Another Vampires

1793 Words
Kelas hari ini sudah selesai. Seperti teman sekelasnya yang lain, Erden memutuskan untuk pulang. Terlalu malas untuk berlama-lama di sini. Dia risih omong-omong. "Kau serius tidak ingin ikut denganku?" tanya Steven entah yang keberapa kalinya. Erden menatapnya jengah. Ingatkan dia untuk tidak menyumpal mulut manusia satu ini. Dia sungguh cerewet melebihi seorang wanita. "Apa aku harus terus mengulang jawabanku?" tanya Erden membuat Steven terkekeh. Erden tidak seburuk yang dia kira. Erden jika sudah akrab ternyata asik juga. Yaa walaupun mungkin hanya dia yang menganggap mereka akrab di sini, tidak tau dengan Erden. "Aku hanya memastikan. Lagipula kau baru di sini. Kau tidak mau berbaur? Mencari teman, or a girlfriend maybe? Hm?" tanya Steven memainkan alisnya menggoda Erden. Erden berdecak kesal. Apakah sebelum ini Erden tidak mengatakan pada Steven kalau dia tidak mau berurusan dengan seorang gadis? Ayolah, gadis itu merepotkan. "Terserah. Aku hanya ingin pulang." jawabnya ketus dan berjalan keluar kelas. "Hey! Tunggu aku! Ck. Kau ini." teriak Steven dan berlari mengejar Erden. "Baiklah jika kau ingin pulang. Tapi sesekali ikutlah denganku, akan kukenalkan pada teman-temanku. Mereka menyenangkan. Kau mau?" tanya Steven sekali lagi. Erden itu tidak suka di recoki. Dia adalah pecinta ketenangan. Mungkin hanya ocehan Teo yang selama ini dia tanggapi. Namun sekarang bertambah lagi dengan adanya Steven. Anehnya dia tak terganggu dengan Steven, malah membiarkannya. Ocehan Steven itu sama seperti Teo, sedikit menghiburnya dan sedikit memiliki pemikiran yang sama dengannya. Erden berhenti berjalan dan menatap Steven sebentar. "Terserah kau saja." jawabnya dan kembali berjalan. "Oke. Jawaban itu aku anggap iya. Aku akan mengajakmu lain waktu. Aku pergi." ucapnya dan berlari mengambil jalan lain. Erden menghembuskan nafas lelah. Berlama-lama bersama Steven itu membuat kepalanya ingin pecah. Untung saja dia sudah lama terlatih bersama Teo, jadi dia bisa mengatasinya. Percayalah, Teo bahkan lebih parah daripada Steven. Kembali melangkahkan kakinya. Parkiran kampus ini berhadapan langsung dengan taman kampus. Hanya sedikit bunga warna-warni, selebihnya di d******i oleh pepohonan rindang yang menyegarkan mata. Apalagi dengan sebuah danau di tengah-tengah dan tempat duduk yang tersebar di seluruh taman. Ketahuilah, taman ini cukup luas. Dan di sana, dia melihat Profesor Martin sedang berbincang dengan dua orang gadis. Terlihat sangat akrab dengan salah satu dari mereka membuat Erden berasumsi jika keduanya memiliki hubungan. Ayah dan anak mungkin. Langkah Erden semakin dekat dan kedua gadis itu kemudian pergi dari hadapan Profesor Martin. Profesor itu berbalik dan menatapnya, lalu tersenyum. "Kau murid baru itu bukan? Erden?" tanyanya memastikan dan Erden hanya tersenyum. "Ya, Prof." jawabnya singkat. "Wah, senang bisa bertemu denganmu di sini. Sepertinya kita bisa ke kantin kampus untuk mengobrol. How about Coffee?" Profesor Martin menawarkan. Lama Erden menatapnya hingga akhirnya dia mengangguk. "I like coffee lattes, by the way." jawab Erden membuat Profesor Martin terkekeh pelan. "Mari." Mereka berjalan beriringan sembari mengobrol ringan layaknya seorang dosen dan murid. Walaupun Erden hanya menanggapi seadanya, tapi nampaknya Profesor Martin tak mempermasalahkannya. Begitupun Erden, menurutnya Profesor Martin cukup nyaman menjadi teman bercerita. Tak menuntut banyak dari lawan bicaranya, Erden menyukai sifat orang yang seperti itu. "Saya lihat, kau banyak penggemar di sini." ucap Profesor Martin menatap sekeliling kantin. Erden mengikutinya, terlihat semua murid menatap kearah meja mereka, atau lebih tepatnya kearah dirinya. Erden tersenyum simpul. "Tidak sebanyak dirimu, Prof." jawab Erden membuat Profesor Martin tertawa. Lihat, Profesor Martin adalah orang yang hangat. Siapapun akan nyaman jika berbicara dengannya. Apalagi tampangnya yang terbilang tampan itu. "Mengenai kelas tadi. Sepertinya kau bukan orang baru dalam dunia kedokteran." ucap Profesor Martin lagi sambil menyesap kopi miliknya. "Begitulah." jawabnya acuh. "Saya banyak belajar tentang dokter. Lagipula__" Erden menggantung ucapannya dan menatap Profesor Martin. "Kedua orang tua saya seorang ilmuan, like you are." lanjutnya. Profesor Martin terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Benarkah? Wah, kebetulan sekali. Pasti menyenangkan jika saya bertemu dengan orangtuamu. Mungkin saja kami saling mengenal." Profesor Martin masih tersenyum menatap Erden. "Mungkin saja." jawab Erden mengangguk pelan. Murid yang melihat mereka berdua hanya dapat menatap dengan tatapan aneh, kagum dan juga terpesona. Erden dan Profesor Martin sama-sama memiliki aura yang kuat. Tatapan keduanya tak ada yang mereka mengerti. Seperti ada sesuatu tersembunyi di balik tatapan itu. • • • • "Kau yakin sudah memeriksanya dengan benar?" tanya Teo pada Kaza. Kaza menatap Teo dengan tatapan kesal. Pertanyaan tak bermutu itu sama sekali tidak membantunya dalam hal ini. "Jika mau, kau periksa saja sendiri." jawabnya dan Teo hanya menyengir lebar. "Itu bukan bidangku." ucapnya terkekeh. "Lalu, bagaimana? Apa kita harus pindah lagi?" tanya Teo lagi. Kaza menghembuskan nafas lelah. Itulah yang sedari tadi dia fikirkan. Bagaimana caranya memberitahu Erden tentang hasilnya? Dan apa yang akan terjadi nanti? Pindah lagi? Huft, opsi yang menyebalkan. "Semuanya tergantung Erden. Jika dia tidak memiliki harapan di sini, untuk apa berlama-lama di sini?" ucapnya dan Teo hanya mengangguk ringan. Benar juga. Membuang waktu bukan? Deru mesin Mobil terdengar. Itu Erden. "Jelaskanlah baik-baik padanya. Kau tau? Emosinya akhir-akhir ini sering tidak terkendali. Kepalaku saja selalu menjadi korban. Kau berhati-hatilah." bisik Teo pada Kaza yang hanya menatapnya datar. Tolong siapapun teriakkan pada Teo kalau ucapannya itu sama sekali tidak ada gunanya. Dia membuat Kaza seperti orang baru yang tidak tau bagaimana Erden. "Oh, kalian di sini." ucap Erden yang melihat kedua sahabatnya tengah bersantai di ruang tamu. Melangkahkan kakinya mendekat dan duduk tepat di samping Teo membuat Teo was-was. "Bagaimana?" tanya Erden to the point. Teo dan Kaza sudah menduga pertanyaan ini. Oleh karena itu Kaza sudah mempersiapkan segalanya. Kaza menunjuk tumpukan kertas di meja itu dengan dagunya. Seakan mengerti, Erden mengambil dan membacanya. Itu hasil lab. Kaza dan Teo masih memperhatikan Erden yang setia membalik kertas-kertas itu dan membacanya satu persatu. Tak ada perubahan yang kentara di wajah Erden. Tidak seperti yang lalu-lalu. "Lagi?" tanyanya menatap Kaza. "As you can see" jawab Kaza seadanya. Erden menghembuskan nafas panjang, memijit pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berdenyut memikirkan ini. "It's okay. Kita bisa mencarinya lagi." ucap Erden membuat Kaza dan Teo sedikit heran. Bukannya tak suka dengan reaksi Erden, hanya saja, ini benar-benar tidak seperti Erden. "Kau tak apa-apa? Maksudku, kau tampak lebih tenang dari biasanya." ucap Kaza dan Teo hanya mengangguk menyetujui. "Kau lihat raut wajahku seperti tidak ada masalah?" Erden balik bertanya. Kentara sekali raut frustasi di ekspresi datarnya itu. "Lagipula aku terlalu lelah untuk marah-marah. Dan__bukankah kita masih memiliki satu target?" ucap Erden kemudian. Ah ya. Erden belum memberikan sampel darah yang satu itu. "Benar juga. Apa kau belum mendapatkannya?" tanya Teo dan Erden menggeleng. "Yang satu ini berbeda. Mungkin besok." jawab Erden terlihat ragu. "Aku pikir kau mencurigainya." ucap Kaza dan Erden tersenyum tipis menanggapinya. "Ada beberapa yang membuatku yakin. Jadi, aku hanya perlu memastikannya." jawab Erden. Jawaban Erden membuat Teo memekik senang membuat keduanya mengalihkan tatapan padanya. "Kalau begitu aku tak salah mencari orang. Itu artinya pekerjaanku bagus. Jadi, apa kau akan terus menyita barang-barang kesayanganku? Ayolah, setidaknya balas budilah padaku." ucapnya gamblang membuat Erden berdecak kesal. Dia pikir siapa yang membelikannya barang-barang mahal yang langka itu? Kurang balas budi apalagi Erden padanya? "Ck. Sana ambillah, sebelum aku membakar semuanya." ucap Erden membuat Teo bersorak. Tak ingin membuat Erden berubah pikiran, Teo langsung berlari menuju ruangan Erden, mengambil barang-barang berharganya di sana. Tau 'kan barang berharga bagi seorang hacker? "Anak itu. Ingin kubuang saja rasanya." ucap Erden membuat Kaza terkekeh pelan. "Hampir seratus kali kau mengucapkan itu. Tampaknya tak ada perubahan sampai sekarang." ucap Kaza dan Erden hanya tertawa kecil. Ya, sampai kapanpun Erden tak akan bisa membuang Teo. Mendengar Teo terluka saja Erden sudah panik. "Bagaimana dengan ayahnya? Sudah ada kabar?" tanya Erden lagi. Kaza menghembuskan nafas lelah mendengarnya. "Kita tak bisa berharap lebih. Informasi tentang keluarga Teo terlalu tertutup. Hacker biasa tidak akan mudah mencarinya." ucap Kaza dan Erden hanya mengangguk. Erden tau itu. Andai saja Teo mau bekerja sama dengan mereka, semuanya pasti akan lebih mudah. "Dia masih belum mau?" tanya Erden dan Kaza menggeleng. "Kau tau pasti bagaimana perasaannya. Baginya kau sudah lebih dari orang tuanya." jawab Kaza dan Erden membenarkan itu. Dibuang oleh orang tua sendiri bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan. "Tapi aku yakin dia juga ingin bertemu dengan ayahnya. Aku akan berbicara dengannya nanti." ucap Erden. "Terserah kau saja. Dia lebih mendengarkanmu dari pada aku." ucap Kaza terkekeh membuat Erden ikut terkekeh. Keduanya terdiam sampai akhirnya Kaza berdeham menarik perhatian Erden. "Mungkin ini sedikit sensitif, tapi aku penasaran sejak lama." ucap Kaza membuat Erden menatapnya bingung. Kemana Kaza yang to the point? "Apa kau__vampire terakhir?" tanyanya menatap Erden. • • • • Erden masih ingat jelas kejadian beberapa tahun lalu. Di mana dia sedang berdiri di depan rumahnya, hanya bisa menatap rumah yang sudah dia tinggali selama beratus tahun ini terbakar. Dan bagian terburuknya, dialah pelakunya. Tangan kanannya masih memegang buku pusaka milik keluarganya, di tulis langsung oleh kakeknya. Di dalam buku inilah dia mendapati hal semacam ini. Di sana tertulis, bahwa, vampire yang telah tiada harus segera di bakar agar tidak ada manusia yang terinfeksi. Karena itulah dia membakar rumahnya, bersama ibunya yang telah tiada di dalam sana. Bunuh diri. Itu yang ibunya lakukan. Erden tau betapa terpukul sang ibu setelah ayahnya dibunuh di depan matanya sendiri. Begitupun dia. Tapi ibunya lebih memilih jalan ini dari pada berjuang bersamanya, membalas dendam. Ya, itulah tujuan hidup Erden setelah ini. Balas dendam. Erden menatap tangan kirinya. Sebuah tabung darah yang dia ambil dari ruangan kerja ayahnya. Dia tau darah ini milik siapa. Milik sahabat orangtuanya, milik orang yang telah membunuh kedua orang tuanya, manusia yang harus bertanggung jawab atas semuanya. "Tenanglah, Bu. Aku akan membawa jasadnya ke hadapanmu." gumam Erden. "Secepat mungkin." lanjutnya menahan amarah. Erden sama sekali tidak menangis. Ibunya melarangnya menangis. Ibunya selalu mengatakan kalau dia tidak boleh menangis dalam kondisi apapun. Menangis hanya membuatnya lemah, itu yang ibunya katakan. Yaa, itu terbukti. Lihatlah, ibunya terlalu larut dalam tangisnya sampai menghilangkan nyawanya sendiri. "Huft. Sayang sekali aku tak tau wajahnya." ucapnya lagi. "Ini akan jadi perjalanan yang panjang." ucapnya lesuh. Dia menyesal karena selalu menolak permintaan ayahnya untuk ikut dengannya ke tempat dia bekerja. Di sebuah rumah sakit tentunya, menjadi seorang ilmuan di sana. Ayahnya selalu bercerita tentang sahabatnya itu. Betapa baiknya dia, betapa cerdasnya dia, betapa setia kawannya dia, dan betapa berpengaruhnya sahabatnya itu terhadap hidupnya. Semuanya Erden dengarkan dengan tidak sungguh-sungguh. Yang ada di pikirannya hanyalah, tak ada manusia yang setia, tak ada manusia yang tidak serakah. Apalagi setelah sahabatnya itu mengetahui kalau ayahnya adalah seorang vampire. Benarkan? Ayahnya sampai terbunuh karena keserakahan sahabatnya itu. Siapa namanya? Erden tidak tau, ayahnya tak pernah menyebutkan nama sang sahabat padanya. Dan Erden juga tidak pernah menanyakan itu. Dan dia menyesal akan hal itu. Menghembuskan nafas panjang, Erden berbalik meninggalakan tempat itu. Tapi langkahnya terhenti. Dia mencium bau lain di sekitarnya. Frekuensi yang dia tangkap sama seperti dirinya. Tapi mengapa dia baru mengetahui kalau__ Ada vampire lain di sini? • • • •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD