7. Compensation : Books and Hot Coffee

2295 Words
"Ck, nambahin masalah aja itu cewek." Adelard, cowok itu tengah membuka lembar demi lembar buku catatan materi yang sebelumnya telah basah kuyup akibat guyuran kopi panas. Cowok itu menatap frustasi, masih dengan mengecek setiap halaman dari buku itu. Buku catatan materi yang akan memudahkannya untuk belajar itu sepertinya tak dapat tertolong. Pantas saja, seluruh bagian buku sudah tertutup oleh noda kopi. Padahal, sebelumnya, jika Adelard melewatkan jam pelajaran seperti izin sakit atau apapunーia akan meminjam buku catatan milik temannya agar ia tak ketinggalan materi. Memang, cowok ini sangat rajin dan pintar. Kali ini ia merasa frustasi dan ingin sekali memberi Jehan pelajaran. Namun, pagi ini, ia sama sekali belum menemukan keberadaan Jehan di sekolah. Dibawah pohon rindang tempat dimana anak-anak biasanya bersantai untuk istirahat ataupun menunggu bel masuk ini, Adelard masih sibuk dengan buku-bukunya. Semua catatannya ada di buku, ia tak sama sekali membuat ringkasan dalam bentuk file. Cowok bermata tajam itu mengedarkan pandangannya. Sayup-sayup angin membuat beberapa helai rambutnya beterbangan. Sosok Jehan saat inilah yang tengah ia cari. Tatapan para siswi dengan beberapa diantara mereka yang tengah membicarakan dirinya membuat Adelard tak nyaman. Tak ingin berlama-lama mencari Jehan, Adelard segera menggotong tasnya untuk bergegas masuk ke kelas. "Hai, Kak." Keysa, siswi cantik berambut panjang yang di temani oleh kedua temannya itu menghentikan Adelard. "Hai," jawab Adelard singkat, ia juga menyunggingkan senyuman yang tak seberapa itu. "Have a great day, Kak," ucap Keysa. Ia nampak bahagia ketika bisa berbincang langsung dengan Adelard. Shenna menyenggol lengan kiri Keysa, membuat Keysa tersipu malu ketika menatap temannya itu. Tak dapat dipungkiri bahwa Keysa memang memiliki ketertarikan terhadap Adelard. Sejak ia masuk SMA, ia sudah mulai mencintai Adelard. Namun, usahanya untuk bisa mendapatkan Adelard harus lebih ekstra, pasalnya cowok itu tak sama dengan lainnya. Bisa berpapasan lalu mengobrol dan mendapat senyuman tipis saja Keysa sudah bahagia. Momen seperti ini jarang ia dapatkan, karena usaha-usaha yang pernah ia lakukan tak pernah membuahkan hasil. Nomor telepon tak ia dapatkan, mengirim Direct Message juga tak pernah Adelard gubris. "Kalian kelas sebelas, kan? Kenal sama Jehan anak baru?" Shenna menatap Ola dengan perasaannya yang tak enak. Baru saja Keysa mendapat kesempatan emas untuk mengobrol dengan Adelard, kini satu nama gadis lain malah menjadi pusat pencarian cowok tampan itu. Kini berganti Ola yang menatap Keysa. Benar saja, raut wajah Keysa berubah 180 derajat. Nama Jehan berhasil menghancurkan suasana hatinya. "Oh, Jehan yang kemarin sama Galen ya, Kak?" tanya Shenna. Adelard mengerutkan dahinya sembari berpikir. Galen bersama Jehan? Namun, yang jelas sepertinya ia tak salah orang. Ia segera mengiyakan pertanyaan Shenna. "Kebetulan kita sekelas, sih, Kak. Kayaknya dia belum berangkat." "Gue titip pesen aja, ya. Bilang ke dia, pulang sekolah gue tunggu di depan." Ketiga siswi itu melongo sambil membiarkan Adelard pergi begitu saja. Lagi, Jehan kembali berurusan dengan Arsenio? Dua cowok bersaudara yang memiliki andil di sekolah. "Kemarin Galen, sekarang Adelard. Sebenernya Jehan ini siapa, sih?" tanya Keysa pada kedua temannya. Ola menggaruk kepalanya, "Jangan-jangan Jehan punya hubungan sama mereka?" Keysa hanya mengedikkan bahunya acuh. Rasanya sangat malas sekali membahas Jehan . "Keren juga Jehan baru masuk sekolah langsung bisa berurusan sama dua cowok keren," cetus Shenna. "Eh, tapi kan lo juga dideketin sama itu, tuh." Ola menaik turunkan alisnya untuk memberi kode pada Shenna. "Siapa?" "Eric, ih. Masa nggak peka?" "Ogah, cowok kayak dia pasti modus doang!" *** Jam pelajaran terakhir telah usai, Jehan segera mengemasi barang-barangnya. Suara para siswa yang bersorak kegirangan memekakkan telinga Jehan. Entah, tapi semua siswa pasti merasa kegirangan ketika jam pulang datang. Apalagi jika sebelumnya mereka telah disuguhi dengan pelajaran yang menguras otak dan emosi. Terdengar satu notifikasi pesan masuk di ponsel Jehan. Ia buru-buru merogoh sakunya, nama Galen terpampang jelas di layar ponsel itu. Galen : [Beres kelas, lo harus nurutin perintah gue yang kedua.] Jehan membuang napasnya. Ia terlalu malas dengan perintah Galen, apalagi jika ia harus melakukan hal seperti kemarin. "Huh!" Jehan mendengkus kesal. Pikir Jehan, kenapa cowok itu tidak memberikan satu perintah saja? Lantas, sampai kapan Jehan harus menurutinya? "Ekhem, Je." Panggil Shenna dari arah belakang membuatnya terkejut. Ia segera menimpali panggilan temannya itu, "Iya?" "Tadi lo dicariin Kak Adelard, katanya ditungguin di depan." "Adelard? Ngapain dia nyariin aku?" Shenna menggeleng, diikuti oleh Ola yang menatap Jehan penuh pertanyaan. Gadis dengan bandana merah muda itu memicing, mendekatkan pandangannya ke arah Jehan. "Kemaren Galen, sekarang kakaknya. Lo macarin mereka berdua, Je?" Shenna menepuk dahinya. "Apaan, sih, Ola? Nggak jelas banget pertanyaannya! Je, udah, ya, gitu aja. Lo ditungguin didepan sekarang." Setelahnya, kedua cewek itu langsung pergi meninggalkan Jehan, diikuti oleh Keysa sambil menatap Jehan sinis. Jehan hanya melebarkan senyumnya tanpa tahu apa alasan Keysa menatapnya seperti itu. Namun, ia tak ambil pusing. Lagipula Jehan tahu bahwa Keysa memang tak begitu ramah seperti Shenna dan Ola. Kini ia sendirian di dalam kelas sambil kebingungan. Ia memutar-mutar jarinya di atas layar ponsel. Kedua cowok ini membuatnya pusing dalam satu kesempatan. Suara notifikasi tanda pesan masuk kembali menarik perhatiannya, pasalnya Galen kembali mengirim pesan untuk dirinya. Galen : [Lo bisa baca kan???] Galen : [❤] Jehan mengerjap, ia menatap dalam-dalam emoji yang baru saja Galen kirimkan. Tak sadar ia mengulas senyum tipis di bibirnya. Galen : [Salah emoji, tadi gue mau pencet emoji orang marah.] Astaga, Jehan tertawa lepas. Tingkah cowok ini memang sangat acak, kadang membuatnya kesal, kadang juga membuatnya tersenyum. Tiba-tiba tawanya hilang karena teringat dengan Adelard dan Galen. Kedua cowok ini memintanya datang dengan waktu yang bersamaan. Jehan kebingungan sekarang. Dua cowok itu sangatlah keras kepala, ia takut jika menolak salah satunya akan menimbulkan masalah yang besar. Ia juga ketakutan lantaran untuk pertama kalinya Adelard ingin menemuinya. Tak ingin berlama-lama bergelut dengan pikirannya, Jehan segera meninggalkan kelas untuk pergi menemui ... ah, tak tahu. Jujur saja ia tak tahu harus menemui siapa dulu. Kedua cowok itu pasti memiliki tujuan yang berbeda, dan pastinya mereka tak suka penolakan. Jehan menghentikan langkahnya di depan gerbang keluar, masih dengan pikirannya yang melayang. Ia saling mengetuk kedua jari telunjuknya sambil mengedarkan pandangan. Pikirnya, mungkin ia akan menemui siapapun yang pertama ia lihat. Sebuah mobil sedan berwarna hitam tengah berhenti dihadapan Jehan. Sang pemilik mobil membuka kaca mobil, didalamnya ada seorang Adelard Arsenio yang menatap gadis itu ditengah gerimis. "Temen lo enggak bilang tadi?" tanya Adelard. Cowok itu sedikit mengerutkan dahinya tanda ia sedikit kesal. "Biーbilang, sih." "Cepet masuk!" Jehan segera menuruti perintah Adelard. Lagi, seperti deja vu, ia kembali duduk bersampingan dengan Adelard di dalam mobil ini. Tentunya masih sama, Adelard yang tidak ekspresif dan Jehan yang tak menyukai sifat acuhnya itu. "Kita mau kemana?" tanya Jehan ragu-ragu. Jujur saja ia masih cukup ketakutan karena ulahnya yang tak sengaja menumpahkan kopi panas di buku-buku Adelard. Terlebih perlakuan Adelard yang cukup kasar kala itu membuatnya sedikit trauma. Ia takut jika Adelard akan melakukannya lagi. "Anterin gue ke toko buku." Adelard tak sama sekali memandangi wajah Jehan. Selayaknya menyetir sendirian, ia hanya fokus pada jalanan. Jehan melongo, tak habis pikir ternyata Adelard juga sama dengan adiknya, Galen. Jehan gemas, ingin menjambak rambut cowok disebelahnya itu. Ia tak bereaksi dengan pernyataan Adelard, Jehan mencoba untuk tetap tulus melakukan perintah Adelard. Mengingat dirinya juga bersalah karena menumpahkan kopi panas itu. Pertemuan pertama Jehan dan Adelard rasanya tidak ada yang beda. Adelard tetap mendiamkan dirinya tanpa sepatah katapun. Yang bisa Jehan lakukan adalah membuang muka ke arah jendela sambil memandangi apapun yang baru saja lewat didepan matanya. Akhirnya mereka sampai di toko buku. Adelard segera turun diikuti oleh Jehan dibelakangnya. Jehan selalu mengikuti ke sisi manapun Adelard pergi, sudah persis sekali seperti bebek dan induknya. "Lo ngapain ngikutin gue, sih?" tanya Adelard sambil memutar tubuhnya cepat. Sontak Jehan yang tengah asik memandangi buku-buku yang berbaris di rak pun hampir saja menabrak tubuh Adelard. "Astaga!" Jehan memekik. Wajahnya hampir saja menabrak d**a Adelard. Kini gadis itu segera mundur dua langkah untuk memberi jarak dari tubuh Adelard. "Jangan ikutin gue, mending lo cari buku lain." "Katanya kamu mau dianterin ke toko buku?" "Iya, tapi lo enggak perlu ngikutin gue kayak gini. Lo cari buku lain sana!" Setelahnya, Jehan ditinggalkan begitu saja. Ia membiarkan gadis itu mematung sendirian tanpa tahu apa tujuan selanjutnya. Jehan mendesah kasar, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain berpura-pura mencari buku. Padahal ia sama sekali tak membutuhkan buku apapun sekalipun untuk referensi. Namun, daripada ia bertingkah aneh dan sebelum orang menyadarinyaーia segera berlagak memilah-milah novel yang ada dihadapannya. Sebenarnya Jehan tak begitu suka membaca, literasi nya cukup rendah. Ia akan lebih senang untuk menonton film daripada membaca novel sekalipun. Adelard ini memang membuang-buang waktunya. Ya, meskipun Adelard tidak mengatakan secara gamblang tentang Jehan yang harus menebus kesalahannya seperti yang dilakukan oleh Galen, tapi Jehan sudah paham. Jehan pikir jika kemarahan kemarin serta lebam di lengannya belum cukup untuk membayar kesalahannya itu. Sepertinya Adelard juga belum merasa puas. Masih dengan aktivitasnya, Jehan terus memilah-milah novel yang berbaris rapi di rak tersebut. Novel-novel romansa anak SMA rasanya belum menarik perhatiannya, serta cerita laga juga bukan selera pasarnya. Akhirnya satu novel bersampul biru terselip diantara novel-novel romansa tadi. Novel dengan judul Malaikat Berwujud Ibu sepertinya tak sengaja terselip dibarisan genre novel yang senada. Namun, melihat judulnya membuat Jehan tertarik. Ia segera mengambil novel itu dan menatapnya pilu. Judul novel itu sangat persis seperti apa yang ia sematkan untuk ibunya. Disaat seperti ini, tak punya siapa-siapa dan tinggal di kota asingーrasanya sungguh berat. Jehan rindu akan ibunya itu, Jehan rindu didekap dan dikasihi. "Udah?" Adelard menepuk punggung Jehan, setelahnya mereka langsung membayar buku yang sebelumnya sudah mereka pilih. Mereka segera menuju pintu keluar saat sudah berhasil mendapatkan buku yang mereka inginkan. Jehan berusaha membantu Adelard yang cukup kesulitan untuk membopong beberapa buku tebal ditangannya. Jehan menatap buku-buku itu heran. "Kenapa buku ini banyak banget? Berat lagi. Emang dia sanggup belajar pakai buku sebanyak ini?" batin Jehan dengan segala upayanya agar segera sampai di mobil Adelard. Jehan meringis menahan beban buku-buku itu, ditambah Adelard yang tak kunjung membuka bagasi mobil. Namun, saat cowok itu menatapnya, ia akan tersenyum seolah-olah tidak terjadi apapun. "Berat, kan? Makanya jangan maksa bawa bukunya," tutur Adelard. "Kata siapa berat? Ringan, kok, ringan banget malah," alibi Jehan. "Ringan kok sampai mukanya mengkerut nahan beban gitu!" Usaha Jehan untuk tahu diri karena ia menyandang status sebagai asisten rumah tangga di rumah Adelard serta penebusan kesalahannya tak membuahkan hasil. Adelard masih saja bersikap seperti itu. Padahal Jehan sudah berusaha agar bisa mengambil hati Adelard, agar ia tak terus-menerus disalahkan. Akhirnya drama buku-buku milik Adelard telah usai. Ada sedikit kebahagiaan di hati Jehan, pasalnya setelah ini ia bisa segera pulang. Ya, meskipun pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi itu lebih baik menurutnya daripada mengikuti Adelard seperti ini. Namun, satu lagi, ia harus bersiap-siap jika Galen akan memarahinya karena lebih memilih menuruti perintah Adelard. "Kita makan dulu, gue tau pasti lo laper." Disela aktivitas menyetirnya Adelard mengedarkan pandangannya untuk menemukan tempat makan yang hendak ia singgahi. Gadis disebelahnya hanya mematung, seperti sudah siap dengan apapun kehendak Adelard. Jehan akan mengikuti kemanapun Adelard hendak pergi, lagipula perutnya memang cukup lapar. "Ck, kok banyak yang tutup. Kita makan disini aja." Cowok itu bergumam sendirian karena gadis disebelahnya yang merespon apapun. Lagipula ini bukan acara kencan yang harus mendapatkan persetujuan si cewek untuk makan apa dan dimana. Adelard bisa menentukan pilihannya sendiri. Jehan pun tak masalah makan dimana pun, karena yang penting adalah perutnya dapat terisi makanan. Adelard segera memarkirkan mobil sedannya disebuah lapak pinggir jalan. Lapak yang tak begitu besar dengan dua baris bangku memanjang yang disediakan untuk pengunjung. Sesekali Jehan memandangi raut wajah Adelard, ia tak yakin jika lidah Adelard akan selaras dengan makanan pinggir jalan seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang sudah belasan tahun menikmati makanan seperti ini. "Silakan, Mba, Mas." Pemilik lapak itu dengan senyum ramahnya mempersilakan Adelard dan Jehan untuk segera menempati bangku panjang itu. "Nasi gorengnya, Pak," teriak Adelard pada pemilik lapak itu, "lo mau apa?" "Samain aja, Pak." Lagi, sambil menunggu pesanan datang, keheningan kembali menyelimuti keduanya. Tak ada satupun yang mau untuk memulai pembicaraan. Adelard sibuk dengan ponselnya serta Jehan yang hanya memandangi sekitar. Lalu Jehan teringat dengan novel yang baru ia beli tadi. Jehan pun buru-buru mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya. Mungkin menunggu pesanan datang sambil membaca buku akan mengurangi kejenuhannya. "Malaikat Berwujud Ibu?" tanya Adelard. Tepatnya ia baru saja membaca sampul novel yang tengah dibaca oleh Jehan. Jehan tersadar lalu menjauhkan novel itu dari pandangannya. "Iya, ternyata ceritanya bagus." Adelard bergeming. Malaikat dan Ibu, dua kata itu berhasil memenuhi pikirannya. Ia kembali teringat sosok mamanya yang juga ia anggap sebagai malaikatnya itu. Menyadari ada yang beda dengan Adelard, Jehan segera mengemasi novelnya. Ia baru sadar bahwa Adelard juga bernasib sama dengannya, kehilangan seorang Ibu. Meskipun Adelard kehilangan ibunya dengan cara yang jauh lebih tragis. Mirisnya, Adelard tak sama sekali mengetahui siapa penyebab kematian mamanya. Jehan menyesal telah memilih novel tersebut sebagai destinasinya dalam berpura-pura mencari buku bacaan. Namun, pilihannya juga bukan semata-mata karena iseng, tetapi judul novel tersebut berhasil membuka kenangan bersama ibunya. "Maaf, ya. Pasti judul novel ini bikin kamu keinget sama Mama kamu, kan?" Adelard mengangguk, "Kenapa lo pilih novel ini?" "Nggak tau. Tadi aku iseng aja cari buku bacaan, terus nggak sengaja ketemu sama novel ini. Karena aku juga kehilangan Ibu aku, jadi aku putusin buat ambil buku ini." Adelard kembali terdiam, ternyata gadis si pembuat onar itu bernasib sama dengan dirinya. Hidup tanpa seorang Ibu pasti sangat sulit dan penuh tantangan. Sosok yang selalu ada dan mendukung anaknya tiba-tiba hilang tanpa pamit. "Kemana Ibu lo?" "Ibu meninggal saat kecelakaan, Ayah aku juga meninggal. Cinta sejadi dipertemukan dalam kehidupan yang sama, dan pada akhirnya mereka juga dijemput ajal secara bersamaan." Adelard cukup terenyuh mendengar perkataan Jehan, hatinya sedikit iba. "Jadi ini alasan lo pindah kesini? Lalu keluarga lo yang lain, Tante, Om?" "Tante aku jahat, dia udah bunuh ..." "Bunuh? Bunuh siapa?" . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD