2

2336 Words
Sepulangnya dari perpustakaan, Aria menyempatkan diri melihat barisan Penjelajah yang berjejer di alun-alun. Jubah mereka yang berwarna merah darah nampak mencolok dengan sulaman gambar ular berkepala tiga di punggung jubah. Semua manusia itu terihat berbeda, Aria bisa merasakan semangat berperang di kedua mata para Penjelajah. Manusia-manusia itu beruntung, mereka bisa melihat dunia di luar Savana. Aria iri dengan kelebihan yang mereka dapatkan. Petualangan, siapa yang tidak ingin berkelana ke dunia baru dan menemukan sesuatu yang tidak biasa?  Baiklah, warga Savana—terutama Mirialiana—sama sekali tidak tertarik dengan hal tersebut. Hanya Aria seorang yang berminat dengan dunia luar. Mereka semua terlihat gagah, tak peduli pria ataupun wanita, selalu ada kilat mengagumkan yang keluar dari dalam diri mereka. Aura yang menunjukkan bahwa mereka semua mahluk hidup; tidak hanya bernapas dan bergerak, mereka benar-benar memiliki sesuatu yang membuat mereka terlihat begitu bercahaya. Pemikiran ini membuat darah Aria mendidih, rindu akan embusan angin di luar tembok pelindung.  Dia ingin melihatnya. Dunia luar itu. Salah seorang dari mereka, pria dengan jenggot berwarna merah berkata, “Mari, kita lindungi umat manusia dari para pembuas dan mahluk terkutuk itu.” Dan, seperti sebuah perintah, para pasukan itu secara berantai menyerukan yel-yel kemenangan. Mengacungkan pedang mereka ke langit, seolah menantang maut yang ada di sana. Suara teriakan mereka berderu laksana angin musim panas, membakar semangat seluruh orang yang menyaksikannya. Namun mereka lupa pada satu hal: sesuatu yang kuat itu mudah patah. *** Di depan pintu rumah, Aria berdiri sambil termangu. Bangunan tingkat dua yang tersusun dari bata merah dengan dua jendela dan sebuah cerobong asap ini terlihat seperi penjara jiwa. Tanaman beraneka rupa yang ditanam Mirialiana di halaman pun sama sekali tidak menarik bagi Aria. Entahlah, dia tidak tahu penyebab kebosanan ini. Rasanya, salah saja. Sesederhana itu. Ketika Aria berniat menarik gerendel pintu, Mirialiana secara spontan mendahului. Wajahnya terlihat marah, khawatir, tidak senang; tidak tahu mana yang lebih mendominasi. Bagi Aria itu semua sama saja. “Aria! Dari mana saja kau?” Gaun cokelat yang membungkus tubuhnya terlihat tidak rapi, bahkan kain yang menutupi rambut hitamnya pun terasa seperti ular yang tengah saling membelit. Aria tidak suka dengan suasana ini. “Perpustakaan,” jawab Aria. Mirialiana mengangkat tangannya, menunjuk bagian dalam ruangan; sebuah isyarat bagi Aria untuk segera masuk.  Tak tahu harus berbuat apa, Aria hanya berjalan dengan wajah tertunduk. Sadar, bahwa Mirialiana akan memarahinya, dan jelas, Aria tidak akan memberikan perlawanan. Dengan langkah berat Aria menuju ruang tengah, duduk di sebuah kursi yang biasa digunakan untuk mendengar keluhan Mirialiana. Aria meletakkan kedua telapak tangan di atas pangkuan, menunduk dan melihat jemari yang kurus.  Mirialiana berdiri di hadapan Aria. Marah. “Sungguh, siang ini aku menunggumu. Ada seorang wanita yang mencarimu. Katanya, dia ingin menjodohkan putranya denganmu. Namun kau ....” Jeda sejenak, kemudian Mirialiana kembali berucap, “Akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Dan kau memilih pulang di saat matahari hampir menghilang dari peraduan.” Kesimpulan: Mirialiana marah karena gagal menjodohkan cucunya dengan anak seorang wanita yang bahkan Mirialiana sendiri pun tidak tahu dari mana asal mereka. Mengesalkannya, Mirialiana percaya saja dengan ucapan wanita itu.  “Maaf,” kata Aria. Meski dia tidak suka dengan perlakuan Mirialiana, itu tidak membenarkannya untuk berbuat tidak sopan. Bagaimanapun juga, dia adalah nenek Aria. Baik dan buruknya sikap yang kadang diberikan pada Aria, dia tetaplah keluarga. Pembicaraan berakhir dengan seruan tetangga sebelah, nampaknya Sam—anjing peliharaan Mirialiana—kembali mengejar kalkun peliharaan mereka.  Sam, bisik Aria, aku berhutang padamu. *** Malamnya, Aria memutuskan pergi tidur lebih awal. Dia memang tidak terlalu suka mengenakan gaun tidur, biasanya dia tidur dengan pakaian lengkap. Lagi pula, dia tidak mengenakan gaun yang ditopang dengan kawat dan semacamnya. Tidak masalah jika pakaiannya terlihat berantakan. Semua baju yang dimilikinya sama saja; gaun sederhana sepanjang mata kaki. Tidak ada yang menarik. Anehnya, Aria tidak bisa tidur. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Kelopak mata begitu sulit untuk dipejamkan. Kalung yang didapatkan dari Aran terasa dingin menyentuh tulang selangka.  Terlebih, jantung Aria berdetak tak keruan. Rasanya, menyesakkan. Berulang kali mengganti posisi berbaring, berharap dengan melakukan itu ia akan segera mengantuk. Dan ternyata, rasa kantuk itu tak kunjung datang. Lalu terdengar suara kaingan Sam, sontak, bulu kuduk Aria langsung meremang. Tidak biasanya anjing itu bersuara demikian. Aneh sekali. Tak berapa lama terdengar suara debum yang memekakkan telinga. Terasa getaran melalui kisi-kisi besi yang ada di kamar. Berikutnya, melalui biasan jendela, ia melihat kilatan cahaya berwarna merah menyala. Aria bergegas meninggalkan ranjang dan menghampiri jendela. Dari sana, terlihat mahluk-mahluk aneh bersayap yang tengah menubrukkan diri mereka ke tabir penghalang. Beberapa retakan yang berhasil mereka ciptakan di kubah perlindungan dimanfaatkan untuk memasuki ruang kota. Satu demi satu bangunan tertinggi, termasuk pilar penopang, dihancurkan tak tersisa. Mahluk-mahluk itu memporak-porandakan seisi kota, tak peduli dengan para penghuni yang berhamburan keluar berusaha menyelamatkan diri. Aria mendengar suara pintu diketuk; berulang kali diiringi dengan suara seseorang yang memanggil namanya dan Mirialiana. Aria meninggalkan pemandangan menyeramkan di balik jendela dan mulai berjalan menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, Mirialiana sudah terlebih dahulu mendahului membuka pintu. Tampak di sana, Tuan Syah, tetangga samping rumah, terlihat kacau dalam baju tidurnya. Dia membawa lampu minyak, dari mimiknya Aria bisa membaca sesuatu yang tidak baik.  Aria berdiri di samping neneknya, berusaha mencari tahu gerangan apa yang tengah mereka berdua ributkan. “Miriliana,” kata Tuan Syah. “Kita harus segera meninggalkan kota.” “Meninggalkan kota?” sela Aria. “Ke mana?” Mirialiana menoleh ke arah Aria, wajahnya pucat luar biasa. “Tidak ada waktu untuk berpikir. Aria, pakai mantelmu dan segera tinggalkan rumah.” Setelah itu, Tuan Syah berlari keluar menuju jalan utama.  Mirialiana mengambil beberapa benda dari lemari dan memasukkannya ke dalam kantung yang tersembunyi di balik gaunnya. Aria pun menyambar mantel terdekat yang bisa ditemukan. Mereka berdua bergegas meninggalkan rumah, menuju jalan utama. Sam mengongong, resah. Anjing itu mengikuti kedua majikannya, sesekali menggeram jengkel. Mirialiana bahkan tidak ingin meninggalkan Sam, ke mana pun ia pergi, Sam juga harus bersama mereka.  Di jalanan besar, Aria melihat para manusia yang menjerit-jerit histeris, berusaha menyelamatkan diri dari mahluk-mahluk hitam yang mencoba memangsa mereka. Tidak ada yang tahu jika para pembuas akan berhasil menerobos tabir perlindungan. Kelima pilar yang dibangga-banggakan oleh warga kota; pilar tersebut hancur tak tersisa. Aria menghentikan langkah tepat di belokan kecil; sebuah gang yang terletak di samping toko roti.  “Apa yang kaulakukan?” tanya Mirialiana gusar. “Aran, aku harus memperingatkannya.” Aria hendak berbalik meninggalkan Mirialiana, namun wanita tua itu menarik mantel Aria. “Nenek.” Mirialiana menggeleng. “Tak akan sempat. Tidakkah kau melihat apa yang bisa diperbuat oleh para pembuas itu? Jika mahluk itu ada di sini, maka bisa dipastikan tuan mereka berada tak jauh dari peliharaan mereka.” Sesuatu yang panas seperti menyengat kelopak mata, Aria bahkan tak mampu menahan isak tangisnya. Membiarkan pria yang selama ini menemaninya berada di dalam sana; terjebak di antara pembuas yang mulai menghancurkan setiap bangunan.  Aria membenci ketidakberdayaannya. “Tidak,” kata Aria. “Nenek, pergilah ke kubah perlindungan. Mereka mungkin hanya menerima orang tua dan anak-anak.” Mengabaikan teriakan neneknya, Aria berlari menuju perpustakaan kota. Jika saja jalanan utama tidak dikuasai oleh mahluk pembuas, mungkin dia akan lebih cepat sampai di tempat tujuan. Beberapa kali Aria melihat Penjelajah melawan balik; pedang dihunuskan, anak panah menyerbu pembuas yang melayang di angkasa. Tidak seimbang. Jumlah antara Penjelajah dan pembuas yang datang menyerang. Aria tahu, mereka tidak akan bisa bertahan. Savana akan luluh lantah. Sebisa mungkin Aria menyembunyikan dirinya di antara kegelapan malam. Sesekali napasnya terhenti ketika mendapati mayat-mayat yang dikenalinya; penjaja makanan yang biasa memberinya pinggiran roti, wanita penjual bunga, dan kakek tua yang biasa menghabiskan waktunya duduk di depan rumah. Aria menahan keinginannya untuk menangis pilu. Tinggal satu belokan lagi, maka ia akan sampai ke tempat Aran. Aria berharap, dia belum terlambat.  Aran, kumohon bertahanlah! Aria bisa melihat sisi kanan bangunan perpustakaan, tanaman rambat menutupi sisi tersebut. Tidak berani lewat bagian muka perpustakaan, Aria sempat melihat pembuas yang lalu-lalang di depan pintu perpustakaan. Untungnya, Aria tahu ada pintu belakang. Bagian itu terlihat lengang dan aman dari pembuas. Suara pembuas yang meraung murka memekakkan telinga. Aria berusaha bertahan agar dirinya bisa memaksakan diri untuk terus melangkah, mencari Aran. Aria menarik gerendel pintu, dan daunnya tidak bisa ditarik; pintu terkunci. Tak hilang akal. Aria menarik sebuah kawat tipis dari sisi pintu, dia menekuk kawat tersebut kemudian memasukkannya ke dalam lubang kunci. Terdengar suara “cekrek”, dia berhasil.  Aria langsung menghambur masuk ke dalam. Perpustakaan tersebut terbagi ke dalam dua tingkat; tingkat bawah berisi buku-bukuan, sedangkan bagian atas digunakan untuk tempat tinggal Aran. Bagian bawah telah porak-poranda, buku-buku bertebaran ke segala penjuru. Kedua mata Aria menelisik, mencoba menemukan keberadaan Aran. Lalu dia memutuskan untuk menaiki tangga, dan belum sampai ke atas, dia bisa melihat bayang-bayang manusia.  Mengikuti insting, Aria menyembunyikan diri di balik sebuah lemari. Dia berusaha mengintip, memastikan siapa yang dilihatnya. Aran, Aria melihat pria itu terbaring lemah. Tak jauh darinya, ada dua orang pemuda. Satu pemuda berdiri membelakangi Aria, sementara yang satunya berjongkok di depan Aran, menarik kasar kepala si pria tua. “Katakan padaku,” katanya. “Di mana kau menyembunyikannya?” Kasar sekali. Aria ingin sekali memukul pemuda itu. “Sin,” ucap pemuda satunya. “Jangan terlalu keras.” “Cih, kau memang lemah dengan hal yang seperti ini.” Aran terlihat lemah, darah menggumpal di ujung bibirnya. “Aku tidak tahu.” Sin membentak, “Jangan bohong!” Aria meletakkan tangannya di depan mulut, berusaha menahan jerit.  “Aku berkata jujur. Aku tidak pernah berjumpa dengannya.” “Pembohong,” desis Sin. Pemuda itu menarik bilah bening dari sarungnya, nampak sebuah pedang dengan kilat tajam. Aria tersentak, dia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat. Sesaat, hanya sesaat, kedua mata Aria bertemu dengan Aran. Pria itu tersenyum, memberikan tanda; jangan lakukan apa pun. Aria menggeleng, tidak terima.  Bersamaan dengan bilah yang menembus tubuh Aran, Aria berteriak, “Tidak!” Namun percuma, hanya dengan satu sabetan, Sin berhasil mengirim Aran ke dunia lain. Kini, kedua pemuda itu menatap si pendatang baru.  “Tikus,” ucap Sin. Hanya sesaat Aria terdiam, menatap merah yang keluar dari tubuh Aran. Setelah itu, logika kembali menguasainya. Aria berbalik, melesat cepat meninggalkan kedua pembunuh Aran. Samar-samar dia bisa mendengar u*****n kedua pemuda itu. Aria menutup rapat pintu belakang dan berusaha membaur dengan kekacauan. Tak tahu, ke mana harus melangkah.  “Kalau kau ingin melihat hutan, Aria. Di belakang kota ada hutan yang terhubung dengan sungai besar.” Kata-kata Aran kembali bergaung di telinga Aria. Menoleh ke belakang, kedua pemuda itu berusaha menemukan keberadaan Aria. Jantung Aria berdetak lebih cepat, memompa seluruh darah ke pembuluh nadi di tubuh Aria. Sebaik mungkin, Aria berusaha berlari di bawah bayang-bayang. Api membakar setiap gedung, pembuas memenuhi udara, manusia berteriak parau—meminta tolong. Dan di antara mereka, Aria berjuang menahan tangis. Dia memang hanya pernah diberitahu Aran mengenai lokasi hutan tersebut; melewati kuil, melewati jajaran batu-batu tua, dan di sanalah terhampar puluhan pohon yang berdiri tegak. Tidak ada waktu untuk berburuk sangka, Aria memilih untuk menghambur ke dalam pelukan rimba. Terengah-engah, berusaha menemukan tempat untuk menyembunyikan diri. Jika saja dia bergabung dengan Mirialiana, mungkin dia sudah pergi meninggalkan kota bersama para penyelamat. Tidak. Bukan itu yang disesali Aria. Ia hanya menyayangkan kesempatan terakhirnya bersama sang nenek; tak sempat mengucapkan permintaan maaf. Jalanan di hutan dipenuhi kerikil dan tanaman sesemakan. Beberapa kali tangannya tergores dahan, sakit dan pedih. Hingga akhirnya pelariannya membawa Aria ke sebuah jurang. Angin berembus, menerbangkan helaian rambut cokelat Aria. Di bawah sana, dia bisa melihat permukaan sungai yang membentang luas. Tempat yang bagus untuk mengakhiri hidup. Jalan buntu. Aria harus berbalik. “Terkejar,” ucap sebuah suara. Aria tahu, kedua pengejarnya akan menemukannya. Saat di ruang Aran, dia tidak bisa memastikan rupa sang pembunuh, namun di sini, di alam terbuka, cahaya bulan berhasil menampakkan rupa sang pembunuh. Pemuda berambut perak—yang dikenali Aria sebagai pembantai Aran—kini tersenyum sinis, dia memiliki rambut panjang yang diikat dengan kain sutra. Sementara rekannya yang berambut pirang pendek hanya bisa menatap tajam ke arah Aria.  “Terjebak, Tikus kecil,” ejek si rambut perak, Aria bisa melihat dua bakal taring yang menyembul di antara seringaian pemuda itu. Pengisap darah, tebak Aria, putra malam. Tentu saja, para pembuas itu memiliki majikan. Nahasnya, Aria bertatap langsung dengan sang majikan.  “Jadi, kau tahu, apa yang tengah kami cari?”  Aria menatap horor si pemuda berambut perak, Sin, siapa pun itu, dia tidak menyukai perangai mahluk tersebut. “Kenapa kalian mengirim pembuas ke Savana?” Si pirang bertanya balik, “Apa hubunganmu dengan sang pustakawan?” Mengesalkan. Aria bahkan tidak ingin menjawab pertanyaan kedua pembunuh ini. “Bukan urusanmu.” “Harusnya kau tahu tempatmu.” Aria menggelengkan kepala. Tertawa.  “Kau—” “Kalian pengecut,” ucap Aria memotong perkataan Sin. Tak terima, Sin pun menggeram, “Mahluk d***u. Tidak tahukan kau tengah berhadapan dengan siapa?” “Aku tahu, aku tahu benar siapa kalian ini. Pengecut. Penindas. Aran, pria renta itu.” Rasa panas kembali menyengat, kelopak mata Aria dipenuhi dengan bakal air mata. “Dia bahkan tak pernah menyakiti siapa pun.” “Kau!” Aria mengumpulkan seluruh amarah yang dimilikinya, merubahnya menjadi sebuah keberanian. “Meskipun aku tahu benda yang kalian cari, tidak akan kuserahkan kepada kalian berdua.” “Jadi, apa yang seharusnya kita lakukan, Tusk?” Melirik ke rekan yang ada di sampingnya, Sin mulai kehilangan kesabaran. “Tenang, bisa saja dia tahu kunci yang kita cari.” Aria mulai berjalan mundur, dia bisa merasakan embusan angin di belakang punggungnya.  “Kau ingin membunuhku?” tantang Aria. “Manusia,” tekan pemuda berambut pirang. “Pahamilah tempatmu.” “Tusk, harusnya kaudengarkan aku.” Aria mengambil satu langkah ke belakang. Membulatkan tekad. “Tahukah kalian?” tanya Aria. “Apa persamaanku dengan kucing?” Hanya tersisa sejengkal jarak di antara dirinya dan jurang. “Kami berdua memiliki sembilan nyawa.” Sin hanya bisa menyentuh ujung jemari Aria ketika gadis itu memutuskan untuk menjatuhkan diri. Sin menjerit penuh kekalahan manakala menyadari gadis itu terbenam ke dalam sungai, hilang tanpa jejak dalam pekatnya malam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD