Episode 3

1529 Words
Gumilar dengan secara terburu-buru memasuki kamar kostnya, setelah jam kuliahnya selesai. Jajat teman sekamarnya, adalah tukang ojek di sekitar perumahan tempat mangkal ojeknya. Baru saja merebahkan diri di kasur lepet milik mereka, melihat padanya. "Aku juga baru pulang, Gum. Penumpang sekarang agak susah, dari pagi hanya dapat tiga tarikan saja. Gimana aku bisa kirim setoran ke istriku di kampung kalau begini gelagatnya mah." katanya pesimis. "Sabar, Kang. Tidak setiap hari sepi penumpang. Adakalanya, rame juga." Gumilar berusaha menghibur dengan kata-katanya. Ikut duduk sejenak, setelah melepas sepatunya. "Kalau saja ijazahku laku kerja di pabrik, mungkin aku gak bakalan jadi tukang ojek gini." "Coba saja kalau Akang sekolah lagi ikut paket C, mungkin bisa, Kang." saran Gumilar. Membuka bungkus nasi ramesnya, yang tadi sempat di beli di warung nasi yang tidak begitu jauh dari tempat kostnya. "Usiaku sudah tidak muda lagi, Gum. Kegiatan untuk cari uang saja sudah merasa payah, apalagi suruh mikir buat sekolah lagi." "Pertemuannya juga gak harus seperti sekolah umum atuh, Kang. Kalau punya tekad kuat, pasti bisa." Gumelar tidak menyerah, memberi semangat pada orang sekampungnya ini. Mereka ada tali persaudaraan, mengingat istrinya Jajat adalah keponakan ibunya Gumilar. Jajat menyicil motor, dengan harapan alat transfortasi itu dijadikan sebagai alat usahanya di kota. Itulah kenapa, mereka dalam kost yang sama. Meski hanya berupa kamar ukuran kecil dan kamar mandi umum di luar, mereka merasa beruntung dapat tempat kost yang agak murah dibanding dengan tempat kost lainnya. Juga tidak begitu jauh dari lingkungan kampus Gumilar. "Kang Jajat sudah makan?" tanya Gumilar sebelum memulai makannya. "Sudah tadi, sebelum pulang Kakang beli nasi dengan lauk seperti kamu." jawabnya. Gumelar menatap ransum nasinya. Hanya berupa orek tempe dan tumis labu siam. Nasinya saja yang minta diperbanyak, biar kenyang. Tidak lama kemudian Gumilar sudah selesai makannya, melihat pada Jajat sudah tertidur lagi dengan d**a telanjang. Maklum mereka tidak punya alat untuk mendinginkan ruangan disaat cuaca sedang panas-panasnya. Gumelar mengambil kunci motor, untuk gantian menarik ojek sampai jam sepuluh malam, dilanjut kemudian oleh Jajat lagi sampai subuh. Begitulah keseharian mereka. Mengambil ponsel yang dipakai mereka supaya terkoneksi pada aplikasi ojek online, tempat mereka mendapatkan bayarannya. Gumelar hanya sebentar jalan, sudah dapat penumpang, dia segera menuju lokasi penjemputan. "Ok, Bang. Sudah tahu alamatnya, kan?" kata wanita cantik yang bisa dibilang tubuhnya bohay itu. Karena sudah beberapa kali, jadi penumpangnya. Dengan ramah Gumelar mengiyakan. Dia merasa tubuh mbak-mbak ini terasa dekat sekali. Namanya juga anak bujang, Gumelar merasa tidak enak juga tubuh bagian depan wanita ini menempel di punggungnya. Namun, bisa apa dirinya? Yang penting dia bisa narik dan dapat bayaran. "Bang, abonemen aja, ya?" tanya wanita itu. "Maksud, Mbak?" Gumelar tetap menjalankan motor, dan tatapannya tetap lurus ke depan. "Langganan gitu, Bang. Saya pulang pergi di jemput sama Abang. Gimana?" "Sepertinya hanya pulangnya aja, mbak. Karena kalau pagi-pagi, saya harus kuliah." "Abang kuliah?" "Iya, Mbak." "Ya! Pulangnya aja. Nanti saya bayar lebih deh." bujuknya. Ia tersenyum yang tidak mungkin dapat dilihat oleh Gumelar. "Saya gantian sebenarnya sama saudara saya, narik ojeknya. Kalau Mbak mau paginya dijemput, bisa sama saudara saya aja." "Orangnya kayak Abang, gak?" "Maksud, Mbak?" "Saya paling males kalau naik ojek, Si tukang ojeknya bau keringat gitu." "Wah! Mbak jangan khawatir. Namanya bang Jajat ini, orangnya sangat apik. Meski gak wangi, tetapi dijamin keteknya gak bau." cengir Gumelar. Melihat spion kanan, dan bertemu pandangan dengan mbak penumpang di kaca cembung itu. "Pokoknya, aku ingin Abang terus yang jemput aku sepulang kerja, ya?" "Siap, Mbak!" Lumayan, pikirnya. Ada pelanggan tetap. Sewaktu di bicarakan dengan Jajat pun mau menerimanya. Hari Sabtu, kadang Gumelar memaksakan diri untuk pulang ke kampungnya. Demi mengontrol apa yang sudah dilakukannya. Tanaman cabai rawit, sudah mulai terlihat perkembangannya. Tumbuh subur, sesuai dengan ekspektasinya. "Gum! Tanaman cabai rawitmu, sangat bagus sekali. Nanti kalau kamu membuat bibitnya, Mamang minta, ya?" kata Cahya salah satu tetangganya. "Iya, Mang. Boleh!" jawab Gumelar. "Cariin juga bibit jagung yang baguslah, Gum. Mamang mau tanam di lahan yang belum digarap, karena masih mikir mau ditanami palawija apa di musim kemarau seperti ini." "Aku juga rencana mau tanam jagung. Teman-teman kakak kelas saya, sedang meneliti jagung yang lebih unggul dari sejenisnya. Bisa tetap menghasilkan buah yang manis, besar, dan tidak terlalu lama menanamnya." "Itu lebih bagus." Mang Cahya menyetujuinya. Kemudian mereka terlibat perbicangan lebih lanjut lagi. Tidak beberapa lama, Gumelar sudah ada di hadapan pak Pandu. "Ami...!" panggil pak Pandu, lantang. Amirah menjawab panggilan bapaknya setelah yang ketiga kalinya. "Bapak, Ami lagi di belakang. Gak begitu kedengaran." Amirah menghampiri pak Pandu, masih dengan wajah cemberutnya. Begitu tahu ada Gumelar sedang duduk di kursi, berhadapan dengan bapaknya. "Bapak tahu, panggilan pertama pun sebenarnya sudah kamu dengar." "Bapak, kenapa sih selalu nuduh Ami? Ini pasti gara-gara Gugum." liriknya sinis, pada Gumelar. Yang disebut namanya malah mengerutkan dahinya. Mengapa dia yang jadi ikut disalahkan? "Kuping kamu yang congean, kenapa Gugum yang dibawa-bawa?" tegur pak Pandu pada anaknya. Mata Amirah sampai melebar. Ia sendiri merasa heran, yang anaknya itu siapa sih? Gugum apa dirinya? Rasanya tidak adil, melihat tingkah bapaknya ini. "Udah kamu ke dapur lagi, gih! Buatkan Bapak kopi sama Gugum. Kalau kamu taruh garem lagi, Bapak akan hukum kamu." ancam pak Pandu. Mengingat sewaktu Amirah menjahili Gumelar, dengan menaruh garam di kopinya. Amirah tidak berani membantah, tapi hatinya terasa kesal sekali dengan wajah datar tamunya. Sesampainya di dapur, ia melihat bi Anah ART di rumahnya, sedang menjerang air di kompor. "Bi, bikinin kopi dua gelas, kata bapak." "Loh! Bukannya Neng Ami yang disuruhnya?" Bi Anak tidak begitu saja memenuhi perintahnya, ia mendengar tadi omongan juragannya. "Ah, jangan banyak omong. Bibi bikinin aja." elak Amirah. "Bukan Bibi nolak perintah, Neng. Tapi bapak tuh bisa tahu kopi bikinan Bibi atau Neng. Bisa-bisa nanti Neng, dimarahin bapak lagi." "Ih, Bibi. Banyak alasan!" Dengan mendelik, Amirah mengambil dua gelas bersih. Kemudian menaruh satu sendok kopi tubruk di gelas satunya, dan dua sendok ke gelas lainnya. Lalu, menaruh gula di gelas yang diperuntukkan bagi bapaknya. "Neng, kenapa di gelas satunya gak dikasih gula?" tanya bi Anah merasa curiga. "Biarin! Dia udah kayak gula aren, item." Bi Anah hanya bisa geleng-geleng. Sewaktu Amirah meletakkan gelas berisi kopinya ke meja, segera pak Pandu menukarnya. Tentu saja Amirah membeliakkan matanya. "Bapak, kenapa di tukar?" "Bapak pengen tahu aja, rasa kopi yang kamu buat untuk Gugum." jawab pak Pandu. Amirah hanya pasrah, saat bapaknya meniup kopi yang terlihat masih mengepul. Lalu menyeruputnya sedikit. "Uang jajan kamu dipotong!" tandas pak Pandu "Bapak!" protes keras Amirah, tidak terima. "Abisnya ini kopi pelit gula, jadi Bapak pelitin kamu juga." Amirah pergi dengan sedikit menghentakkan kakinya. Hatinya sangat kesal pada Gumelar, yang ingin dikerjainnya. Akan tetapi, kembali bapak menggagalkannya. Padahal Gumelar sendiri tidak melakukan apa-apa. Amirah berjalan ke dapur lagi. Tidak menyadari kalau lantai dapur ada yang licin karena tumpahan air. "Ah!" teriak Amirah. Tubuhnya hilang keseimbangan, tidak ada yang bisa diraih untuk dijadikan pegangan. Terdengar suara tubuh yang jatuh, di tambah nampan yang terlempar menimbulkan suara yang sedikit ramai. "Eh! Curut! Curut!" latah bi Anah. "Neng teh, kenapa atuh, musti jatuh." Bi Anah mendekat, ingin membantu anak majikannya yang super judes ini untuk bangkit. Pak Pandu dan Gumelar muncul karena mendengar keributan di dapur. Melihat Amirah yang dalam posisi terjengkang di lantai, sedang berusaha di bantu bi Anah. Rasanya Amirah ingin menjerit menangis, udah kesal pada Gumelar, di tambah lagi laki-laki itu melihat penderitaannya. Padahal tadi ia sendiri yang berniat menjahilinya, dengan membuat kopi yang sangat pahit tanpa gula. "Lain kali, makanya jangan punya niat jahat sama orang. Kena sendiri, kan, tuh?" Eh! Bapak bukan mau menolongnya, malah seakan ikut puas, membela orang yang bukan siapa-siapanya. "Ayo, Gum! Kita kedalam lagi." kata pak Pandu, cuek. Semakin membuat Amirah ingin menangis guling-guling. "Neng, kenapa sih? Benci banget kelihatannya sama Gugum. Emang salah Gugum, apa?" tanya bi Anah. Setelah ia membuat Amirah berdiri lagi. "Nyebelin aja orangnya. Aku gak suka!" jawab Amirah, dengan wajah cemberutnya. "Anaknya baik gitu, kok di benci. Kali Neng, naksir sama Gugum." ceplos bi Anah. "Ih! Amit-amit, Bi." pelotot Amirah. Kemudian segera berlari ke halaman belakang. Karena kalau mau masuk ke kamarnya sendiri, berarti harus melewati keberadaan Gumelar yang sedang mengobrol dengan pak Pandu di ruang keluarga. Sementara pak Pandu masih berbicara secara serius dengan Gumelar. "Banyak orang yang membicarakan, kalau tanaman cabai rawit yang kamu tanam itu, tumbuh dengan bagusnya di tanah sepetakmu itu, Gum?" "Karena saya dikasih bibit unggulnya, Pak. Itu hasil penelitian terbaru dari kakak-kakak kelas." jawab Gumelar. "Kalau kamu butuh lahan, Bapak bersedia menyediakannya, Gum. Banyak lahan perkebunan yang belum di garap juga. Bisa kamu manfaatkan untuk dijadikan bahan penelitian, bibit-bibit unggulnya itu." "Selain jenis tanah, tiap daerah juga punya berbedaan iklim dan hamanya. Hal ini akan berpengaruh pada hasil tanamnya. Saya takut mengecewakan Bapak, bila tidak berhasil." "Namanya juga percobaan, tidak masalah bagi Bapak sih. Tetapi dari ketidakberhasilan itu, kamu jadi lebih bisa mempelajarinya lebih teliti lagi." kata pak Pandu, memotivasinya. Pak Pandu memang sangat baik, selalu mendukungnya. "Kamu rencana mau menanam apa?" tanya pak Pandu. "Saya ingin menanam jagung, Pak." "Berapa luas lahan yang kamu butuhkan. Dan jelaskan pada Bapak, apa keunggulan bibit yang akan kamu tanam ini?" "Saya ingin menanam sedikit dulu, Pak. Untuk menghindari kerugian, bila bibit ini tidak begitu baik di tanam di daerah kita." "Baiklah. Lakukan saja." ucap pak Pandu setuju-setuju saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD