Bertemu

1090 Words
Sebuah kertas berwarna maroon tergores tinta hitam dengan tulisan tangan yang begitu indah menurutnya. Berderet kedua belas angka berjajar membentuk barisan rapi dan sebuah catatan yang cukup menyentuh kalbu. ‘ Terima kasih atas pengertian rasa sakitku ini Aku ingin memelukmu andai saja aku bisa Tapi hatiku yang pilu membuatku lumpuh jika harus berhadapan denganmu Dariku yang terlalu rapuh menghadapi kenyataan ini Lintang Aurora’ Sudut buburnya terangkat. Meski terlihat jahat karena membuka luka lama itu, setidaknya dia menang dalam permainannya sendiri. “Aku mencarimu ke mana pun! Kau membuatku takut.” dipeluknya tubuh yang selalu menghangatkan ranjangnya itu dengan erat seakan takut jika sedikit saja ada celah di sana, semuanya akan semakin menjauh. “Maaf.” “Kita pulang sekarang?” “Iya.” menoleh ke belakang dan mendada pria yang berada tepat di belakangnya. Pria itu pun ikut tersenyum setelah menerima hadiah lima puluh juta yang sudah dijanjikannya tadi. *** Mentari bersinar lembut pagi ini. Akasa segera meraih ponsel di sebelahnya dan mengetikkan angka yang baru saja didapatkannya tiga hari yang lalu. ‘Hey ... .’ Tidak ada balasan setelah menunggu lebih dari tiga puluh menit. Karena penasaran, dia pun memilih mengiriminya pesan kembali. ‘Tolong simpan nomorku karena aku sudah menyimpan nomormu juga.’ Dikirimkannya pesan itu bersamaan dengan sebuah foto tangkapan layar dengan nama ‘Lintang Aurora milikku seorang’ dan foto profil sebuah gadis tersenyum imut dengan bibir mengerucut. ‘Ya ... aku juga sudah menyimpannya, maaf aku terlalu sibuk dengan novelku, mungkin akan telat membalas pesan darimu.’ Akasa tersenyum. Jangankan berhadapan langsung, membaca pesanya saja rasanya semenyenangkan ini. ‘Sudah makan? Jangan lupa makan nanti lambungmu sakit.’ Akasa beranjak dari tempat tidur nyaman itu, masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya agar terasa segar. Sepeti biasanya. Berolah raga, minum kopi pahit, makan telur rebus, dan menonton TV untuk menghilangkan keringat yang menempel di tubuhnya, kemudian mandi kembali untuk yang ke dua kalinya. Menyambar kunci mobilnya, berkeliling di perusahaan properti miliknya untuk melihat para pekerjanya, dan bertemu dengan rekan yang tak terlalu akrab dengannya itu, meski dia pun sangat malas menghadiri pertemuan itu. Rutinitas yang sangat membosankan jika dilakukan hampir setiap hari. Meski uang tidak pernah surut dari dompet dan juga sudut rumahnya, nyatanya kesepian tetap merambat dan menggerogoti tubuhnya yang mulai lelah dan bosan itu. ‘Sayang ... jangan lupa nanti malam ada acara yang harus kita hadiri, jangan terlalu lelah. I love you.’ Akasa tersenyum kecut. Meski orang yang dikasihinya begitu perhatian, tapi kehadirannya lebih dibutuhkan saat ini. Saat memainkan ponselnya, Akasa teringat dengan Lintang. Senyuman manis itu seperti menari dan menariknya lebih dalam. Membutuhkan sugar daddy please (dengan emot mupeng) Akasa terkekeh membaca status W.A yang menggelitik itu. Tangannya terasa gatal dan usil ingin mengomentarinya, ‘Mau apa sih? Yuk deketan yuk!’ ‘Maaf tidak menerima rayuan gombal buaya darat. Hehehehe.’ Akasa tertawa sekarang, Lintang sangat seru dan membuatnya ingin lebih dekat sekarang, ‘Siapa yang buaya? Aku kan komodo, lebih ganas dan bikin kamu betah.’ ‘Ah ... sak ae king kong.’ ‘Cieeee ... baper nih ye ... .’ Akasa membalas lagi. ‘PD ya Anda?’ ‘Tentu dong ... .’ Lima menit, sepuluh menit, tidak ada lagi balasan di ponselnya. Akasa menyimpan ponselnya dan mulai berselancar di dunia maya. Melihat berbagai musik dan sastra yang dia suka, dan berhenti saat tidak sengaja sebuah perusahaan online sedang mengadakan kontes menulis puisi bertema Langit sekarang. Akasa tertarik dan mulai membaca syarat-syarat yang dibutuhkannya, cukup tersenyum lebar karena ternyata persyaratan itu tidak terlalu sulit. Akasa segera menghubungi Admin yang bertugas mengawal jalannya lomba. Berhasil. Setelah masuk ke dalam grup dan berkenalan liwat ponsel saja, Akasa sangat senang karena ternyata semua anggota di sana mudah akrab dan cukup perhatian. Akasa berselancar lagi lebih menyelami dunia maya itu. Mencari inspirasi sambil mendengarkan kidung Jawa yang sudah ditekuninya selama beberapa waktu terakhir ini, memejamkan matanya agar lebih meresapi semua suasana damai yang diciptakannya sendiri. ‘Iki tulising kidhungku kanggà sirà hamsarining kalbu Esème kang manis madu dasar ayu parasmu kang tanpà tatu.’ 'Cup.' Kecupan hangat mendarat di pipi kanannya membuatnya berjingkat pelan, “Ngagetin.” Terdengar kikikan renyah memenuhi ruangan yang seakan mati suri itu, “Sudah mandi?” “Belom.” Akasa telur berselancar di atas qwerty laptopnya. “Buru, entar telat.” “Iya, Ayang bebebku zeyeng. Muah.” Akasa segera beranjak dari duduknya dan mencari handuk, berjalan cepat ke kamar mandi dan segera bersiap ke pesta malam ini. Suasana merah terasa sangat mewah. Alunan musik lembut sebagai pengiring dansa seakan mengajak kaki pendengarnya untuk turun dan ikut meliukkan tubuhnya. “Oh itu di sana, kita akan memberi selamat lebih dulu kepada mempelai yang tersenyum sumringah di sana.” Jalu menggandeng tangan lembut kesayangannya itu, mengecupnya sekali dan mengajaknya beriringan mendekati sepasang pengantin yang baru saja mengucap janji suci tadi pagi. “Hey ... selamat telah mendapatkan satpam yang baru untuk dunia malam kita.” “Gila. Parah, parah, parah, parah, parah, sahabat cap taik nih pasti. Hahahahahaha.” “Selamat menempuh hidup yang lebih ketat ya ... aku yakin pasti Anda sangat betah nanti.” “Hahahahahaha. Terima kasih, Kusuma ... ternyata pasangan gesrek itu beneran ada, ya? Noh kalian buktinya.” Kusuma terkikik, terdengar sangat lucu di telinganya. “Mana keponakanmu yang katanya mau kerja bareng aku?” Jalu menanyakan rekannya yang baru karena sahabatnya yang biasa memegang kendali cukup penting di perusahaannya itu, menikah dan harus langsung pindah ke luar kota. “A ... itu dia. Gusti!” teriaknya. “Ya, Bang.” pria bernama Gusti itu mendekat dengan gadis yang memiliki senyuman manis seteduh bintang di malam hari. Saling berjabatan tangan dan saling menyalurkan energi positif di antara ke sepuluh jari yang saling bersentuhan itu. “Gusti, ini pacarku, kalau dia mau, Lintang.” Deg. “Malam ... senang bisa menghadiri pesta yang istimewa ini.” Lintang tidak pernah melunturan senyuman manis itu sedikit pun. “Gitu doang? Jawaban tembakanku yang tidak langsung tadi mana?” Gusti menampakkan wajah seriusnya. “Jangan mulai ya?” Lintang mengacungkan bogeman kecil yang hanya mengudara itu. Semuanya terkikik mendengar candaan akrab itu, kecuali satu orang yang membeku di tempatnya. Telinganya seakan panas dan darahnya mendidih seketika, andai dia bisa pasti sudah merobek mulut sia^lan yang berani mengaku kalau Lintang adalah gebetannya. Sungguh jiwanya sangat terbakar sekarang. Bahkan gedung yang sangat sejuk dengan pengaturan suhu yang maksimal ini pun tidak cukup meredakan kobaran amarahnya yang seakan mampu membakar semuanya sekarang. Tawa renyah keakraban itu pun menjadi tawa mengejek penuh dusta tertangkap oleh kemarahannya setelah gelombang suara itu mengalun dari seorang gadis manis yang tak sengaja ditemuinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD