Seorang pengecut

1823 Words
Elesh baru saja keluar dari ruang operasi, ia berhasil melakukan pekerjaanya. Sepanjang koridor menuju ruang kerjanya. Ia disapa dan menyapa. Elesh seorang SpOG, namanya diperhitungkan sebagai dokter termuda di rumah sakit itu, usia pria itu dua puluh delapan tahun dan selalu berhasil melakukan pekerjaanya, Cita-cita pria itu bukanlah Dokter kandungan, ia ingin menjadi pemain Violin terkenal. Tapi, karena suatu hal Elesh menjatuhkan cita-citanya menjadi dokter. Apa alasannya? Nanti setelah bertemu Jingga ia akan bercerita kenapa mengubah cita-citanya menjadi dokter kandungan. Elesh menyampirkan jas di sandaran kursi, mengambil kunci mobil dan keluar ruangan. Ia berjanji akan makan siang bersama Hagena. Elesh melajukan mobil menuju klinik dimana Hagena bekerja. Wanita hamil menunggu di depan pintu masuk. Pemilik bibir sensual tersenyum, melihat mobil suaminya mendekat. "Pengen makan Junk food," katanya setelah mendaratkan b****g di bangku penumpang. "Kau lagi hamil," Memulai mengemudi meninggalkan klinik. "Permintaan bayi," Nada memohon. "Okey, katakan padanya itu tidak baik untuknya.” Hagena tertawa sembari mengelus perut besarnya. “Aku juga tidak tahu kenapa pengen makan Junk food. Ayolah El, penuhi keinginan Ibu hamil ini.” ujar Hagena menoleh pada Elesh yang fokus menyetir. Meski kurang setuju Elesh tetap mengemudikan mobilnya ke Restoran siap saji. Tujuan mereka Restoran AG yang tidak jauh dari Klinik Hagena. Hagena keluar dari mobil. Elesh mengambil rokok dari laci dashboard mobilnya. Ia perokok aktif walau hanya sebatang sehari. "Ge, duluan. Aku mau merokok." Hagena berdecak melihat suaminya itu. Ia sudah pernah mengingatkan agar Elesh berhenti merokok mengingat dia seorang dokter. Akan tetapi Elesh sudah candu dan tidak mudah untuk berhenti. "Jangan lama.” Hagena meninggalkan Elesh di parkiran. Restoran AG sangat populer, sepertinya ia salah mendatangi tempat ini. Selalu dipadati pelanggan. Hagena menghela berat melihat antrian panjang. Ia mengedarkan tatapannya mencari meja kosong. Biarlah Elesh yang mengantri nanti. Rupanya Elesh cukup lama, pria itu terlalu menikmati nikotinya. Hagena memutuskan antri. "Dokter," seseorang menyapa, Wanita berseragam cleaning service dengan kain lap di tangan menyapa. Hagena tersenyum. Ia tidak pernah ingat siapa nama wanita itu. Yang ia ingat adalah warna matanya yang biru dan ia menyebutnya perempuan malang. Melihat wanita hamil berdiri mengantri, Jingga berinisiatif meminta untuk membantu. Ia menghampiri. "Biar aku bantu, dokter. Katakan mau pesan apa?" "Tidak apa-apa. Suamiku sebentar lagi akan tiba, dia akan menggantikan aku antri ." Hagena merasa tidak enak hati di istimewakan. "Tidak apa-apa, Dokter,” Jingga ragu-ragu membantu Hagena menuju tempat duduk. Hubungan mereka hanya sebatas pasien dan dokter. Hagena tidak menolak, Ia menyebutkan pesanannya. Jingga menulis di selembar kertas dan berlari kecil mengantarkan ke pramusaji. "Dia wanita hamil, antriannya sangat panjang bisa dibantu, Mbak?" Jingga menyerahkan kertas juga dua lembar uang seratus ribuan. Pramusaji melihat ke arah Hagena, memastikan. Tanpa menjawab pramusaji menyiapkan pesanan dan menyerahkan pada Jingga. Pesanan siap, Jingga mengantar pada Hagena. "Pesanannya, dokter." Jingga meletakkan di atas meja. "Terima kasih, sudah makan siang?" Jingga mengangguk. "Saya tidak enak mengajakmu makan bersama. Kau sedang bekerja." Hagena mengambil tangan Jingga dan memberikan selembar uang. Jingga melebarkan mata, Ia menolak. Jingga memperhatikan sekelilingnya “Maaf dokter, saya tidak bisa menerimanya.” Jingga mengembalikan uang Hagena kemudian berlalu dari sana. Hagena merasa tidak nyaman, ia memasukkan kembali uang itu ke dalam tasnya. Ia pikir sudah melukai harga diri Jingga dengan mengupah nya. Namun, Hagena tulus memberinya. Elesh tiba, melihat Hagena tidak menyentuh makanannya dan tampak termenung. "Kau tidak makan?" Elesh duduk di hadapan Hagena. "Oh, kau sudah datang. Kenapa lama?" "Ada telpon dari perawat." Elesh mengambil satu ayam menggunakan tisu dan mulai menikmatinya. Ia melihat sekeliling sembari mengunyah. Pantas saja rame, makanannya lumayan buat menangih. "Mungkin aku melukai harga dirinya." gumam Hagena, menggeleng pelan. "Harga diri siapa?" Pria jangkung menautkan kedua alis bingung. Hagena langsung menggeleng dan mulai menyentuh makananya. Anak kecil menumpahkan minuman di lantai. Orang tuanya memanggil Jingga yang sedang membersihkan meja kotor. Jingga, segera mendatangi dengan kain pel di tangan dan mulai membersihkan nya. Elesh bangun dari duduknya dan berjalan ke arah wastafel lalu melewati Jingga yang sedang menunduk membersihkan lantai. Selesai mengeringkan lantai Jingga berjalan ke wastafel untuk mencuci tangannya. Pria jangkung dalam posisi membungkuk, menggosok tangan. Jingga berdiri menatap dirinya di cermin, merapikan sedikit rambutnya. Mereka sangat dekat, ditempat yang sama berjarak sejangkauan tangan orang dewasa. Pria jangkung menegakkan tubuhnya saat itu pula Jingga berbalik, melangkah meninggalkan tempat itu. Elesh melihat punggung wanita berseragam cleaning service lewat cermin. Seorang wanita paruh baya berambut coklat keriting menabrak tubuh kecilnya. Jingga berbalik dan meminta maaf yang menabrak mengabaikan, terus melangkah ke wastafel. Disaat bersamaan Elesh melihat Jingga dari cermin di depannya. Elesh segera berbalik dengan tatapan melebar. Jingga melajutkan langkah menjauh masuk ke ruang kerjanya. Jingga? Batin Elesh, segera menghampiri. Ia mengedaran tatapannya mencari sosok wanita mungil itu. Tidak terlihat lagi. Benarkah itu Jingga? Lagi-lagi membatin sembari menyugar rambutnya kebelakang. "El, ada apa? ayo kita pulang." Hagena memanggilnya. Tidak mungkin, aku pasti salah lihat. Wanita itu sangat kurus tetapi, wajah itu ya Tuhan, itu milik Jingga. lagi-lagi Elesh membatin, berdiri dengan tatapan mencari ke seluruh arah. Menjadikan Hagena bingung. "Hei, ada apa?" Hagena menyentuh bahu suaminya. "Tidak ada, ayo kita jalan." Ajak Elesh, menarik tangan Hagena dari Restoran itu. Hagena tersenyum, ia melihat tangannya di genggam Elesh, hal yang sangat jarang dilakukan pria itu padanya. ...... Selama perjalanan Hagena dan Elesh terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Di Pikiran pasangan itu adalah orang yang sama, Jingga. Hagena berpikir ia telah melukai harga diri Jingga dengan memberinya uang, membayar ketulusan Jingga yang membantunya. Elesh sibuk memikirkan Wanita kurus yang sekelebat memberi bayangan Jingga. Menyita perhatiannya. Jingga tanpa sengaja sudah mengusik pikiran pasangan suami istri itu. Mobil memasuki area klinik, berhenti di pintu masuk. "Terima kasih, El." Elesh mengangguk, Hagena sudah melepas seat belts kemudian membuka pintu dan keluar. Mobil itu langsung melaju meninggalkan klinik. Dirumah sakit, Elesh menjadi kacau. Duduk di meja kerja. Memijat pangkal hidung, dengan mata terpejam. “Apa hanya perasaanku saja?”Bergumam. Wanita itu bukan Jingga, Jinggaku seorang bunga. Dia cantik seperti bunga lotus sekalipun tumbuh di air berkeruh. Pria jangkung melemah. Merana, hatinya kembali merindu gadis idamannya. Tangannya membuka laci meja kerja. Mengeluarkan benda ajaib, obat rindu sementara waktu. Menghidupkan ponsel yang sudah mati suri di negara ini. Benda itu berbunyi dengan logo jalinan tangan. Layar menampilkan dua remaja berpose mesra. Dua remaja tampak serasi.Cantik dan tampan. Pria remaja itu dirinya bersama cinta pertamanya, Jingga si mata biru. Bunga desa, pemilik manik yang indah yang membuatnya kesepian selama ini. Kesepian? Jingga yang membuatnya begitu? Pria ini lupa kalau dirinyalah yang berlari dari Jingga. Pria ini seorang pengecut. Pria ini kejam. Pria ini bukan pria sejati. Sekali lagi pria ini seorang pengecut! Titik. "Aku merindukanmu, dimana kau, Jingga?" Ibu jari mengelus gadis dalam layar ponsel. Hanya itu yang bisa ia lakukan. "Maafkan aku." Lirihnya, sedih. Matanya berkaca-kaca. Beruntung, perawatnya mengetuk pintu kalau tidak pria ini akan menangis. Ia terlalu cengeng kalau sudah menyangkut Jingga. "Masuk."Elesh menyimpan kembali ponsel itu ke dalam laci. Mendongak, menahan air mata agar tetap di tempatnya. ..... Jingga menunggu Rima di luar Restoran, ia berniat meminjam uang wanita paruh baya. Jingga harus meninggalkan Amos. Hari ini dengan sadar membangkang dan mengabaikan ancaman Amos. Pikirannya melayang pada Aldebaran. “Mungkin Amos sudah melukai Aldebaran?” Memikirkan itu membuatnya jadi gemetar. Putranya, kesayangannya. Didunia ini hanya pria kecil itu yang membuatnya bertahan hidup. Jika sampai Amos melukainya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. “Apa putraku dibentak?” Jingga segera menghilangkan pikiran negatif dari kepalanya. Ia harus memikirkan yang baik,-baik untuk putranya. Entah apa yang akan terjadi setibanya di rumah, ia harus siap menerimnya. Tamparan? Jambakan? Bahkan pada hal terkejam, di lecehkan. Perlakukan itulah yang selalu membuat Jingga ingin meninggalkan pria tambun itu. Rima menghampiri Jingga, mereka berjalan beriringan meninggalkan Restoran tempat mereka bekerja. "Kau pulang menggunakan angkutan?" Jingga mengangguk. "Saya juga tapi, sayang sekali tujuan kita beda arah," Jingga berhenti melangkah "Ibu Rima, A-aapa Ibu percaya sama Jingga?" Rima mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Jingga. "Yah, kita teman kerja dan aku rasa kau anak baik-baik, Nak. Jadi aku percaya." Jingga tiba-tiba menangis membuat Rima makin bingung. "Tolong aku Ibu Rima, tolong aku dan putraku dari pria jahat itu." Getir. "Kemarilah, Nak." Rima memeluk, ia belum paham. Wanita yang meminta tolong ini memang selalu terlihat sedih. Sejak masuk kerja. Sejak ia kenal. Wanita pemilik mata biru yang indah ini selalu tenggelam seolah meminta tolong untuk diselamatkan. "Ada apa? Ceritakan!" Telapak tangan kasar khas pekerja keras membelai rambutnya yang masih terkuncir. "Ibu, aku seorang diri di Jakarta. Tidak ada keluarga tempat untuk mengadu. Aku banyak masalah." Getir, Rima membawanya duduk di trotoar. "Suamiku seorang yang jahat, ia buruk dan selalu memukulku."Jingga mengadu, memeluk Rima. "Oh sayang ... kenapa begitu malang. Aku benci pria bertangan kasar. Apa yang bisa aku bantu?" Rima mengelus punggung Jingga lembut. Merasakan sentuhan tangan Rima air matanya semakin banyak. Pelukan Rima mengingatkan Ibunya yang sudah tiada empat tahun yang lalu. Hanya kabar yang ia terima, Jingga tidak bisa pulang. Tidak punya uang! Itu hanya alasan Amos. Pria tambun lebih memilih menghamburkan gajinya berjudi dan mabuk-mabukan. Amos benci Ibunya Jingga karena tidak menyetujui pernikahan mereka. Usia Amos dengan Ibunya hampir sama. "Ibu ...." Jingga memeluk erat, wanita ini benar-benar akan mati jika tidak ingat anaknya. "Bebaskan kami darinya, bawah kami bersamamu. Aku mohon ...." Meminta penuh air mata. "Baiklah, baiklah. Ayo kita jemput putramu." Rima tidak tega melihat Jingga menangis begitu. Rima membantu Jingga berdiri. "Jingga." Jingga segera menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Ia membeliak dan bersembunyi di belakang tubuh Rima. Tangannya gemetar berada dalam genggaman Rima. "Aku datang menjemputmu, ayo kita pulang." Lembut. "Anda siapa?" Rima bertanya memandangi pria itu. Amos Tersenyum, menatap hangat. "Aku suaminya." Mengulurkan tangan. Rima mengerti, kenapa wanita di belakang ingin lari dari pria ini. Mereka seperti Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih. "Dia akan pulang denganku," Rima mengabaikan tangan Amos. "Kenapa dia harus pulang bersama, Anda? Dia istriku." kata Amos dengan sikap tenang. "Anda memperlakukannya buruk," Amos tersenyum sembari mengusap hujung hidungnya. "Sebenarnya agak jengkel mendengar anda mencapuri masalah kami." Amos menipiskan bibir pada Rima. "Tetapi, istriku membangkang. Aku tidak suka dia bekerja. Itulah alasan kami bertengkar."Tambah Amos. Rautnya sama sekali tidak berubah, tetap tenang. Ia menoleh pada Jingga yang mengintip dari belakang Rima. "Jingga, Aldebaran sakit." "Apa?" Jingga segera keluar dari belakang Rima, Ia terkejut mendengarnya. "Kau bilang apa? Putraku baik-baik saja tadi saat ditinggal di rumah, kau tidak menyakitinya?" Gertak Jingga. "Lihatlah sikapnya," Amos seolah mengadu pada Rima, atas siap Jingga yang berteria padanya. "Dia hanya demam. Itu sebabnya aku menjemputmu tapi, kalau kau ingin pulang dengan Ibu ini. Aku akan mengurus putraku sendirian. Dia mencarimu sedari tadi. Maaf karena sudah memarahimu semalam. Aku hanya tidak ingin kau bekerja keras." Lembut, penuh kepalsuan. Amos seorang aktor hebat sayangnya tampangnya tidak menjual.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD