Noda dalam Pesantren

1369 Words
"Mana? Di mana bercak darahnya?" Suamiku masih seperti orang kesurupan, membolak-balik sprey yang berantakan karena hubungan pertama kami. "E-e-em-maafin adek," gagapku sambil menunduk dalam. Pria itu menghentikan pergerakan lalu menatap ke arahku. "Aku, aku, aku ... sudah tidak perawan," ucapku dengan mata memanas. Air mata ini tumpah juga setelah kutahan-tahan. "Kamu membohongiku dan keluargaku, Dik?" Pelan suara itu meluncur dan menekan. Saat mendongak untuk melihat wajah suami, dua mata itu memerah dan basah. Mungkin kah sama sepertiku, matanya perih dan panas? "Ma-maaf." Aku kembali menunduk. Belum juga bisa menstabilkan deru takut dalam d**a, lenganku ditarik kasar. Sambil memegangi selimut aku pasrah mengikutinya. "Jangan, Gus." Aku menggeleng saat sadar ia akan membuka pintu kamar. Berusaha menahan kemauannya. Di luar banyak sekali orang. Mereka masih bantu-bantu, bahkan dua orang tua dan kakakku masih di sini. Apa suamiku akan mengatakan pada semua orang bahwa aku sudah tidak perawan dan membuangku ke luar? Bukan kah aib seorang istri juga aib suaminya? Tidak bisa kah ia menahan sebentar. Lalu mengusirku saat semua orang tidak ada di rumah ini? Benar saja, tubuhku di lempar di tengah orang-orang yang masih sibuk dengan acara pernikahan kami. Semua orang -yang didominasi wanita- terhenyak. Menatapku yang menangis terisak karena perlakuan Gus Bed. Ibu melihatku, ia segera menghambur dan memelukku. "Ada apa, Nduk!" "Lihat dia! Dia tidak perawan dan sudah berzina dengan pria lain!" Suara Gus meninggi, membuat rumah yang ramai menjadi sunyi seketika. Semua orang hanya fokus mendengarnya dan menatapku dengan pandangan jijik secara bergantian. "Oh, sudah ndak perawan? Makanya, kan mbak sudah bilang, kamu nikah itu sama yang sekufu, bukan perempuan bebas seperti dia!" telunjuk Ning Aishwa mengarah padaku. "Li ...." Ibu meremas pundak hingga aku tersadar. Semua bayangan buruk malam pertama itu hilang. Aku mendesah berkali-kali. Jangan sampai petaka malam pertama dalam bayanganku terjadi. Aku harus jujur pada Ibu, Abah dan Mas Indra sekarang. Mereka tahu aku harus berbuat apa? "Bu, Bah ...." Kusebut dua orang itu, menatap mereka secara bergantian lalu pandanganku mengarah pada Mas Indra yang sedari tadi menyorot pandangan pada adiknya. Mas Indra menyilang tangan di d**a, siap menyimak dengan serius. Ia sepertinya tahu aku akan menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting. "Katakan Li, jangan takut. Mas akan melindungimu." Mendengar ucapannya aku malah makin menangis, tapi karena harus jujur kuusap kasar air mata yang menderas. "Mas, aku diperkosa," ucapku sambil terisak. "Apa?" Mereka bertiga mengucap terkejut. "Argh! b******k! Sial!" Mas Indra refleks memukul pintu lemari kayuku hingga meninggalkan bekas yang retak di sana. Tubuh Ibu bahkan sampai merosot ke bawah ranjang dalam posisi terduduk. Hanya Abah yang tampak bergeming, tapi tetap saja wajah tua miliknya terlihat syok. Mas Indra marah luar biasa, aku yakin tangannya sekarang tengah terluka karena menghantam almari. Ia berbalik menatap dengan garang ke arahku. "Li ... kamu kenal pria itu?!" tanyanya dengan d**a naik turun lantaran amarah. Aku mengangguk pelan. "Maafkan Li, Mas," lirihku. Suara ini seolah tercekat di kerongkongan saat mengucapnya. Mungkin Fay sangat dendam. Hari di mana kami putus, aku mempermalukannya di depan semua orang. Termasuk di depan rekan satu lokal dan beberapa dosen kami. Ya Tuhan, aku hanya bisa merutuki kesombonganku dulu. "Ngaca donk, Fay! Kita tidak mungkin menikah sementara satu semester saja kamu habiskan selama tiga tahun, masa depanku akan suram bersamamu!" teriakku tepat di depan wajahnya. Sejak hari itu kami tak pernah bertemu, hingga kudengar kabar bahwa ia memilih pindah ke luar negeri. "Fay, Kak." Bahkan menyebut namanya saja aku merasa jijik. Jijik pada perbuatannya juga jijik pada tubuhku sendiri. "b******k! Datang-datang bawa mala petaka," geram Mas Indra sebelum meninggalkan ruangan. Ada api di matanya seolah siap membakar seseorang yang membuatnya murka. "Indra! Tunggu!" seru Abah mengejar anak sulungnya yang dikuasai emosi. "Jadi ... apa rencanamu, Li?" Ibu bertanya dengan tatapan kosong ke dinding. "Kita jujur saja, Bu," jawabku tanpa ragu. "Maksudmu jujur pada keluarga Kiai Abdullah?" Seketika Ibu menoleh. Ini adalah pembicaraan serius yang tentu saja mengundang perhatian lebih darinya. "Li, nggak mau dipermalukan Gus di malam pertama, Bu." "Dipermalukan?!" Ibu lebih antusias hingga tubuhnya yang sempat luruh ke lantai, bangkit dan kembali duduk di ranjang mengahdapku. "Katakan apa maksudmu?" Aku terdiam bingung bagaimana menjawabnya? Tidak mungkin semua itu terjadi dalam bayanganku karena tak jujur ada mereka. Kepalaku kembali menunduk, dan lagi ... hanya bisa menangis. "Dengar, Li! Lihat ibu!" Wanita paruh baya itu kembali memegang dua pundakku. Bahkan lebih menekan dari sebelumnya. Kudongakkan kepala sembari mengusap pelan pipi yang basah. Tampak jelas mata lebar Ibu yang dipenuhi kaca-kaca itu bergerak. "Jangan turutkan asumsimu, Li. Ini musibah. Ini takdir yang tidak bisa kamu pilih. Selama mereka tidak bertanya, kita tak perlu menjawabnya. Benar, kan?" Ibu melebarkan matanya. Jelas sekali kalimatnya adalah sebuah paksaan. "Tap-ta ...." "Li, ibu tak mau lagi melihatmu jatuh dalam kenistaan, Sayang. Menurut lah pada Ibu." Ibu menyisihkan sebagian rambut yang menutup sebagian wajahku. Belum lagi aku menjawab, wanita itu memelukku. "Ini bukan nasehat, Li. Ini perintah." Nada suara Ibu menekan. Ya Rabb. Apa yang harus kulakukan? Semua yang Ibu katakan sepertinya benar, meski ada sisi hatiku yang lain memprotesnya. _________ Hari beranjak sore, setelah dua jam pergi akhirnya Abah dan Mas Indra datang. Wajah mereka tampak suram, lebih abangku. "Bagaimana, Bah?" Ibu tak sabar ingin mendengar apa yang terjadi. Sedang pria tua itu hanya menggeleng. "b******k! Fay tidak tinggal di rumahnya yang dulu, Bu!" dengkus Mas Indra. "Ya, sudah. Biarkan saja." Ucapan Ibu sontak membuat Abah dan Mas Indra menoleh ke arahnya. "Ini adalah takdir. Kita urus nanti saja, yang terpenting sekarang ini adalah pernikahan Li dengan putra Kiai Abdullah." Ibu bicara serius. Seperti biasa, pendapatnya lah yang paling kuat di rumah ini. Bahkan Abah pun seringkali mengalah dan nurut apa maunya Ibu. Keberadaan wanita itu seperti kompas, saat kami kehilangan arah jalan. Untungnya apa yang ia putuskan menjadi jalan terbaik untuk kami. Bissmillah! Ini adalah keputusan terbaik! ___________ Akad nikah akhirnya digelar. Hanya ada dua keluarga besar yang hadir dan sebagian pengajar juga santri pilihan. Menyusul dua hari kemudian akan dilaksanakan resepsi akan dilaksanakan. Kami sengaja memberi jeda agar acara bisa berjalan lebih optimal. Semua berjalan khidmat. Lelaki sempurna itu akhirnya jadi suamiku. Aku bahkan sampai meneteskan air mata saking senangnya. Bukan, maksudku senang yang didominasi rasa takut sebab pernikahan ini berdiri di atas kebohongan. Kami semua duduk di dalam masjid pesantren yang luas. Tamu laki-laki dan perempuan dipisah gorden setinggi satu meter. Sedang aku duduk paling depan, ditemani Ning Aishwa, Kakak perempuan Gus Bed juga Ibu dan Umi Aisyah, ibu Gus Bed sekaligus istri Kiai Abdullah. "Oh, MaasyaAllah, ini istrinya Gus Bed yang baru selesai S2 itu?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru datang. Yang kemudian aku tahu dia adalah kakak Umi Aisyah. Entah, kenapa aku merasa tak asing dengan wanita itu. Aku tersenyum dan mencium tangannya dengan sedikit membungkuk. "Selamat ya, Nduk. Ndak rugi walau pun bukan dari kalangan santri, calonnya cantik dan terpelajar. Bude juga sering dengar Aishwa cerita, kalau calon Gus Bed juga gadis sholehah yang banyak prestasi." Wanita itu terus memuji, senyumku makin mengembang karenanya. Namun, saat mendongak dan akan kembali ke posisi semula, mataku tak sengaja melihat seorang pria yang berjalan di barisan ikhwan, bahu hingga bawah tertutup kain pembatas. Terlihat bahu hingga kepala yang membuatku gagal fokus. "Fay?" Bagaimana dia bisa ada di sini? "Hem?" Budenya Gus bereaksi saat nama itu kusebut. Ia menoleh ke arah pandanganku tertuju. "Kamu kenal, Fay, Nduk? Dia anak saya." "Ap-apa?" tanyaku tak percaya. Saat menoleh pada Ibu, wanita itu juga tampak syok. Ya Rabb, baru juga akad berlangsung, Gus dan keluarganya belum tahu apa yang menimpaku, kini masalah baru muncul. Aku dan keluargaku tak pernah tahu bahwa mereka kerabat dekat. ___________ Aku mematut diri di depan cermin, tampak bayangan seorang gadis yang mengenakan gamis serupa kebaya yang di desain khusus. "Cantik, Li." Bayangan gadis dalam kaca memperlihatkan mata berkaca-kaca. Apa gunanya kecantikan ini, jika tubuhnya tak lagi suci? Di dalam kamar, sudah hampir satu jam aku menunggu. Gus Bed belum juga datang. Kecemasan mulai menjalar di pikiran. Mungkinkah Fay sudah bicara dengan suamiuku dan menceritakan semuanya. Aku terhenyak begitu mendengar suara derit pintu. Pria tampan yang masih mengenakan jas koko berwarna putih masuk ke kamar. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Jantungku berdetak tak karuan. Ya Rabb apa yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah apa yang kubayangkan tempo hari akan terjadi karena aku memilih diam dan meneruskan pernikahan? BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD