TA - 4

2096 Words
"Apa gunanya kau mengikutiku?" Fagan membuang napas, menatap bangunan empat lantai dengan pandangan meringis. "Apartemen kelas menengah. Kau seharusnya tinggal di tempat yang layak karena kau bukan pekerja tanpa bayaran." Sindiran itu tepat mengenai ulu hatinya. Vania meradang. Kesal dengan sikap pria itu yang kekanakkan. Apa mereka kini saling tahu identitas masing-masing? Membuka diri? Apa kekasih singkat dan semu akan merembet ke hubungan yang lebih serius? Kalau pun Vania akan menikah, pria ini tidak bisa masuk daftar pasangan yang sempurna sampai dia menua. "Kau mencari tahu tentangku?" Kondisinya yang santai membuat Vania semakin jengkel. Ia membiarkan Sarah begitu saja dan pergi. Mengendarai mobil tua dan baru sadar kalau dia diikuti. Fagan tidak sedang minum atau memang pria itu berencana datang untuk mendesaknya sekali lagi. "Aku sudah bilang padamu. Idemu sangat tidak masuk akal. Aku tidak akan bisa hidup di pulau lain." "Kau berpikir itu pulau hantu atau apa? Dan bukan resort mahal yang memanjakanmu dengan pemandangan pantai lepas?" Vania membeku hebat. Merasakan kulitnya meremang karena udara dingin atau karena kehadiran pria itu di sekitarnya. Fagan membuatnya berbeda di malam pertemuan pertama mereka. Dengan alasan itu, dia memberi uang dan meminta pria itu naik untuk melepas masa kepahitan yang panjang serta melelahkan. "Mau bagaimana pun sebutannya, itu sama sekali tidak membuatku tertarik. Aku harus pergi bekerja. Selamat malam." "Apa kau mencoba membuat orang-orang terkesan dengan kepribadianmu?" Ya Tuhan. Obrolan mereka telah melebar ke sembarang arah. Vania mulai marah, kesal karena dia dipermalukan. Fagan ada di sana dan seharusnya pria itu tidak menontonnya seperti berada di sirkus. Tapi toh, dia tidak peduli. Reputasinya memang terkenal begitu. Sangat spontan dan tidak tahu aturan. "Yang terpenting aku tidak akan membuatmu terkesan atas apa pun. Aku memang butuh uang, tapi aku tidak bisa mengiyakan keputusanmu dengan pergi mengasingkan diri ke pulau lain. Aku sedang tidak ingin melarikan diri dan tidak punya masalah dengan siapa pun. Lantas apa?" "Kau hanya tinggal selama satu bulan di sana." Vania berdecak letih. Betapa sulit bicara dengan pria ini? "Katakan pada ayahmu untuk menjaga dirinya sendiri. Kau bisa menurunkan kepentingan dan kesibukanmu demi mengurusnya." "Yang dia inginkan adalah aku menikah dan punya anak. Sebelum dia pergi dan akan mencaciku dari dalam kubur," geram Fagan kesal. "Aku tidak suka dengannya yang selalu terburu-buru. Tetapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Kakakku tidak akan sepenuhnya menerima hal konyol ini. Dia pasti menolak semisal ayah kami menikah lagi." Pria itu putus asa. Terlampau jelas. Vania bisa melihat wajahnya yang menyiratkan kelelahan. Pekerjaan sampingan sebagai pria malam mungkin menuntut banyak waktu dan membuatnya merasa tersisihkan. Dia tampan, kaya dan berbakat. Punya pesona dan aura luar biasa memikat. Perempuan yang memintanya untuk bersama hanya satu malam akan merasa nyaman dalam pelukan. Menahannya ntuk tetap tinggal demi merasakan dekapan hangat. Juga bagaimana aroma yang begitu penuh rindu. Oh, bermain perasaan lagi. "Pikirkan sekali lagi," ujarnya seakan meminta. "Ini bukan untukku, tapi solusi terbaik bagi ayah. Seandainya dia tidak memintaku, aku tidak akan mengejarmu seperti ini." "Kau seharusnya mencari perempuan lain. Yang mau memainkan peran dengan menjadi pacar palsumu. Sampai kesehatan ayahmu membaik, kau bisa bicara dan putus dengannya. Sebenarnya semua cukup simpel tapi kau yang membuat rumit." Vania kembali meletakkan kesalahan itu di atas bahunya. Fagan selintas hanya diam, tapi rahangnya mengeras. "Aku tidak suka dengan mereka yang bersikap berlebihan dan kurang suka makan. Ayahku tipikal pengkritik dalam banyak hal. Lalu dia menyukaimu. Karena malam itu, aku dan kau sama-sama yakin kita tidak memiliki perasaan berlebih apa pun." *** "Apa kau butuh pekerjaan sekarang?" "Aku hanya butuh tempat untuk melarikan diri," ujarnya putus asa meradang pada keraguan yang menyelip di setiap tarikan napas. "Kau tahu seseorang yang memang benar-benar ingin pergi. Sayangnya, aku tidak bisa meninggalkan tempat ini selamanya." Sarah tercenung, meresapi semua kegundahan Vania melalui matanya. "Kau benar. Semua kenangan ada di sini. Kita tidak bisa berlari begitu saja dengan alasan konyol. Terlebih semua terbilang bagus. Kau merasa sedikit tertekan, manis. Ingin minum segelas kopi?" Vania mendesah panjang. Menatap deretan menu dengan pandangan malas. Mulutnya membuka, berbisik lirih dengan raut bosan. "Segelas vanilla latte dingin itu bisa membantu. Aku ingin ekstra es batu. Butuh sesuatu untuk dimakan karena lapar." "Bagaimana dengan krepes atau pie isi stroberi? Kau ingin mencoba croissant manis juga?" "Kita butuh insulin setelah itu," balas Vania muram yang malah membuat Sarah menyeringai. Bangun dari tempat duduknya yang nyaman, memesan sesuatu untuk mereka dan duduk di bangku bertepatan dengan jendela kembar. Cuaca sangat bagus untuk bersantai. Banyak orang separuh abad berjalan-jalan bersama kesayangan mereka yang gesit. Seakan seorang anak yang bugar tidak mampu menjaga dan membiarkan peliharaan dengan insting dan hati alami mereka menjaga manusia renta dari tekanan luar. "Aku menyadari dunia banyak berubah. Orang-orang terkesan abai kepada orang tua mereka sendiri yang renta. Kau lihat itu, para hewan peliharaan terlihat sebagai anak penurut yang mencintai mereka tanpa batas," ujar Vania muram dan menekan pelipisnya pada jendela yang tebal. "Pemandangan itu menyenangkan sekaligus membuat miris." Sarah ikut diam. Menyadari mereka berdua sebatang kara dan berjuang hidup di tengah krisis ekonomi serta kesulitan finansial yang parah. Negara tidak bisa menjamin hidup mereka selamanya seperti di surga. Dan itu alasan mereka perlu bekerja keras. Vania dan dirinya harus bertahan hidup. Meski sekarang mereka telah membaik, tapi kehidupan tidak pernah berhenti memberi kejutan. "Aku menyayangkan banyak anak yang bersikap acuh tak acuh kepada orang tua mereka sendiri. Rasa sayang mereka pudar karena tergerus usia. Dan mengikis kesempatan untuk tetap bersama," katanya muram saat menemukan banyak yayasan sosial yang menampung manusia renta semakin bertambah jumlah di setiap penjuru kota. "Di saat banyak anak kehilangan kesempatan itu untuk terus bersama." Sarah mendesah sedih. Topik mereka terlalu sensitif untuk dibahas. Namun Vania seperti larut, tidak mau pergi dari sana. "Apa bagimu untuk orang lain yang mengupayakan segala cara demi orangtua mereka adalah hal yang bagus?" "Sempurna malah," tukasnya serius selagi menatap Sarah serius. "Teknologi maju sama sekali tidak bisa menghapus kepribadian mereka yang peduli. Apatis hanya pada perasaan dan manusia lain yang berusaha membuat luka. Tapi pada orang tua yang mencintai anak mereka tanpa batas, balasan sama setimpal untuknya. Itu bukan sesuatu yang salah." Pesanan mereka datang. Sarah tanpa menunggu segera mencoba manisan yang ia pesan. Cukup kagum dengan tekstur dan bagaimana rasa keju itu tertinggal di lidahnya. Vania hanya tersenyum dan bayangan Fagan yang putus asa menari dalam kepalanya. Di lihat dari segi mana pun mereka berdua tidak akan pernah menjalin hubungan serius. Dunia yang berbeda, rentang pengalaman dengan memisahkan waktu dan kehidupan mereka. Serta bagaimana hadirnya tambahan lain yang meminta Vania untuk mengeluarkan Fagan dari daftar pria yang ingin dia kencani. Dia puas dengan hubungan singkat mereka, walau tidak secara perasaan pribadi. Namun melihatnya meminta dengan alasan sang ayah yang kesehatannya menurun, Vania tahu hatinya tidak akan berlaku sinis pada siapa pun. Fagan peduli pada orang tuanya dan itu berhasil menyentuh jiwanya. "Apa itu terasa enak?" "Sangat. Kau mau mencoba?" Mungkin kue itu cocok sebagai pelarian sementara. *** "Selamat datang. Ada yang bisa kubantu?" Suara ramah itu mampir dari seorang gadis dengan potongan rambut bob yang tengah memberi cengir muda ke arahnya. Vania tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tersenyum, mengulurkan tangan dan mereka berjabat formal. "Aku datang untuk melamar pekerjaan," katanya ramah dan reaksi gadis itu cukup antusias. "Tentu. Kami perlu mencoba membawamu kepada bos yang ada di ruangan." Vania membiarkan dirinya menunggu. Selagi gadis itu masuk lebih dalam, lalu hilang dalam koridor yang cukup panjang dan dirinya sibuk melihat sekitar. Termenung pada desain manis di dalam restoran dan mengerjap bingung ke deretan menu yang memamerkan harga tidak murah. Mulutnya mendadak kering saat mendengar suara seseorang dengan tergesa dari balik punggung. Kebersamaan mereka dalam intensitas kecil sekali pun tidak mudah untuk melenyapkan suara berat itu pergi dari kepalanya. Vania mencoba menahan diri untuk tidak beralih atau dia akan menyamar menjadi tanaman hias sekarang. "Tunggu sebentar." Kemudian pada pegangan tangan lain yang mampir pada lengannya. "Ikut aku," bisiknya dan tidak menerima bantahan. Vania duduk, membiarkan Fagan menuntunnya seperti bayi yang belum bisa berjalan. Kemudian mematikan telepon dan sepenuhnya menatap serius Vania yang bingung. "Apa?" "Untuk apa kau di sini?" "Melamar kerja," balasnya gelisah. Sementara dia memandang meja yang sepi. Fagan hanya makan sedikit. Apa pria itu sedang diet? "Lalu kau mampir untuk makan. Aku tidak akan bertanya." "Kau punya banyak uang. Memgapa harus bekerja?" "Tidak sebanyak dirimu. Aku bisa menjadi sangat kesepian kalau hanya menjadi patung di rumahku sendiri," ketusnya dengan menekan siku pada meja kayu yang licin. Sebelum mereka bertengkar, gadis ramah itu kembali muncul dengan senyum cerah. Vania ikut memamerkan senyum, bangun dengan keadaan mendesak dan Fagan kembali memintanya tetap di tempat. "Duduk. Aku belum selesai bicara." "Apa yang lebih mendesak dari keperluanmu dan masa depanku? Lepas," sindirnya. "Atau aku akan menjerit seperti hewan lepas." "Coba saja kalau kau berani." "Dasar menyebalkan," umpatnya. Fagan memberinya senyum sinis. Vania menarik napas panjang. Sementara bola mata cokelat bundar yang menatapnya bingung cukup terpana. Tamu restoran mereka sangat tampan. Fagan berhasil memamerkan pesonanya di dalam sini. "Kau hanya punya waktu sepuluh menit." Perlahan pegangan tangan Fagan lepas. Vania mendengar pria itu memberi titah, yang membuat perutnya mulas dan ingin berbaring di atas lantai kayu. "Bilang pada bosmu untuk menunggu. Aku punya urusan dengan wanita ini cukup lama." "Tentu, bukan masalah." Gadis itu beralih pada Vania. Tatapannya menyiratkan cemas. "Kau tidak apa?" "Aku baik. Terima kasih karena telah mencemaskanku," balas Vania riang. "Kita bisa menjadi partner kerja menyenangkan." Fagan mendengus pelan. Mendengar bagaimana optimisme dari wanita yang masih berdiri di depannya. Lalu melihatnya melirik, kembali mendudukkan diri pada sofa. "Apa?" "Kau tidak lapar?" "Aku akan makan nanti. Asal kau yang membayar," katanya tanpa berbasa-basi sembari mengangkat tangan dan meminta agar salah satu yang berjaga membawa buku menu. Vania memesan kurang dari lima menit. "Oh, satu lagi aku butuh tambahan air minum. Di dalam sini terasa seperti gurun pasir yang tandus." "Aku bukan pria penuntut. Beberapa kali kau mencoba membuatku berlaku seperti itu," akunya memberikan apresiasi pada dirinya sendiri sebagai nilai positif. Sementara Vania mendengarkan dengan malas. "Ini hanya sebentar. Berjalan hanya satu bulan. Lalu aku akan bicara. Jika aku akan tetap pada pendirianku untuk tidak menikah dengan siapa pun." "Kenapa? Kau takut hartamu habis karena pecinta kemewahan itu menyerap semuanya sampai yang tidak terlihat?" Sindiran itu berhasil membuat paras kaku itu bertambah dingin. "Kau tidak perlu tahu," tukas Fagan muram. "Karena aku juga tidak mau tahu," sela Vania bosan sama sekali tidak peduli. "Kita memang pasangan satu malam yang singkat, aku memberi layak malam itu. Kau menerima uang dan aku mendapatkan apa yang kumau. Lantas, apa yang salah dari itu? Kita impas." "Ayahku menyukaimu." Vania pucat pasi. "Bukan suka dalam arti dia pasti membawamu dalam jenjang pernikahan, lalu kau akan memenangkan gugatan dengan sebagian hartanya jatuh ke tanganmu. Tidak yang seperti itu." "Aku bukan wanita itu dan kau harus percaya." Fagan menghela napas panjang. "Memang bukan. Namun bukannya semua perempuan sama saja?" Vania tidak ingin menyalahkan pria ini karena mungkin Fagan mengalami kejadian pahit di masa lalu. Entah terjebak cinta sepihak atau hartanya hampir habis karena persoalan kecil atas nama kekasih. Kalau sudah menyangkut perasaan, akal manusia menjadi tak terarah. Minumannya sudah datang. Bersama empat lauk kecil untuk menemani hidangan sampai pada menu utama. Vania menikmati bagaimana kepulan asap pendek itu mengitari sekitar mangkuk yang lebar. "Ini tampak lezat." "Kau menyukai bubur kerang dan jagung? Teksturnya terlihat aneh dan mungkin sedikit asin. Kerang biasanya terasa cukup hambar karena kurang bumbu dan olahan," komentar Fagan saat melihat pesanan wanita itu mendarat lengkap di meja. "Kau lihat menu di sana? Bubur ini ditempeli dengan empat bintang. Itu artinya cukup diminati. Bisa saja ini menjadi rekomendasi restoran ini," kata Vania setelah mencampur bubur dengan menambahkan bawang goreng dan bahan lain. "Kebanyakan perempuan lain tidak suka makan. Tapi kau terlihat sangat suka makan." "Aku dan dua persen manusia di kota ini," sahut Vania santai. "Kalori yang aku butuhkan seimbang dengan tenaga yang aku keluarkan. Ini yang membuatku terus merasa lapar." "Kenapa kau kelaparan?" "Aku berlari dari halte bus sampai sini sekalian olahraga. Aku lupa lari pagi karena semalam tidur larut," ucapnya spontan lantas terbatuk pelan. Vania tidak mungkin membocorkan bahwa dia bermimpi aneh tentang pria itu. Yang membuatnya nyaris limbung dan menangis. "Mengapa kau tidur larut?" "Kau banyak bertanya?" Gerungan napas pria itu mengetuk kesadaran Vania. Memang siapa pun perlu kesabaran ekstra menghadapi dirinya. Fagan bukan pengecualian. "Kita harus saling mengenal satu sama lain. Kalau dengan cara ini ayahku bisa selamat dan hidup sehat untuk jangka lama, aku akan berusaha menempuhnya." Vania termenung, membayangkan kalau Kenta kembali sakit dan kedua anaknya menjadi cemas serta sedih. Melihat Fagan masih memiliki kesempatan memberi sang ayah curahan kasih sayang sementara dia tidak. Kenangan menyebalkan itu kembali mampir dan membuat Vania kacau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD