Episode 5

1617 Words
Semua rencana sudah tersusun di otaknya Gumelar. Mumpung lahan yang selama ini jadi kendala buat dia bertanam, dengan murah hati pak Pandu bersedia menyediakannya. Dia pun punya niat untuk menggarap lahan tanah yang keras itu. Mungkin nanti kalau sudah dapat ilmunya, ia akan mengolahnya jadi tanah yang subur. Sangat disayangkan, kalau tanah seluas itu harus dibiarkan menganggur terus. "Mur, serius nih mau ikut bersamaku menggarap tanah pak Pandu?" tanya Gumelar, saat mereka bertiga berkumpul di rumah Juhari. "Aku juga mau ikut, Gum." timpal Juhari tidak mau ketinggalan. "Ayo! Aku memang sangat butuh bantuan dari kalian, karena tidak bisa ada setiap hari di sini." kata Gumelar. "Itu, tanaman cabe rawitmu jadi percontohan para petani di sini loh." Muradi dengan bangganya ikut bicara, karena dialah yang ketitipan untuk mengurus tanaman itu, bila Gumelar sedang kuliah di Bogor. "Semoga sebentar lagi sudah bisa dipetik hasilnya. Kebetulan harga cabai rawit sekarang ini sedang tinggi-tingginya " harap Gumelar. "Ya. Supaya kita punya modal untuk menanam jagung di lahan pak Pandu." Kata Muradi mengamini. "Bagaimana dengan rencanamu berternak, Gum?" tanya Juhari. "Aku butuh modal lumayan besar, kalau untuk berternak." gumam Gumelar. "Ya, bisa dengan modal kecil dulu aja. Mungkin memulainya dengan ternak ayam kampung aja, Gum. Nanti, sedikit-sedikit bisa beli anak kambing. Kata kamu kan, bisa menggunakan limbah pertanian untuk pakannya dan membuat kompos untuk pupuk organik pertaniannya." kata Juhari. "Rencananya begitu, Ju. Tetapi semuanya juga butuh modal. Tahap demi tahap kita bersama akan jalankan." Gumelar berusaha memberi pengertian kepada Juhari, yang sedikit tidak sabaran ini. "Kalau mau, kita kumpulkan jerami dan daun-daun kering, juga kotoran ternak untuk dijadikan kompos. Supaya sebulan kemudian sudah jadi kompos kalau kita bikinnya dari sekarang." "Kamu bisa mempraktekkannya hari ini kan, Gum?" tanya Muradi. "Bisa! Ayo kita cari bahannya." ajak Gumelar. Mereka bertiga segera beranjak dari rumah Juhari. "Eeh! Aa pada mau kemana?" Muncul seorang gadis membawa teh panas di poci aluminium beserta gelasnya. Ketiganya yang sudah mulai melangkahkan kaki, jadi berpaling pada gadis itu. "Simpan saja Eha, tehnya di bale. Kita mau cari bahan-bahan untuk bikin pupuk komposnya." ujar Juhari pada Julaeha, adiknya. "Uh! Kalau tahu mau pergi, Eha gak harus buru-buru bikin tehnya." gerutunya, agak kecewa. "Gak akan lama Eha. Sudah merebus singkongnya?" Juhari malah bertanya. "Sudah!" jawab Julaeha, sambil meletakan poci di bale-bale. Tanpa melihat mereka lagi, ia masuk lagi ke dalam rumah. "Kasian adikmu, Ju. Aku tidak tahu kalau adikmu sedang menyiapkan teh, juga lagi rebus singkong." ucap Gumilar, agak tidak enak hati. "Eha tidak seperti tuan putri Amirah yang judesnya gak ketulungan. Eha tidak akan marah. Kamu bisa tahan melihat sikapnya begitu, Gum?" ceplos Juhari. "Siapa?" Karena yang mereka bicarakan adalah Julaeha, tetapi kenapa jadi membelot, menyenggol nama Amirah? "Tuan putri Amirah, yang cantiknya seperti bidadari yang baru turun dari khayangan." ucap Juhari agak sinis. "Aku tidak pakai hati, untuk menghadapi gadis itu. Aku sangat menghargai pak Pandunya yang bersikap sangat baik padaku. Jadi, abaikan saja sikap anaknya." Gumelar berkata datar, kemudian meneruskan langkah yang diikuti oleh kedua temannya. Juhari tampak nyengir. Benar juga omongan Gumelar, pikirnya. Ketiganya ke sawah, mengambil beberapa panggul jerami di atas bahunya. Jerami itu sudah dibiarkan warga, setelah memanen padinya. Biasanya ada juga yang membakarnya, bila sawah sudah siap ditanami lagi. Kemudian mereka balik lagi menuju kebun kacang hijau yang tadi sempat dilihatnya. Mengambil sampahnya yang masih berdaun hijau, tidak begitu banyak. 'Sesuai kebutuhan saja' kata Gumelar. Ada beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Menanyakan apa yang akan mereka perbuat dengan mengambil bahan-bahan yang sudah jelas-jelas tidak berguna itu. Sambil lalu, Gumelar mengajak mereka agar tahu apa yang akan dilakukan dia selanjutnya. Ada yang jadi ikut karena merasa penasaran, ada juga yang hanya mencibir pergi dengan begitu saja. Menganggap apa yang akan dilakukan Gumelar itu, hanya bualan si pemimpi naif. Hal itu sama sekali tidak mempengaruhi mental Gumelar. Mereka berkumpul dibelakang rumah Muradi, tampak ada lima orang yang ikut menyaksikan apa yang dilakukan Gumelar, termasuk tetangga terdekat. Dengan memberi penjelasan terlebih dahulu, Gumelar memberi arahan bahwa dengan membuat pupuk organik sendiri, selain berbiaya murah juga sangat baik untuk tanaman daripada menggunakan pupuk kimia. Dia menyusun jerami itu sekita satu meter kubik, lalu ditaburkan pupuk kandang. Saat menyiram cairan berwarna gelap, seseorang bertanya. "Apa itu, Gum?" "Ini adalah MOL, yaitu Mikroba Organik Lokal. Kita bisa membuatnya sendiri dari bahan-bahan yang mudah kita dapatkan." jawab Gumelar. "Bisa dijelaskan, bahannya dari apa?" tanya yang lain, lebih penasaran lagi. "MOL merupakan sekumpulan mikroorganisme yang bermanfaat, sebagai bahan untuk mengaktifkan proses penguraian, maupun fermentasi bahan jadi pupuk organik. Anggap ini sebagai biangnya untuk membuat kompos lah. Dan bahannya terdiri dari Karbohidrat, Glukosa dan sumber bakteri." Gumelar tersenyum, mengakhiri penjelasannya. "Kapan kamu bikin itunya, Gum. Kok aku gak tahu?" tanya Muradi. "Dua minggu yang lalu. Itu yang kamu semprotkan ke tanaman cabai rawit itu, aku buat pupuknya sendiri. Semuanya dari buahan-buahan yang waktu itu aku minta darimu." jawab Gumelar. "Pepaya itu?" "Ya. Dan aku memulung tomat-tomat yang dibuang di kebun karena kecil-kecil dan terlalu matang." ungkapnya. "Wah! Ternyata bisa berguna juga, ya? Tidak harus mahal membeli bahannya." Juhari menimpalinya. "Makanya mulai sekarang, bahan-bahan yang dianggap tidak berguna itu, kita kumpulkan saja. Kita jadikan, Mol. Itu akan lebih sehat buat tanaman daripada menggunakan pupuk kimia." "Beruntung kamu mau membagikan ilmunya kepada kita. Terima kasih, Gum." ucap salah satu yang ikut menyaksikan demontrasi pembuatan kompos itu. "Karena selama ini, di kampung kita melulu mengandalkan pupuk kimia. Harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit dan ngebela-belain beli dengan cara berhutang ke koperasi. Saat panen, harus rela menjual hasilnya untuk membayar hutang, bekas beli pupuknya dan lain-lain." "Itu benar, Gum. Sangat berat bagi petani macam kita ini, yang hanya bermodal kecil saja." "Mari kita bentuk kelompok tani. Suatu saat, mungkin saya akan mendatangkan beberapa ahli untuk memberi penyuluhan. Karena saya punya cita-cita, pertanian kita dijadikan percontohan sebagai pertanian organik. Bisa menyuplai sayuran organik yang sekarang sangat diminati oleh orang-orang perkotaan." "Saya setuju!" "Saya juga setuju!" Mereka secara bersahutan, menyatakan persetujuannya. Gumelar jadi punya semangat lebih lagi, ketika mulai mendapatkan kepercayaan mereka. Ada tiga gundukan yang mereka buat, setelah di tutup daun yang masih basah dan kembali disiram oleh air, bahan kompos itu di tutup secara rapat oleh terpal. Pinggirnya di taruh batu-batu sebagai pemberat, supaya terpalnya tidak terbuka bila ada angin. "Kita selama ini pakai pupuk kandang juga, kan?" Tanya Juhari. "Pupuk kandang sebaiknya di olah dulu, jadi pupuk kompos ini. Supaya lebih baik dan aman ke tanamannya." terang Gumelar. Juhari tampak manggut-manggut. "Sayangnya, hari sudah mulai gelap. Tadinya saya mau mempraktekkan cara membuat MOL-nya. Mungkin minggu depan saja, karena saya harus bersiap-siap untuk kembali ke Bogor." Gumelar baru menyadari, juga mereka yang ada di tempat itu. Petang hari sudah berganti jadi malam. Kumpulan mereka pun bubar. "Saya menunggu minggu depan, kamu kembali lagi ke sini, Gum." kata salah seorang dari mereka, sebelum jauh melangkah. Sepertinya baru kepikiran, untuk mendapatkan kepastiannya. "Ya. Sambil kita periksa kompos kita, gimana hasilnya setelah satu minggu." Baiklah. Boleh saya mengajak yang berminat ingin tahu tentang pembuatan pupuk ini?" "Kang Dudu boleh mengajak siapa saja. Saya sangat terbuka, untuk orang yang ingin lebih maju dalam mengelola pertanian di kampung kita ini, supaya lebih baik." Kang Dudu yang dipanggil Gumelar itu, mengacungkan jempolnya, meneruskan langkah. Tinggal tiga orang yang tersisa. "Duh! Perut sudah keroncongan,nih. Kita ke rumah aja, yuk? Singkongnya dan tehnya pasti sudah menjadi dingin." ajak Juhari. Gumelar membaui tubuhnya. "Aku mau mandi dulu, setelahnya kita kumpul lagi sebentar, sebelum aku kembali ke Bogor." "Baik, baik. Aku akan minta Eha bikin liwet untuk kita makan bersama." "Jangan merepotkan. Mungkin Emakku juga sudah menyiapkan makan untukku, Ju. Kasian adikmu, kalau harus terus disuruh masak di dapur. Lain kali saja." tolak Gumelar secara halus. Juhari tidak memaksanya, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk membersihkan dirinya. Saat mereka berkumpul kembali di rumah Juhari, dia memanggil adiknya. "Eha, keluarin air teh sama rebus singkongnya." Panggilnya. Gadis itu muncul di ambang pintu. "Sudah Eha kasih sama tetangga. Dikira gak bakalan balik lagi ke sini." Julaeha mengatakannya dengan tanpa dosa. "Yah, Kang Juju kan, suruh disimpan saja, Eha." "Sudah gak apa-apa, Ju." cegah Gumelar supaya tidak jadi berkepanjangan. Lagian dia pun sudah merasa kenyang, tadi langsung disuguhi makan sama emaknya. "A Gugum sendiri melupakannya." ceplos Julaeha. "Siapa yang melupakannya, Eha. Masa gadis semanis Eha, dilupakan sama Aa." guyon, Gumelar. Membuat wajah gadis itu memerah dan langsung beranjak kedalam rumah lagi. Muradi menatap Gumelar agak heran. Dia tahu segimana cuek sikap temannya ini, bila berhadapan dengan Amirah. Sekarang malah dengan entengnya, mencandai adik dari Juhari ini. Julaeha memang berwajah manis, terlihat rajin menyediakan kebutuhan kakaknya. Di rumah itu, orang tua Juhari sudah tidak ada kerena sudah meninggal. Tinggal neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan, juga Julaeha yang masih sekolah seangkatan dengan Amirah. "Kenapa, Mur? Jangan cemburu kalau aku candai Eha. Aku menganggapnya seperti adikku sendiri, yang aku tidak punya." kekeh Gumelar. Kali ini wajah Muradi yang jadi memerah. Melirik pada Juhari yang berekspresi biasa saja. "Baiklah, aku akan beritahu kalian caranya membuat MOL itu." Gumelar menyodorkan sehelai kertas yang berisi tulisan mengenai bahan dan langkah-langkah cara membuatnya. "Bisa kalian praktekan. Kita lihat hasilnya nanti." "Lebih enaknya, dipraktekkan sih, kayak bikin kompos tadi. Suruh niru dari bacaan gini, kadang suka salah, Gum." Juhari jadi menggaruk-garuk kepalanya. "Jangan ngeluh, dicoba aja dulu. Biasanya Mur lebih pinter tuh." lirik Gumelar pada Muradi. "Akan aku coba." Terlihat semangat Muradi, mengalahkan sikap ragu-ragunya Juhari. "Jangan kalah sama semangatnya Mur, Ju." Gumelar meninju pelan bahu temannya yang suka angin-anginan ini. Juhari mengerutkan mulutnya, mengakui kalau Muradi lebih terampil dibanding dirinya. Gumelar hanya sebentar menjelaskan isi dari yang ditulisnya, menjawab beberapa pertanyaan dari temannya ini dengan sabar. Setelah mendapat jawaban bahwa mereka cukup mengerti, Gumelar segera berpamitan. Setelah berpamitan pada orang tuanya, dia segera menemui Jajat di rumahnya. Untuk sama-sama kembali ke rumah kost di Bogor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD