6

1233 Words
Willy mengangguk. Menatap tamu undangannya yang datang menyempatkan diri saat dia mencoba bisnis lain di bidang pariwisata untuk kali pertama. Setelah perusahaan pencetak jasa layanan game online berhasil pesat, tangan dingin Willy tidak akan tinggal diam. Dia tidak bisa berpuas diri selama dia masih muda dan terus ingin berkarya. Senyum Willy perlahan terbit. Saat semua kursi yang disediakan telah terisi penuh. Dia berdeham, gugup mulai melanda. Dan sebelum presentasi dimulai, dia merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana. Willy mundur, pergi ke luar ruangan ketika yang dia tunggu-tunggu tiba. Walau Challista tidak ada di sini, tapi saat tunangannya menghubungi, d**a Willy membuncah bahagia. "Challista?" Ada suara kekehan di sana. "Oke. Kau sangat gugup. Aku tahu, kau antusias. Tolong, jangan terlalu dipikirkan. Kau pasti bisa melewatinya. Hanya setengah jam, kan?" Kepala Willy terangguk. Senyumnya mengembang. Dia bahkan melihat asisten kepercayaannya mengangkat alis pertanda bingung. Semoga saja pria itu tidak berpikir bahwa sang atasan sudah gila. Willy membatin. "Aku benar-benar. Entahlah. Aku ingin melakukannya. Ayahku datang. Dia terlihat bersemangat." Challista mengulas senyum di balik telepon. "Dia pasti bangga. Katakan padanya, aku akan menemuinya besok untuk mampir." "Pasti. Aku akan bicara setelah presentasiku selesai," bisik Willy. Dia menarik napas panjang. Sebelum kembali bicara. "Makan siang nanti, apa kau punya janji?" "Tidak. Kenapa?" Willy tertawa. "Aku akan datang ke kantormu. Jam setengah dua belas." "Jam sebelas." "Kenapa dengan setengah dua belas?" Challista tertawa ringan. "Kenapa memangnya? Jam makan siang habis pukul dua belas. Aku tidak mau hanya setengah jam duduk bersamamu." "Oke," tidak menampik senyum Willy terbit lebih lebar lagi. "Sampai nanti." "Sampai nanti." Willy menurunkan ponselnya. Menatap layar ponsel teranyar miliknya saat dia membungkuk, menyalami tamu dari pintu masuk aula rapat dan tertegun. Ketika matanya menangkap sosok yang asing—tidak lagi asing sekarang ketika melangkah, berjalan dengan mata menatap lurus ke depan. Begitu keras. Wallius Ethan menjabat tangannya. Willy merasakan percikan lain yang membakar dadanya. Entah, karena apa. Dia sendiri tidak mengerti. Ketika matanya melirik pada Ethan yang memilih duduk di belakang, menyempatkan untuk menyapa tamu lain, napas Willy berubah berat. Siapa dia? Tentu saja kenangan malam itu tidak bisa dia lupakan dengan mudah. Challista-nya berbeda ketika mereka bertemu tatap. Willy tahu, amat tahu. Challista mungkin menyimpan masa lalunya rapat-rapat entah karena alasan apa. Dan Willy tidak mau memancing atau bersikap egois dengan bertanya selama Challista tidak mau membahasnya. Dan mungkin semua petunjuk mengarah ke dirinya, pada Wallius Ethan. "Nata," Willy memanggil asistennya yang berlari dari pintu lift. "Apa kita mengundang pria itu?" Willy menunjuk Ethan yang duduk di kursi, tampak tenang. "Dia siapa?" Willy berdeham. Dia melihat nametag yang tersemat di jas hitam Ethan tadi. "Wallius Ethan. Seingatku, aku tidak mengundangnya." Nata mengerutkan kening. Dan Willy tahu waktunya bersantai hampir habis. Dia menepuk bahu Nata, dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Merapikan jas hitamnya dengan senyum tipis. Ayahnya tengah tersenyum. Menatap bangga pada putra semata wayang yang mampu memimpin perusahaan selama masa magangnya dua tahun. Dan tidak bisa lebih bangga lagi karena tangan dingin Willy mampu membuat perusahaan di bidang lain yang bertalenta dan jauh lebih menjanjikan. Willy mengangguk pada sang ayah. Yang memberikan jempolnya terhadap sang putra. Dengan dehaman singkat, dia memulai presentasinya. Memamerkan beberapa slide yang dia buat selama berbulan-bulan lamanya. Menjelaskan ide-ide brilian yang kemudian disambut baik oleh para tamu yang hadir. Beberapa dari mereka memberi sanggahan, dan Willy dengan tangan terbuka menerimanya. Saling bertukar ide saat dia kembali menjelaskan keinginan kuatnya membangun bisnis ini. Tidak menjadikannya nomor satu, tapi cukup untuk menjadi berkembang dan lebih maju. Tepuk tangan bergema di sepanjang aula rapat. Ayahnya berdiri, menatap bangga pada putranya sekali lagi. Dia tidak lagi bisa berkata-kata saat Willy membungkuk selama bermenit-menit lamanya dan tersenyum haru. Sambutan yang baik sungguh melegakan. Bayarannya setimpal. Di saat dia kesulitan tidur dan terus-menerus memperbaiki ide juga poin-poin penting dalam presentasinya nanti. Saat semua tamu selesai menyalaminya. Tatapan Willy jatuh pada Wallius Ethan. Yang berdeham, menatapnya canggung. "Selamat. Itu sangat ... bagus." "Terima kasih," balas Willy. Senyumnya hangat pada semua orang. "Sebentar. Apa kau bekerja untuk seseorang?" Ethan terpaku diam. Dia tersentak saat dia lupa mengenalkan diri. Karena dia tidak diundang datang, dan dia kemari hanya untuk memenuhi perwakilan dari seseorang. "Maaf. Namaku, Wallius Ethan. Aku manager di perusahaan Kato Holdings." "Ah," Willy tertawa ringan. Ekspresinya berubah santai. "Kato Holdings? Wah, perusahaan besar itu. Aku memang mengundang Tuan Regan untuk datang. Aku pikir kalau dia tidak datang, salah satu putranya yang menggantikan. Ternyata dirimu." Sudut bibir Ethan ikut naik. Walau tipis. "Mereka sedang ada urusan di luar negeri. Tuan Regan punya rapat hari ini. Aku luang. Dan beliau menitip salam padamu." "Sampaikan juga salamku padanya." Willy tersenyum lebar. Dan Ethan sekali lagi hanya menanggapinya kaku. "Aku permisi." "Silakan." Willy mengantar kepergian Ethan sampai ke dalam lift. Saat dia membungkuk sekali lagi, tersenyum ke arah para tamu rapat yang hadir dan pintu lift tertutup. "Willy, betapa bangganya aku. Ibumu harus tahu ini. Putra kesayangannya benar-benar hebat." Willy mendengus menahan geli. Menatap sang ayah saat dia memberikan pria paruh baya itu pelukan dan tepukan di punggung. "Terima kasih, Ayah." "Sama-sama, nak. Ah, ngomong-ngomong, bagaimana dengan makan malam? Ajak Challista juga, ya. Ibu akan memasak untuk kalian. Sekalian saja, perayaan pernikahan kami." Senyum Willy melebar. "Boleh. Challista bilang dia akan menemui Ayah nanti. Aku akan mengajaknya besok." "Kami ingin sederhana saja. Makan malam di rumah bersama putraku dan calon menantu. Jangan lupa." Willy mengulum senyum geli. "Tentu, Ayah. Hati-hati." "Mari, Nata." Nata membungkuk pada mantan kepala direktur perusahaan The Waltz milik keluarga Willy. "Silakan, Tuan. Hati-hati di jalan." Nata menghela napas saat dia berlari kecil ke hadapan Willy yang mengangkat alis. "Bos?" "Apa?" Willy menyahut bosan. "Wallius Ethan. Aku mendapatkannya. Dia bekerja untuk Kato Holdings. Berperan sebagai—" "Telat." Dan Willy melengos pergi begitu saja saat Nata mencibir, membelalak tak percaya dengan tindakan sang atasan. *** Challista terpaku diam. Saat dia menoleh dan menutup pintu mobil Willy dengan napas tertahan. Kenapa Wallius Ethan di sini? Willy mengangkat alis. Dia berdeham saat badannya memutari bagian depan mobil dan berdiri di hadapan Challista. "Wallius Ethan?" Sejenak Willy menyapanya dengan tatapan meragu. Challista terkejut. Matanya melebar sedikit saat Willy dengan ramah mengulurkan tangan, menjabat tangan Ethan yang juga berdiri kaku di dekat mereka. "Kau di sini?" "Aku ada kepentingan di sini," katanya. Mencoba melarikan matanya dari Challista. "Aku baru datang. Dan kupikir, kantor sepi karena makan siang." Challista menghela napas. "Jam makan siang sudah berakhir. Masuklah kalau kau ingin bicara," sapa Challista formal saat dia memalingkan muka. Menatap Willy yang masih memasang wajah ramahnya. Challista menipiskan bibir. Memandang sang kekasih dengan tatapan sendu. Willy tidak perlu tahu. Tidak perlu. "Begitukah? Kalau begitu, aku akan langsung pergi." Willy menunduk. Menatap sepasang manik hijau milik Challista yang berhasil mencuri detak jantungnya di pertemuan pertama mereka. "Sepertinya, kekasihku sangat sibuk. Jadi, aku akan langsung undur diri." Challista mendengus. Menatap Willy dengan sorot geli. "Hati-hati di jalan. Aku akan datang untuk makan malamnya," suara Challista tertelan rasa sakitnya sendiri. " ... besok." Willy mengangguk. Mencuri satu kecupan di pipi Challista sebelum dia melambai. Dan Challista hanya mengangguk, menatap pria itu yang mengangguk pada Ethan. Yang sekali lagi, hanya ditanggapi dengan kaku. Ethan menarik napas panjang. Melarikan matanya ke arah tiang bangunan yang kokoh. Dia bukannya tidak melihat pemandangan mesra tadi. Hanya saja, dia hanya diam. "Masuklah." Challista menaiki undakan anak tangga dan berjalan masuk saat petugas keamanan yang berjaga di depan pintu putar kaca lantas membungkuk, memberi penghormatan pada Challista dan pada Ethan yang mengekori langkahnya dalam diam. Mereka naik ke lantai enam puluh. Ethan melirik gadis di sebelahnya. Challista tampak terlihat seperti patung tanpa jiwa sekarang. Fisik gadis itu terlihat kurus dari kurun waktu sepuluh tahun lalu. Rambut sebahu Challista tidak lagi ada. Tergantikan dengan helaian rambut merah muda yang memanjang hingga punggung. Untuk yang lain, Ethan tidak akan berkomentar banyak. Challista masih tetap sama. Tatapan matanya, bagaimana cara dia bicara dan tingkahnya. Semua tetap sama. Challista akan selalu dikenal sebagai ice queen seantero SMA Moorim. Dan mungkin berlaku untuk selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD