CHAPTER 3 CAMPING MENYERAMKAN

1829 Words
Meskipun langit tampak cerah beberapa hari ini, tak pernah sekali pun langit terlihat mendung dan menitikkan air hujan yang membuat semua orang bersemangat melakukan berbagai aktivitas mereka. Akan tetapi, tidak demikian dengan Vina. Dia merasa sangat lelah setelah tiga hari ini terus berpindah-pindah tempat, memasang dan membongkar tenda hanya demi memenuhi keinginan Cella. Vina mencoba untuk bersabar dan tak mengeluh karena dia tidak ingin melakukan sesuatu yang percuma. Vina sangat mengenal sifat sahabatnya itu, meskipun dia terus mengeluh sama sekali tidak akan membuat Cella merubah keputusannya. Jika dipikir-pikir, Cella selalu bersikap egois tapi entah mengapa Vina selalu menerimanya dan masih bertahan menjadi sahabatnya. Vina sendiri sama sekali tidak mengetahui alasan dirinya bisa terus bersahabat dengan Cella yang egois dan aneh itu. Satu hal yang Vina tahu, dia merasa nyaman ketika bersama Cella karena itu dia akan selalu bersahabat dengannya.  Hari keempat mereka berkemah, Vina tak sanggup lagi menahan rasa lelahnya karena itu dia hanya duduk diam, memandangi sahabatnya yang sedang asyik berenang di sebuah danau. Kali ini mereka berkemah di dekat sebuah danau, tentu saja Cella yang menyarankan tempat itu.   Bertolak belakang dengan Vina, Cella terlihat sangat menikmati liburannya. Dia merasa keputusannya mengajak Vina berkemah merupakan sebuah keputusan yang paling tepat dalam hidupnya. Untuk pertama kali dalam hidup, dia merasa telah melakukan hal yang benar. Cella menyesal karena tidak sejak dulu mengajak Vina bersenang-senang seperti ini. Berkemah berdua di tempat-tempat yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, menghabiskan waktu di alam terbuka yang jauh dari udara tercemar oleh polusi, menyaksikan berbagai pemandangan alam liar yang indah yang jauh berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit yang setiap hari dia lihat, bagi Cella inilah surga dunia yang sesungguhnya.  Cella menghentikkan sejenak keasyikannya yang tengah berenang di air danau yang sangat menyegarkan itu, dia melirik ke arah sahabatnya yang tengah duduk di pinggir danau dengan wajah tertekuk bosan. Sebenarnya Cella amat menyadari bahwa sang sahabat sama sekali tidak menikmati liburan mereka, lebih tepatnya Vina hanya terpaksa pergi berkemah dengannya. Tetapi Cella dengan sengaja tetap mengajaknya. Sebenarnya Cella tidak berniat buruk, dia hanya ingin menyadarkan Vina bahwa mereka hidup di dunia ini hanya sementara, dan dalam menjalani waktu yang cepat sekali berjalan ini, dia ingin mengajak Vina untuk lebih menikmati hidup dengan melakukan semua hal yang menyenangkan seperti yang tengah dia lakukan saat ini.  Cella sangat paham kepribadian Vina. Vina seorang gadis cantik, populer dan juga cerdas. Dia pun ramah dan baik hati sehingga membuat siapa pun senang bergaul dengannya. Kendati demikian, tetap ada beberapa kekurangan yang dia miliki. Gadis itu terlalu serius belajar, hampir setiap saat dia menghabiskan waktu untuk belajar. Cella tahu persis alasan Vina terus belajar karena dia ingin membuat ibunya bangga. Vina sangat menyayangi ibunya, terlepas dari sang ibu yang sering terlihat murung setiap kali Cella bermain ke rumah Vina. Ayah Vina telah tiada sejak Vina masih sangat kecil. Bagi ibu Vina, seorang diri membesarkan kedua putrinya tentu sangatlah berat. Dia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri dan kedua putrinya, sekaligus harus bisa menempatkan diri sebagai seorang ibu dan ayah.  Cella merasa dia pun akan berusaha membahagiakan ibunya jika berada di posisi Vina. Hanya saja sebagai seorang sahabat, Cella ingin membantu Vina untuk sesaat menikmati kebebasan. Sesekali terbebas dari belajar ataupun berlatih musik pasti akan membuat Vina jauh lebih ceria.  Cella keluar dari dalam air dan berjalan mendekati Vina yang terlihat sedang melamun. Tatapan gadis itu tampak kosong dan menerawang tanpa arah yang jelas. Cella berdecak sebal, lalu sebuah ide jahil pun terlintas di benaknya. Dia tahu persis Vina yang sedang melamun itu, tidak menyadari kehadirannya. Dengan jahil setelah mengambil ancang-ancang, dia mendorong Vina sehingga gadis malang itu pun jatuh ke dalam air danau. Cella seketika tertawa puas melihat kondisi Vina yang kini sama basah kuyup seperti dirinya.     “Apa yang kau lakukan? Kenapa mendorongku?” Teriak Vina dengan raut kekesalan yang tercetak jelas di wajahnya.  Cella masih tetap tertawa lantang, hingga memegangi perutnya. “Sudah, jangan marah. Salahmu sendiri melamun terus. Ayo kita berenang!!” Cella lantas melompat ke dalam air sehingga membuat air menciprati wajah Vina. Tentu hal itu membuat Vina semakin kesal. Cella berusaha membuat Vina kembali bersemangat dengan melakukan beberapa hal yang kekanak-kanakan. Dengan sengaja dia menciprat-cipratkan air ke wajah Vina. Awalnya Vina semakin emosi,  hingga perlahan tapi pasti akhirnya Vina bisa tersenyum kembali. Aksi perang air pun sempat terjadi sebelum mereka berenang bersama, kini Vina bisa merasakan segarnya air danau itu. Berkatnya semua kekesalan Vina pada Cella sirna entah kemana.  Setelah seharian bermain air, mereka keluar dari air setelah merasa tubuh mulai menggigil kedinginan. Setelah berganti pakaian dan menjemur pakaian mereka yang basah kuyup di atas tenda. Kini Cella dan Vina sedang duduk di depan perapian yang sengaja mereka buat sendiri.  Dimana di atas perapian diletakan sebuah panci kecil berisi air yang mulai mendidih.  “Wow, airnya sudah mendidih,” Pekik girang Cella. Perutnya memang sudah keroncongan karena terakhir mereka makan adalah tadi pagi sedangkan waktu sudah menunjukan sore hari. Tak lama lagi malam akan segera tiba. Dengan hati-hati Cella menuangkan air panas itu pada mie cup miliknya dan milik Vina. Lalu kedua gadis itu menyantap mie mereka dengan begitu lahap bagai orang kelaparan yang sudah berhari-hari tidak makan.  “Haah, hangatnya,” ujar Vina tampak menikmati saat kuah mie yang hangat itu masuk ke dalam tubuhnya. “Benar kan yang aku katakan, berkemah di alam terbuka sambil menyantap makanan bersama seperti ini sangat menyenangkan.” Cella berucap sambil membusungkan d**a, tampak membanggakan diri.  Vina memutar bola mata, “Cukup menyenangkan. Tapi jujur aku lelah. Kita terus berganti tempat. Selain itu kita juga terus membongkar dan memasang tenda. Itu sangat melelahkan, asal kau tahu.”  Cella terkekeh geli, sudah terbiasa mendengar gerutuan Vina. “Sekali-kali seperti ini, tidak masalah, kan? Kita tidak tahu kapan lagi bisa menikmati liburan menyenangkan seperti ini. Nanti kita pasti semakin sibuk. Jadi kita harus memanfaatkan waktu berharga ini untuk bersenang-senang.”  Vina menggeleng-gelengkan kepala, terkadang tak memahami pola pikir sahabatnya itu. “Tidak akan lelah kalau kita mengajak orang lain. Setidaknya ada yang membantu kita membongkar pasang tenda.”  “Ya sudah, lain kali kita ajak saudara kembarmu itu.”  Dan Vina terbelalak sempurna mendengar ucapan Cella. “Tidak. Aku tidak setuju jika mengajak dia,” tolaknya tegas. “Aku heran, kalian kembar tapi tidak akur ya. Ck, Ck.” “Bukan urusanmu.” “Kalau kau tidak mau mengajak saudara kembarmu itu, mungkin kita bisa mengajar dua sahabatnya. Kebetulan mereka pria, pasti bisa diandalkan untuk membongkar pasang tenda.” Cella pun kembali tertawa, berbanding terbalik dengan Vina yang mengerucutkan bibir, tak suka.  “Jika membicarakan tentang dua sahabat saudara kembarmu itu, menurutku mereka sangat tampan apalagi yang bernama Mark. Kau setuju kan, Vin?” “Aku tidak tahu dan tidak peduli,” jawab Vina ketus. Dia pun menyeruput kuah mienya hingga tandas. “Tapi aku pernah mendengar rumor saudara kembarmu dan Mark sedang berpacaran.”  Vina mendelik, seolah perkataan Cella barusan begitu mengusiknya. “Jangan bicara sembarangan. Mereka hanya sahabat. Aku yakin.” “Kenapa kau terlihat marah mendengarnya?” Tanya Cella sambil menunjuk wajah Vina dengan garpu plastik di tangannya. “Aku tidak marah.” “Jelas-jelas wajahmu memerah karena marah. T-Tunggu, tunggu. Jangan katakan kau menyukai Mark.”  Dan refleks Vina memukul punggung tangan Cella dengan garpu di tangannya. “Jangan bicara sembarangan. Aku bahkan tidak mengenal orang bernama Mark itu.” “Oh, aku tahu. Kau tidak suka kan jika mendengar saudara kembarmu sudah memiliki kekasih sedangkan kau belum?” Cella kembali tertawa saat melihat Vina mematung seolah kehilangan kata-kata untuk membantah. “Makanya kau juga harus cepat mencari kekasih agar tidak didahului saudaramu itu.”  Vina yang jengkel karena Cella terus membahas topik yang tidak ingin dia bicarakan itu pun berdecak cukup keras, lalu dia bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat memasuki tenda. Meninggalkan Cella yang buru-buru menghabiskan mie-nya agar bisa menyusul Vina masuk ke dalam tenda.   ***     Malam pun semakin larut, mereka masih asyik mengobrol di dalam tenda seolah pertengkaran tadi tak pernah terjadi. Suara lolongan anjing maupun berbagai suara serangga yang membuat malam itu semakin mencekam seakan-akan tak dirasakan Vina dan Cella.  “Besok kita pulang kan, Cell?” tanya Vina sambil tidur dengan menjadikan punggung Cella sebagai bantal. Sedangkan Cella tengah tidur menelungkup sambil mendengarkan musik pada handphone dengan volume suara yang sengaja dikeraskan. “Enak saja. Ini kan baru empat hari. Masih ada satu hari lagi,” timpal Cella. Vina mengembuskan napas pelan, “Memangnya besok kau mau mengajakku kemana lagi?” “Entahlah. Aku juga belum menentukannya.” “Haah, kau ini bagaimana?” “Bukankah ini bagus? Besok kita berpetualang saja,” kata Cella riang sembari mengedipkan sebelah mata. Vina memutar bola matanya, bosan menanggapi kegilaan sahabatnya itu.  Suasana hening untuk sesaat, hanya alunan musik yang masih meramaikan suasana dalam tenda itu. “Cell, kau sudah memikirkannya belum, lagu yang akan kita mainkan di kompetisi musik nanti?” tanya Vina antusias. Cella berdecak, “Ya ampuuun, itu kan masih lama. Masa kau sudah memikirkannya dari sekarang?” “Bukankah bagus? Kita bisa berlatih dari sekarang agar nanti kita bisa tampil dengan sempurna seperti kemarin.” “Ya, ya, kau benar. Tapi aku tidak tertarik membicarakannya sekarang. Aku mengantuk, tidur saja yuk,” kata Cella sambil mematikan musik pada handphone-nya. “Tapi aku belum mengantuk, temani aku mengobrol sebentar lagi, Cell,” pinta Vina.  Alih-alih merespon, Cella justru mengabaikan permintaan Vina. Gadis itu sudah mulai terlelap. Rasa kesal Vina kembali melanda hatinya, namun dia tahu tak ada yang dapat dia lakukan selain mencoba untuk tidur.  Guuk ... Guuk!! Auuuung ... Auuung!!  Suara lolongan anjing itu semakin terdengar kencang dalam suasana tenda yang hening tanpa adanya lagi alunan musik.  Wushh ... Wushhh ... wushhh!! Suara angin yang menghantam tenda membuat Vina semakin kesulitan untuk tertidur. Angin yang terus berembus sepertinya masuk ke celah-celah tenda membuat Vina mulai kedinginan. Dia ingin membangunkan Cella, tapi dia segera mengurungkan niatnya ketika melihat sahabatnya itu tertidur begitu pulas. Dia pun mencoba memejamkan mata lagi berharap kali ini bisa segera tertidur.  Duk ... Duk ... Duk!! Suara sesuatu menabrak dan mengetuk-ngetuk tenda membuat Vina semakin ketakutan. Setelah mendengar suara yang menyeramkan, mustahil rasanya dia mampu tertidur.  Guuk ... Guuk!! Auung ... Auung!! Lolongan anjing itu terdengar kembali. Suaranya semakin terdengar seram membuat bulu kuduk Vina merinding dan kali ini dia tak sanggup lagi menahan keinginannya untuk membangunkan Cella.  “Cell, bangun! Bangun!” Vina mencoba membangunkan Cella sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Usahanya tidak berakhir sia-sia, secara perlahan Cella membuka kedua mata yang sejak tadi asyik terpejam.  “Ada apa? Kenapa belum tidur?” Gumam Cella sambil menguap lebar. “Apa kau tidak mendengarnya?” “Mendengar apa?” “Su-Suara ... suara-suara aneh.” Vina memegangi tangan Cella, terlihat jelas dia begitu ketakutan.  Guuuk... Guuuk!! Auuung ... Auuung!!”  “Tu ... itu ... barusan kau mendengarnya, kan?” Tanya Vina dengan tubuh gemetaran saking takutnya. “Oh, suara lolongan anjing maksudmu? Masa gara-gara itu saja takut? Ini kan tempat terpencil dan sepertinya di dekat sini ada hutan, jadi wajar saja kalau ada anjing. Sudah, kau tidak usah pedulikan suara itu. Kau tidur saja.” Cella mencoba menenangkan. “Tapi tadi aku dengar suara sesuatu menabrak dan mengetuk-ngetuk tenda.” “Angin. Itu pasti suara angin. Anginnya sedang kencang seperti ini jadi wajar saja mengeluarkan suara. Sudahlah, Vin. Jangan berpikir yang aneh-aneh.” “Aku tidak bisa tidur, Cell.” Vina semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Cella. “OK. Begini saja, kau dengarkan musik dengan headset supaya tidak mendengar suara-suara itu lagi. Aku jamin, kau pasti bisa tidur.” Cella mengeluarkan Headset dari tasnya dan menyerahkannya pada Vina. Setelah itu, dia melanjutkan tidurnya. Vina pun tak ingin mengganggu Cella lagi karena itu dia menuruti saran sang sahabat.  Dipasangnya headset itu pada handphone miliknya, setelah memutar musik yang disukainya, Vina pun mencoba memejamkan mata. Seiring berjalannya waktu, musik-musik itu pun berhasil membuatnya tertidur karena suara-suara aneh di luar sana meski masih tetap ada tapi tak lagi didengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD