"Kakakmu punya anak?"
Fagan berpikir, obrolan soal lain berhasil membantu meringankan ketegangan di antara mereka. Bahasan tentang kakak atau bisnis bukan hal yang tertutup. Tapi Fagan merasa suka karena keluarganya bahagia. "Punya, sepasang anak kembar dan keduanya laki-laki. Sehat, pintar serta banyak tingkah. Usia mereka saat ini tiga tahun."
"Apa yang membuat ayahmu berambisi kau perlu punya keturunan?"
Alisnya menekuk, mengingat kenangan kecil sang ibu yang menghubungi ketika penyakit itu membuatnya menderita dan lemah. "Ibuku. Dia menginginkan kedua putranya mendapat cinta dan keluarga yang baik serta penuh kasih. Kakak sudah mendapatkannya dan aku belum. Ayah berpikir kalau istrinya di alam lain menangis karena kelakuanku. Dia agak konyol."
"Dia tidak begitu, hanya merasa kalau ibumu benar. Lagi pula, kebahagiannya akan terasa lengkap bila semua terwujud. Melihat kakakmu yang tercurahkan cinta bersama keluarga baru, dia ingin melihatmu sama. Kau seharusnya mengambil saran itu dari sisi yang baik," tegur Vania memberi ceramah yang terdengar sangat sia-sia.
"Tidak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan pernikahan," sungutnya sebal sembari menyadari semua orang berpikir primitif tentang hidup semati. "Aku punya cara sendiri untuk bertahan."
"Itu terdengar meragukan," sahut Vania cepat setelah melepas sabuk pengaman ketika mobil berhasil membawanya selamat sampai depan pagar tua apartemen murahnya. "Kalau kau memang tidak bisa, kau harus bicara."
"Aku sudah bilang, pola pikir ayahku terlalu kuno. Dia tidak akan suka dengan ide aku melajang sampai napasku habis," seru Fagan murung dan menyadari dia terlalu kesal sampai Vania turun, menutup keras pintu mobil.
"Kau tidak punya kekasih?"
"Kalau kau sebut itu dengan mantan, tentu ya aku pernah memilikinya. Sebelum ini aku sempat dekat dengan seorang pemilik agensi kenamaan. Dia seorang sosialita. Dan ayahku memanggilnya dengan bambu berjalan, itu sedikit memalukan. Aku mencoba serius hanya untuk berpura-pura tetapi dia meminta cincin pertunangan sebagai pelengkap sandiwara. Aku jelas menolak hal tersebut."
Fagan menatap rupa wanita itu dari intensitas cahaya yang minim. Apartemen tidak layak ini rawan dengan pihak asing yang bisa saja masuk dengan memanjat sisi bangunan. Kemudian mencuri barang berharga milik orang lain dan melarikan diri ke semak yang gelap. Fagan tidak suka dengan ide Vania terdesak di lingkungannya sendiri. Dia punya uang dan berat mengeluarkan itu untuk kenyamannya sendiri.
Vania hanya diam. Sesaat Fagan berpikir kekasih satu malamnya akan menolak. Lalu dirinya harus kembali memutar otak mencari alasan pada sang ayah yang konyol. Atau Ivan akan meledeknya tidak becus. Vania orang yang pantas, sempurna dalam sandiwara belaka. Mereka tidak akan terlibat hubungan serius. Terkesan santai dan jengkel satu sama lain. Vania sempurna sebagai pasangan palsunya.
"Kalau aku mengiyakan, aku memiliki beberapa syarat."
Ekspresinya berubah muram. "Kenapa harus membuang waktu?"
"Aku tidak peduli. Ini demi kebaikan kita bersama," tegur wanita itu masam menipiskan bibir dengan dengusan pelan. "Di mana pulau itu?"
"Pulau itu bernama Malaka. Aku tidak bisa memberikanmu rinciannya jika kau tidak berminat ke sana bersamaku. Kau akan tahu nanti. Itu bukan pulau biasa. Aku membangun resort untuk keluargaku. Ivan dan keluarganya sering berlibur ke sana. Pulau menjadi satu-satunya pelarian terbaik untuk kami," jelasnya panjang lebar. "Kau akan suka tempat itu. Percayalah, di sana melebihi kata indah itu sendiri."
"Aku tidak suka berenang. Air laut membuatku cemas. Kita tidak tahu megalodon masih hidup atau tidak," balas Vania sinis dan Fagan mengernyit dalam. Kenapa tiba-tiba membawa hewan legenda itu?
"Apa tempat itu disewakan?"
"Untuk beberapa kenalan dan rekan bisnis dekat, tentu dan selebihnya tidak. Tapi itu diurus dengan sangat baik. Penduduk sekitar pantai memberi dedikasinya sebagai penjaga pulau dan aku membayar upah mereka dengan layak."
Vania bernapas lebih cepat. Matanya yang teduh dan bersinar memandangnya lurus tanpa berkedip. "Kau sangat kaya," ujarnya setengah suntuk. "Sayangnya aku sama sekali tidak tertarik. Kalau pun pulau itu membosankan, aku mencoba mencari tumpangan taksi air."
"Kau tidak akan bosan," dan tanpa sadar memberi wanita itu senyum. "Aku berani menjamin untuk urusan satu ini."
"Oke, aku masih perlu memberi syarat."
Fagan mendengarkan. "Katakan saja."
"Aku yang membayar semua keperluanku di sana. Kau tidak perlu membuang uang tunai untuk memberiku kesenangan atau apa pun. Satu lagi, aku juga akan membeli tiket. Kita akan duduk di kelas satu atau biasa?"
Fagan memicing bingung, menilai ekspresi wanita itu dengan dengusan. "Kau berpikir kita menumpang pesawat komersil?"
"Itu benar. Seperti di film yang sering aku lihat. Kita akan menumpang helikopter dan turun untuk mendarat di pulau. Apa aku salah?"
Fagan tidak ingin merusak imajinasi wanita itu. Tetapi Vania terlihat seperti remaja meski dia perempuan dewasa dan mandiri. "Pemikiranmu sangat lucu. Kita pergi dengan jet pribadi. Oh, maaf kalau itu menghapuskan imajinasimu."
"Pekerjaan sampinganmu sangat sukses, benar? Karena kau merasa cepat bosan dan kau tidak ingin perempuan seperti aku di luar sana mendapatkan pelayanan secara biasa saja?"
Vania masih bercanda dengan konteks yang sama dan bagaimana dia memberi uang banyak lalu pergi begitu saja dari kamar. Fagan merana sendiri bersama kenangan yang tertinggal di di sana dan meja. Membiarkan dirinya seperti pria menyedihkan yang baru saja ditinggal sang pujaan hati karena selisih paham hebat.
"Kau seharusnya membuka bisnis lain. Aku akui, itu sangatlah profesional. Semua orang berhak memutuskan jalan hidupnya sendiri," ucap Vania bijak seraya menatap matanya dengan sorot hangat. "Aku pun juga melakukannya. Jadi, kapan kita berangkat?"
"Lusa."
"Diriku banyak mengemas makanan ringan. Aku tidak yakin di sana ada supermarket yang buka selama dua puluh empat jam," dengus wanita itu dan Fagan mencibir merasa geli.
"Kau tidak akan kelaparan. Kulkas selalu penuh dengan makanan kapan pun kau membutuhkan."
"Itu terdengar keren. Kau mengeluarkan banyak uang untuk sesuatu yang berguna."
"Demi kenyamanan kami sendiri itu prioritas," balas Fagan bangga dan menyadari jika ekspresi Vania kembali menyebalkan. "Karena tempat pribadi berfungsi sebagai pelepas penat dan pekerjaan."
Vania memberi senyum lebar. "Kalau begitu kau mengalokasikan bayaranmu dengan hasil maksimal. Cukup brilian idemu."
Fagan mendekat secara sadar. Tidak membiarkan wanita itu mundur atau melarikan diri. Setelah mengulurkan tangan, seolah tidak memberi ruang baginya pergi. Posisi mereka yang dekat tampak seperti hendak mencium.
"Sejujurnya, tidak ada yang memberi uang. Aku murni melakukannya karena aku mau," ucapnya lamat menekan suaranya yang serak karena menghidu aroma wangi dan membuat kinerja otaknya agak melamban. "Tapi kau berusaha memberikan kesan lain. Kau selalu bicara seperti itu. Berkata bahwa aku bekerja secara tidak benar. Lantas, aku bisa apa? Aku ingin tertawa karena ada wanita abad dua puluh yang unik dan masih tersegel. Konyol sekali bila kupikirkan. Usiamu bahkan tidak lagi kepala dua."
Vania hanya diam. Napasnya gemetaran, sama seperti saat mereka sedang bersama. Lalu saling memeluk dan mencium. Kali ini berbeda di mana itu tidak akan terjadi. Mereka sudah berakhir dan tidak perlu melanjutkan hubungan yang tidak resmi.
"Aku bukan lagi anak muda dan diriku belum setua itu." Tersindir karena kalimatnya membuat Fagan terkekeh pelan.
"Masuklah ke dalam sekarang. Aku akan pergi setelah memastikan tirai jendelamu tertutup. Selamat malam."