“Sayang, aku sudah sampai di rumah sakit. Kamu di mana?”
Saat itu aku terkejut bercampur panik, sehingga aku lupa memberi tahu suamiku.
“Aku sudah pulang.”
“Bukankah sudah kubilang kalau aku akan menjemputmu? Kenapa kamu pulang sendiri …“
“Tadi aku merasa tidak enak badan, jadi aku buru-buru pulang,” Saking paniknya, aku buru-buru menjawab pertanyaan suamiku.
“Tidak enak badan? Sekarang bagaimana? Tunggu aku di rumah … aku segera pulang!” Suamiku langsung menutup sambungan telepon dengan cemas.
Aku merasa bersalah menghadapi suamiku. Terutama saat aku bertemu dengannya, hatiku terus bergejolak, hingga aku tak berani menatap matanya.
Selama beberapa hari berikutnya, aku sudah berusaha yang terbaik untuk melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Aku juga berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi istri yang terbaik.
Aku sudah membuat janji dengan suamiku untuk menonton di bioskop bersama akhir pekan ini. Namun, mendadak, dia ada urusan dan harus buru-buru kembali ke kantor. Jika ini terjadi sebelumnya, aku pasti akan hilang kesabaran dan cemberut, tapi kali ini aku hanya tersenyum. Aku hanya menyuruhnya untuk berhati-hati dan aku akhirnya pulang sendirian.
Bagiku, semua ini bisa dianggap sebagai kompensasiku untuknya.
Aku duduk sendirian di ruang tamu yang sunyi, merasakan kesepian yang tiada tara. Namun, pada saat yang sama, aku juga merasa bahwa aku sudah keterlaluan. Setelah aku menikah dan mempunyai kehidupanku sendiri, aku jarang menghubungi teman-temanku yang dulu, dan perlahan aku mulai menjauhkan diri.
Setelah sahabat terdekatku pergi menuntut ilmu lebih lanjut ke luar negeri, sekarang aku tidak lagi memiliki seorang pun teman yang bisa kuajak pergi keluar dan menemaniku belanja.
Aku berbaring di atas sofa. Tubuhku terasa kosong dan aku rasanya tak tahan lagi. Ingatan mengenai hari pemeriksaan kandungan teringat kembali dalam benakku.
Tubuhku mendadak terasa membengkak.
Dadaku terasa sakit. Aku meremas kedua gunung kembarku dengan tanganku, dan telapak tanganku perlahan menggulingkan p****g susuku yang mengeras. Memejamkan mata, dengan kedua tangan bermain ditubuhku, aku mengenang kembali kenikmatan yang kudapatkan hari itu. Dorongan hasrat yang kuat dan bahkan lebih ganas datang menghampiriku.
Aku hanya berbaring di atas sofa, memejamkan mata, dan bergerak cepat.
Tekanan lembut itu membuat tubuhku gemetar gembira, dan yang lebih mengejutkan lagi, sosok dokter tersebut muncul dalam benakku. Aku mendesah pelan dengan mata terpejam, dan sebuah gelombang kenikmatan menampar jiwaku yang kesepian dan mengisi hatiku yang kosong.
Telapak tangannya yang hangat, napasnya yang lembut, dan sorot matanya yang berapi-api membuatku sangat b*******h.
Rasa nikmat menyebar ke seluruh tubuhku, sedangkan rasa gatal yang dalam menjadi semakin intens. Mau tak mau aku mempercepat gerakan tanganku, hingga air susuku perlahan meluap. Tarikan napasku berangsur-angsur meningkat seiring kenyamanan yang kurasakan. Aku terus mendesah, mencoba mencapai puncak kenikmatan yang lebih memuaskan.
Aku sangat ingin bercinta! Aku sangat ingin dicintai! Pikiranku melayang ke senjata menggiurkan milik sang dokter, dan tubuhku menggeliat.
Sedikit lagi! Hanya perlu sedikit stimulasi lagi!
Tanganku menggenggam dadaku yang lembut sekehendak hatiku. Kenikmatan alternatif yang menyakitkan sepertinya telah menyebar ke seluruh tubuhku. Gelombang cinta menerjang lebih bergejolak.
“Oh … lebih… lebih kuat… !” Aku berteriak seperti orang yang ketagihan narkoba. Kubayangkan senjata seorang pria dimasukkan dengan kejam ke anggota tubuh bagian bawahku. Kenikmatan ini membuatku melayang bahagia.
Klek!
Suara pintu terbuka terdengar, dan aku langsung menghentikan apa yang kulakukan. Aku buru-buru merapikan pakaianku dan melihat ke arah pintu.
Hah, kenapa suamiku cepat sekali pulang? Padahal, aku hampir mencapai klimaks. Ini benar-benar membuatku kecewa dan tidak nyaman.
Aku menyadari kemejaku basah oleh air s**u yang ditumpahkan oleh gunung kembarku, meninggalkan bekas noda pada kemeja putihku.
Saat ini, pintu depan rumah terbuka, dan Mu Heng masuk.
Dia adalah adik suamiku.
Hatiku langsung panik. Tadi … aku tadi mendesah dengan suara keras. Apa dia mendengarnya? Wajahku memanas dan memerah hingga sampai ke dasar telinga.
“Kakak Ipar, Kakak memberiku kunci rumah dan menyuruhku datang ke sini dulu … “ ujar Mu Heng sambil malu-malu dan ragu-ragu.
Wajahnya mendadak memerah. Dia diam-diam mengamati bajuku.
Aku menundukkan kepalaku dan menemukan dua gumpalan noda di bagian d**a bajuku. Kulit kepalaku terasa mati rasa. Ingin rasanya aku menggali lubang dan masuk ke dalamnya.
Sesaat, suasananya berubah canggung.
Pipi Mu Heng merona. Dia jelas sudah bukan anak kecil seperti dulu.
“Aku mau ganti baju. Kamu duduk saja dulu.”
Aku buru-buru berlari ke kamar.
Ketika aku keluar dari kamar lagi, Mu Heng duduk dengan tenang di ruang tamu. Wajahnya yang tadi memerah juga kembali normal. Dia melemparkan senyum padaku saat melihatku keluar.
“Kakak Ipar, kukira tak ada orang di rumah, jadi aku langsung masuk. Apa aku tadi mengganggumu?”
Mu Heng memasang senyuman cerah. Alis dan matanya mirip dengan Mu Yuan, kakaknya, dan dia terlihat sangat tampan. Dia juga terlihat sangat muda, dengan tatapan mata yang jernih dan murni.
“Tidak, anggap saja rumahmu sendiri. Akan kubantu membawa barang-barangmu ke kamarmu.”
Mu Heng buru-buru bangkit berdiri. Selain itu, aku sedang hamil, sehingga dia sangat perhatian dan terlebih dahulu mengambil kopernya sebelum tanganku bisa menyentuh koper tersebut.
“Kakak Ipar, biar aku saja!”
Aku menanyai Mu Heng bagaimana studinya saat ini. Kami mengobrol santai selama beberapa saat, hingga akhirnya rasa gugup yang tadinya melandaku berangsur-angsur mereda.
Setelah merapikan kamarnya, punggung Mu Heng bermandikan keringat.
Aroma khas pemuda berusia delapan belas tahun ini sepertinya menarikku kembali ke masa-masa mudaku.
“Kakak Ipar, aku mandi dulu.”
“Baiklah, akan kuambilkan handuk baru untukmu.”
Mu Heng sudah ke kamar mandi lebih dulu. Tepat pada saat itu, aku baru ingat bahwa masih ada pakaian di keranjang baju kotor di kamar mandi, yang di dalamnya ada pakaian dalamku. Selain itu … aku tadi baru saja berganti pakaian kotor yang penuh noda memalukan. Terutama celana dalam yang kuganti kemarin.
Semua ini membuat kepalaku seakan-akan mau pecah.
Jika aku tahu lebih awal, aku pasti akan mencucinya dulu … hatiku benar-benar kacau!
Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, tapi aku tak bisa menyembunyikan rasa depresi yang melanda hatiku. Aku mondar-mandir gelisah di ruang tamu. Aku berpikir untuk segera mencuci pakaianku segera setelah Mu Heng keluar dari kamar mandi nantinya.
“Kakak Ipar, tolong bantu ambilkan aku handuk!” Aku mendengar suara Mu Heng berseru.
“Baik, ini!”
Mu Heng mengulurkan tangannya dari celah pintu kamar mandi.
Tanpa sengaja aku melirik lekuk tubuh adik iparku ini. Sarafku mendadak menegang dan jantungku terus berdetak cepat. Aku panik hingga tanganku bergetar dan membuat handuk yang kupegang di tanganku jatuh ke lantai sebelum Mu Heng sempat meraihnya.
“Ah!” seruku. Rasa membengkak di tubuhku timbul lagi. Hatiku terasa gatal dan perasaan gatal ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Mu Heng hanya tersenyum saat melihat handuknya terjatuh, lalu berkata, “Kakak Ipar, biar aku ambil sendiri.”
Saat Mu Heng berjongkok untuk mengambil handuknya, dia membuka pintu kamar mandi lebih lebar. Dalam uap panas yang ada di dalam kamar mandi, terlihat tubuh seorang pria yang sangat menggairahkan. Wajahku langsung memerah dan aku buru-buru menjauh dari sana.
Pemuda berusia delapan belas tahun itu tak jauh berbeda dengan seorang pria dewasa. Bulu-bulu halus kumisnya tampak jelas terlihat, tubuhnya yang kuat dan kulitnya yang terlihat kencang dan awet muda membuatku sulit melupakannya.
Jiwaku seakan terjerat perasaan gugup yang mencekik.
Akhirnya, Mu Heng keluar dari dalam kamar mandi. Aku berusaha keras mengendalikan perasaanku dan menyapanya seolah tak terjadi apa-apa.
“Aku ingin mencuci baju dulu. Pakaianmu yang tadi biar kucucikan juga sekalian.”
“Terima kasih, Kakak Ipar. Aku sudah memasukkannya di keranjang baju kotor!” sahut Mu Heng. Suasana hatinya sepertinya cukup baik. Dia kembali ke kamarnya sambil bersenandung kecil.
Aku buru-buru masuk ke kamar mandi. Aku takut rahasiaku di keranjang baju kotor di kamar mandi terbongkar olehnya.
Pakaian Mu Heng ada di dalam keranjang baju kotor itu, beserta pakaian dalamnya. Terdapat noda berwarna putih di bagian dalam celana dalamnya, membuat wajahku memerah saat melihatnya.
Hah?
Di tumpukan bajuku … celana dalamku terletak paling atas. Sepertinya ada yang membaliknya. Mungkinkah Mu Heng yang memindahkannya?
Bahkan stokingku pun ternoda oleh sesuatu berwarna putih. Apakah Mu Heng juga memindahkannya? Aku tak berani memikirkan hal ini berlama-lama. Aku segera menyortir pakaian dan melemparkannya ke dalam mesin cuci.
Adegan yang muncul di film itu kembali memenuhi pikiranku, hingga bayangan yang kacau itu tampak membesar dan melebar.
Saat ini, aku menengadahkan kepalaku. Aku mendapati Mu Heng berdiri di pintu kamar mandi dan menatapku. Sorot matanya terlihat sulit diterka.
“Kakak Ipar, apa perlu bantuan?” Mu Heng tersenyum, memperlihatkan dua taringnya yang seperti harimau kecil.
“Tidak, tidak. Aku hampir selesai. Jangan khawatirkan aku,” aku menundukkan kepalaku dan tak berani menatap mata Mu Heng lagi.
Aku mencium bau aneh di udara.
Mu Heng berjalan mendekatiku dan mengambil pakaian di tanganku.
Hatiku yang gugup langsung membeku saat itu juga. Aku tak tahu harus berbuat apa, selain menatapnya dengan pandangan mata kosong.
“Kakak Ipar, pakaianku harus dicuci dengan tangan, tapi aku tak bisa … “
Tatapan Mu Heng beradu denganku, kemudian pandangan matanya beralih ke dadaku. Dia bisa melihat gunung kembarku dengan jelas dari balik kerah bajuku.
Aku buru-buru berdiri dan berkata, “Tidak apa-apa, biar aku saja yang mencucinya. Kembalilah ke kamarmu. Tempat ini terlalu sempit dan kecil untuk kita berdua.”
Mu Heng masih belum juga pergi. Dia meletakkan satu tangannya di atas perutku.
Sekujur tubuhku mendadak membeku. Telapak tangan yang asing ini membuat perasaanku makin campur aduk. Gelombang panas dan ketakutan menjalar ke tubuh bagian bawahku.
Gairahku langsung melonjak. Aku dilanda kegelisahan yang tak tertahankan. Tarikan napasku menjadi makin cepat dan hatiku menjadi tidak tenang.
Aku tak tahu apa yang harus kupikirkan untuk menghadapi adik iparku yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswa ini. Selain itu, dia hanya seorang anak kecil!
Tak mungkin! Tak mungkin!
“Mu Heng, kamu mau apa … “ tanyaku dengan gemetar.