Six

2055 Words
Setelah kedua lelaki yang sempat mengganggu Hansa tadi memilih untuk pergi seolah tidak ingin terlibat masalah dengan pria rupawan yang mereka ketahui mempunyai sedikit kuasa mengingat ia merupakan sosok dari kalangan orang-orang berprofesi penting, kini pria yang melingkarkan lengannya di pinggang sang gadis pun mulai menjauhkan lingkaran tangannya diiringi dengan helaan napasnya yang sedikit lega. Untuk sesaat, ia pun melirik gadis di dekatnya itu ketika tanpa sengaja ia mendengar sejenis isakan tangis meski sempat teredam oleh bunyi bising yang masih menguar kencang di seisi ruangan berkerlap-kerlip tersebut. Menciptakan sedikit jarak dari tubuh molek sang gadis yang terlihat jelas dari lekukan tubuhnya jika diamati secara detil, pria yang tak lain adalah Dhafin Ryszard itu pun lantas memasukkan masing-masing tangannya ke dalam saku celana jeans biru tuanya sembari berkata, "Apakah sekarang kau sudah merasa aman, Nona?" Sementara itu, Hansa yang sempat menyeka air mata yang tadi jatuh meluncur beberapa saat karena mendengar celaan lelaki gak jelas itu pun lantas mulai bergerak menoleh diiringi dengan tubuhnya juga yang turut berbalik. Dalam sekejap, Hansa pun tersentak kaget saat matanya saling bertemu dengan sepasang mata elang yang pada saat ini sedang memasang sorot datarnya. Membuat Hansa sontak tercekat karena kini ia tengah dilanda rasa kaget mengetahui bahwa rupanya sekarang ini ia sedang berhadapan secara langsung dengan seseorang yang dia kenali sebagai bos besar dari perusahaan di mana Hansa selama ini bekerja. Oh tidak! Hansa termangu dalam keterkejutannya beberapa saat. Meskipun hanya sesekali saja ia melihat sosok bos besarnya ini--itu pun ketika beberapa kali bosnya mengadakan kunjungan bulanan ke divisi pemasaran, tapi sungguh Hansa tidak akan pernah lupa terhadap wajah bos besarnya yang entah dia pun mengenalnya sebagai salah satu karyawannya di kantor atau malah sebaliknya, Hansa rasa itu cukup meresahkan. Mengetahui akan hal itu, tahu-tahu Hansa pun mendadak diserang kegugupan yang seketika membuat kepalanya tertunduk dalam. "Te-terima kasih, Tuan. J-jika tidak ada dirimu, mu-mungkin aku akan terus di-digoda oleh kedua lelaki tadi. Untuk itu, aku sungguh berhutang budi kepadamu. Sekali lagi, aku ucapkan terima kasih...." ujar Hansa sambil tergagap sendiri. Membuat si pria yang masih berdiri di hadapannya kini lantas spontan menatap aneh karena mendadak gadis itu seperti sedang berhadapan langsung dengan sosok yang diseganinya. Namun tentu hal itu bukanlah urusan Dhafin. Walaupun sang gadis terkesan aneh apalagi sampai harus menunduk-nunduk seperti itu, Dhafin justru malah tetap bersikap tenang dengan pembawaannya yang benar-benar berhasil telak menarik perhatian setiap wanita yang sempat berjalan melintasinya. "Tidak perlu sebegitunya. Aku hanya tidak suka jika ada lelaki yang menurutku suka sekali menggoda seorang perempuan dengan cara yang tidak sopan seperti tadi. Tapi memang ini salahmu juga, Nona. Kau datang kemari, memakai pakaian yang terbuka, meski tidak tahu tujuannya untuk apa dan alasannya karena kenapa, tapi aku rasa mereka ada benarnya juga. Jika kau tidak mau dicap sebagai wanita rendahan, maka lebih baik kau tidak perlu datang kemari apalagi dengan jenis pakaian yang mengundang seperti yang sedang kau kenakan saat ini. Kau tahu? Daripada hanya memakai tank top dan hot pans sejenis itu, maka akan lebih baik jika kau melucuti seluruh pakaianmu saja karena menurutku... itu adalah dua hal yang tidak ada bedanya sama sekali!" celoteh Dhafin apa adanya. Dan dalam sekejap, Hansa pun langsung mengangkat kepalanya yang sempat ia tundukkan diiringi dengan kedua matanya yang kembali membelalak. Hansa terperangah tak percaya. Rupanya, pria dengan level kelas tinggi semacam bosnya ini tampaknya sama saja seperti kedua lelaki tadi yang menggodanya habis-habisan. Sungguh Hansa tak menyangka, di saat dirinya berniat menaruh hormat dan juga rasa terima kasihnya dengan cara ia yang menundukkan kepalanya seperti yang sempat dilakukannya beberapa saat yang lalu, tapi justru pria di hadapannya ini malah melontarkan sebuah kalimat yang benar-benar mencoreng harga diri Hansa secara terang-terangan. Bagaimana mungkin pria ini bisa berkata seperti barusan? Apa dia bilang? Akan lebih baik jika Hansa melucuti seluruh pakaiannya saja, karena itu tidak ada bedanya dengan cara berpakaiannya saat ini. Memangnya kenapa? Hansa rasa pakaian yang dikenakannya terkesan standar dan tidak berniat mengundang, kok. Justru, wanita lainnya yang berkeliaran di kelab malam ini jauh lebih parah dalam mengenakan pakaiannya. Sementara Hansa, dia bahkan hanya mengenakan tank top dan hot pans yang benar-benar terkesan biasa saja. Bukan sejenis gaun tipis atau bahkan dress mini ketat yang jika dipakai oleh wanita dewasa maka akan memperlihatkan bentuk tubuhnya secara nyata dan juga menampakan buah d4danya yang nyaris tumpah meruah dari tempatnya berada. Dan pakaian sejenis itulah yang Hansa rasa malah mengundang semacam g4irah dari para pria h1dung b3lang yang berotak kotor. Lagipula, tank top yang ia kenakan pun bahkan tidak menampakkan bagian dad4nya secara langsung. Setidaknya, masih tertutupi karena tank top yang dipakainya jelas-jelas tidak memperlihatkan belahan d4da dan justru malah menutupinya. Hot pans yang ia kenakan pun tidak mengekspos keseluruhan paha mulusnya, kok. Lalu di mana letak kesalahannya? Sampai-sampai pria di hadapannya ini malah berkata seolah pakaian yang Hansa kenakan malam ini adalah jenis pakaian yang bisa mengundang h4srat kebanyakan pria. Tidak dapat dipercaya! Untuk kali pertamanya di sepanjang dirinya yang selalu menaruh hormat kepada sosok bosnya yang memang langka sekali terdengar gosip miring dalam dunia bisnis yang digelutinya, malam ini justru adalah malam pertama di mana Hansa merasakan setitik benci mulai tumbuh di dalam dirinya. Ya, Hansa merasa benci karena mulut bosnya itu sudah mengeluarkan semacam kalimat yang membuat hatinya begitu tersinggung melebihi rasa tertohok yang ia dapat dari ucapan kedua lelaki tadi. Namun apa yang bisa ia perbuat? Selain hanya menatap sang pria dengan sorot garangnya yang bercampur kesal, Hansa bahkan tidak berani untuk memaki pria itu mengingat ia yang masih membutuhkan pekerjaan di mana pria itulah yang mengeluarkan gaji setiap bulannya untuk Hansa nikmati. Lalu di tengah Hansa yang masih berdiam diri dengan kedua tangan yang terkepal kuat di masing-masing sisi tubuhnya, Dhafin pun tampak melepas jaket kulitnya dan tahu-tahu ia pun menyodorkan jaketnya itu ke arah gadis di hadapannya. "Pakailah ini, dan pulanglah! Aku tidak menjamin jika kau sudah aman dari perhatian para pria yang mungkin saja akan datang lagi sampai menggodamu seperti yang dua lelaki tadi lakukan. Semakin malam kelab ini akan semakin banyak didatangi oleh jenis pria yang suka sekali memaksa kehendaknya apalagi setelah mereka mengonsumsi minuman alkohol yang tersedia banyak di kelab ini. Jadi saranku, kau lebih baik pulang daripada tetap di sini tapi ujung-ujungnya kau malah berakhir di ranjang...." ujar Dhafin menyarankan. Namun sepertinya Hansa tidak mau mengindahkan perkataan pria itu. Sebab, dibanding segera menerima jaket yang pria itu sodorkan dan menuruti saran dari bosnya itu, Hansa justru malah merasa tidak terima dengan apapun yang sudah pria itu lontarkan secara lugas melalui mulut tak beretikanya itu. "Terima kasih atas sarannya. Tapi maaf, aku bahkan tidak akan meninggalkan tempat ini seperti yang sudah kau anjurkan. Dan ya, jangan berlagak sok menggurui! Mentang-mentang kamu sering ke sini, terus kamu bisa sok menakut-nakutiku seperti itu. Sudahlah, lebih baik aku pindah ke tempat lain saja daripada harus berada di sekitarmu yang bahkan tidak pernah bisa menjaga kata-katamu sendiri!" tukas Hansa mendesis sinis. Kemudian, ia pun sigap menyambar tas selempangnya berikut sweater yang sempat ia taruh di atas kursi tinggi yang semula didudukinya tadi. Setelah itu, ia pun memutuskan untuk pergi dari hadapan sang pria tanpa mau menerima jaket kulit yang sengaja pria itu sodorkan kepadanya. Membuat Dhafin refleks mendesah kasar dan kemudian ia pun memakai kembali jaket kulitnya. "Entah dia naif atau memang bodoh! Sudah kuperingatkan baik-baik malah dia mengataiku tidak bisa menjaga kata-kataku sendiri. Ya sudahlah, apapun yang terjadi kepadanya nanti, kurasa itu bukan urusanku juga. Perempuan bodoh semacam dirinya mungkin memang pantas untuk berakhir di atas ranjang bersama dengan pria yang akan menyeretnya ke sana. Ayolah, Dhafin, tujuanmu ke sini bukan untuk mengurusi perempuan itu bukan? Jadi lupakanlah! Tidak ada gunanya juga memikirkan perempuan bodoh seperti dia." Dhafin menyerah pada usahanya. Lalu sekarang, ia pun berniat untuk merogoh ponselnya demi menanyakan keberadaan Shadana yang sampai sekarang belum muncul juga ke hadapannya. *** Hansa benar-benar merasa kesal dan dongkol setelah dirinya sempat diceramahi oleh pria yang adalah bosnya tadi. Ya, Hansa tahu kalau dia adalah Dhafin Ryszard. Pemilik perusahaan di mana ia memperkerjakan dirinya sebagai karyawan biasa di bagian divisi pemasaran. Hansa pikir, selama ini sosok bosnya itu adalah pria yang terhormat dan tidak pernah berkata-kata yang menimbulkan rasa nyelekit di hati yang mendengarnya. Tapi demi apapun yang ada di muka bumi ini! Hansa bahkan tidak akan lagi menaruh rasa hormatnya kepada pria semacam Dhafin. Tidak peduli jika dia adalah bosnya di kantor, yang jelas Hansa akan selalu mengingat setiap kata yang pria itu sempat lontarkan kepadanya. "Enak saja! Dia menyuruhku pulang seolah-olah aku adalah adiknya yang dilarang keras berkeliaran di kelab malam. Cih! Memangnya dia siapa? Selain statusnya yang adalah bosku ketika di kantor, tapi bahkan dia gak berhak untuk menyuruhku meninggalkan tempat ini. Dan apa dia bilang? Pakaianku sangat mengundang h4srat para pria yang melihatnya. Oh wow, apa mungkin justru dia sendiri yang sedang merasa tergoda? Dasar pria bermulut nyirnyir! Jadi netijen ajalah sana, kayaknya dia bakalan cocok tuh jadi ketua nyirnyir sejagat raya. Bener-bener bikin kesel!!!" cerocos gadis itu penuh emosi. Bersamaan dengan kedua kakinya yang sempat dientak-entak di tengah kekesalannya, lalu tiba-tiba Hansa pun merasa haus. Entah kenapa kerongkongannya terasa kering. Mungkin hal itu terjadi karena ia sempat berceloteh banyak sedari tadi. Gara-gara bosnya itu, Hansa jadi harus menggerutu di sepanjang langkahnya setelah meninggalkan tempat tadi. Dan kini, Hansa pun membutuhkan air untuk setidaknya membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Hansa menghampiri meja bartender lagi. Tapi tentu bukan di meja yang sama di mana ia tadi meninggalkan bosnya di dekat meja bartender juga. "Permisi, boleh minta air mineralnya, Mas?" ujar Hansa polos. Sontak si bartender yang sedang meracik minuman untuk disajikan kepada salah satu pemesan minuman tersebut pun refleks tertawa seusai mendengar perkataan gadis itu barusan. Membuat Hansa merasa heran karena bukannya diberi air mineral yang ia minta, justru si bartender itu malah menertawakan dirinya seolah-olah tersemat hal yang begitu lucu di dalam permintaannya tersebut. "Kok malah ketawa sih? Saya minta air mineral, Mas, bukan minta situ ketawa!" tukas Hansa merengut. Lalu si bartender itu pun sigap berdeham guna meredam gelak tawanya yang sempat membahana sesaat lalu. "Sori, sori. Tapi maaf, Nona, di sini jarang nyediain air mineral seperti yang lo minta. Lagipula, ini kelab malam, Nona, bukan kafe yang akan menyediakan air mineral di dalam menu pesanannya. Jadi saran gue, mending lo suruh petugas di depan aja buat beliin air mineral ke mini market yang ada gak jauh dari sini. Itu pun kalo yang disuruhnya mau. Tapi kalo nolak, ya mau gak mau lo beli sendiri aja kali ya! Pfft...." ungkap bartender bermata sipit itu kembali menahan tawa. Mendengar perkataan si bartender, Hansa pun kembali dibuat dongkol. Tapi memang salahnya juga sih. Kenapa pula dia minta air mineral. Jelas tidak akan ada! Untuk itu, tahu-tahu Hansa pun minta diberikan satu botol cairan berwarna hijau yang ia lihat terpajang di dalam lemari kaca di belakang si bartender. Entah kenapa, di mata Hansa minuman dalam botol itu seperti minuman sirup berperisa melon kesukaannya. "Ya udah deh, kalo gak ada air mineral, saya minta itu aja!" seru Hansa menunjuk ke belakang si bartender. Untuk sesaat, bartender bermata sipit itu pun menoleh ke arah yang sedang ditunjuk oleh gadis di hadapannya. Dan ketika ia mengetahui jenis minuman yang tengah diminta si gadis yang semula meminta air mineral padanya sesaat lalu, dalam sekejap bartender itu pun menatap gadis tersebut seraya memekik, "Serius lo minta itu?" Diiringi dengan kepolosannya, Hansa pun mengangguk. "Lah iya. Buruan sih! Saya udah gak kuat nih, Mas. Haus tau! Dari tadi belum minum apapun," ujar gadis itu mendecak kesal. Tapi reaksi yang ditunjukkan oleh si bartender justru malah terkesan ragu dan merasa tidak yakin dengan tindakannya. Bukannya tidak mau memberikan gadis itu jenis minuman yang sedang ditunjuknya, tapi, si bartender hanya ngeri apabila gadis ini meminumnya, lalu reaksi yang didapat malah akan membuat sang gadis mendapat masalah. Tapi mengingat gadis di hadapannya tampak memaksa agar si bartender segera memberikan minuman tersebut, maka mau tak mau lelaki bermata sipit itu pun meraih salah satu botol berisi cairan berwarna hijau yang diketahuinya mengandung alkohol berkadar tinggi yang kemudian dia berikan kepada gadis di hadapannya. Bahkan dengan inisiatif, ia pun sempat membukakan tutup botolnya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia berikan kepada sang gadis yang terlihat begitu antusias di kala tangannya meraih botol tersebut. Membuat si bartender merasa sedikit bersalah apalagi setelah melihat cairan berwarna hijau itu ditenggak tanpa aba-aba oleh si gadis yang kemudian memejamkan kedua matanya diiringi dengan dahi yang ia kernyitkan total.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD