#2 A Wedding Party

1398 Words
...The Groom... Tibalah Lelaki datang ke ruang Make-up yang digandeng Ibu. Dari gesture-nya, waktu Ibu berbincang-bincang dengan Dia sepertinya sudah kenal lama. Apa cuma Aku yang baru ngeuhh ya? Kalo sebenernya Keluargaku punya hubungan deket sama Doi. Entahlah, acara perjodohan ini kok malah buat Aku yang semangat ya. “Sabar-sabaaarrr... Sabar Bunga, jan nunjukin kalo Lu juga demen sama tuh Laki. Enggak tau kenapa? Mood boosters Gue tiba-tiba datang,” bathinku membeo. Padahal sama Calon Suami saja belum pernah ketemu, cuma waktu itu Nyokap pernah nunjukin photo tapi Aku gak begitu peduli. Meskipun kenyataannya, bahwa Cowok yang di depanku ini udah berumur. Yup, tebakanku sih sekitar 40 tahun umurnya. “Uuhhh… Brewoknya itu lohh yang gak dicukur nambah seksi, Alisnya tebal dan Iris Mata yang berwarna Coklat terang dan Rambut gondrong mirip Tom Cruise di Film Last Samurai. Ditopang perawakan yang Tinggi tegap sekitar 190 cm, d**a bidang dan Tangan kekar berotot,” bathinku memuji. “Perfect! Njirrr lumer Gue,” makiku dalam hati. Sampai lupa, gimana caranya menelan saliva akibat kehausan habis makan lupa minum. “Woyyy, air mana air? Tenggorokan berasa kering dan nafas berasa berat. OMG kenapa Gue?” Lagi dan lagi bathinku memuji Lelaki di hadapanku. “Hallo Cantik, kenalin Aku Aldo Budi Sugiharto, panggil aja Aldo ya. ehh Sayang deh kan mau jadi Suami,” sapanya. Sembari menggenggam erat tanganku dan berbisik pas tengkuk. “Hallo juga namaku Bunga,” timpalku. Sembari membalas genggamannya dan berusaha tenang setenang air di kolam ikan Lele. Hahaha… “Siapa yang gak bangun bulukuduknya pas kenalan bisi-bisiknya di Tengkuk sambil meluk lagi, ya kali Kuping pindah ke belakang. Arghhh... sh*t! Asal tau aja, itu salah satu area tersensi Gue,” gerutuku. Dari tatapan Mata ramah, sekarang tatapanku berubah jadi melotot karena Dia berbisik di area tersensiku. “Gak usah melotot gitu ah matanya, cepet ato lambat Aku bakal sering ke situ buat bangunin Kamu,” ledeknya. Seraya Terbahak dan menghilang ninggalin ruang make-up, dengan membawa Tuksedonya. “Hemmm… Nih Cowok ya mentang-mentang udah banyak pengalaman, Gue kek gak ada harga dirinya banget dahh,” omelku tak tertahan lagi. Mau makeup tapi natural aja dan yang terpenting adalah Rambutku harus digerai demi menutupi Gaun Pengantin ala Sundel bolong. “Sialan nih yang pesen Gaun kebuka banget depan belakang,” keselku. Namun, jujur saja gaun ini sangat Elegant dan mewah, dengan model Kebaya kutu baru yang dikombinasikan menjadi Gaun ala Barat. Di ruang makeup, Aku sering debat dengan MUA karena ketika seorang MUA dandanin penganten adalah panen raya buat Mereka. MUA dibayar mahal untuk sekali seumur hidup, dengan final-nya adalah buat Orang-orang panggling bukan karena Pengantin aslinya tidak cantik tapi berkat sihir atau skill jadi rupawan. Itu mungkin mereka, tapi bagiku NO WAY! Aku ingin tampil sesuai diriku yang tomboy dan tidak berlebihan. Apa adanya, jangan sampe pas malam pertama suami kabur karena make-up sudah luntur. . ...The Bride... Finally, setelah satu jam lamanya dilukis kelar juga, fiughhhh! Bagiku acara ini dadakan, tapi tidak bagi Ayah dan Ibuku karena sudah direncanakan jauh-jauh hari. Buktinya Nikahan ini sama seperti pesta nikahan yang lainnya, ada MC dan MC pun gak kaleng-kaleng tapi Actor dan Actress terkenal yang sering muncul di TV, ada Live music yang “nyenyong” itupun Band yang sedang hits lagunya dan makin seru juga ada banyak Biduan Dangdut. Pas Aku ke Toilet tadi, tidak sengaja papasan dengan senior di Kampus dan kebetulan jadi salah satu staff WO (wedding organizer). Dannnn... Setelah Aku “kepo” sana-sini, ternyata Ayah udah persiapin Hari H ini 4 bulan yang lalu. Dengan syarat merahasikan dari siapa pun dan berani bayar WO 2X lipat jika buat pesta ini sukses. Seperti biasa Ibu sebagai tuan Rumah sibuk menyambut para Tamu. “Monggo, ayo-ayo mari silahakan duduk,” pinta Ibu. Mempersilahkan camer (calon mertua) beserta Keluarga besar pihak Cowok untuk duduk, dengan wajah ramah dan suara khas medhoknya. Akupun jalan dipapah Ibu supaya duduk bersanding dengan mempelai Pria. Seperti Ibu yang hendak mengantarkan Anaknya sekolah di hari pertama, rasa takut dan ragu ingin puter balik main karet di rumah saja terus menyelimuti pikiranku. Sembari kugenggam tangan Ibu, supaya tetap duduk bersamaku disini duduk bareng sebelah Mas Tom. “Sumpah deh, gak ada curiga sedikit pun kalo hari ini adalah 2X hari penting dalam hidup Gue, siang hari wisuda dan malam harinya Ijab Qobul dan pesta pernikahan. Mantabbbb! “ beoku dalam hati. Oh iya, ternyata baru sadar pas tadi siang di Acara Wisuda. Ayah malah sibuk ngobrol berdua dengan Lelaki dan ternyata Lelaki itu adalah Calon Suamiku. Sempet ngintip dari celah pintu, itupun juga tak sengaja pas mau ke toilet. Sampe serius gitu ngobrolnya, saking seriusnya sesekali saling merangkul Lelaki berkacamata itu. Entahlah apa Yang diobrolkan? Dan ternyata Lelaki itu ada disini, di sampingku udah lengkap dengan Setelan Tuksedo. “Om, Om Aldo Keren banget, bangettt,” bathinku memuji calon Suami dengan sedikit melirik dan memicingkan mataku. (Ah cieh cieh aciehhh belom apa-apa Lu udah jatuh cintrong,” ejekku dalam hati). “Saya terima nikah dan kawinnya Bunga Matahari Sahab Binti Abdul Khodir Sahab dengan mas kawin 1 set perlengkapan alat Sholat, 1 unit mercy AMG dan 1 unit Rumah beserta isinya dibayar tunai,” ucap Lelaki dengan suara barithon dengan sangat jelas dan lancar. “Gimana saksi dan para hadirin apakah ini sah ijab qabulnya? Tanya penghulu dengan suara yang tak kalah Lantang dan tegas. Sah … Sah…sah! Kemudian disambut bacaan Sholawat, Doa-doa dan teriakan-teriakan Selamat untuk Kami berdua. “Cieh, ciehh, ciehh bujang lapuk udah gak lapuk lagi.” Hahaha… sorakan demi sorakan dan teriakan demi teriakan menyelamati Kami berdua. “Tepat Jam 19:56 WIB Sah! Telah nikah secara Agama dan Negara dengan Lelaki pilihan Ayahku, akan kuingat ini seumur hidupku,” bathinku terus membeo. Berusaha mengingat moment istimewa ini, sembari mengelap Pipi yang mulai basah dengan sapu tangan. Moment yang paling menyentuh adalah sebelum Akad nikah dimulai, bersamaan itu pula Lelaki berkulit putih ini mengucapkan dua kalimah syahadat dan meyakini Islam sebagai keyakinannya sekarang dan seterusnya. “Alhamdulilah ya Allah ya robbi,” bathinku mengucapkan syukur yang mendalam. Setelah Selesai Akad Nikah, seperti biasa ada acara photo-photo, Makan-makan, ngobrol-ngobrol dan tak lupa nyanyi juga berjoged ria. Sepertinya surprised belum berhenti untuk hidupku. Setelah acara berakhir dan sebagian tamu undangan pamit, disuguhkan pemandangan yang lebih seru lagi yaitu disuguhi 10 Koper. Wow… 10 Koper itu isinya semua barang-barang di kamarku, yang udah dibereskan sama Bi Nani, ART Ibu yang udah ngikut Ibu lebih dari 35 tahun. “Selama hidup 22 tahun dilipet dalam 10 koper,” bathinku mulai lagi nelangsa ingin nangis sekeras mungkin karena kesal. Hari ini juga Ayahku melepasku mirip ngasih kantong belanjaan yang sudah di beli. “Nohhh barangnya, Lu boleh bawa dah,” begitu istilahnya. Segampang itukah Ayah melepasku? Lihat Ibu senyum-senyum sumringah dan tak ada tanda-tanda penyesalan. “Bunga, barangkali Suamimu mau ngajak Kamu Honeymoon, nanti Kamu bawa koper yang ini ya.” Jelas Ibu, sambil kebingungan dan akhirnya nunjuk ke Koper warna Hitam dengan garis sisinya warna Emas. “Ibu Yakin, Dia Orang baik yang dipilihkan Ayah untukmu. Kamu bukan lagi Remaja yang sibuk sekolah dan kuliah. Tapi sekarang Kamu sudah menikah dan menjadi seorang Istri. Jadilah istri yang baik nurut sama Suamimu ya Nak, Ok! Kamu menikah Malam ini saja sudah cukup buat Ibu Bahagia karena Kamu Anak Baik,” pesen Ibu memberikan wejangan panjang lebar. Ibu berusaha meyakinkanku untuk Pernikahan ini adalah hal yang terbaik, sembari memeluk dan mengelus-elus punggungku dengan amat sangat nyaman. Kemudian berakhir menciumku, dengan berasa basah di pipi, bisa jadi Ibu juga nangis. Aku masih ingin sekali memeluk Ibu lebih lama lagi, tapi Ayah terus-terusan nelpon. Sampai pada akhirnya, Ayah nongkrongin adegan Drama tadi. “Udah belom? Kalo masih lama juga Gue tinggal nih, Lu pulang naek taksi aja dah,” ancam Ayah ke Ibu. Tapi Gak ada respon dari Kami berdua, dengan terpaksa Ayahpun menunggu. Tak lama kemudian Ibu melepas tanganku, lalu dengan terpaksa dan berjalan menuju ke arah Ayah yang sedari 30 menit yang lalu sudah menunggu di Mobil Range Rover putih. “Trus Aku gimana dong? Huhuuu... IIbuuuu Aku ikut pulang aja bareng Ibu deh,” tangisku pun pecah. Sembari ngekor dibelakang Ibu yang sudah ada di Mobil, dan kemudian Mobil pun berjalan pelan tapi pasti wushh! menghilang ditelan gelapnya malam. Aku nangis histeris mirip bocah yang kehilangan Ibunya, sembari mengejar Mobil Ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD