenangkan dengan Aurora, suara pintu yang diketuk keras langsung mengalihkan perhatiannya. Darren seketika memberi perintah hingga memunculkan sosok yang telah berani mengusik ketenangannya. "Ada apa?" tanyanya dengan ekspresi kesal setelah melihat kehadiran Anthonio disana. "Maafkan atas kelancangan saya yang telah berani menusik ketenangan anda tuan. Tetapi... tetapi "Tetapi apa?" Darren hampir melemparkan gulungan kertas itu ke arah Anthonio saat mendengar suara lekaki itu terbata-bata, seperti kesulitan berucap. Anthonio mengela napas dalam-dalam saat merasakan dadanya yang tiba-tiba sesak. Kemudian dia langsung berucap dalam tarikan napas selanjutnya.  "Tuan muda Cleo sejak tadi mengurung diri di kamar tuan." ujarnya memberitahu. "Aku  telah berpikiran buruk sesaat karena mu. Rupanya kau hanya melaporkan hal yang tidak penting ini. Biarkan saja seperti itu, aku sedang memberinya hukuman." Darren menyahuti dengan santai, sikapnya sangat tenang. "Tetapi tuan, anda harus segera melihat keadaan yang sebenarnya." ucap Anthonio bersikeras, memberanikan diri untuk menatap wajah Darren Darren mengerutkan kening, tatapannya menyelidik pada Anthonio. "Katakan apa yang sebenarnya. Jangan bertele-tele seperti itu." sambungnya kemudian memberi perintah tegas. Sekali lagi Anthonio menghela napas dalam, mengisi paru-parunya yang sempat kosong sebelum kemudian memaksakan suaranya yang tercekat untuk berkata. "Tuan muda Cleo saat ini tengah berdiri di tepian balkon, hendak melompat untuk mengakhiri hidupnya." dan kalimat itu berhasil membuat tubuh Darren membeku kaku.  Hai hai.... Kami kembali, hihihi Teman- teman jangan lupa tap love yah, gak maksa sih. Kalau menarik di hati readers sekalian gpp dong love nya di tap.? Maaf kalau gak post tiap hari sebenarnya lagi nunggu ACC kontrak dulu. Doain yah cepat Clear, biar up terus deh.... Oh iah kalau ada saran dan masukan boleh banget loh, dipersembahkan untuk memberikan komentar yang positif di novel ini. Terimakasih semuanya, sampai jumpa di next chapter ✌️?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD