Like Prolog

1053 Words
Sepasang kekasih saling mengaduh merasakan gejolak demi gejolak yang terasa semakin nikmat. Bagai kaki telanjang yang menyentuh pasir pantai dan tersapu segar air laut yang asin. “Aku ... mencintaimu ... Kusuma ... .” “Aku ... juga ... mencintaimu ... Jalu ... .” Saat hasrat tersalurkan begitu menyenangkan, peluh yang membasahi kulit telanjang yang lengket itu, menjadi begitu memabukkan bercampur dengan cairan cinta yang ikut menyeruak mewarnai kamar yang berudara panas meski AC sudah disetel begitu pas. “Kamu tahu? ... kadang aku ingin kita seperti ini.” dielusnya punggung telanjang yang terasa hangat itu, basah peluh tak mengurangi keindahannya sedikit pun. “Aku juga, Mas. Aku ingin memiliki banyak waktu ... kamu tahu, Mas? Rumah ini sangat sepi saat kamu sibuk dengan pekerjaanmu.” dengan tangan nakalnya, dia terus memainkan put-ing kecokelatan. Meski dia yakin pemiliknya akan segera menerkamnya lagi karena merasa geli, entah ... dia pun sangat suka melakukan itu. “Apa kita sebaiknya ikut program bayi tabung saja? Uangku cukup untuk semua itu.” “Tidak, Mas ... aku mau merasakan seperti wanita lainnya, merasakan mual dan khawatir saat tamu bulananku terlambat datang, dan juga memberimu kejutan saat pulang kerja.” “Aku selalu mencintaimu dan akan tetap mencintaimu.” “Mas, mau kan menunggu? Setelah lima tahun malaikat itu belum juga hadir di antara kita?” “Tentu saja, Sayang ... aku akan tetap di sini, menunggunya bersama denganmu.” Wanita itu tersenyum lebar. Setengah duduk dan menatap lelaki perkasa di depannya ini. Kesabaran serta pengertiannya yang begitu besar kepadanya, membuatnya sangat bersyukur memiliki suami sesempurna ini. “Apa aku begitu tampan?” “Sangat tampan, sampai aku tidak ingin mengedipkan mataku.” Lelaki itu terkekeh, tangannya terulur membelai pipi putih sedikit pucat karena ulahnya yang sudah menyapu habis bedak dan lipstik yang tidak berguna itu. “Berikan aku hadiah lagi jika aku memang tampan, Sayang.” godanya dengan tangan yang semakin ke bawah menggapai busa lembut yang menggantung itu. Tentu saja wanita itu tidak akan menolak. Meski lelah setelah pertempurannya yang pertama, dia akan tetap memasukkan kesukaannya itu lagi dan lagi. Mendaki puncak bersama suami yang dicintainya lagi dan lagi. Mengeluh dan bertukar kenikmatan itu lagi dan lagi. Bukan seratus atau dua ratus. Bukan seribu atau dua ribu. Bahkan meski melakukannya seumur hidup, rasanya tidak akan pernah cukup menggapai puncak itu bersamanya. *** 'Cup.' Satu kecupan hangat mendarat di kening wanita cantik yang sedang menyelami mimpi setelah pertarungan panasnya semalam. Dengan langkah perlahan agar tidak ampai membangunkan istri kesayangannya itu, Jalu melangkahkan kakinya pelan ke kamar mandi. Dia harus segera berangkat ke kantor karena ada meeting pagi ini. Sarapan sendiri seperti biasanya dan menyiapkan teh melati yang akan mendingin dan siap untuk diminum jika nanti istrinya bangun setelah lelah di tubuhnya menghilang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumahnya, Jalu kembali ke kamarnya lagi, mencium kening itu lagi, dan mengelus rambut panjang itu lagi. Kenapa sangat berat meninggalkan permata indahnya itu berangkat bekerja sebelum melihat binar mata indah itu. Dia menggeliat. Meraba ranjangnya yang sudah mendingin menandakan empunya sudah terlalu lama meninggalkan tempat itu. Dengan tubuh yang masih telanjang, dia segera berjalan dengan malas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rumah ini sangat sepi. Sarapan roti bakar dan selai coklat yang nikmat ini pun, kadang terasa hambar, seperti teh melati yang sudah mendingin yang dia yakin telah disiapkan oleh suaminya sebelum berangkat bekerja tadi. “Non ... ada telepon.” bibi yang biasa membersihkan rumah ini mendekat dan menyodorkan gagang telepon rumah kepadanya. “Hmmm?” [Sayang? Berkasku ketinggalan, map berwarna coklat di laci ke tiga di sisi kanan meja kerja, tolong---] “Iya, Sayang ... aku akan mengantarkannya setelah ini. Aku mencintaimu. Muah.” [Aku lebih mencintaimu istriku. Jangan terlalu lama.] “Iya, Sayang.” Setelah mengambil apa yang dicarinya, wanita itu segera menuju ke mobilnya dan bersiap mengantarkan map yang dibutuhkan suaminya itu. “Non Kusuma ... apakah akan makan siang di rumah atau ikut bapak makan di luar?” bibi di rumah ini akan memasak jika diminta saja. Wanita bernama Kusuma itu tersenyum, “Bibi jangan lupa makan, mungkin nanti saja makan di luar sama mas Jalu.” Ya ... semua seperti sempurna. Senyum mengembang, kebahagiaan, harta yang tak kekurangan, kebutuhan nyang tercukupi, pasangan yang mencintai kita sepenuh hati, ah ... rasanya Tuhan begitu baik kepada hambanya. Tapi saat kesepian yang lain mulai menyiksa diri ini, bahkan kenikmatan itu seperti tidak berarti. “Maaf, Sayang ... ada sedikit masalah tadi, jadi rapatnya sedikit agak lama. Apa bosan menungguku sendirian di sini?” Jalu mengeluskan punggung tangannya ke pipi yang merona jika dia goda itu. “Ya ... aku bosan, Mas. Apa kita bisa makan siang bersama?” Kusuma tersenyum manis, semanis es kelapa muda saat kita sedang berada di pantai tepat jam dua belas siang. Segar dan sangat dibutuhkan. “Tentu saja. Aku akan menurutimu meski makan mi instan sekali pun.” Jalu terkekeh, entah sudah berapa lama Kusuma tidak makan makanan itu karena dia sangat tidak menyukai makanan instan satu itu. “Tidak, Mas ... aku ingin tempat yang ramai dan banyak anak kecil di sekelilingku.” Kusuma sedikit berpikir untuk menentukan pilihannya. “Ke mana, Sayang?” “Hmmmm ... mall?” Jalu mengangguk, “Boleh. Peluk aku dulu.” Kusuma terkekeh. Tanpa menunggu lama dia segera menenggelamkan tubuhnya yang kalah jauh ke dalam d**a hangat milik Jalu. Suasana riuh sangat menyenangkan. Anak kecil berlarian ke sana ke mari meminta sesuatu yang dianggapnya menarik. Kusuma sangat suka dengan tempat ramai ini. Dia bahkan berpikir jika malaikat kecil itu hadir di tengahnya dan juga Jalu, dia akan memenuhi semua keinginannya yang ditunjuk oleh jari mungil itu. “Makan apa, Sayang?” Jalu mengeratkan genggaman jari itu serta mengecupnya cepat. Jalu tahu Kusuma sedang mengkhayalkan seorang malaikat sekarang. “Aku akan duduk di sini, Mas ... belikan apa saja, aku pasti akan memakannya.” Kusuma memilih kursi yang paling luar agar masih bisa melihat keriuhan di kejauhan sana. 'Cup.' Jalu mengecup kening itu, “Aku tidak lama.” Jalu segera beranjak dari duduknya dan mencari makanan yang pasti disukai istrinya itu. Usia pernikahan lima tahun dan masa pacaran yang dilalui beberapa waktu sebelumnya, cukup membuat Jalu hafal di luar kepala apa saja yang disuka wanitanya itu. Dan tidak perlu waktu lama, dia pun mendapatkan apa yang akan mengisi perutnya dan juga perut Kusuma sebentar lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD