Mingu-minggu berikutnya, Gumelar dan kedua temannya semakin semangat. Membuat pupuk komposnya berhasil.
Tanaman cabai rawitnya yang hanya sepetak itu pun, terus tumbuh dengan subur. Sebelumnya, ada beberapa tunas dan daun yang di pereteli, supaya tunas yang di atasnya jadi tumbuh bercabang dengan baik. Sudah muncul bakal buah yang terbilang banyak.
"Lihat, Gum! MOL yang kita buat itu membuat buahnya banyak, juga penyakit tanaman tidak mau mampir." kata Muradi dengan wajah yang sangat cerah.
"Dan sekarang, jadi banyak para petani yang mau belajar membuat pupuk komposnya. Lumayanlah, ada yang kasih hasil panennya sama kita." kekeh Juhari
Gumelar ikut senang, mendengar laporan kedua temannya ini. Kepercayaan para petani sudah mulai didapatkan, tinggal mengumpulkan mereka, ketika ia bisa membuktikan hasil tanamnya. Tidak apa-apa hanya dengan lahannya yang sedikit, tapi hasilnya cukup memuaskan. Bisa jadi contoh untuk diikuti para petani lainnya.
"Kita liwetan, yuk? Tadi aku sudah suruh Eha masak." ajak Juhari.
"Wah! Kita bisa makan banyak, nih." Muradi menanggapi.
"Dan sambal bikinan Eha, benar-benar mantap!" sambung Gumelar.
"Ah, hanya sama ikan asin doang. Kebetulan tadi pagi, ada yang kasih kangkung."
"Lumayan tuh." timpal Gumelar.
"Iya. Mang Dadang bilang mau tanam sayuran organik juga, biar harganya naik." cengir Juhari. "Ayo, ke rumahku!"
Mereka bertiga sudah siap bersila di bale-bale rumah Juhari. Dengan gesit Julaeha menyiapkan makan untuk mereka.
Mata Gumelar melotot melihat sambal terasi yang sangat menggugah selera makannya.
"Wah! Sambal Eha memang tidak ada duanya nih." komentarnya.
"Ingat aja A Gugum, sambalnya pedas sekali loh. Kalau sakit perut jangan salahin Eha, ya?" kata Julaeha sambil menaruh air teh ke cangkir mereka.
"Aa kan, udah biasa makan sambal pedas. Makanya sepedas apapun mulut Amirah, bisa Aa telan bulat-bulat." canda Gumelar, yang ditanggapi dengan tawa kedua temannya.
"Eh, Ami. Ada apa ke sini?" Julaeha langsung turun dari glodok rumah, yang spontan membuat ketiga pemuda itu menghentikan tawa.
Semua melihat pada Amirah yang datang, raut wajahnya benar-benar sangat tidak enak di pandang.
"Mulut laki-laki kayak kaleng rombeng, sukanya ngomongin orang." katanya sangat ketus. Mungkin tadi ia mendengar apa yang diomongkan Gumelar.
Muradi mencolek Gumelar yang sama sekali tidak terpengaruh dengan umpatan Amirah.
"Hmm ... Biar pedas, sambal Eha luar biasa enaknya." Gumelar mencolek sambal pakai lalap daun singkong yang direbus. Sama sekali tidak menggubris Amirah yang sudah memerah mukanya.
"Kalau ngomong jangan suka nyindir-nyindir." pelotot Amirah galak.
Gumelar melirik juhari, kemudian ke Muradi. "Mur, aku nyindir kamu gitu? Tadi aku kan, ngomongin sambal Eha. Kenapa jadi ada yang kesindir, ya?"
Merasa dicuekin, Amirah lebih merangsek mendekati bale-bale di mana mereka duduk bareng-bareng.
Tangannya mau mengambil cangkir yang berisi teh panas. Julaeha yang sudah tahu tabiat Amirah segera mencegahnya.
"Eh, Ami. Kita ke dalam aja, yuk?" Ia menarik tangan Amirah.
"Kamu mau sih, ngasih makan orang kayak gitu?" omel Amirah. Meski tangannya sudah ditarik Julaeha, matanya tetap saja mendelik pada Gumelar yang tetap anteng makan. Tidak merasa terganggu oleh tingkahnya.
"Udah, ah. Ayo kita masuk." bujuk Julaeha.
"Lain kali, orang kayak gitu kasih aja makannya sama sambel doang." Masih saja Amirah ngedumel.
"Tuh, gak berenti, kan? Kamu sih, suka ganggu Amirah." Muraji menegurnya.
"Lah! Mana kutahu, kalau dia ke sini? Mana mau aku sengaja ganggu gadis segalak itu." sanggah Gumelar, sambil kembali menciduk nasi liwet di panci.
"Sepertinya Amirah sudah menganggap kamu musuh bebuyutan, ya? Sikapnya galak sekali sama kamu. Padahal ke kita-kita, nggak kan?" tanya Muradi ke Juhari.
"Sikapnya memang judes, tetapi ke Gugum memang agak berlebihan. Entah apa sebabnya." jawab Juhari.
"Kali dia naksir sama kamu, Gum?" Suara Muradi agak dipelankan, mungkin takut kedengaran sama orang yang diomongkannya.
"Boro-boro kepikiran ke situ. Jangan sampai aku punya cewek kayak gitu." kata Gumelar sungguh-sungguh. Terus terang, dia tidak suka sama gadis sombong seperti Amirah.
"Tapi dia kembang desa, loh." Muradi tidak berhenti mengganggunya.
"Gadis cantik itu banyak di kampusku, Mur. Lemah lembut tutur katanya, dan pada gak sombong." Gumelar malah mengeraskan volume suaranya, seperti sengaja ingin didengar Amirah yang berada di dalam rumah.
"Kali-kali teman-teman ceweknya, bawalah ke sini, Gum." Juhari tampak berminat.
"Ada beberapa yang minta ke sini, sih. Tapi nanti aja, kalau perkebunan kita ada yang berhasil. Supaya jadi bahan analisa juga buat mereka."
"Apa kamu gak bakalan malu, Gum? Teman-temanmu dari kota, melihat keadaanmu yang sebenarnya?" tanya Juhari.
"Aku sih, apa adanya aja. Hidupku udah begini, mengapa harus diumpetin?"
"Bener juga tuh, Gum. Cewek yang sesungguhnya jodoh kita, adalah cewek yang mau menerima kita apa adanya." timpal Muradi sependapat.
"Mental gak gengsian kamu itu, adalah modal utama menuju kesuksesan." puji Juhari.
"Gak gengsian bukan berarti tidak punya harga diri. Akan tetapi, untuk orang-orang seperti kita ini, melakukan apa saja dengan usaha kita sendiri. Tentunya dengan sikap jujur, tidak merugikan orang lain, dan pantang menyerah."
"Banyak orang yang awalnya, meragukan omonganmu, Gum. Tetapi ke sini-sininya sih sudah kita lihat, banyak para petani kita yang nanya-nanya. Itu tandanya, mereka mulai menaruh kepercayaan padamu." ucap Muradi.
"Abaikan cemoohan dan hinaan orang, itu hak mereka. Suatu saat juga mereka akan melihat, 'Hard work will not betray the results'." Gumelar tampak percaya diri.
"Wih! Pakai bahasa orang sono segala. Apa itu artinya, Gum?" tanya Juhari.
"Artinya, 'Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil'. Itu hanya kutipan dari kata-kata penyemangat aja." kekeh Gumelar. Tidak bermaksud mau menyombongkan bahasa yang dia sediri masih belum begitu menguasainya.
"Andai aku punya modal kecerdasan seperti kamu, Gum. Mungkin aku akan seberani kamu juga. Tetapi aku menyadari, otakku jeblok gak ada nilai lebihnya." kekeh Muradi, mengejek diri sendiri.
Gumelar menonjok lengan atas Muradi. "Kamu orang yang cukup gigih, dan mau bekerja keras, Mur. Percayalah! Kamu bisa berhasil juga. Percuma punya otak pintar, tapi malas."
"Ya, aku percaya, sih. Makanya aku mengikuti kamu terus, karena aku memahami cara berpikirmu itu selalu positif."
"Otak negatif yang selalu berpikir jelek terhadap orang lain itu, buang saja. Tidak akan membuatmu lebih baik, selain iri dan dengki." ucap Gumelar. Bersamaan dengan Amirah yang baru turun dari glodok rumah, diikuti oleh Julaeha.
Matanya langsung mendelik pada Gumelar yang sedang duduk bersandar pada bilik rumah Juhari.
Mata Muradi dan Juhari melebar, ingin lebih tahu reaksi dari temannya yang cuek ini. Karena mata Amirah sudah melotot tajam pada Gumelar, kakinya belum menyentuh tanah.
"Apa ada omonganku yang salah?" tanya Gumelar, tidak menghindari tatapan tajam Amirah padanya.
Kemudian, mengalihkan tatapannya pada kedua temannya. Dengan mengangkat kedua alis, Gumelar mengedikkan kedua bahunya, tanda tidak peduli.
Sikap itu rupanya cukup menyulut emosi Amirah. Ia langsung turun dari glodok, dan menyerang Gumelar dengan tangannya.
Tentu saja dengan gesit, Gumelar menangkap kedua tangan yang sudah siap memukul tubuhnya. Meringkusnya dengan kuat.
"Aku tidak pernah mengganggumu, Amirah. Aku diam selama ini, karena aku sangat menghormati bapakmu. Tetapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku sama sekali tidak menaruh perhatian padamu. Meski semua lelaki di sini, memuja kecantikkanmu." Setelah Gumelar bicara seperti itu, segera melepaskan tangan Amirah dengan sedikit mendorongnya.
Beruntung di belakang tubuhnya, ada Julaeha. Jadi, ketika tubuh Amirah agak hilang keseimbangan, ia bisa menyangganya.
Secara menegakkan badan, Amirah berkata dengan ketus. "Aku juga tidak meminta perhatianmu!"
Ia langsung balik badan dan meninggalkan tempat itu, tanpa bicara lagi.
Amirah benci sikap acuh tak acuh Gumelar. Amirah benci kata-kata tegas Gumelar. Rasanya sakit sekali mendengar kata-kata yang diucapkannya tadi. Sangat menjatuhkan harga diri di depan teman-temannya.
Mengapa, tiba-tiba air matanya ingin keluar? Hingga panggilan Julaeha, sama sekali tidak dipedulikannya. Itu terus saja berjalan dengan langkah cepat.
"Gak usah di kejar, Eha." cegah Gumelar. "Gadis seperti Amirah, terlalu percaya diri menganggap bahwa semua lelaki akan tertarik dengan kecantikan wajahnya. Ia tidak menerima kalau ada lelaki yang bersikap tidak mengacuhkannya. Jadi, biar saja ia membenciku. Tidak ada urusannya sama sekali." kata Gumelar, tajam.
Kedua temannya jadi melihat pada dia dengan terpana, begitu juga dengan Eha yang menghentikan langkah untuk mengejar Amirah.
"Kata-katamu itu cukup nyelekit, Gum. Ami masih belum begitu dewasa, lagian yang mendidiknya hanya seorang bapak saja." tegur Juhari.
"Eha juga sudah tidak punya ibu, tetapi sikapnya tidak begitu." bela Gumelar pada dirinya sendiri.
"Itu merupakan tamparan keras buat Ami, yang hidupnya tidak pernah mengenal dengan kesusahan hidup. Beda dengan Eha, yang biasa menerima kepahitan hidup dengan segala kekurangan. Mental mereka beda. Aku yakin, sepanjang jalan menuju rumahnya, Ami mengucurkan air matanya. pungkas Juhari.
"Mulut Ami, terlalu kayak mercon, Ju. Selama ini aku tidak pernah membalasnya. Jadi, sekali-kali perlu juga diingatkan, biar ia tidak terlalu sombong. Pak Pandu juga sebenarnya sering menegurnya, tetapi selalu diabaikan. Sudahlah! Aku tidak mau membahas dia lagi. Apa pentingnya juga." Gumelar, sepertinya tidak mau lebih panjang. Dia turun dari bale-bale.
"Ayo! Kita lihat, pupuk komposnya. Sudah sebulan, bukan?" ajaknya.
Sebelum meninggalkan tempat, Gumelar melihat pada Julaeha. "Terima kasih, nasi liwetnya sangat enak, Eha. Hari ini Aa Gum, kenyang sekali makannya."
Eha tersenyum. "Iya, sama-sama, A."
"A Mur juga berterima kasih, Eha." Muradi ikut mengucapkannya, sebelum berjalan mengikuti langkah Gumelar.
Julaeha menjawab hal yang sama, sambil tersenyum.
Bagi dirinya, teman kakak-kakaknya itu seperti kakaknya juga. Ia hanya sebatas kagum, melihat sikap percaya diri Gumelar dan keuletan pantang menyerahnya. Makanya Julaeha sedikit heran, pemuda sesimpatik Gumelar, mengapa dibenci Amirah?
Di matanya, meski kulit Gumelar gelap karena diterpa matahari, tetapi dia bukan pemuda yang jelek. Siapapun gadis-gadis kalau di tanya, akan mengatakan kalau Gumelar seoraang yang ganteng.
Namun, gadis sederhana itu tidak ingin menghangatkan hatinya, dengan perasaan kagum yang terlanjur dimilikinya. Julaeha sadar, Gumelar akan menjadi lelaki istimewa kelak. Hanya pantas didampingi oleh gadis yang istimewa pula. Dan itu bukan dirinya.