6. Mona Chandramaya

1764 Words
Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan bagi Jehan. Selepas sekolah dan langsung mengerjakan urusan rumah tangga ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Jika dulu Jehan bisa bersantai selepas sekolah, kini ia harus bekerja agar bisa bertahan untuk hari esok. Ia merebahkan dirinya di atas kasur berukuran sedang sambil membayangkan kejadian kelam dua tahun silam. Air matanya mulai jatuh, meninggalkan luka sayatan di hatinya. Sebuah kejadian yang mana membuat dirinya menderita dimasa depan. Membuat ia hidup tanpa satupun orang terkasih. Semua terjadi karena masalah cinta dan materi. Jehan tak menyangka bahwa Tuhan telah memilihnya untuk menempati posisi ini. Posisi yang begitu sulit dan rasanya tiada habis. Ada kalanya Jehan rapuh, ingin dipeluk. Dosa-dosa yang tak seharusnya ia bawa, kini justru harus melekat di angannya. Kemana Mona? Satu-satunya anggota keluarga yang Jehan punya telah pergi tanpa jejak, tanpa arah. Tante nya itu adalah orang yang telah membuat hidup Jehan sengsara. Harun, laki-laki yang telah berbuat dosa di masa lalu kini tengah terbaring lemah. Jehan belum sempat melihat sosoknya, dan rasanya Jehan belum sanggup untuk menemuinya. Jehan kebingungan, tak menyangka bahwa ia sudah sampai di titik ini. Titik dimana ia akan menebus sebuah kejahatan besar yang tak pernah ia lakukan. Hingga berujung pada dirinya yang terjebak dengan profesi sebagi asisten rumah tangga. "Tante dimana? Aku udah coba cari Tante tapi tetep nggak berhasil. Aku hampir nyerah, Tante. Aku takut, aku belum sanggup," gumamnya. Ya, Mona Chandramaya adalah orang yang harus bertanggung jawab atas kematian Mila Andriani. Mona memutuskan untuk meninggalkan Jehan seorang diri lantaran posisinya yang semakin tidak aman. Ia ingin menghilangkan jejak dengan pergi dari tempat tinggalnya. Ia juga rela meninggalkan Jehan seorang diri dan mengancam Jehan untuk tetap tutup mulut. Kini keberadaan Mona tak dapat Jehan temukan. Sudah banyak hal telah Jehan lakukan agar dapat menggali informasi tentang tantenya itu, tapi semua sia-sia. Mona sendiri juga sudah tak peduli dengan Jehan. Ia tak memikirkan akan nasib keponakannya yang masih belia itu. Akankah Jehan bertahan hidup dengan keadaan yang tak memungkinkan, sepertinya tak Mona pikirkan lagi. Kejadian itu, dua tahun lalu, dimana Jehan bisa hidup layak karena seorang Harun yang telah memberinya materi. Iya, Harun Arsenio memiliki kisah kelam berujung karma bersama Mona Chandramaya. Hidup Jehan bisa terjamin kala itu, karena seorang laki-laki yang ia ketahui adalah kekasih tantenya itu telah menanggung semua biaya hidupnya. Meskipun hidupnya dipenuhi dengan kecukupan, tapi ia sempat tak terima, bagaimanapun perbuatan Mona dan Harun adalah sebuah kesalahan besar. Hingga satu wanita paling berharga di keluarga Arsenio, satu-satunya malaikat di keluarga ini harus merenggang nyawa. Mila Andriani harus tewas ditangan Mona akibat gelap mata yang sudah tak tertahankan. Rasa ingin menguasai seluruh harta milik Harun rupanya mampu mengeluarkan sisi gelap di dalam diri Mona. Jehan kembali menangis tersedu-sedu. Betapa teriris hatinya saat ia mengingat kejadian kala itu. Mona benar-benar keterlaluan hingga harus membiarkan Jehan bertahan hidup dengan rasa bersalah yang tiada usai. Apa tak ada sedikitpun rasa kasihan dan rasa bersalah di hatinya? *** Restoran bergaya klasik dengan bangunan kayu yang masih kokoh itu terlihat sangat ramai pengunjung. Musik tahun 90-an berhasil melengkapi gaya klasik restoran tersebut. Udara dingin berhasil membuat seorang wanita yang tengah duduk di dalami restoran itu merapatkan jaketnya. Wanita itu beberapa kali menggosokkan kedua telapak tangannya sebagai penghangat. Wanita tersebut menyunggingkan senyum di bibir tipisnya tatkala seorang lelaki datang menghampirinya. Lelaki bertubuh tinggi semampai itu menuangkan wine merah ke dalam gelas kaca di hadapannya. "Jadi, kamu tidak ada niatan untuk kembali ke negaramu?" Lelaki itu membuka pembicaraan, lalu meneguk wine merah ditangannya. Wanita ayu dengan lesung pipit itu mendongak sambil berpikir. "Umm, sepertinya tidak. Dua tahun berlalu rasanya belum aman, pasti sekarang mereka masih mencari ku." "Sampai kapan? Bagaimana dengan keponakanmu? Aku merasa miris." Wanita itu kembali merapatkan jaketnya, ada tatapan tak suka saat lelaki itu menyebut keponakannya. "Mona, apakah kamu tidak memikirkan nasib gadis malang itu?" Lelaki itu kembali bertanya. "Mas Yudha, kalau aku kembali ke sana, itu namanya bunuh diri." Wanita bernama Mona itu membuang muka. Menurutnya, pembicaraan ini sangat memuakkan. Lelaki itu akan membuat suasana hatinya berantakan jika keponakannya itu dijadikan bahan obrolan. Yudha mengangguk kemudian menyalakan satu batang rokok untuk di hisap. Ia menghisap rokok itu kuat-kuat lalu ia hembuskan kepulan asap hingga memenuhi udara sekitarnya. "Aku takut ... kalau nanti kamu juga akan membunuhku." Mona mendongak, "Apa maksud Mas yudha?" Lelaki itu hanya terkekeh, lalu kembali menyesap rokok yang sudah hampir habis. "Itu semua akan aku lakukan kalau kamu selingkuh! Entah pacar kamu atau kamu yang aku bunuh, tapi dua-duanya juga boleh." "Tapi istri selingkuhan mu tak membunuh suaminya saat berselingkuh. Justru kamu yang membunuh wanita itu, kan?" "Mas, aku mohon jangan bahas wanita tua itu. Aku tidak suka! Lagipula kepribadianku tak sama dengan dia!" Mona dibuat kesal karena ulah Yudha yang terus-menerus menyudutkannya. Yudha, sosok lelaki yang Mona temui tatkala ia berhasil singgah di negeri Kincir Angin itu tengah mengungkit masa lalunya. Lelaki yang tahu akan segala dosa yang Mona lakukan dua tahun lalu, kini berhasil menyandang status sebagai kekasihnya. Aneh, tapi Yudha sudah terlanjur mencintai Mona. Lelaki itu benar-benar tak peduli tentang masa lalu Mona yang kelam. Yang ia yakini saat ini adalah perasaannya begitu besar bagi wanita di hadapannya itu. Tak peduli apapun latar belakangnya, Yudha akan tetap menerima Mona. Termasuk ia akan turut menutupi semua kejahatan Mona kala itu. "Iya, aku minta maaf. Aku akan menjaga kamu, seorang pun tidak akan menemukanmu disini," balas Yudha. Lelaki itu segera merapatkan kursinya untuk mengikis jarak dengan Mona. Lalu Yudha mulai mengecup kening kekasihnya itu. Berpuluh-puluh menit telah mereka habiskan untuk mengobrol dan bersantap di restoran klasik tadi. Kini Mona merebahkan tubuhnya di sebuah kasur besar yang ada di apartemen Yudha. Ia memijit pelipisnya yang terasa nyeri, kepalanya pun turut berat, padahal sebelumnya ia merasa baik-baik saja. Terhitung sudah enam bulan Mona tinggal bersama Yudha di apartemen ini. Lagi, Mona bisa menemukan sosok lelaki kaya raya yang sangat baik hati dan rela memberikan fasilitas apapun untuknya. Namun, kali ini lelaki itu tak beristri. Juga Mona yang benar-benar merasa jatuh cinta dengan Yudha, tak semata hanya untuk menguasai harta kekasihnya. Namun, pikiran itu tentunya masih ada. Karena harta adalah segalanya bagi Mona. Yudha yang tengah sibuk mengemasi beberapa kemeja ke dalam lemari, mulai menatap Mona dari pantulan cermin. "Kenapa, apa kamu sakit?" Mona hanya mendesah sembari terus memijit pelipisnya kasar. Ia cukup terlihat frustasi karena sakit kepala yang mengganggunya. Yudha segera menghampiri kekasihnya itu. Ia segera mengambil kendali untuk memijit kepala Mona. Ia juga mengoleskan minyak angin di pelipis Mona agar sakitnya cepat mereda. "Aku tiba-tiba kepikiran Jehan, Mas. Aku takut kalau sekarang dia mulai berani lapor polisi. Terus semua identitas aku bakal disebar, cepat atau lambat polisi akan meringkus ku," tutur Mona. Suaranya terdengar bergetar, ia terlihat frustasi. "Tidak akan, kamu sendiri yang bilang kalau Jehan itu penakut, kan? Apalagi kamu tantenya, dia pasti tidak tega." "Tapi, Mas, mungkin saja Jehan ingin balas dendam karena aku meninggalkannya sendirian?" "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Gadis itu masih kecil, dia belum bisa melakukan apapun. Dia tidak punya kuasa." Lelaki ini memang selalu bisa menenangkan hati kekasihnya. Ia selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat rasa khawatir Mona hilang seketika. *** Adelard tengah mengamati papanya yang tak berdaya di atas tempat tidur. Keadaan lelaki 50 tahun itu tidak kunjung membaik, tidak ada kemajuan atas segala pengobatan yang dijalani. Adelard hanya bisa menatap miris dengan hatinya yang selalu tak tega. Kepergian mamanya berhasil membuat Harun terpukul hebat. Kesehatannya semakin menurun dan tak kunjung pulih. Harun masih setia dengan pikirannya tentang kematian istrinya. Siapa yang telah tega membunuh wanita paling baik hati itu? Ia juga masih setia meratapi kesalahannya karena telah berselingkuh dari Mila. Harun telah membuang begitu saja sosok yang selalu menemaninya saat suka maupun duka. Mengapa penyesalan hadir ketika ia mengetahui bahwa istrinya meninggal? Bahkan ia belum sempat bertekuk lutut dihadapan istrinya untuk memohon maaf. "Sebenernya apa, sih, yang bikin Papa kayak gini?" Adelard mengusap lembut tangan papanya. Ia dapat melihat jelas air mata berlinang disudut mata Harun. "Kalau kehilangan, kita semua juga ngerasain, Pa. Tapi harus sewajarnya, Papa enggak boleh larut dalam kesedihan kayak gini. Kasian Mama di sana, kasian Papa juga." Dengan tatapan kosong, air mata itu terus membasahi pipi Harun. Ketiga putranya memang tidak mengetahui tentang perselingkuhannya dulu. Padahal, semua ratapannya ini adalah sebuah penyesalan atas perbuatannya saat itu. Adelard segera menghapus air mata Harun. Ia sadar bahwa papanya ini masih belum bisa melepaskan kepergian mamanya. Memang berat, terlebih Harun tidak dapat berbicara, sehingga Adelard cukup kesulitan untuk berkomunikasi dengannya. "Kepergian Mama emang tragis, Pa. Makanya aku, Dareen, dan Galen enggak mau tinggal diam. Kita bakal terus berusaha cari keadilan buat Mama." Harun berusaha untuk menggerakkan bibirnya, seperti ada sesuatu yang hendak ia katakan. Namun, sekuat apapun ia berusaha, tetap tak mendapatkan hasil. "Papa sebenarnya pengen kamu tau semuanya, Nak. Papa ini pendosa besar. Selingkuh dari Mama kamu adalah kesalahan terbesar Papa. Belum sempat bertaubat dan minta maaf ke Mama kamu, Mama kamu justru pergi duluan," batin Harun sambil terus meneteskan air matanya. Sayang sekali, Adelard tak bisa mendengar suara hatinya. Jika saja ia bisa menggerakkan tangannya, pasti ia akan menjelaskan semuanya dengan tulisan. Namun, hanya mata yang sanggup berkedip, sisanya, anggota tubuh lainnya tak berfungsi. "Papa harus inget kalo Papa ini punya tiga anak yang kuat. Mama emang udah enggak ada, tapi kita selalu ada buat Papa dan selalu nemenin Papa. Aku, Galen, Dareen, itu adalah anak Papa. Ada jiwa Papa dan Mama di diri kita. Kalau Papa kangen Mama, masih ada kita yang setia buat Papa." Ucapan tulus Adelard membuat hati Harun semakin teriris. Andai saja, putranya ini tahu tentang semuanya. Harun tak yakin jika putra-putranya akan tetap berlaku sama dengan sebelumnya. Siapa sangka, dibalik sikap Adelard yang kerap acuh dan tak banyak bicara. Justru sosoknya adalah yang paling penyayang diantara kedua saudaranya. Tuturnya yang lembut kepada papanya selalu menemani malam panjang Harun yang dipenuhi dengan kesesakan jiwa. Entah bagaimana nasib Harun jika tidak ada Adelard. Adelard yang paling sering menghabiskan waktunya untuk menemani Harun di kamar. Ia selalu mengajak Harun berbincang meskipun ia tahu bahwa papanya tak mungkin bisa menimpali. Namun, semua yang Adelard lakukan ini semata-mata untuk menghibur Harun agar tidak tenggelam dalam pikirannya. "Maaf, ya, Pa. Adelard jadi bikin Papa nangis. Sekarang udah larut, Papa istirahat, ya?" Adelard segera merapikan bantal yang tergeletak di atas kasur lalu membantu papanya untuk berbaring. Lagi, ia menatap miris sosok pahlawan yang telah membesarkannya itu. Ada air mata yang hampir jatuh. Namun, Adelard tak ingin membiarkannya jatuh begitu saja. Ia tak ingin Harun melihatnya bersedih. "Selamat tidur, Pa. Papa harus belajar ikhlas, biar Papa cepet sembuh." Adelard menarik selimut yang menjuntai ke samping tempat tidur, lalu menyelimuti tubuh papanya. . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD