2. Pertemuan yang Membekas

2191 Words
Seperti janjinya Pak Baron pagi tadi, ia kini tengah mengantar Yasmin pergi kesekolah, Yasmin yang tangan di antar papanya pun merasa bahagia. "Pa, Yasmin sangat bahagia. Karena hari ini Papa mengantar, Yasmin ke sekolah." "Benarkah, putri Papa yang cantik ini bahagia." "Iya, Yasmin sangat bahagia," ucap Yasmin dengan nada polosnya, sambil memberikan hadiah kecupan sayang di pipi Pak Baron. Cup! Pak Baron yang merasa gemas dengan putri kecilnya tak kuasa menahan senyumannya, ia pun membalas kecupan dengan kecupan bertubi di seluruh wajah putrinya. Yasmin tertawa karena merasa geli, ia tertawa terbahak dan membuat Bu Silia yang terdiam sedari tadi tidak bisa menyunggingkan senyuman. Ia pun turut tersenyum melihat interaksi antara ayah dan anak itu. "Hahaa ... Pa, geli. Ampun ...," ucap Yasmin, memohon di lepaskan. ''Pa, sudah. Kasihan Yasmin, nanti dia lelah kalau tertawa terus,'' sambung Bu Silia mengingatkan, dengan nada lembut sambil membelai lengan suaminya. Pak Baron yang mendengar peringatan dari sang istri, langsung menghentikan kegiatannya. Namun, ia sama sekali tidak melepaskan dekapan Senyuman manis itu sama sekali tidak lepas dari bibir mungilnya, sepanjang perjalanan dari rumah Yasmin terus berceloteh menceritakan kegiatan di sekolahnya. Baik itu teman, guru yang mengajar mau pun semua permainan yang ia lakukan selama ia di sekolah. Lima belas menit kemudian, mobil mewah Pak Baron mulai memasuki pelataran sekolah elit Internasional Hig School. Sekolah yang mempunyai fasilitas lengkap, dan bertaraf internasional. Setelah mobil berhenti, supir yang sigap langsung membukakan pintu samping Pak Baron. Pak Baron turun dahulu, kemudian ia langsung menggendong putri kecilnya diikuti Bu Silia keluar dari mobil. "Sayang! Papa pergi ke kantor dulu, ya. Nanti akan ada supir yang akan menjemput kamu sama Mama, Yasmin tidak boleh lari-lari kalau bermain, dan tidak boleh terlalu capek pokoknya." "Satu lagi, jangan lupa makan bekalnya dan minum obat," tutur Pak Baron lembut, sambil menurunkan Yasmin. Setelah itu ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya yang kini berusia 9 tahun, saat ini Yasmin baru kelas 3 SD. "Iya, Pa. Yasmin akan melakukan semua perintah Papa," jawab Yasmin dengan binar bahagia di wajahnya. "Anak pintar, Papa sayang sama Yasmin," tutur lembut Pak Baron, sambil mengecup pipi putrinya. "Yasmin juga sayang sama, Papa," jawab Yasmin, langsung menghambur ke dalam pelukan Pak Baron. Pak Baron hanya terkekeh, setelah melepaskan pelukan pada putrinya. Ia menghampiri istrinya sedari tadi hanya terdiam. "Sayang ... kenapa sedari tadi kamu diam saja, apa ada yang kamu pikirkan, hmm?" "Hanya memikirkan putri kita saja, Pa. Dia itu baru saja kambuh, dan memaksa pengen sekolah aku takut dia akan drop kalau kelelahan," jawab Bu silia dengan nada lesu. Namun, terselip rasa khawatir begitu besar dalam dirinya. "Asalkan kamu memastikan dia tidak capek saja dia tidak akan drop, aku sudah memberitahu guru. Setiap ada pelajaran olah raga Yasmin akan absen, jadi tugas kamu hanya mengawasinya." "Satu lagi, jangan biarkan dia jajan sembarangan dan pastikan Yasmin minum obat tepat waktu," ucap Pak Baron lembut, tapi tegas. Karena ia pun tengah mengkhawatirkan Yasmin. "Iya, aku tahu." "Ya sudah, aku berangkat ke kantor dulu. Kalau ada apa-apa langsung cepat hubungi aku, ya," pesan Pak Baron, setelah itu ia mencium kening istrinya dengan lembut. Sebelum memasuki mobil Pak Baron ia ingat sesuatu, membuat ia kembali membalikkan badan lalu menghampiri Bu Silia yang terlihat ingin mengikuti putrinya. "Sayang!" Bu Silia yang mendengar suara suaminya, seketika ia berbalik lalu memandang suaminya dengan pandangan heran. Bukannya tadi Pak Baron sudah berpamitan akan berangkat ke kantor. "Ada apa, Pa? Kok belum berangkat?" tanya Bu Silia dengan nada heran. "Aku baru ingat sesuatu, dan aku harus memperingatkanmu, Sayang." "Apa?" "Jangan biarkan siapa pun tahu akan kelemahan Yasmin. Aku tidak mau dia di jauhi teman-temannya, apalagi di bully. Satu lagi, jauhkan Yasmin dari dua bersaudara itu." "Aku tidak mau, Monica dan Lira mengganggu putri kita," peringat Pak Baron, dengan nada tegas. ''Iya, Mama sudah tahu dan mengerti apa yang Papa khawatirkan. Karena apa yang Papa pikirkan sama dengan pemikiran Mama," jawab Bu Silia menenangkan keresahan suaminya, sambil membetulkan letak dasi yang di pakai suaminya. "Sekarang pergilah, aku akan menjaga Yasmin putri kita dengan baik," tutur lembut Bu Silia. "Makasih, Sayang. Sekarang aku bisa tenang." "Ya sudah, aku ke kantor dulu," pamit Pak Baron, sambil memberikan kecupan lembut di dahi istrinya. Setelah itu Pak Baron benar-benar pergi berangkat ke kantornya, sedangkan Bu Silia sedikit mempercepat langkahnya menyusul putrinya yang sedikit menjauh. Yasmin sedikit berlari kecil, rambut panjangnya yang tergerai bergoyang dengan indah. Tidak lupa tas punggung berwarna pink sesuai warna kesukaanya. Japit kupu-kupu yang terselip di atas dahinya, mempercantik penampilan Yasmin pagi ini. Setiap gerakan dan tingkah laku Yasmin, tidak lepas dari pandangan siswa yang sedang berjalan perlahan di belakangnya. Semenjak turun dari mobil mewahnya tadi, siswa itu pun sempat mendengar percakapan dari Pak Baron dan Bu Silia. Siswa yang tidak lain adalah Damian William, yang kebetulan satu kawasan sekolah. Namun, beda gedung karena Damian saat ini ia tengah duduk di kelas 2 SMP. "Sayang, jangan lari-lari nanti kamu jatuh," teriak Bu Silia, sambil berlari menghampiri putri kecilnya. Yasmin langsung menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan mungilnya menghadap sang mama. Damian yang melihat cengiran menggemaskan dari bibir Yasmin, seketika menghentikan langkahnya. Ia terus memandang interaksi kedua wanita beda usia itu. Hingga Yasmin dan mamanya mulai memasuki kelas yang menjadi tujuan gadis mungil itu. 'Kenapa kedua orang dewasa tadi begitu mengkhawatirkan gadis kecil itu? Apakah gadis kecil itu mempunyai penyakit, atau ada hal yang tidak ingin di ketahui oleh banyak orang?' gumam Damian, seraya memandang Yasmin dan mamanya mulai menghilang di balik tembok kelas 3 SD. Setelah bergelut dengan pemikirannya sendiri, Damian mulai melangkah menuju kelasnya. Di mana kelasnya berada tidak jauh dari gedung SD tadi, hanya terpisah taman saja. Dengan pandangan datar, Damian terus melangkah menuju kelasnya. Namun, pesonanya di usia dini tidak bisa di tampik oleh remaja putri yang sedari tadi memandangnya. *** Waktu istirahat pun tiba, Damian tengah duduk di bangku taman sendirian sambil memainkan pisau lipat perak berukuran kecil dengan ukiran naga. Mulai duduk di bangku taman, pandangan Damian selalu mengarah ke arah gedung sekolah yang tidak jauh dari ia duduk. Entah mengapa ia menghabiskan waktu istirahatnya, hanya memandang gedung yang tidak jauh darinya. Satu hal yang Damian rasakan saat ini, ia begitu penasaran dengan gadis kecil yang ia lihat tadi pagi. Ia berharap ia bisa melihat dan memastikan apa yang sebenarnya di tutupi oleh kedua orang dewasa, tidak lain adalah orang tua gadis kecil itu. Damian terus memainkan pisau lipatnya dengan lincah, kadang ia memutar pisau lipat itu hingga beberapa kali. Gerakan Damian terhenti, sesaat ia juga tidak konsentrasi ketika pisau lipat itu masih ia mainkan. Akhirnya pisau kecil tapi sangat tajam itu mengenai telapak tangannya, darah segar mulai menetes. Namun, ia sama sekali tidak merasakan sakit di telapak tangannya. Ketika pandangan matanya mengarah pada empat gadis kecil, lebih tepatnya ia mengarahkan pandangan hanya pada salah satu gadis yang sedang di gangguin. Damian merasa kesal, dan mulai melangkah mendekat ke arah empat gadis-gadis kecil itu. Gadis kecil yang tidak lain adalah Yasmin, tengah merengek meminta kotak bekalnya di kembalikan. "Monica, kembalikan kotak bekalku. Aku mau makan," pinta Yasmin, sambil meraih kotak bekalnya yang berada di tangan Monika. "Hahaa, ambil saja kalau bisa," jawab Monica, sambil tertawa menjauhkan kotak bekal Yasmin hingga ke udara. "Kak Monica lempar ke Lira," sambung Lira yang tidak lain adik dari Monica. "Iya, Monica. Lempar saja ke arah Lira, biar Yasmin bingung lalu mengejar Lira," sambung Sinta. "Oke, tangkap ini," ucap Monica setelah itu ia melemparkan kotak bekal itu ke arah adiknya. Hap! Lira menangkap kotak bekal Yasmin, yang tadi di lempar Monica. Setelah itu ia berlari berniat pergi, dan berharap Yasmin mengejarnya. Dalam beberapa langkah kecil Lira mulai berlari, tapi langkahnya terhenti ketika ia menabrak sesuatu yang tidak lain adalah Damian. Lira langsung jatuh, dengan posisi terduduk sedangkan kotak bekalnya tanpa sengaja kotak bekal Yasmin ia bekap. "Awwwhh ...," rintih Lira, karena ia merasakan sakit di bokongnya. "Berikan kotak bekal itu!" ucap Damian, tanpa menunggu jawaban ia langsung merampas kasar kotak bekal milik Yasmin dari tangan Lira. "Kak, jangan di ambil itu bukan punyaku," jawab Lira, dan berniat meminta kembali kotak bekal Yasmin setelah ia berdiri. "Aku sudah tahu, kalau ini bukan kotak bekalmu. Sekarang pergilah sebelum aku laporkan pada Guru kalau kalian bertiga sedang membully gadis kecil itu," ancam Damian pada tiga teman Yasmin, setelah itu ia menunjuk Yasmin. "Ja--jangan, Kak. Jangan laporkan pada Guru kami, tadi kami hanya bercanda tidak serius. Baiklah kami akan pergi dan tidak mengganggu teman saya itu," ucap Monica tiba-tiba, lalu menggeret Lira adiknya. "Aku pegang ucapan kalian, tapi kalau kalian bohong. Aku akan melaporkan kalian, pada pada Guru biar kalian di keluarin dari sekolah ini," ucap Damian masih dengan nada mengancam. Ketiga gadis kecil itu mulai berlarian meninggalkan taman, sedangkan Yasmin sedari tadi hanya terdiam memandang Damian. Lebih tepatnya memandang tangan kanan kakak tingkatnya itu. Setelah kepergian ketiga gadis kecil tadi, Damian melangkah mendekati Yasmin seraya memegang kotak bekal di tangan kirinya. "Ini kotak bekalmu," ucap Damian, sambil mengulurkan kotak bekal ke arah Yasmin. Bukannya menerima kotak bekalnya, Yasmin malah meraih tangan kanan Damian. Lalu melihat luka yang cukup dalam, di tangan kakak tingkat yang ada di depannya. "Kakak! Tangan Kakak terluka, dan darahnya masih mengalir. Kenapa tidak di obati?" Damian yang mendapatkan pertanyaan polos itu hanya terdiam, seraya memandang tangannya yang di pegang oleh tangan kecil itu. "Kata mama, biar pun luka itu sangat kecil harus segera di obati. Tidak boleh di biarkan, nantinya bisa infeksi, lho," lanjutnya, sambil meniup luka Damian. Sesaat ada gelenyar aneh di dalam dadanya, saat gadis kecil meniup lukanya. Untuk menghilangkan perasaan aneh itu, Damian memberikan kotak bekal itu kembali. ''Ini, dan lekas makan," ucap Damian, sambil memberikan kotak bekal itu lagi. "Nanti saja, Kakak tunggu sebentar di sini, ya. Jangan kemana-mana, aku akan segera kembali," jawab Yasmin, seraya meninggalkan Damian dengan berlari ke arah kelasnya. "Gadis kecil, kamu mau kemana?" teriak Damian, dan sukses membuat beberapa siswa siswi memandang ke arahnya. Ada siswi yang memekik histeris hanya mendengar suara cowok idaman mereka, karena selama di sekolah Damian jarang sekali berbicara keras. Kebanyakan ia hanya diam, kecuali kalau hanya di tanya oleh guru atau sahabat-sahabatnya saja. "Apa yang kalian lihat?! Pergi dari sini semua!" usir Damian, pada siswa siswi yang tidak jauh darinya. Siswa siswi yang mendapatkan bentakan dari Damian, langsung buru-buru meninggalkan taman. Ketika suasana telah sepi, Yasmin terdengar terengah bahkan keringat mulai membanjiri wajahnya. Menghampiri Damian yang duduk di bangku taman. Tas punggung yang ia bawa, langsung ia taruh di bangku. Namun, sebelum itu ia mengeluarkan dompet berukuran besar, yang di dalamnya berisikan obat antibiotik, plester, dan beberapa obat. Tidak lupa ia juga mengeluarkan botol yang berisikan air mineral. "Berikan tangan Kakak sekarang." Damian yang mendengar perintah, dengan patuh mengulurkan tangan kirinya. Kotak bekal milik Yasmin sengaja ia taruh di bangku taman, tepat di sampingnya. "Bukan yang ini, Kak. Tapi tangan Kakak yang luka, sekarang berikan biar aku obati," ucap Yasmin, sedikit cemberut. "Biarkan saja, nanti aku obati di rumah." tolak Damian. 'Iihh, dasar keras kepala. Sini cepat berikan, nanti bisa infeksi Kakak," ucap Yasmin seraya memayunkan bibirnya. Damian yang mendengar dan melihat tingkah menggemaskan hanya bisa pasrah, ketika tangannya mulai di obati gadis kecil di hadapannya. Selama Yasmin mengobati lukanya, Damian sama sekali tidak melepaskan pandangan matanya dari Yasmin, ia bisa melihat keringat yang membasahi wajah mungil itu. Sesaat tangan kirinya terulur dan berniat mengelap keringat di wajah Yasmin, tapi gerakan itu hanya tertahan di udara. Damian mengepalkan tangan kirinya, agar tidak menyentuh wajah gadis mungil itu tanpa izin dahulu. "Selesai ...," ucap Yasmin ceria, setelah memberikan plester di telapak tangan Damian yang luka. "Kenapa suaramu terdengar kelelahan, dan itu keringat kenapa banyak sekali di wajahmu?" tanya Damian beruntun. "Hanya sedikit lelah, bukannya tadi Kakak lihat aku berlarian. Mungkin karena itu keringat ini ada," jawab Yasmin dengan nada polosnya. "Kenapa tadi kamu mesti berlari, jika akhirnya kamu akan kelelahan seperti ini," ucap Damian sedikit kesal, setelah mendengar penuturan Yasmin. Kalau karena ia berlari mengakibatkan ia kelelahan sekarang. "Karena aku takut Kakak akan pergi, jadinya aku ke kelas mengambil semua ini dengan berlari." Tett! Tett! Terdengar suara bunyi bel, menandakan sudah waktunya masuk ke kelas dan belajar kembali. "Sudah terdengar bel masuk, aku masuk ke kelas dulu, ya." izin Yasmin, setelah merapikan dan memasukkan semua perlengkapan luka tadi. "Hmm ... kalau boleh tahu nama Kakak siapa, ya?" tanya Yasmin, sambil menyampirkan tas di punggungnya. "Panggil Kak Will, saja.'' "Oke ... Kak Will, aku ke kelas dulu, ya. Untuk kotak bekal itu makasih, buat Kakak saja. Karena aku sudah tidak ada waktu untuk makan bekalku," ucap Yasmin sambil terburu. "Dadaaa ...." Yasmin sedikit berlari, sambil melambaikan tangannya. "Jangan lari, nanti kamu kelelahan," larang Damian yang sudah tidak bisa di dengar oleh Yasmin. Setelah kepergian Yasmin, Damian baru sadar karena ia lupa tidak menanyakan nama gadis kecil tadi. Sesaat ia memandang kotak bekal di bangku taman, kemudian pandangannya mengarah pada lukanya yang sudah tertutup rapi dengan plester berbentuk boneka beruang. Dengan cepat Damian membuka kotak bekal itu, lalu melihat menu makanan sehat. Tanpa membuang waktu ia mengambil sendok lalu menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya, mengunakan tangan kirinya. Dalam hatinya, Damian berjanji tidak akan melupakan semua perhatian gadis kecil tadi. Ia akan merekam momen manis tadi, di dalam kepalanya dan juga hatinya karena ia akan selalu mengingat semua momen tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD