3

1258 Words
Menghantam air, hawa dingin mulai membekap Aria; menghentikan napas dan mematikan indra perasanya. Gelap, Aria tak tahu arus manakah yang membawanya. Mungkin, ia akan terbawa ke laut, membaur bersama birunya samudra. Atau, Aria akan berakhir di antara akar pohon yang menghunjam Rea.  Tidak tahu. Tidak ada kepastian. Tidak ada yang bisa dilakukan. Aria berusaha menggerakkan tubuhnya, melawan arus. Sekali lagi, dia tertarik semakin dalam ke dalam palung bumi. Bintik-bintik hitam mulai memenuhi pandangannya. Semakin berat, paru-parunya seolah terbakar. Dia butuh udara, ia harus segera muncul ke permukaan. Berkali-kali, arus air semakin dalam menarik Aria ke kedalaman; mengikat kedua tangan dan kakinya, mengambil seluruh udara yang ada di dalam paru-paru Aria, membutakan pengelihatannya dengan kumpulan buih dan gelembung. Membuat Aria menjadi mati rasa.  Seiring dengan perjuangan Aria menuju permukaan, tubuhnya semakin lemah, dan akhirnya dia menyerah pada kehendak alam. Pasrah, apa pun yang terjadi biarlah terjadi. *** Ruthven, putra malam, keturunan langsung dari ras penguasa pesisir utara Rea. Pemuda itu menatap jengah bintang gemintang yang tersebar di langit sana. Pakaian sutra yang dihias dengan batu mulia itu membungkus sempurna sosok Ruthven. Rambut peraknya melambai-lambai ketika angin mengembus pelan sisi jendela kamarnya. Sesekali Ruthven seperti mendengar desau tawa seorang gadis. Mungkin, suara itu hanyalah sebentuk ilusi yang diciptakan Ruthven. Berdiam diri di dalam ruangan nampaknya bukanlah kegiatan yang menyehatkan. Terakhir kali Ruthven berburu, dia harus berpuas diri dengan seekor menjangan. Tentu saja, sari kehidupan yang diserapnya tak senikmat jika dia mengisap langsung leher jenjang seorang manusia, lebih bagus lagi jika manusia itu adalah seorang gadis yang rupawan dan cantik. Darahnya pasti akan terasa dua kali lebih manis. Membayangkan itu—menancapkan kedua taringnya ke dalam leher manusia—membangkitkan dahaga Ruthven. Dia rindu memeluk tubuh seorang fana, membisikkan kata-kata indah yang penuh tipu daya sebelum melumpuhkan mangsanya dan menyerap sumber kehidupan dari tubuh sang korban. Tidak. Ruthven tidak boleh menunda lebih lama lagi. Dia membutuhkan darah segar, sesegera mungkin. Ruthven bangkit. Dia mulai meninggalkan kastel dan menghilang di balik belantara. Jika beruntung, mungkin dia bisa mendapatkan satu atau dua manusia yang bisa diburu.  Tidak ada seorang pun yang akan menyadari kehadiran Ruthven. Dia pandai menyembunyikan diri; membaur dengan alam sekitar seolah dia merupakan bagian yang tak terpisahkan. Kali ini pun dia berhasil menyembunyikan diri di antara pepohonan di dalam hutan, beberapa ekor menjangan yang tengah asik meneguk air danau pun sama sekali tidak menyadari kehadiran sosok selain mereka. Ruthven bisa melihat dengan jelas bulu-bulu berwarna cokelat keemasan yang membalut tubuh sang menjangan. Tanduk-tanduk kokoh yang diciptakan untuk bertarung pun terlihat berkilau diterpa cahaya rembulan. Ruthven mulai menghitung jumlah menjangan yang ada di dekat danau, ternyata total menjangan yang ada di sana ada sekitar lima belas ekor. Jumlah yang sangat mencengangkan. Biasanya mahluk-mahluk tersebut hanya muncul berpasangan; dua ekor, dua ekor. Namun kini, Ruthven bisa melihat mereka berkumpul di dekat kolam, sungguh keberuntungan yang tak terkira. Baiklah, mungkin dia harus berpuas diri dengan darah binatang. Tak apa, masih ada lain kali; dia bisa memburu manusia ketika matahari muncul di langit sana. Putra dewi malam tak akan pernah kekurangan berkat dari Sang Agung, mereka bisa mencicipi seluruh isi dunia jika mereka menginginkannya. Dan, itulah kenyataannya. Ketika Ruthven hendak menyerang salah satu anggota menjangan tersebut, sesuatu mengalihkan perhatiannya.  Dari arah seberang, Ruthven melihat kedatangan sesosok gadis. Dia terlihat menawan dalam balutan gaun berwarna putih, kerudung berwarna serupa menghias bagian kepala sang gadis.  “Demi Sang Agung,” bisik Ruthven. Kedua matanya terpaku pada sang pendatang baru, mengamati setiap gerak dan gerik yang dibuat olehnya.  Gadis itu ternyata tidak datang ke danau seorang diri, dia ditemani oleh seorang pemuda yang sepertinya usianya tak jauh berbeda dari si gadis. Menjangan-menjangan itu segera menundukkan kepala mereka; sebuah penghormatan yang mereka berikan kepada si gadis.  “Kuterima salam kalian,” ucap sang gadis. “Terima kasih.” Siapa dia? Tentu saja, Ruthven ingin sekali mengetahui identitas si pendatang ini. Mengapa ia mengenakan pakaian yang tertutup? Aneh sekali. Dia adalah wanita pertama yang membuat Ruthven terpikat. Cantik, sangat cantik. Ruthven harus mengetahui nama dan di mana gadis itu tinggal. Namun, sebelum itu, setidaknya Ruthven harus tahu alasan kedatangan kedua manusia itu di tengah malam ini. Pemuda yang mendampingi gadis tersebut mulai membisikkan sesuatu. Entahlah, apa pun itu, Ruthven berharap pemuda itu tidak mengucapkan puisi cinta dan sebagainya.  Si gadis mengangguk, kemudian dia mulai merentangkan kedua tangannya. Angin mulai berembus pelan; menggoyangkan dahan dan ranting. Samar-samar, Ruthven bisa mencium aroma kasturi. Para menjangan mulai mundur—menjauh dari sang gadis.  Dan, dimulailah keajaiban itu; pemandangan yang tidak akan pernah dilupakan Ruthven. Dari dalam danau—tepat di tengahnya—tiba-tiba saja air mulai bergolak. Awalnya ada cincin-cincin air yang tercipta di dalam danau, namun segera cincin air menghilang dan berganti dengan kemunculan sesosok mahluk berwujud wanita cantik. Rambutnya panjang bergelombang dan menyatu dengan air yang ada di sekitarnya. Gaunnya terbuat dari kaca perak; membungkus rapat tubuhnya dan menciptakan lekukan tubuh yang sempurna. Tepat di sisi wajahnya, terlihat sisik-sisik berwarna biru yang membingkai wajahnya.  “Kau memanggilku?” ucap sang mahluk. Suaranya sebening embun; menenangkan dan menyejukkan. Si gadis mengangguk. “Aku datang kemari atas permintaan rajaku.” “Apa yang diinginkan oleh seorang fana dariku?” “Sebuah bantuan. Negeriku mengalami kesulitan pangan. Sudilah, Anda berkenan membagi air agar ladang dan sawah kami tidak mengalami kekeringan.” Seulas senyum tersungging di bibir si mahluk. “Tentu, aku tidak bisa menolaknya. Engkaulah yang dipercaya Purnama. Engkaulah yang diberkati Surya.” Yang terjadi berikutnya, Ruthven tidak mampu mendengar perbincangan lebih jauh. Mahluk itu mulai merapalkan kalimat-kalimat aneh. Puisi, mungkin. Yang jelas, gadis itu ... bagaimanapun caranya, Ruthven harus mendapatkannya.  *** Lagi, sensasi dingin itu menyentuh Aria. Awalnya dia ragu untuk membuka mata, namun pada akhirnya dia mampu melakukannya. Pipinya menyentuh tanah dan bebatuan yang ada di pinggir sungai. Bibirnya mati rasa, dan beberapa kali Aria muntah; mengeluarkan air yang ada dalam perutnya. Gigilan hebat menyerang punggung, tangan, dan kedua kakinya. terlebih rasa pusing yang mulai mendera kepalanya. Selebihnya, dia selamat. Itulah yang Aria pahami. Bajunya terasa lebih berat karena basah. Tak ada tenaga yang tersisa, Aria memutuskan untuk merebahkan diri di pinggir sungai; menatap langit pagi yang ada di atasnya. Suara gemericik air memenuhi ruang dengarnya; ringan dan bersahutan. Sensasi baru, hal pertama yang Aria rasakan. Pertama-tama dia melihat beberapa ekor burung berwarna biru terbang di sekitarnya, menatap asing sosok yang tergeletak tak berdaya di pinggir sungai. Lalu, dia melihat seekor burung berwarna hitam yang hinggap di atas dadanya. Kedua mata yang memandang Aria itu dipenuhi dengan sorot keingingintahuan, seolah Aria merupakan mahluk aneh yang tidak pernah dijumpai si burung kecil. Setelah puas, burung itu pun terbang meninggalkan Aria. Suara gemericik air yang beradu dengan desau pohon menyadarkan Aria akan suatu hal; dia berhasil melarikan diri dari kedua mahluk yang membunuh Aran. Sebuah keberuntungan. Dan mungkin, keberuntungan itu tidak akan datang kembali. Langit di atas sana lambat laun mulai menampakkan warna biru cerah, sinar mentari mulai menyibak dedaunan hijau, menampakkan pucuk-pucuk segar. Menyadarkan Aria bahwa dia kini sebatang kara; jauh dari Mirialliana, jauh dari kubah perlindungan, dan tidak tahu arah yang harus dituju olehnya.  Tidak pernah menyangka, dalam hidupnya, Aria akan mengalami kejadian yang tak menyenangkan. Kotanya hancur, Aran terbunuh, dan .... Entahlah, Aria tidak tahu lagi ke mana nasib akan mengantarnya. Untuk saat ini saja, satu-satunya yang bisa Aria lakukan adalah terbaring dan menunggu tenaganya pulih. Selain itu, masih ada satu hal yang mengganggunya. Mimpi, kenapa dia bermimpi mengenai sosok-sosok asing? Putra malam, seorang gadis da pemuda, lalu mahluk yang muncul dari dalam danau. Sungguh ilusi yang menyesatkan. Mungkinkah, mimpi itu hanyalah bunga tidur; tidak nyata dan tidak perlu dikhawatirkan? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD