Bertemu Lagi

1782 Words
Sekitar 8 tabung darah kini sudah ada di dalam ruangan Kaza. Darah yang berhasil Erden ambil dari targetnya di universitas barunya. Entah dengan cara apa Erden mendapatkannya yang Kaza tau dia hanya menggunakan darah tersebut untuk di tes lab sesuai keinginan Erden. "Apa kau hanya akan berdiam di sini?" tanya Kaza pada Teo sambil melepas sarung tangannya. "Kau pikir aku tidak bekerja?" Teo balik bertanya. "Yang kulihat kau hanya berbaring dan bermain game di ponsel itu. Jika itu yang kau sebut bekerja, baiklah." jawab Kaza seraya membersihkan tangannya. "Ck. Kau tak lihat saja aku bekerja seperti apa. Kau akan tercengang sampai tak bisa berkata-kata. Memangnya kau yang tidak jauh-jauh dari darah?" cibir Teo panjang lebar. Tak! "Kau!" marah Teo mengusap kepalanya yang terkena serangan mendadak dari Kaza. "Pergilah ke ruanganmu sendiri. Wajahmu membuat pekerjaanku berantakan." ucap Kaza santai duduk di kursi kebanggaannya. "Cih. Dasar tua bangka! Belum saja aku membunuhmu." ucap Teo kemudian keluar dari ruangan itu, tak lupa dengan bantingan pintunya membuat Kaza geleng-geleng kepala. "Dasar anak durhaka." gumam Kaza kembali menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Namun tak lama pintu ruangan itu kembali terbuka, Teo menyumbulkan kepalanya di sebalik pintu. "Hey Pak Tua! kau yakin tak salah memberi obat pada Erden?" tanya Teo. "Harusnya kau tanya itu pada dirimu sendiri. Bukankah kau yang memberikannya pada Erden tadi?" tanya Kaza tanpa merubah posisinya. "Obat yang ada di lemari kamarmu paling atas? Berwarna biru tua?" tanya Teo memastikan. Kali ini Kaza membuka matanya dan memperbaiki posisi duduknya menatap Teo. "Yang ada di dalam kotak kaca?" kaza balik bertanya juga untuk memastikan. "Aku rasa___tidak, obat itu ada dalam kotak biasa. Apa___aku salah memberikannya?" tanya Teo dengan suara yang semakin pelan. "Ck. Bodoh!" sarkas Kaza dan berjalan menuju sebuah lemari di sana, mengambil stok obat yang baru saja dia buat kemarin. "Obat itu sudah tidak berfungsi baginya. Bagaimana bisa kau memberikan itu sedangkan dia harus mengambil sampel darah! Akh! Kau memang bodoh!" marah Kaza terus berjalan keluar menuju mobilnya. Semoga saja Erden masih bisa menahan hasratnya akan darah untuk sementara ini. Teo yang mengetahui itu juga ikut berlari menyusul Kaza dan langsung duduk di samping kemudi. "Jangan salahkan aku. Kau sendiri kenapa meletakkan obat yang sudah tak ada fungsinya di sana? Kau juga sama bodohnya!" balas Teo menatap Kaza kesal. Benarkan? Tak hanya dia yang salah di sini. Tak! Lagi lagi jitakan itu kembali mendarat di kepala Teo. "Salahkan otak dangkalmu itu karena tidak membaca tanda di kotak itu. Sudah jelas aku menulis kata 'Ex' di sana." ucap Kaza terus memacu kendaraan dengan kecepatan penuh untuk dapat segera sampai di universitas tempat Erden kuliah. Oke, Teo tak menyanggah kali ini. Dia mengakui kalau tadi dia hanya mengambil asal obat itu. Baiklah, mungkin setelah ini Erden akan menyita semua barang-barang berharga miliknya. • • • • Erden berjalan sempoyongan menuju rooftop. Kepalanya terus berdenyut sedari tadi. Hasratnya akan darah kian meningkat setiap kali dia berhasil mengambil sampel darah para targetnya. Apakah obatnya sudah tidak bekerja? Ini bahkan sudah melebihi dosis yang dia minum, 10 pil. Tapi tetap saja, itu tidak membantu. Dia masih harus mencari dua sampel lagi. Tapi dengan keadaannya yang seperti ini tak mungkin dia melakukannya. Bisa-bisa semuanya terbongkar nanti. "Apa Kaza tidak menambah dosisnya?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri. "Aarrgh!" pekiknya tertahan. Dia sudah terduduk di bawah sambil terus memegangi kepalanya. Taringnya sudah keluar sedari tadi, bahkan bola matanya sudah berubah warna menjadi merah darah. Oh jangan lupakan wajah pucat bak mayat itu. Jangan sampai dia memangsa seseorang di sini. Dia tak ingin di cap sebagai monster. Seakan teringat sesuatu, Erden mendengus pelan. "Awas saja kau Teo! Akan kubakar semua barang-barang tak berguna itu!" desis Erden pelan. Kejadian yang sama persis saat dulu rahasianya hampir terbongkar. Dan itu ulah Teo yang salah memberinya obat. "Erden!" panggil Kaza dan Teo yang melihat Erden terduduk di depan sana. "Kau tak apa-apa? Maksudku, kau tak berbuat yang macam-macam bukan?" tanya Kaza menatap cemas padanya. Tak! Satu jitakan lagi mendarat di kepala Teo membuat sang empunya meringis. "Bodoh!" ketus Erden. "Ini, dosisnya sudah kutambah. Baru aku buat kemarin. Ambil lah." ucap Kaza menyodorkan sebuah obat berwarna biru tua pada Erden. Dengan cepat Erden menelan obat tersebut dan berbaring telentang di atas lantai. Obat itu memang tak cepat bereaksi pada tubuhnya yang sudah berubah, namun itu cukup untuk tak membuat kepalanya berdenyut dan menghilangkan hasratnya akan darah. "Huft! Untung saja kami datang tepat waktu. Kalau tidak__" Teo menggantung ucapannya seakan apa yang akan dia ucapkan sudah di ketahui oleh dua orang yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Teo menoleh ke arah mereka berdua, menatapnya bergantian lalu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi. "Yaa, aku tau aku salah. Maafkan aku. Aku tak membuat kekacauan besar bukan?" tanyanya pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Erden berdecak pelan dan memutar bola matanya malas melihat wajah Teo yang menyebalkan. "Yaa setidaknya kau hampir membuat seluruh dunia geger karena berita kemunculan seorang vampire di salah satu universitas terkenal di New York." ucap Kaza ikut berbaring di samping Erden. Teo hanya tertawa kikuk mendengarnya. Dia tau, ini adalah kesalahan yang besar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Erden tanpa menatap Kaza. "Kau pikir hanya memerlukan waktu beberapa menit?" Kaza balik bertanya membuat Erden terkekeh. "Aku pikir kau juga menambah dosis kinerja pada mesin-mesin kesayanganmu itu." canda Erden membuat Kaza mendecih. "Kau memang vampire yang konyol." ucapnya Lama mereka terdiam, hingga akhirnya Erden kembali membuka suara. "Teo, aku belum melihat foto dua orang targetku yang tersisa." ucapnya menatap Teo yang duduk di sampingnya. "Ah itu, sebentar." Teo mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan dua buah foto pada Erden. Satu dari dua foto itu membuat Erden tertarik. Dia duduk dan mengambil foto tersebut untuk di perhatikan. "Kau mengenalnya?" tanya Kaza yang heran melihat reaksi Erden. "Aku bertemu dengannya tadi pagi secara tak sengaja." ucap Erden tanpa mengalihkan pandangannya dari foto tersebut. "Lalu?" tanya Teo merasa penjelasan Erden belum selesai. Erden menatap keduanya bergantian dan kembali menatap foto itu. "Dia mengenal ayahku." ucapnya pelan membuat keduanya terkejut. • • • • Hari ini adalah hari pertama dia mengikuti kelas. Seharusnya kemarin, tapi berkat Teo, Ervan tak bisa mengikuti kelas di hari pertama dia masuk. Sempat membuat heboh satu kampus__oh mungkin masih berlangsung sampai sekarang__karena ketampanannya. Itu dapat di maklumi, memangnya siapa yang dapat menolak pesona seorang Erden? Apalagi dengan wajah datar dan dinginnya itu seperti memberi kesan seorang pangeran kerajaan es yang baru saja keluar dan berbaur dengan masyarakatnya. Hawa dingin disekitarnya sungguh terasa. Duduk di deretan bangku paling belakang, sambil menyandarkan kepalanya di kursi lalu memejamkan matanya, terlalu bosan menunggu seorang dosen yang tak disiplin, pikirnya. "Excuse me." Erden merasa ada seseorang di sebelahnya. Sungguh, dia benci gangguan di waktu tenangnya. "Ck. Kau benar-benar kaku." celetuk orang itu lagi tak juga menarik atensi Erden. Lelaki itu ikut menyenderkan kepala dan juga memejamkan matanya, mengikuti Erden. "Siapa namamu? Namaku Steven." lagi, lelaki yang bernama Steven itu seperti hanya berbicara pada dirinya sendiri. "Kau tau? Aku dulu juga mendapat sambutan seperti dirimu sekarang. Satu kampus juga pernah geger karena diriku waktu itu kalau kau mau tau." ceritanya tanpa di minta dan terkekeh ringan. Membuka matanya, Steven menoleh sebentar ke samping memastikan Erden masih di sana atau tidak, dan kembali menutup matanya saat Erden masih setia mendengarkannya, maybe. "Banyak yang ingin berteman denganku, bahkan para gadis dengan bangganya menyatakan cinta padaku secara terang-terangan. Tapi tentunya itu tak bertahan lama setelah mengetahui kelebihanku." lanjutnya lagi menjeda ucapannya cukup lama. "Kau tau? Six senses." ucap Steven membuat Erden membuka matanya lalu menoleh pada lelaki yang ternyata sama tampannya dengan dirinya, walaupun masih sedikit di bawahnya. "Mereka bilang aku menyeramkan, bahkan ada yang meneriakiku penyihir kala itu." ucapnya terkekeh renyah. Mengingat hal itu membuat Steven akhirnya membuka mata dan memperbaiki posisi duduknya. "Apa aku terlihat seperti itu juga di matamu?" tanyanya kemudian menatap Erden yang ternyata juga sudah duduk tegap menatap lelaki di depannya, tepatnya dirinya. "Aku bahkan lebih menyeramkan dari pada itu." batin Erden. "It's not bad." jawab Erden seadanya. "Hahaha aku pikir kau bisu ternyata kau masih bisa bersuara." Steven mengejek dan mendapat tatapan datar dari Erden. "Kau orang kedua yang mengatakan itu selain kakakku. Dia mengatakan kalau aku termasuk dalam jajaran orang istimewa di dunia ini." ucapnya memukul dadanya bangga. "Cih." Erden menyunggingkan senyum tipis. Dia jadi teringat pada Teo melihat sifat lelaki ini. Spontan dan terlihat, menyenangkan? "Yaa, bukan maksud apa-apa. Aku hanya tak ingin kau terlalu terlena dengan pujian mereka. Pujian hanya kiasan sementara untuk membuatmu melayang lalu di hempas begitu kejam setelahnya. Itu menyakitkan." ucap Steven memberi nasehat. Erden hanya mengangguk-angguk kecil. Dia sudah lebih dulu merasakannya omong-omong. "Lalu, siapa namamu?" tanya Steven lagi mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Erden memutar bola matanya jengah. Dia pikir Steven tak lagi menanyakan itu. "Erden." jawabnya tanpa membalas uluran tangan Steven. "Aish! Kau benar-benar es berwujud manusia. Apa kau adalah kerabat Marshmello, si raksasa es yang ada di film Frozen?" tanya Steven membuat dahi Erden mengerut. Dia sedang berbicara apa? Pikir Erden. "Jangan katakan kau tak tau film Frozen? Ah, kau benar-benar kolot." cibir Steven dan Erden hanya mengangkat bahunya acuh. "Itu tak penting." ucapnya singkat. "Selamat siang semuanya!" seru seorang dosen yang baru saja masuk. "Kapan-kapan akan kuajak kau menonton film Frozen. Kau akan menyukainya." bisik Steven pada Erden dan hanya di jawab decakan kesal oleh Erden. "Maafkan keterlambatan saya yang 30 menit. Saya ada urusan mendadak yang tak bisa di tinggal. Jadi sekarang, mari kita lanjutkan materi minggu lalu, baru setelah itu saya beri tugas pengganti kuis pagi ini." jelas dosen itu panjang lebar menimbulkan desahan kecewa dari sang murid. Mereka sangat membenci sebuah tugas yang dadakan seperti ini. "Baik Prof!" seru semuanya. Profesor Martin mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. "Saya melihat wajah baru di sini. Bisa ke depan? Saya tidak nyaman belajar dengan murid yang tak saya kenal." ucapnya membuat Erden berdecak kesal di tempatnya. "Merepotkan." gumam Erden pelan. "Kau jangan seperti itu. Profesor Martin adalah dosen terfavorit di sini. Dia baik, kau saja yang belum kenal." ucap Steven mendengar gumaman Erden. Tak menanggapi itu, Erden berdiri dan berjalan menuju sang profesor. Erden dapat melihat raut keterkejutan di wajah dosen tersebut saat dengan jelas melihat wajahnya. Sama seperti pertama kali dosen itu melihatnya kemarin. "Kau__" Profesor Martin menggantung ucapannya menunjuk Erden. "Ya, Prof. Senang bertemu denganmu, lagi." ucap Erden seraya mengulurkan tangannya. Profesor Martin dengan senang hati menyambut tangan tersebut dan tersenyum begitupun Erden yang tersenyum tipis. Senyum yang sama namun dengan maksud yang berbeda. Keduanya bahkan saling melempar tatapan seperti mengintimidasi satu sama lain di balik senyumnya itu. Bahkan semua murid di sana merasakan perbedaan suhu di sekitar mereka saat kedua lelaki tampan itu berjabat tangan. Keduanya terlihat aneh, pikir semua mahasiswa itu. • • • •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD