Membangkang

2014 Words
Jingga tersenyum membawakan kotak makan berisi ayam goreng, kentang goreng dan minuman bersoda untuk pria kecil yang sudah menanti di rumah. Saat tiba, Amos berdiri menunggu di teras rumah. Mata tajam, rahang mengetat terarah padanya. Wanita mata biru takut, jantung berdebar. Pria disana sudah pasti akan memarahi nya, Jingga memberanikan diri mendekat. "Dari mana?" Pria tambun menyulut rokok lalu menghisap dalam. Asap putih yang keluar dari mulut pria itu mengepul di udara. "Aku lupa mengatakan kalau sekarang aku sudah mulai bekerja." "Siapa yang mengizinkan kamu bekerja?" Amos menghisap kembali rokok. Wanita lemah menunduk. Jingga memang sengaja tidak memberitahu Amos kalau dia diterima kerja. Pria itu tidak akan mengizinkannya. "Masuk!" Perintahnya. Jingga menurut tidak ingin ribut dengan Amos dan menjadi tontonan tetangga. Sebenarnya tidak ada lagi yang peduli jika pasangan itu bertengkar. Sudah biasa dan menjadi langganan. Suatu hari tetangga datang melerai saat mendengar Jingga berteriak menangis. Amos malah semakin berang dan melukai Jingga di dahi. Amos mengancam tetangga, jika ikut campur maka nyawa Jingga melayang. Tetangga mundur dan mulai membiasakan diri mendengar pertengkaran pasangan itu. Di komplek Jingga terkenal wanita bodoh. Menerima dan tidak mau lari dari pria paruh baya berperut buncit. Pria tanpa masa depan, pria busuk, pemabuk dan penjudi. "Cih, apa yang Jingga harapkan dari pria itu." Ibu-ibu komplek "Mungkin Jingga terkena pelet Amos." Bapak-bapak komplek. "Jingga yang bodoh, kalau bercerai dari pria busuk itu aku bersedia menikahinya. Dia sangat cantik, matanya biru dan menggoda." Pemuda komplek dan masih banyak lagi kata-kata mengenai Jingga. Jingga tidak pernah menanggapi, ia bahkan jarang berkomunikasi dengan para tetangganya. Amos menginjak sisa rokok, melihat sekeliling. Keadaan komplek sepi. Adzan maghrib berkumandang, waktunya bersapa ramah pada pencipta. Namun, pria tambun ini tidak. Ia lebih senang mengintimidasi pasangannya. "Siapa yang mengijinkan kamu bekerja?" Tanya Amos dengan tatapan tajam. Tangan meremas rambut belakang Jingga, memaksa mendongak. "A-a-aku butuh uang untuk biaya sekolah Al." Pria kejam berdecih, marah. "Itu hanya alasan. Apa aku tidak membayar uang sekolahnya?" Menarik rambut semakin kejam. "Al sudah semakin besar, butuh biaya besar juga. Aku mencoba membantu meringankan bebanmu."Amos tidak pernah suka Jingga bekerja. Ia tahu jika Jingga memiliki uang maka Jingga akan berani meninggalkannya. Amos tidak ingin itu terjadi. "Itu tugasku sebagai suamimu, berhenti bekerja!" Amos melepas rambut Jingga. "Ta-tapi gajinya lumayan besar," "Lakukan perintahku! Jangan membantah!" Tegas, kejam dengan mata menajam. "Tidak Amos. Aku akan tetap bekerja." Melawan dengan tubuh kecil. Mengangkat kepala menantang. Amos menampar, tubuh kecil terhuyung. Pipi memerah dan berdenyut. "Aku ingin cerai, Amos! Tolong ceraikan aku. Ayo kita akhiri hubungan ini, kumohon." Jingga mengiba dengan suara gemetar, mengikat rambut yang berantakan. Berharap Amos melepaskannya. "Katakan sekali lagi!" Pria tambun, menjambak. Ia tidak peduli sekalipun air mata Jingga mengalir deras di pipi. "Ceraikan aku!" Teriaknya. "Bug ..." Kepala dibentur ke dinding. Aldebaran melihatnya dari pintu kamar, ia berlari menghampiri. "Aku mohon jangan sakiti Mama. Jangan sakiti ..., berhenti memukulnya. Kau jahat, kau jahat …" Aldebaran tidak tahan melihat Ibunya diperlakukan buruk. Ia berlutut memeluk kaki Amos. Amos tidak peduli, ia menjambak dan meremas kasar rambut wanita mata biru. "Kalau kau masih bekerja, jangan salahkan jika seseorang terluka." Ancamnya, melirik putranya yang masih memeluk kakinya, erat. “Lepaskan!” Amos menjauhkan tangan Aldebaran dari kakinya. Keluar rumah dengan membanting pintu keras. Seseorang terluka? Jingga mengerti siapa yang dimaksud Amos. Ia langsung memeluk Aldebaran. Tidak akan! Putranya tidak boleh terluka karena dirinya. "Mama," Aldebaran membalas pelukan itu, menangis dalam dekapan sang Ibu. "Mama membawakan makanan untukmu, ayam goreng dan minuman bersoda." ucap Jingga mengusap lembut kepala Aldebaran. "Ayo kita pergi, Mama. Ayo kita menjauh darinya." Pinta pria kecil, bibir tipisnya bergetar. Ia tidak peduli dengan makanan itu. "Dengar, sayang." Jingga meletakkan kedua telapak tangan di sisi wajah putranya. Matanya yang sembab berusaha menatap hangat. "Mama baru mulai bekerja, nanti setelah uangnya terkumpul kita bisa pergi dari sini.” katanya menyapu air mata putranya. "Bersabar sedikit lagi." Pria kecil mengangguk, wanita mata biru memeluk erat. Ia baru mulai bekerja untuk sementara biarlah mereka tinggal di rumah ini. ..... Pertemuannya dengan Imelda membuatnya semakin gusar. Jingga menggugurkan kandungan? Kedua mata Elesh terpejam. Jingga kembali membayanginya, Senyum indah dengan mata menggoda. Rindu dalam waktu lama semakin melukai hati. Pikirannya melayang pada sepuluh tahun yang lalu saat bersama Jingga. "Aku mencintaimu," bisik Elesh di telinga Jingga. Gadis bermata biru mengusap telinga sembari terkikik. Nafas Elesh terasa panas di kulit telinga. "Berjanji lah El, kau tidak akan meninggalkan aku." Jingga menatap mesra mata hitam jernih milik kekasihnya. "Aku berjanji, Cintaku." Hidung mancungnya menyentuh hidung Jingga. Janji terucap begitu tulus tapi sampai saat ini belum dapat dipenuhi. Elesh menghirup udara untuk melonggarkan d**a yang terasa sesak. Memikirkan Jingga cukup menyiksanya. "El, bayi dalam rahimku bergerak aktif. Rasanya sangat nikmat," Hagena menghampiri Elesh yang tengah duduk di ruang santai. Elesh tersadar dari lamunannya melihat Hagena sudah duduk di sampingnya. Hagena mengambil tangan besar dan meletakkan di perut. Pria itu tersenyum, melihat perut besar Hagena lalu mengelus lembut. Ia jarang melakukan itu. "Ambillah cuti," pria jangkung memberi saran. "Aku sudah menyiapkan segala keperluannya dan menyimpang di lemari kerjaku. Tidak perlu cuti, dirumah juga rasanya bosan." "Oh dia menendang," Elesh tertawa, saat gerakan bayi dari perut Hagena terasa olehnya. "Aku penasaran apa dia perempuan atau laki-laki." "Banyak yang bilang perempuan," "Kenapa tidak ingin tahu saat melakukan USG?" "Kejutan." Elesh mengangguk, perlahan menarik tangan. Ia menatap Hagena. "Maaf, Ge. Akhir-akhir ini aku mengabaikanmu," Elesh menyadari kalau belakangan ini waktunya tersita pada pekerjaan dan merindukan cinta pertamanya. "Tidak apa-apa, kau pasti sibuk." Hagena paham. Pria jangkung merasa bersalah. Apa yang diharapkan dari cinta pertamanya. Sepuluh tahun sudah berlalu dan dia begitu bodoh merindukan setiap saat wanita itu. Apa Jingga juga merindukannya? Mungkin tidak atau bahkan paling menyakitkan Elesh tidak pernah ada dalam hati wanita itu sejak berpisah. "El, jika waktu mempertemukan kalian apa yang akan kau lakukan?" Tanya Hagena penasaran. Pria jangkung menggesek kedua telapak tangannya di atas pahanya. Menatap Hagena lalu menggeleng, belum memikirkan hal itu. Ia hanya ingin bertemu dan meminta maaf. "Andai dia masih sendiri?" "Entahlah, Ge. Aku tidak yakin dia masih sendiri." Elesh menghela nafas panjang. "Ia menghilang begitu saja. Bukan hanya aku yang tidak tahu keberadaanya, bahkan teman baiknya saat sekolah tidak tahu dimana ia sekarang." Hagena mengernyit, " kau bertemu temannya?” "Secara kebetulan, dia menjadi pasienku." Elesh, meletakkan telapak tangan di pipi Hagena. "Tidurlah, jangan pikirkan itu." ucapnya. Hagena mengangguk lalu menerima uluran tangan Elseh yang ingin membantunya berdiri. ...... Jingga mondar-mandir dalam kamar. Memikirkan cara untuk melarikan diri. Luka di dahi sudah terpasang plester. Berdenyut dan nyeri. Waktu sudah di angka sepuluh malam. Pria kejam belum pulang. Ia tidak sedang memikirkan Amos. Pria itu tidak layak ada dalam pikirannya. Sudah pasti Amos mabuk dan berjudi, Itu hobinya. Pusing sendiri, menggigit kuku. Bagaimana caranya lepas dari pria itu? Seseorang terluka? Benarkah Amos akan menyentuhkan tangannya dengan kejam pada Aldebaran? Selama ini pria kejam hanya melukainya, tangan kasar Amos belum pernah memukul Aldebaran. Apa Amos akan tega menyakiti pria kecil berlesung pipi? Mungkin saja, Amos pria kalap. Emosinya setingkat dengan iblis. Amos tidak pernah main-main dengan ucapannya. Untuk hal menyakiti ia selalu di depan. Lalu apa? Bertahan? Tidak! Jika tidak di izinkan kerja bagaimana caranya bebas dari Amos. Masa depan Aldebaran akan hancur, putranya bisa jadi trauma. Putranya harus hidup nyaman, melepaskan diri dari pria kejam adalah cara yang tepat. Jingga berjalan dan membuka lemari, memasukkan beberapa lembar pakaian. Dompet kecil bertuliskan toko mas hanya menyimpan uang lima belas ribu. Jingga menghela napas putus asa. Kemana harus pergi dengan uang receh itu? Jalanan Jakarta bukan tempat nyaman untuk berlindung. Putranya tidak boleh merasakan apa yang ia rasakan sepuluh tahun yang lalu. Berada di jalanan, menahan rasa lapar, haus. Kedinginan dan para b******n memandangnya dengan lapar birahi. Nyaris dilecehkan dan saat itulah ia bertemu dengan Amos. Amos penyelamatnya. Pria tambun dengan jambang melingkar di rahang. Amos menyelamatkannya dari para b******n. Memberinya tempat aman di rumahnya. Amos pria yang lebih layak di panggil Ayah olehnya menaruh hati padanya. Daun muda itu diperlakukan lembut oleh Amos. Apa Jingga mencintainya? Jawabnya TIDAK ! Bagi Jingga pria sama saja. Sama brengseknya, ia tidak lagi percaya dengan kata-kata manis semanis madu yang keluar dari mulut pria. tapi, Jingga tidak tahu harus berlindung kemana. Ia seorang diri di kota metropolitan. Jingga butuh tempat bernaung lalu Amos mengulurkan tangan dengan segala kepalsuannya. Jingga menerima Amos menjadi suaminya tanpa cinta. Cinta? Bulshit ...! Ia pernah mencintai begitu dalam hingga terluka lebih dalam juga. Cinta tulus hanya omong kosong dan terjadi dalam novel saja. Tidak dengan kehidupan nyata. Jingga membuktikan itu lewat kekasihnya yang b******k. Memanjakan sesaat lalu melukai hatinya tanpa belas kasihan. Kekasihnya yang dulu tidak jauh beda dengan Amos suaminya. Sama -sama pria gila yang hanya menginginkan rasa manis lalu mencampakkan saat rasa pahit terasa. Pernikahan Jingga dengan Amos hanya sirih tapi kenapa begitu susah untuk berlari jauh darinya. Jingga tidak yakin pergi malam ini, membawa Aldebaran dan menjadi gelandangan sama saja menyiksa putranya itu. Jingga memasukkan kembali pakaian ke dalam lemari. Sorot matanya tenggelam sembari memikirkan apa yang akan ia lakukan. ..... Pagi hari Jingga terbangun, Amos tidak ada di sampingnya. Turun dari ranjang sembari menggulung rambut, keluar kamar memperhatikan ruang tamu. Amos juga tidak ada disana. Mungkin Amos tidak pulang? Biasanya pria itu akan marah-marah dan mengganggunya di ranjang. Menjijikkan, menyebalkan bila harus bersentuhan dengan napas bau nikotin dan miras. Jingga lega, setidaknya dalam sebulan ini pria itu tidak menjamahnya. Persetan jika ada wanita lain. Ia tidak peduli. Jingga beralih ke dapur dan membuka lemari es. Mengeluarkan dua butir telur. Tangannya cekatan mengiris daun bawang dan mencampur dengan kocokan telur. Ia sangat bersyukur memiliki putra seperti Aldebaran. Apapun yang ia masak, putranya selalu melahapnya dan berkata "ENAK".Selesai berkutat di dapur, Jingga mengambil seragam kerjanya dan membawa masuk ke kamar mandi. Ia harus bekerja dan mengumpulkan uang dalam waktu dekat. Ia harus membawa putranya keluar dari rumah itu. Jingga keluar dari kamar mandi, mengikat rambut tinggi-tinggi dan seperti biasa membiarkan poni menutupi luka di dahinya. Jingga masuk ke kamar Aldebaran. Pria kecil masih tertidur. Ia melangkah pelan masuk duduk di tepi ranjang, menyentuh kepala kecil putranya. Membungkuk kecil untuk berbisik. "Mama berangkat kerja ya, Al." lembut, seketika lengannya tertahan. Aldebaran terbangun dan mencengkram lengan Ibunya. Pria kecil menggeleng kuat. "Ada apa?" Jingga terkejut, melihat sorot kesedihan pada putranya. "Jangan pergi, dia akan memukulmu nanti." katanya, ia mencemaskan Ibunya. Ancaman Amos benar-benar membuat putranya ketakutan. "Kalau tidak kerja, bagaimana kita bisa pergi darinya?" Jingga menyentuh pipi lembut pria kecil. "Nanti Mama dipukul," ujar Aldebaran, kali ini suaranya bergetar. Tatapan kecilnya memohon. Jingga paham mengerti kecemasan putranya, tapi kalau tidak membangkang apa yang akan terjadi. Tidak ada kecuali kepiluan akan selalu bersamanya. "Mama sudah masak sarapanmu, mandi lalu makan dan tetaplah berada di kamarmu. Baca bukumu, hari libur sebentar lagi usai." Jingga mencium kening Aldebaran segera dan keluar dari kamar. "Mama ...." Jingga tidak ingin menoleh, air matanya sudah meleleh. Hatinya sakit mengetahui putranya mencemaskannya. Amos pulang setelah Jingga meninggalkan rumah. Aromanya keterlaluan. Pria itu seolah berendam dalam lautan Alkohol. "Jingga sayangku ...." Panggilnya, Jalannya sempoyongan. Bersusah payah masuk kedalam kamar. Jingga tidak ada, ia beralih ke dapur. Matanya merah karena mabuk tambah merah karena amarah ketika tidak mendapati Jingga di dapur. Amos menyeret langkah lalu mengetuk kamar Aldebaran. "Jingga, sayang ...." Suaranya beralun. "Mama berangkat kerja." Pria kecil menjawab tanpa membuka pintu. Takut dan duduk di lantai memeluk diri sendiri. "JINGGA ...!!!" Berteriak seperti monster, menggedor kuat pintu kamar Aldebaran. Aldebaran menutup kedua teliga, menangis diam. "Dasar wanita sialan! Pembangkang!" Teriaknya, ia berjalan ke arah meja makan dan melihat kotak makan Restoran yang Jingga bawa dimalam hari. Alamat juga nomor telepon tertera di kotak makan itu, Amos terbahak. Ia harus memberi kejutan pada istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD