Chapter 26

1541 Words
“Rumi, aku bukan anak kecil lagi.” “Aku tahu kalau sahabat aku ini bukan anak kecil lagi, tapi 'kan disini hanya ada kita berdua gak ada yang liat juga 'kan, jangan sok cantik deh, yang jaga image biasanya juga suka jambakan.” “Stop, berisik tahu.” Ucapku sambil mengambil napas lalu aku hembuskan perlahan. “Aku pingin, pingin camping.” lanjut ku lirih. “Camping?” aku mengangguk dengan senyumku. “Tapi gak hari ini 'kan?” lanjutnya bertanya. “Ya, harus hari ini lah.” “Mana bisa.” “Bisa aja.” “Aku yang gak bisa.” “Kenapa?” “Cuti ku dah cukup satu hari minggu ini.” “Makanya buka resto sendiri dong.” “Tenang, lagi di susun.” “Baguslah.” Ucapku, ia mengangguk dengan senyumnya. “Jadi butuh hiburan?” tanyanya. “Kenapa? Mau nemenin aku happy-happy hari ini?” “Ya, bisa. Mau ikut gak?” “Kemana?” “Ada deh.” Ucap Rumi yang memutar stirnya dan membawaku untuk pergi ke suatu tempat, yang aku sendiri belum tahu akan di bawa Rumi pergi kemana. Tapi seharusnya aku menikmati perjalanan ini kan, Rumi sudah mengorbankan waktunya untukku hari ini, tapi tidak juga sih, karena kami selalu ada timbal balik, meski tidak meminta. jika tadi aku yang menemani Rumi mungkin sekarang dia yang akan menemani aku, lebih tepatnya dia akan menghiburku hari ini, yang entah aku akan di bawa kemana. *** Ternyata Rumi membawaku ke tempat yang membuat ku nyaman, tempat yang aku inginkan. Rumi, dia paling tau yang aku inginkan saat ini dan sahabat yang selalu bisa menghibur ku. Tempat ini menyejukkan dan banyak yang mengunjunginya, tempat ini juga sering di gunakan untuk camping, tempat yang begitu banyak nuansa kemurnian dari alam, ketika sampai di tempat aku tak hentinya mengembangkan senyumku, senang karena Rumi begitu tahu apa yang aku mau ia selalu berusaha mengabulkan keinginan ku dan juga aku senang, karena begitu kagum dengan tempat ini, aku langsung turun dari mobil yang disusul oleh Rumi. Tempat yang banyak pohon karet dan tanah yang luas tidak di tumbuhi rumput liar hingga membuat kesan tempat ini semakin indah pohon karet yang tumbuh telanjang tanpa rumput liar itu tumbuh di sekitar daratan dan saat kita berjalan terus ke depan, kita akan menemukan sebuah danau hijau, lalu saat kita berjalan ke samping kita akan melihat dataran rendah dimana disana ada banyak lampu-lampu yang menerangi kota saat malam tiba, lampu-lampu itu berasal dari rumah dan gedung-gedung mewah dan tinggi yang ada di kota. Aku merasa senang bisa jalan-jalan disini aku duduk di dekat danau dan tempat yang strategis aku bisa melihat dataran rendah, aku menatap sekeliling dan melihat Rumi yang selalu mengikuti ku dari belakang, aku tersenyum padanya dan menepuk tempat di sampingku, mengisyaratkan bahwa aku menyuruhnya untuk duduk di sampingku. Ia tersenyum dan dengan cepat langsung duduk di tempat itu. Kami menikmati suasana hening sesaat, dan terdengar suara gesekan ranting dan dedaunan dari terpaan angin juga kicauan burung, aku menatap Rumi dan mengajukan pertanyaan yang membuatnya entah harus menjawab apa. “Rumi.” “Ya.” “Kenapa kamu lakukan ini?” “Lakukan apa?” “Sedari kecil, Kamu selalu mewujudkan apa yang aku inginkan dan selalu berusaha menghiburku, saat wajahku mulai tertekuk hingga akhirnya aku mulai tertawa kembali. Kenapa kamu selalu lakukan itu?” “Karena kamu sahabatku, aku tidak ingin melihat sahabatku sedih.” “Seperti itu?” “Ya, seperti sekarang. Saat sudah besar kita jarang sekali bertemu, dan sekalinya bertemu selalu dalam ke adaan perasaan yang sulit, meski kamu pandai menutupi, tetap saja ada yang berbeda, Raline.” “Begitu ya. sejelas itu.” Ucapku dan menghela napas, ia menoleh ke arahku. “Kau masih menganggap ku sebagai sahabatmu atau bahkan kerabat?” “Tentu saja.” “Ceritakan lah, jika kau percaya padaku. Aku akan merasa sangat senang.” “Apa yang harus aku ceritakan?” tanyaku yang membuat manik matanya menatapku tanpa kedip dan seolah tatapannya itu penuh dengan intimidasi, seketika itu aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. “Kamu mengetahui itu, baiklah. Aku akan ceritakan semua padamu.” “Memang harus.” “Okay, meski sebenarnya aku sendiri bingung harus memulainya dari mana, tapi akan aku ceritakan padamu.” “Terima kasih karena sudah menganggap aku sebagai orang yang dekat denganmu.” “Kau harus menghargai kepercayaan yang aku berikan padamu.” “Tentu saja.” Ucapnya dan aku mulai menceritakan semuanya pada Rumi, ia benar-benar menjadi pendengar setiaku yang patuh dan sangat memperhatikan apa yang aku bicarakan. “Semua itu, di mulai saat aku kuliah aku mengenal seorang pria yang tampan dan juga cerdas, Pria ini sangat sederhana.” “Kami lain kampus, tapi kami bisa saling kenal karena kami ikut organisasi kampus yang sama dan itu membuat kami juga sering bertemu.” “Aku senang ikut berbagai organisasi yang ada di kampus dia juga begitu dan ada satu organisasi yang membuat kami bisa saling bertemu dan akhirnya kenal lalu dekat, dia pria yang sangat baik dan sopan.” “Meski pada akhirnya aku tahu dia juga salah satu dari komunitas anak-anak pemotor moge, yang awalnya aku mengira anak motor itu breng*ek semua dan suka hura-hura semau-mau mereka, tapi aku salah mengira dia seperti itu, karena kenyataannya dia seorang pemuda yang sederhana dan sangat menghargai waktu. Dia mengatakan, (this is my hobby yang tidak bisa aku tinggalkan masalah yang sering terjadi pada orangnya itu adalah pribadi masing-masing bukan karena hobby itu.) dan dia juga mengatakan, (Aku sangat menghargai waktu, dan aku tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal seperti apa yang kamu pikirkan.) disitulah aku terdiam dan berfikir, mungkin dia benar tidak semua watak dan pribadi orang sama, bukan? Meski pengaruh lingkungan sangat kuat. Hingga aku mulai belajar mengenalinya.” “Aku mulai memahaminya, dia memang berbeda dari yang lainnya, dia juga tidak bisa melepaskan hobby itu, meski sibuk dia akan selalu menyempatkan waktu untuk bertemu teman-temannya walau hanya satu jam dalam waktu seminggu dia akan menggunakan waktu liburnya untuk bergabung dengan yang lain, ternyata dia sering ikut acara amal dan main ke panti, aku turut senang karena dia mengambil sisi positifnya. Dan sekali-kali dia akan pergi jalan-jalan keluar kota atau daerah dengan mogenya itu.” “Hingga aku mulai menerima cintanya, kami menjalani banyak momen suka duka, aku dan dia bahkan sudah berkomitmen untuk masa depan, dua tahun setelah wisuda akan menikah dan menjalin hidup bersama, aku sangat senang dengan hubungan kami, dia benar-benar sangat menyayangi ku.” “Dia juga bahkan sudah bekerja sebelum wisuda, selain tampan dia pria yang pekerja keras juga cerdas. Aku sangat bahagia bisa menjalin hubungan sebagai pacarnya, dia pria yang sederhana juga menghargai waktunya.” “Hingga tiba saat itu, hampir satu tahun yang lalu, aku berniat akan memberi kejutan padanya di hari ulang tahunnya dan kurang lebih seminggu sebelum hari ulang tahunnya aku memutuskan hubungan kami, dan mengatakan hal yang kurang bagus dan itu pasti sangat menyakiti hatinya. Hingga aku dan dia beberapa hari jarang bertemu dan konteks, juga kejadian di mall saat itu, kamu ingat? Saat akan mengambil perhiasan untuk mas kawin kakak ipar?” “Ya aku ingat, dia menghampirimu dan kamu juga berniat akan membelikan hadiah ulang tahun untuknya 'kan?” Jelas Rumi menyahuti ku. “Ya, Rumi. Dia telah salah paham padaku. Aku tidak menyangka jika prank yang aku lakukan untuknya saat itu adalah awal dari akhir hubungan ku dan dirinya, Barack. Aku sangat menyesalinya.” Tidak terasa waktu terus berjalan, hari yang cerah semakin gelap, cahaya indah di langit, mulai tampak. Membuat langit menjadi tampak semakin indah di malam ini. Aku bercerita tentang apa yang aku pendam kepada dia sahabatku orang kedua tempat ku bercerita setelah Vendry Sky. Aku akan meminta pendapat sahabatku itu, apa yang akan dia ucapkan untukku. “Aku sangat sulit untuk melupakan dirinya sampai sekarang, aku masih menyayanginya, tapi sejak saat itu aku merasa dia benar-benar berbeda seperti ada yang ia tutup-tutupi, aku sangat menyesal melakukan prank itu. tapi aku juga tidak bisa terima jika cintaku ia dua kan aku sangat benci perselingkuhan dan hadirnya orang ketiga, aku juga pernah menerima dia kembali karena melihat perjuangannya dan mengingat kenangan kami di masa lalu, tapi setelah kejadian aku memaafkan, dia masih tetap melakukan hal yang membuat aku semakin membencinya, tapi hati dan perasaan ku masih ada untuk dia. Ini sangat rumit, Rumi. Hiks! Menurut kamu, apa yang harus aku lakukan?” “Memang apa yang bisa kau lakukan? Tenangkan hati kamu dan sibukkan dirimu, jika tidak ingin memikirkan tentang dia terus.” “Tapi aku selalu tidak fokus dengan kegiatanku saat pikiranku mengingat tentangnya, kenapa wajah sendu dan perjuangannya selalu aku ingat?” “Kalau itu masih sulit cobalah untuk berteman dengannya. Kau masih mencintainya.” “Aku, aku, tidak! Aku membencinya bukan mencintainya.” Teriakku pada Rumi yang langsung merangkul leherku dan melihat ke arah langit. “Aku mengerti.” Dua kata itu yang membuat aku terdiam, aku menatap langit yang sama dengannya. Hari semakin gelap tidak hanya dari langit yang terdapat cahaya tapi ditempat itu sekitar kami juga banyak lampu dan di dataran rendah itu juga lampu-lampu mulai menyala menerangi kota menciptakan malam yang lebih mengagumkan. “Sudah malam, kita harus pulang.” Ucap Rumi. “Ya, ayo kita pulang.” Ajak ku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD