7

2228 Words
"Nona Challista." Hana mengatupkan kembali bibirnya saat dia melihat Wallius Ethan datang bersama sang atasan. Dengan bungkukan, Hana ikut menyapa Ethan yang ikut masuk ke dalam ruangan Challista. Challista menaruh tasnya di atas meja. Dia memundurkan kursi, menaruh ponselnya saat Ethan hanya berdiri, meremas tas hitamnya di depan d**a. "Kau datang untuk apa?" "Menggantikan Amera," balas Ethan yakin. Alis Challista terangkat tinggi. Gadis itu mendongak, menatap Ethan. "Amera? Putri bungsu Regan Kato?" "Ya." Challista menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. "Ah, ternyata kau bekerja untuk keluarga mereka. Dan secara kebetulan, kau berkencan dengan putrinya? Begitu?" Ada jeda sejenak saat Challista selesai bicara. Ethan belum menjawab sampai kepalanya terangguk pelan. "Si miskin yang beruntung," dengus Challista. Menatap Ethan dengan kaki menyilang. Ethan berdeham. Dia mencoba memfokuskan diri untuk tidak membiarkan akal sehatnya kembali mengenang masa lalu. Dia menatap tas yang dia bawa, membukanya dan memberikan dua dokumen pada Challista. "Aku datang atas nama Amera. Dan bukan atas nama Regan Kato." Challista hanya diam. Ekspresinya berubah lebih keras saat dia membuka dokumen itu dengan asal dan tatapan mengantuk. "Hana," panggilnya agak keras. Sekretarisnya segera berlari masuk ke dalam ruangan. Membawakan dokumen yang sudah dia siapkan sejak pagi atas permintaan Challista. "Ini, Nona Challista." "Terima kasih," Challista memberi senyum pada Hana yang tertangkap jelaga pekat Ethan. Sekali lagi, napasnya berubah sesak. Hanya satu senyuman Challista. Dan itu jelas bukan untuk dirinya. "Regan Kato, ya," suara Challista berubah dingin. "Berapa lama kau bekerja untuknya?" "Cukup lama." Challista memajukan bibirnya. "Tidak mau bicara berapa waktunya? Oh, bukan masalah." Gadis itu merapatkan kursinya pada tepi meja. "Kenapa kau mau repot-repot menggantikan Amera? Kau kekasihnya. Tapi, masalah ini bukan sama sekali urusanmu." "Ini menjadi urusanku. Aku harus memprioritaskan dia agar tidak terluka. Dan memastikan kalau semua yang dia inginkan tercapai." Challista mendengus. Sorot matanya perlahan berubah saat dia menunduk, membaca tulisan nama Kato Holdings di atas map hijau. Tulisan tangan Ethan. Dan tanpa sadar jemarinya bergerak untuk mengusap tulisan tangan itu dengan hati-hati. "Mau sampai kapan?" Ethan termangu. Mengernyitkan kening. "Mau sampai kapan kau berlagak menjadi pahlawan di depan mereka yang kau anggap lemah dan butuh pertolongan?" Ethan mendengus. Menatap Challista dengan tatapan mencela. "Apa maksudmu?" "Aku tahu apa yang tersimpan baik di kepalamu. Kau tentu melakukannya dengan pamrih. Kau mengharapkan imbalan," Challista menopang dagu. Menatap dokumen di atas meja. "Aku terkejut karena kau sukarela mau menolong Amera, hanya karena kalian berkencan. Kau tidak seharusnya—" "Tutup mulutmu," seru Ethan. Menarik napas saat dia berseru marah pada Challista. "Kau sama sekali tidak mengerti. Dan berhenti. Berhenti seakan kau adalah Tuhan yang mengerti semua isi kepala manusia di sekitarmu." Challista terpaku diam. Kesepuluh jemarinya gemetar. "Kenapa kau selalu mengintimidasi orang-orang di sekitarmu? Apa kau ingin membuktikan pada mereka bahwa kau lebih kaya? Kau lebih berkuasa? Dan kau lebih dari apa pun yang mereka miliki saat ini?" Challista menghela napas. Memejamkan mata sebentar sebelum kelopak mata itu terbuka. "Aku tidak mengintimidasi mereka. Aku hanya berusaha menjauhkan diri dari para penjilat dan orang bermuka dua. Mereka menganggap keberadaanku adalah ancaman. Memang, apa yang harus aku lakukan untuk mempertahankan diri?" Challista menatap wajah itu lekat-lekat. Dan seketika denyutan di dalam dadanya berubah nyeri tak terperi. Selalu. Dia akan menjadi sosok tak berdaya jika berhadapan dengan Wallius Ethan. "Jangan pernah kau mengira bahwa Amera memiliki maksud lain di sini. Dia hanya meminta bantuan. Meski banyak perusahaan lain yang mungkin mau membantunya. Dia tidak seharusnya menjadikan perusahaanmu pilihan pertama." Ethan mengucapkannya dengan gamblang. Bahasa yang amat jelas. Berusaha memancing ego tinggi Challista tersentil. Gadis itu menarik napas, menatap kemeja yang Ethan kenakan dalam diam. "Kau tahu apa yang coba kaulakukan di sini? Kau mempertaruhkan apa untuk melindungi gadis itu?" Ethan terdiam. Kedua matanya terpejam saat dia menunduk. "Aku tahu, dan itu bukan urusanmu." "Amera hanya umpan," bisik Challista lemah. Menatap dokumen dan proposal yang Amera titipkan kemarin. "Dia tidak sama sekali bisa masuk ke dalam ranah bisnis. Kau pikir proposal ini apa? Ini seperti coretan anak SMA yang mencoba belajar masuk ke dunia kerja." Ethan menipiskan bibir. Dia mendongak, menatap sepasang mata hijau yang menyorotnya dingin tanpa ampun. Ethan seketika merasa kecil. Tidak lagi berguna. Seperti sepuluh tahun lalu. Challista menarik napas panjang. "Dia—" "Amera hanya butuh bantuan. Dia tidak butuh apa pun lagi di sini. Dia meminta tolong padamu, dan apa kau mengharapkan imbalan darinya? Aku tidak tahu, kalau kau benar-benar kehilangan rasa empatimu pada orang lain." Challista mendengus. Menarik napas panjang ketika pasokan oksigen di sekitarnya terasa semakin menipis. "Kau belum berubah. Dulu mau pun sekarang, kau akan melabeli orang lain hanya dari tampilan luar saja." Ethan terhenyak. Mengangkat matanya dari sepatu yang dia pakai pada Challista yang membuang muka. Menarik napas dengan bibir menipis. "Regan Kato. Perusahaan Kato Holdings, kau sebaiknya meminta Ten atau Agnia bicara. Mereka memiliki pengalaman pada pria b******k ini." Challista mendengus. Memakukan tatapannya pada Ethan yang menegang. "Kato Holdings. Reputasi mereka turun lima kali lebih cepat di mataku. Karena apa? Satu, mereka sering sekali menggelapkan pajak negara. Mereka itu mafia. Mafia pajak. Kedua, mereka selalu mengambil keuntungan di setiap tender dan klien yang bekerjasama. Keuntungan tidak lagi menjadi kesepakatan bersama. Mereka merubahnya secara cuma-cuma. Sekali lagi, untuk memperkaya diri sendiri." Challista menatap Ethan dengan sudut bibir terangkat. "Lalu, Amera memintaku untuk membantunya? Kau pikir aku mau membangun kerjasama dengan perusahaan sampah ini?" "Pertama, Ransom Industries. Keluarga Ten jelas tertarik dalam bisnis real estate karena keuntungan yang berlipat di setiap tahunnya. Harga tanah yang terus melonjak naik, itu membuat pengusaha mana pun tergiur. Dan sekali lagi, Regan mengacau. Dia berhasil membuat Tuan Daniel mengamuk dan meradang. Beruntung, keluarga Ransom tidak mencatat tindakan kriminal mereka untuk dituntut ke pengadilan atas kasus penipuan." "Kedua, Kellan's Company. Kau tahu, kalau keluarga besar Agnia adalah raja pusat perbelanjaan di Jepang bahkan Asia Tenggara? Regan Kato pasti bercanda karena mencari mati dengan keluarga mereka. Dia hampir mengelabui laba bersih dari salah satu pusat perbelanjaan hanya karena memiliki saham sebesar lima persen. Bagaimana bisa dia menipu seakan-akan memiliki dua puluh lima persen saham di sana?" Ethan terpaku diam. Merasa kalah telak dengan ucapan Challista. "Paman Agniaichi jelas menendang pergi Regan Kato dari daftar kliennya. Dia bahkan memasukkan pria itu ke dalam daftar hitam," dengus Challista. "Kau tahu apa selanjutnya? Keluarga Kellan menghancurkan seluruh bisnis waralaba keluarga Kato dalam satu malam. Mengerikan, bukan?" Ethan menunduk semakin dalam. "Dan Amera mencoba meminta tolong padaku? Karena apa? Karena dia tidak lagi punya pilihan. Aku sendiri tidak mau bekerjasama dengan Regan mau pun dua putranya." Ethan mengembuskan napas panjang. "Demi Amera, kau sebaiknya me—" "Berapa banyak saham yang Amera miliki di Kato Holdings?" Ethan mengernyit. "Sekitar lima persen." "Lima persen? Kau pasti bercanda," suara Challista berubah naik dua oktaf. "Dari seratus, dia hanya memiliki lima persen?" Ethan tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Karena memang benar adanya. "Ini. Bawa dokumen ini. Berikan pada Regan Kato. Jangan berikan ini pada kekasihmu," lidah Challista mendadak kelu saat dia berkata kekasih pada Ethan. "Dia bisa saja mati berdiri karena membaca ini." "Jangan katakan kalau kau menekan perusahaan Kato Holdings demi kepentinganmu?" Kedua mata Challista memicing tajam. "Berikan saja. Jangan sekali-kali kau coba buka isi map itu." "Apa ini bom?" Ethan berujar sarkatis. "Jika kau tidak ingin menyesalinya, jangan buka itu. Kalau kau ingin kekasihmu selamat, turuti saja perkataanku." Challista bersandar pada kursinya. Memicing pada Ethan yang menatap map di telapak tangannya dalam diam. Challista membuang pandangannya ke arah lain. Menarik napas panjang saat tangannya terkepal erat di atas pangkuan. Dadanya mendadak berdenyut. Detak jantungnya berubah tak karuan. Dia tidak akan sanggup memandang Ethan selama lima menit lebih. Dia tidak akan sanggup. Ethan berdeham. Memasukkan map itu ke dalam tasnya. Saat Challista memutar kursinya, memanggil Hana dengan suara agak tinggi. Hana datang membawa tablet. Gadis bertubuh mungil itu mundur dari hadapan keduanya ketika Ethan mengangkat alis. Melirik Hana dari ekor matanya. "Tanda tangan di sini," Challista melempar pen tablet pada Ethan yang mematung. "Aku butuh tanda tanganmu." Ethan tampak ragu. Dia menatap tablet berlayar putih seperti kertas kosong itu dalam diam. "Mungkin, lebih baik aku meminta bantuan pada Tuan Willy dari The Waltz untuk—" "Silakan. Aku harap dia bisa membantu untuk menaikkan reputasi Kato Holdings." Challista menipiskan bibir saat Ethan meliriknya dalam diam. Pria itu menghela napas, menggoreskan tanda tangannya pada layar tablet dan menaruh pen tablet itu di atas meja. "Kalau begitu, aku pamit undur diri. Maaf mengganggu waktu sibukmu." Ethan membungkuk sebentar. Menatap Challista dalam diam sebelum dia berjalan ke luar ruangan tanpa kata. Challista mendengus. Mengusap rambutnya sendiri saat desisan dingin meluncur bebas dari bibirnya. Dia mengerjapkan mata berulang kali. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia rasakan. Kenapa debaran jantungnya kembali sama seperti sepuluh tahun yang lalu? *** "Apa kalian lihat-lihat?" Ten meringis. Menatap gadis pirang di sebelahnya yang malah melotot pada segerombolan gadis yang tengah duduk di depan saung taman sekolah mereka. Mereka tentu saja bergosip tentang Renhart Challista yang tidak memakai rompi seragam, melainkan memakai hoodie berlabel PULL & BEAR berwarna putih yang dia kenakan. Hidung Challista nampak merah. Kedua matanya juga tampak berkaca-kaca. Challista demam tinggi semalam, dan dia tetap memaksakan masuk sekolah. Agnia sudah melarangnya untuk tidak datang, dan Challista tetap bersikeras masuk demi alasan tidak mau tertinggal ulangan. Ten menepuk bahu Challista. Bermaksud memberinya kekuatan saat Agnia kembali berteriak dengan nada sinis. "Apa? Mau kucolok mata kalian dengan jariku? Iya!?" Ten memutar mata. Menatap Agnia yang malah memancing keributan. Di saat tangannya dengan iseng menarik rambut sebahu gadis itu dan Agnia bergantian melotot padanya, menjambak rambut kuning Ten dengan keras. "Bisa diam tidak? Kasihan, Challista. Dia sakit." Agnia membuang tatapannya pada Challista. Merangkul bahu gadis itu ke dalam pelukannya. "Challista, ayo kita ke UKS. Kau harus istirahat di sana." Ten berdiri untuk membantu Challista saat para gadis kembali berbisik tentang mereka. Tentang The Rich Gucci Gang yang mencolok dan menjadi pusat perhatian di SMA Moorim. Suara gemerisik dan dengungan keras dari pengeras suara sekolah menyapa telinga mereka. Ten terdiam, begitu pula Agnia yang terpaku menunggu pengumuman apa yang selanjutnya akan meluncur. "Diberitahukan pada Wallius Ethan untuk menghadap ketua yayasan sekarang." Tubuh Ten membeku. Dia menunduk, menatap ekspresi Challista yang tidak terlihat karena tertutup rambutnya. Saat mata biru Agnia melebar pada Ten, yang menitipkan Challista pada Agnia dan laki-laki itu berlari masuk ke dalam gedung untuk mencari informasi. Challista menarik napas panjang. Ketika dengusan tawa meluncur bebas dari segerombolan gadis yang menatap Challista penuh rasa puas dan kemenangan. "Sekali lagi kalian melihat kami seperti itu, aku bersumpah akan menelanjangi kalian di muka umum. Catat ancamanku." Suara Agnia yang tinggi berhasil membuat mereka berlari dengan tawa. Karena berhasil menyulut amarah Kellan Agnia dan mereka sama-sama berteriak ke arah Agnia dan Challista. "Haha! Pergilah ke neraka! The Rich Gucci Gang, tamatlah kalian." Agnia kembali berteriak dan Challista yang bosan mendengar gadis pirang itu terus meladeni mereka hanya bisa menarik lemah rompi yang Agnia pakai. "Tutup mulutmu! Aku dan Challista lebih kaya dari tikus got macam kalian. Dasar parasit!" Challista menghela napas berat. Kepalanya terasa berkunang-kunang sekarang. "Agnia, sudah." "Challista, kita lebih kaya dari mereka. Sekali-kali mereka ingin aku injak. Ihh! Coba Papaku di sini, dia akan menyeret mereka semua keluar gerbang Moorim karena membuatku tidak konsentrasi belajar dan menghina putri cantiknya." Challista hanya mendengus. Memukul kepala Agnia dengan pelan. "Dasar. Lain kali, kontrol emosimu. Kau bisa menekan mereka dengan cara yang lebih halus." Agnia hanya terkekeh. "Oke. Oke. Aku akan belajar darimu." Ten berlari ke arah mereka. Terengah-engah saat dia menatap Challista yang pucat dan Agnia yang mengernyit. "Ethan—dia memiliki masalah." Kedua mata Challista yang tampak sayu bergulir memandang Ten dalam diam. "Masalah apa?" Dan Ten menjelaskan semua masalah yang Ethan alami secara rinci. Terlebih satu hal, Ethan tidak masuk sekolah hari ini. Anak itu membolos. Dan wali kelas serta kepala yayasan mencarinya. Yang sayangnya, nihil. Agnia menatap Challista dalam diam. Begitu juga Ten yang menipiskan bibir, menunggu reaksi Challista yang hanya mengangkat bahu. Menatap kedua sahabatnya datar. "Oh." Lalu, berjalan pergi. Menyeret tubuhnya yang lemas masuk ke dalam ruangan saat dia menemukan kedua kakinya tidak mampu lagi berjalan dan Challista terjatuh di atas aspal. "Challista!" Dengusan meluncur dari bibir Challista saat malam ini dia memutuskan untuk berjalan-jalan mencari udara segar selepas bekerja. Dengan mantel tebal dan sepatu keds yang menjadi andalannya, Challista melangkah ringan memutari taman kota dan pada trotoar yang cukup ramai. Sesekali membeli jajanan khas pinggir jalan yang terasa lezat. Rasanya masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Jajanan itu terasa sama. Senyum Challista tanpa sadar melebar. Dia kembali membeli kue ikan itu sebanyak dua buah, memasukkannya ke dalam plastik dan kembali berjalan sembari memakan kue ikan kesukaannya dalam diam. Matanya terpaku pada lampu-lampu yang memyala indah di malam hari. Dia jarang bisa menikmati waktu seorang diri seperti ini. Dan jika dia luang, dia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Challista tersenyum. Memberikan selembar uang besar pada pedagang okonomiyaki. Saat pedagang itu memberinya uang kembalian, Challista menolak dengan halus. Lalu, beranjak pergi dengan senyum. Okonomiyaki ini mengingatkannya pada seseorang. Challista meremas bungkusan itu dengan senyum yang belum lenyap dari wajah manisnya. Saat Challista hendak menyeberang jalan, ingin pergi ke Audi SUV yang terparkir di depan sebuah pertokoan pakaian, dia terpaku menatap Ethan yang turun dari mobil sedan tuanya, berdiri menunggu seseorang di luar gedung minimalis tingkat tiga. Senyum Challista perlahan naik lebih lebar. Dia hendak berjalan saat langkahnya tertahan, menemukan Amera berjalan keluar dari dalam gedung. Dengan wajah lelah dan sweater cokelat lusuhnya. Senyum Challista lenyap. Begitu juga dengan Ethan yang terlihat hangat pada gadis itu. Mengeluarkan mantel dari dalam mobil untuk menyelimuti gadis itu dan tawa Amera pecah saat sikap hangat Ethan berhasil mencuri rona merah di wajahnya. Kedua mata Challista mengerjap. Terasa lebih berat ketika Ethan membukakan pintu untuk Amera, dan berpindah ke sisi yang lain sebagai si pengemudi. Dan sedan usang itu berjalan menjauhi pelataran gedung. Challista mengembuskan napas, meremas bungkusan okonomiyaki yang dia beli saat tatapan matanya berubah hampa. THE AMO CLUB. Challista memejamkan mata. Menatap plang yang ada di depan teras gedung tingkat tiga itu, berlapiskan lampu hias keemasaan yang mencolok. Itu adalah gedung khusus yang menyediakan pelatihan dasar hingga privat bermain piano. Wajah Challista tertunduk, menatap bungkusan Okonomiyaki miliknya dan bibirnya bergetar. Sebelum akhirnya, Challista berhasil bertahan dari rasa sakit yang menjalar di dalam dadanya terutama pada hatinya. Dan berjalan pergi, menjauhi keramaian dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD