CHAPTER 2 RENCANA GILA

1319 Words
Orang-orang terlihat hilir mudik dengan aktivitas mereka masing-masing. Tak ada yang terlihat aneh karena memang seperti itulah yang terjadi setiap hari. Semua orang sibuk dengan kegiatan mereka. Jalanan umum tak pernah sepi dari kendaraan yang berlalu lalang, maupun dari orang-orang yang berjalan menyusuri jalan meski di bawah sinar matahari yang terik siang itu. Tak berbeda keadaannya dengan sebuah pusat perbelanjaan yang saat ini sedang dipenuhi oleh berbagai orang dengan tujuan mereka yang berbeda mendatangi tempat itu. Tentu sebagian besar mereka datang ke sana untuk berbelanja, membeli benda apa pun yang menarik perhatian mereka, ataupun memang benda-benda yang sedang mereka butuhkan. Tak sedikit pula yang datang ke pusat perbelanjaan itu hanya sekedar untuk berjalan-jalan tanpa ada satu pun benda yang ingin mereka beli. Beberapa pula yang sengaja mendatangi tempat itu untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mengisi perut mereka yang tentu saja sudah meraung-raung meminta untuk diisi pada tengah hari seperti saat ini. Hal yang sama kini tengah dialami Vina dan Cella. Setelah berhasil menjadi juara kedua dalam perlombaan musik yang mereka ikuti kemarin, kini mereka berdua bersantai dengan pergi ke pusat perbelanjaan. Niat mereka awalnya tentu untuk membeli beberapa benda, namun meskipun sudah menghabiskan waktu beberapa jam di sana, mereka belum menemukan satu pun benda yang menarik perhatian dan minat mereka. Rasa lelah dan lapar pun mulai mereka rasakan sehingga memutuskan untuk singgah di sebuah restoran. Vina seorang gadis berusia 18 tahun yang gemar dengan makanan pedas, tentu saja saat ini dia tengah menyantap spaghetti yang sangat pedas. Tak jauh berbeda dengan Vina, Cella yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dengan Vina pun menyukai makanan yang pedas, dia terlihat sedang menyantap spaghetti yang sama pedasnya dengan Vina. Vina dan Cella telah bersahabat sejak lama, lebih tepatnya sejak mereka duduk di bangku SMP. Hal yang membuat mereka bisa bersahabat sedekat itu tentu saja karena mereka merasa cocok, banyak persamaan di antara keduanya. Salah satunya hobi mereka bermain musik dan kecintaan mereka pada makanan yang pedas. Persahabatan yang indah karena nyaris tak pernah sekali pun mereka berselisih ataupun bertengkar. Ketika sedang bersama, mereka tak pernah merasa bosan. Selalu ada cerita untuk diperbincangkan seperti saat ini, meskipun di tengah-tengah kesibukkan mereka menyantap makanan. Mereka masih sempat untuk berbincang-bincang. "Vin, Kita kan sudah menang. Apa kau tidak ingin merayakannya?" Masih dengan tatapan mata yang tertuju pada piring spaghetti, Vina tetap melanjutkan kegiatan makannya dan untuk beberapa saat mengabaikan pertanyaan sang sahabat. "Kita tidak menang, kita hanya menjadi runner up," jawab Vina cuek dengan masih sibuk menyantap spaghetti-nya. "Tetap saja menurutku harus dirayakan. Kita berhasil menjadi runner up dari peserta sebanyak itu. Mereka itu seniman yang hebat, seharusnya kita bangga bisa mengalahkan mereka," ucap Cella, menghentikan sesaat kegiatannya dan menatap heran pada sahabatnya yang tampak tak terlalu senang dengan prestasi yang baru saja mereka raih. Bagi Cella, prestasi itu sangat membanggakan, namun tak seperti itu bagi Vina. Hal itulah yang dipikirkan Cella sekaligus menjadi hal yang sangat aneh baginya. "Ya. Aku juga bangga kok," timpal Vina, yang membuat Cella segera menepis pemikiran negatif tentang keanehan sahabatnya itu. "Tapi sepertinya kau tidak tertarik merayakan kemenangan kita?" Gumamnya sembari kembali melanjutkan menyantap Spaghetti di piringnya yang masih cukup banyak. "Aku tertarik kok. Apa kita perlu mengadakan pesta untuk merayakannya?" Pertanyaan Vina inilah yang dinantikan oleh Cella, namun kelezatan spaghetti itu membuatnya untuk sejenak menahan keinginan untuk segera mengutarakan pendapatnya. "Pesta? Tidak, tidak. Itu terlalu biasa. Aku ingin melakukan hal yang luar biasa." Raut wajah penuh tanda tanya terlihat jelas di wajah Vina. "Hal luar biasa? Apa maksudnya?" Tanyanya sambil menggeser piring yang telah kosong di depannya, kini dia pun beralih meletakkan gelas yang berisi lemon tea. "Bagaimana kalau kita pergi berkemah, berdua saja." Ucapan Cella nyaris membuat Vina yang tengah meminum minumannya tersedak. Tentu dia sangat terkejut karena tak pernah terlintas sedikit pun di pikirannya bahwa Cella akan mengusulkan hal itu. "Hahaha... Berkemah? Apa kau sedang bercanda?" "Tentu saja aku serius. Liburan kita kan hanya tersisa satu Minggu lagi. Apa salahnya jika kita memanfaatkannya untuk bersantai di tempat yang tenang. Ya, anggap saja kita sedang piknik," ucap Cella sambil menyantap suapan terakhir Spaghetti-nya. "Kenapa harus berkemah? Kita kan bisa pergi ke sebuah villa atau liburan ke tempat-tempat wisata," timpal Vina dengan nada heran tanpa sedikit pun menatap sahabatnya karena kini minuman di dalam gelaslah yang sedang sibuk dia tatap. "Apa kau tidak dengar yang kukatakan tadi? Aku ingin pergi ke tempat yang tenang bukan tempat yang ramai seperti tempat-tempat wisata," tegas Cella dengan nada yang sedikit kesal, mengutarakan alasannya memilih berkemah alih-alih menyewa villa seperti yang disarankan Vina. "Kita cari saja Villa di daerah yang sepi, sama saja, kan?" "Tentu saja beda. Lagi pula menginap di Villa itu sangat biasa, tapi menginap di kemah yang kita buat sendiri, itu baru luar biasa. Apalagi kalau kita hanya berdua saja." Vina hanya terdiam mendengar kekonyolan Cella, meskipun bukan sesuatu yang baru bagi Vina mendengar sahabatnya itu mengusulkan sesuatu yang di luar nalar, tapi untuk kali ini dia merasa usulnya itu sangatlah tidak menarik. Tak ada satu pun alasan yang membuat Vina merasa harus menuruti keinginannya itu. "Gimana, Vin? Kok diam?" "Tidak. Aku tak tertarik," jawabnya cuek sambil meneguk habis minumannya. "Ayolah, Vin. Pasti seru. Kita belum pernah berkemah berdua." "Tapi kita sudah sering liburan berdua." "Ya. Tapi berkemah belum pernah, kan? Kita cari tempat yang tenang. Kita jernihkan pikiran  dari semua hal yang selama ini jadi beban pikiran kita. Soal perlombaan, sekolah, ujian dan masalah-masalah lainnya. Inilah Saatnya kita untuk menenangkan pikiran kita." Vina masih tetap terdiam, tak terlihat sedikit pun ketertarikan di raut wajahnya. "Hanya satu minggu kok. Setelah liburan ini kita pasti sibuk. Kita harus belajar dan mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan nanti. Ayolah, Vin. Please....!!" Ucap Cella dengan nada memohon pada suaranya. Sebagai sahabatnya tentu Vina tidak tega untuk menolak meskipun sebenarnya dia masih enggan untuk menuruti usul sahabat baiknya itu. "Vin, ayolah..!!" Cella terus membujuk sambil kali ini menangkupkan kedua tangannya di depan d**a sebagai tanda permohonan. "Tapi seminggu itu kelamaan." Raut kemenangan tercetak pada senyuman yang tersungging di bibir Cella, dia merasa akhirnya Vina bersedia memenuhi keinginannya. "Kalau begitu, lima hari saja." "Tapi ibuku tidak akan mengizinkan," ucap Vina kembali mencoba mencari alasan agar pembicaraan itu segera berakhir. "Jangan katakan yang sebenarnya pada ibumu. Katakan saja kalau kau ikut denganku mengunjungi orang tuaku." Kini Vina semakin yakin sahabatnya memang sangat berharap keinginannya itu bisa terwujud, Cella bahkan menyarankan agar dirinya berbohong pada sang ibu. Tentu saja hal ini membuat Vina semakin enggan untuk pergi. "Masa aku harus berbohong? Lalu jika ibuku menelepon orang tuamu bagaimana? Apa kau akan menyuruh orang tuamu berbohong juga?" Cella sangat memahami sahabatnya itu tak berhenti mencari alasan. Namun tekadnya sudah bulat. Dia takkan pernah menyerah sampai keinginannya bisa terpenuhi. "Kau tak perlu khawatir. Orang tua kita tidak dekat dan ibumu tidak mungkin menelepon orang tuaku. Seandainya menelepon pun pasti dia menelepon rumahku dan dia akan berbicara dengan pengasuhku. Aku akan meminta pengasuhku untuk berbohong, jadi rahasia kita aman." "Hahaha. Kau benar-benar sudah gila ya, Cell? Terus bagaimana jika ibuku meminta nomor telepon orang tuamu untuk memastikan aku berada bersama mereka?" Kali ini Vina sangat berharap usahanya untuk menghentikan Cella, berhasil. Sesungguhnya Vina benar-benar tidak ingin pergi. "Itu tidak akan terjadi. Aku akan meminta pengasuhku beralasan. Tenang saja, dia sangat cerdas. Pasti dia bisa meyakinkan ibumu. Pokoknya kita harus pergi, OK?" Akhirnya Vina-lah yang menyerah, dia tak sanggup lagi memikirkan alasan lain yang bisa membuat Cella berubah pikiran. Sepertinya dia hanya mampu memenuhi keinginan sahabatnya itu. "OK, OK! Tapi aku harap semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak mau dimarahi ibuku gara-gara ulahmu." Cella menyengir lebar sambil mengangkat ibu jari. "Kau tenang saja, aku berjanji semuanya akan baik-baik saja." Perkataan Cella itu pun menjadi akhir dari perbincangan mereka di restoran itu. Mereka pergi dari restoran tentu saja setelah mereka membayar semua tagihan makanan. Langkah kaki mereka serempak menuju beberapa toko di pusat perbelanjaan itu, mereka harus membeli berbagai keperluan untuk berkemah nanti. Vina melangkahkan kakinya dengan lemas, semoga keengganannya untuk pergi tidak menjadi sebuah pertanda buruk bagi mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD