Episode 4

1707 Words
"lihatlah tanah ini, Gum. Sangat luas, bukan?" Pak Pandu memperlihatkan tanahnya yang tampak tidak ditanami. Terlihat tandus dan agak gersang. "Tanah ini sangat keras, sudah berapa kali mencoba ditanami, tetapi tidak pernah berhasil. Mungkin kamu bisa mencari metode untuk menggemburkan tanah ini, supaya bisa ditanami dan menghasilkan. Ini tantangan buat kamu, Gum." Gumelar terdiam, ingin saja menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia belum lama kuliah, masih banyak ilmu yang belum didapatkan. Apalagi dihadapannya ada tanah yang terlihat tidak subur. "Mungkin saya butuh mencari tahu, Pak. Ilmu saya belum nyampai ke sini." "Kamu anak pintar, pasti bisa menaklukan tanah ini." Dengan yakin, pak Pandu mengatakannya. Gumelar menggeleng. "Tanah ini sepertinya miskin unsur haranya, Pak. Harus mencari ilmu, bagaimana cara menggemburkannya." "Sengaja Bapak mengajakmu ke sini, supaya menjadi PR-mu." tawa pak Pandu. Menatap anak muda yang dia yakin, punya semangat untuk menaklukan tanah yang sudah lama tidak ditanami itu. "Ayo! Kita akan melihat lahan yang sudah siap ditananami." Pak Pandu mendahului berjalan, yang diekori oleh Gumelar. Mereka menyusuri tanah daratan yang begitu luas. Memang pak Pandu ini orang terkaya di kampungnya, yang memiliki sawah dan ladang terluas dibanding penduduk lainnya. "Ini lahan yang belum digarap, Gum. Hanya beberapa petak saja. Coba kamu tananami dengan bibit yang unggul dan cara yang jitu, agar menghasilkan panen yang bagus." Ucapan pak Pandu ini, terasa berat Gumelar rasakan. Bagaimana pak Pandu mempercayainya? Padahal ia bisa dibilang amatiran dalam hal bertani. Sebagai pekerja, mungkin dia sudah ahlinya dengan menggunakan tenaga dan ototnya. Namun, kalau dalam hal menggunakan pikirannya, Gumelar merasa belum percaya diri. Karena bertani tidak sesederhana itu, butuh pengalaman dan juga pemikiran yang tajam. "Saya akan mencobanya, Pak. Saya berniat menanam jagung, mungkin akan mengajak beberapa teman pemuda di sini." Dengan menepuk bahunya, pak Pandu memberi semangat padanya. "Lakukan! Anggap lahan ini untuk dijadikan pelatihan, untuk kamu bisa belajar. Selain menimba ilmunya, juga mempraktekkannya secara nyata." Gumelar merasa terharu dengan bentuk perhatian pak Pandu padanya. "Terima kasih, Pak. Telah memberi kepercayaan kepada saya." "Waktu aku muda dulu, melihat tanah seluas ini, aku tidak punya semangat seperti kamu. Aku telah banyak menyia-nyiakan waktu dengan bersenang-senang menikmati masa mudaku. Baru setelah bapakku sakit-sakitan dan pertaniannya agak terbengkalai, aku mulai memikirkannya." tutur pak Pandu. "Mungkin saya punya semangat seperti ini, karena melihat keadaan keluarga saya, Pak. Hingga timbul dalam diri saya, ingin mengubah keadaan itu, supaya lebih baik. Dari melihat pengabdian bapak saya dalam dunia pendidikan, ternyata tidak semua punya nasib baik. Itulah yang mendorong saya, untuk jadi petani saja. Seorang petani yang berhasil tentunya." Gumelar tersenyum, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Banyak yang saya simak, dari pengalaman para petani di internet. Di zaman yang sudah secanggih ini, malah bermunculan para petani muda milenial yang sudah berhasil. Hal itu bisa mereka raih, karena benar-benar menekuninya secara serius, dan memakai ilmu yang sudah didapatkan dari sekolahnya." ungkap Gumelar, menyampaikan pemikirannya. Pak Pandu tampak manggut-manggut. "Rata-rata petani sekarang bergelar, ya?Semoga kamu jadi salah satu petani milenial yang berhasil itu, Gum." "Amin. Rencananya sudah ada di kepala, Pak. Tetapi saya butuh waktu dulu, untuk mendapatkan ilmunya." Gumelar terkekeh, merasa hal itu masih jauh waktunya untuk dapat terealisasikan. Mata pak Pandu, mengarah pada dua orang yang sedang menuju ke arah mereka. "Hm ... Makan siang kita sudah datang rupanya." Dia melirik Gumelar. "Ayo! Kita ke saung, Gum. Abaikan muka cemberutnya Amirah, perut tetap harus di isi." gelak pak Pandu. Dia berjalan mendekati sebuah gubuk kecil, yang biasa dipakai untuk tempat istirahat para petani. Wajah Amirah memang selalu sama, sepanjang ingatan Gumelar. Namun, tidak begitu dia pedulikan. Apa masalahnya juga? Dia tidak pernah mengganggu gadis judes itu. Malah Amirah sendiri yang membencinya tanpa diketahui penyebabnya. Mungkin kulitnya yang selalu disebutnya hitam, atau sikap cueknya yang tidak begitu menunjukkan perhatian padanya. Padahal pemuda di kampung, menganggap Amirah sebagai Bunga Desa, yang selalu memuji-muji kecantikannya. Bi Anah meletakan nasi dalam wadah dan lauk-pauk yang digendongnya dengan kain, di atas bale-bale bambu. Sementara Amirah menaruh ceret berisi air teh panas beserta cangkirnya. "Kalau makanan itu jangan dicemberutin, Ami. Nanti disantapnya jadi gak enak, gimana?" seloroh pak Pandu. Bermaksud mencandai Amirah. Namun, mulut Amirah tambah rapat. Sama sekali tidak terpengaruh dengan candaan bapaknya. "Kenapa Bapak selalu nyuruh Ami, untuk mengantar makanan ke kebun? Padahal sama bi Anah sendiri juga bisa." gerutunya. Pak Pandu duduk di atas Bale-bale, setelah mencuci tangannya di atas pancuran samping saung itu. "Bi Anah itu, badannya bulat. Kalau kakinya tersandung batu, gimana? Gak ada yang akan menolongnya. Kalau ada Ami, setidaknya bisa lari cari bantuan." ucap pak Pandu dengan entengnya. Membuat bi Anah jadi tertawa. "Bapak selalu bilang Anah bulat. Emang bola, Pak?" timpal bi Anah. Dari raut wajahnya, ia tampak tidak tersinggung. Tangannya sibuk menyiapkan makanan yang sudah dibawanya. "Jangan salahkan Anah ya, Pak? Kalau sambal terasinya pedas sekali." kata Anah, meletakan wadah kecil tertutup berisi sambal. "Emang siapa yang bikin, Anah?' tanya pak Pandu. Walaupun sudah bisa menebaknya, tetapi tetap saja ingin menanyakannya. "Neng Ami, Pak. Katanya biar Gugum sakit perut." ceplos bi Anah, yang membuat mata Amirah melotot padanya. Gumelar yang ikut duduk di sebelah pak Pandu, malah mengulum senyumnya. Amirah gak tahu, kalau dia penyuka sambal yang pedas. Itu akan menambah selera makannya jadi lebih lagi. Pak Pandu tertawa, sambil menyendok nasi. "Kamu salah sasaran Ami. Gugum tuh kalau makan sambal, kalau gak pedas berarti gak enak. Tanya aja orangnya. Benar kan, Gum?" Disambut oleh Gumelar secara spontan sambil tersenyum. "Betul sekali, Pak." Tanpa melihat pada Amirah, dia ikut menyendok nasi, seperti yang sudah dilakukan pak Pandu. Muka Amirah jadi memerah, menahan rasa kesalnya. Bi Anah juga, kenapa harus bilang-bilang, sih? Sama-sama nyebelin, batinnya. "Ami, gak ikut makan?" tanya pak Pandu dengan nada sedikit lembut. "Nanti aja." jawabnya datar. "Ikan asin, rempeyek kacang, juga sambal dan lalapan matang ini, bener-bener bikin nikmat makannya. Cuman sambalnya aja. Kalau Bapak sampai sakit perut, kamu yang tanggung jawab, Ami!" "Ya, jangan dimakan Bapak." larang Amirah. "Mana mungkin gak Bapak makan, ada lalapan matangnya gini. Coba sini, ikut makan. Apa kamu juga, bisa kuat makan ini sambal?" Amirah mendelikkan matanya ke arah Gumelar, yang sama sekali tidak terganggu makannya. Dengan enaknya mengambil sambal itu kembali, tanpa beban. Tidak menunjukkan sama sekali dia merasa kepedasan, seperti yang diperlihatkan bapaknya. "Ayo! Ikut makan sama bi Anah." ajak pak Pandu. "Bi Anah mah, udah makan duluan, Pak. Mana tahan, bisa nahan lapar sampai jam segini. Bisa turun lima ons nanti berat badan Anah." selorohnya, tergelak. "Lima ons gak bakalan ngaruh atuh, Bi." Gumelar ikut menimpali. "Harus lima kilo ya, Gum?" Kembali Anah tergelak. "Setiap minggunya harus turun segitu. Pasti Bi Anah akan cepat langsingnya." guyon Gumelar. Rasanya Amirah ingin menutup kuping, mendengar bi Anah becanda sebegitu akrabnya dengan Gumelar. Tidak lama keduanya sudah selesai makan. Bi Anah membenahi bekas makannya. "Neng Ami, tolong ambil piring-piring kotornya untuk ditaruh di gendongan Bi Anah." pinta bi Anah. "Harusnya Bi Anah menaruhnya tadi sebelum di angkat ke gendongan." ketus Amirah. "Maaf, Neng. Bibi lupa." Karena melakukannya dengan sedikit kesal, sewaktu Amirah mau mengambil piringnya yang masih di bale-bale, kakinya terpeleset. "Ah!" Hampir saja tubuhnya terjengkang, kalau tidak secara sigap Gumelar segera menahan tubuhnya. Pak Pandu sendiri kalah cepat untuk menolong anaknya. Menyadari kalau tubuhnya dipegang oleh Gumelar, Amirah segera meluruskan tubuhnya dan langsung loncat menjauh. Seolah Gumelar adalah barang yang menjijikan. "Bi Anah, ambil sendiri piringnya!" perintahnya, dengan nada agak kasar. Badannya langsung berbalik, meninggalkan bi Anah yang masih terbengong. Duh, judes sekali anak majikannya ini. Terutama sikap anti patinya pada Gumelar. Seharusnya Amirah tidak terlalu kentara, memperlihatkan rasa tidak sukanya. Gumelar dengan tenangnya, menyimpan piring itu di gendongan punggung bi Anah. "Jalannya hati-hati ya, Bi? Dan terima kasih atas makanannya." ucap Gumelar. "Iya, Gum." Bi Anah tersenyum, kemudian melihat kepada pak Pandu. "Anah pulang dulu, Pak." pamitnya sopan. "Ya. Jangan meleng matanya. Kalau beneran kesandung kakinya, gimana? Amirah udah jauh, tuh!" kata pak Pandu. Tangannya menunjuk pada Amirah yang sudah menjauh. "Anak Bapak yang satu itu, emang tega." Sungut bi Anah. Mulai melangkahkan kakinya, mau menyusul Amirah yang ngibrit tidak peduli lagi padanya. Pak Pandu melihat pada Gumelar yang berdiri dengan ekspresi datar saja, seolah sikap Amirah tadi tidak begitu berpengaruh padanya. "Perasaan ibunya Amirah tidak sejudes itu sikapnya. Tapi ia melahirkan anak yang sangat bertolak belakang dengan sifatnya sendiri." terang pak Pandu. "Ami di tinggal ibunya, ketika remaja kan, Pak?" "Iya, Gum. Saat usianya 15 tahun dan adiknya 10 tahun. Ibu Ami seorang wanita yang sangat lembut sikapnya, jauh sekali dengan Ami. Mungkin Bapak kurang memberi sentuhan feminim padanya, jadi anaknya agak tomboy begitu." "Hanya seorang ibu yang memberi kelembutan dan seorang bapak dengan ketegasannya. Ami tidak tomboy, Pak. Sikap judesnya itu hanya ditujukan kepada saya, sementara ke yang lainnya, saya rasa tidak begitu." "Kenapa ya, Gum? Bapak juga jadi heran." "Kadang rasa tidak suka itu, tidak membutuhkan alasan." ucap Gumelar, tidak terlihat kecewa atau ada emosi lain. Wajahnya tetap datar. "Seperti rasa cinta, mungkin. Sewaktu pertama kali aku melihat ibunya Amirah, tiba-tiba wajahnya terbayang terus di pelupuk mata dan ingin bertemu terus." "Diusia saya ini, mungkin saya belum begitu memahami rasa itu, Pak." ujar Gumelar dengan apa adanya. Ya! Gumelar berusaha tidak memikirkan gadis manapun. Dia tidak mau terjerat dengan yang namanya 'Cinta'. Dia ingin fokus dulu kuliah sampai lulus dan berhasil jadi orang. Karena menurutnya, wanita mana yang mau dibawa hidup susah? Gumelar tidak mau diejek terus, karena hidupnya dalam ketidakmampuan secara materi. Dia ingin membuat orang tuanya bangga dulu, sebelum mereka menutup mata. Membangun sebuah rumah yang layak untuk mereka tinggali. Juga, beberapa petak sawah yang bisa dijadikan lahan untuk mereka mendapatkan nafkah hidup. "Ya! Kamu lebih baik fokus dulu pada sekolahmu, Gum. Sepertinya hatimu masih polos, belum tersentuh hal yang kadang bisa mengalihkan dari tujuan kita yang sebenarnya." "Mana ada perempuan yang akan tertarik pada saya, Pak? Benar kata Ami, kalau saya ini hanya lelaki jelek, item, hidup lagi. Saya sama sekali tidak merasa sakit hati dengan kata-kata Ami. Itu memang kenyataannya." ucap Gumelar secara lugas. Dia percaya yang dikatakan pemuda ini, adalah yang sebenarnya. Tidak ada emosi di sinar matanya. "Maafkan Ami, Gum." Pak Pandu, tetap mengatakannya. Gumelar malah tertawa kecil. "Saya tidak pernah menyimpannya dalam hati, Pak. Terpenting saya tidak menyakiti Ami, yang berarti tidak mengecewakan Bapak juga. Kebaikan Bapak, tidak bisa dibalas dengan kebaikan saya yang sebesar apapun." ungkap Gumelar tulus. Pak Pandu hanya menatapnya, ada kekaguman melalui sinar matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD