TA - 3

2055 Words
Vania tidak punya waktu untuk berpikir soal apa pun atau bagaimana caranya melarikan diri. Karena apartemen ini luar biasa. Ia pernah melihatnya di iklan televisi atau agen properti yang memberikan harga spektakuler setiap satu unitnya. Terperangkap konyol dengan kekasih semu satu malamnya dan bagaimana bisa dia berdiri di ruang pribadi pria itu sementara dirinya bertarung untuk melupakan ciuman memalukan mereka di tempat umum, atau mengabaikan eksistensi si tampan di dalam ruangan. Keduanya sangat membingungkan. Vania tidak akan punya kendali untuk menghilangkan kecemasan dalam dirinya lagi. "Aku bukan Isabelle." Salah satu alis pria itu terangkat. Vania mendapati dirinya mendesis. Apa pria mahal ini bermain saham? Mengalokasikan uangnya yang banyak setelah membuat mereka yang membayar puas pada bisnis properti yang menggiurkan di masa depan? "Ini aneh. Semua orang tahu reputasimu. Dan bagaimana kau yang kerap berubah-ubah, mengganti nama dan berpindah ke lain tempat hanya untuk menarik hati para pria tua berumur yang kaya," sembur pria itu sinis dan Vania membeku. Dalam bayangannya, Isabelle adalah perempuan buruk yang mencemari namanya sendiri. Pria ini mungkin mendengar reputasi santer itu meski tidak bertemu langsung. Kalau dia mengenali Isabelle, Vania akan dilepas dan berlari macam hewan liar. Tapi sekarang? Pria itu tidak melakukannya. Mengurung mereka di tempat mewah ini hanya membuatnya sakit kepala. "Beri aku minum," pintanya dengan wajah memelas. "Aku haus." Rasa ciumannya masih tertinggal bibirnya. Vania tidak pernah suka dengan ide menjadi tontonan dan dia membenci menjadi bintang alias pusat perhatian. Lalu pacar bayangan satu malamnya membuat kekacauan. Yang membuatnya kesal, ingin marah, tapi melumer seperti cokelat meleleh dalam bolu. "Apa yang kau mau?" "Apa saja yang ada di sini." Pria itu memberikan soda dingin ke arahnya. Vania mencari tempat duduk, mendekat dengan raut penuh tanya dan baru mendapat persetujuan dari si pemilik. "Kau mengenalku?" "Tidak," akunya, dia sudah jujur. "Kecuali kau yang menjadi tamu di tempat malam itu. Tentu saja," acuhnya. "Selain itu?" "Tidak ada yang spesifik. Aku sibuk bekerja. Sebagai seseorang yang membiayai semua kebutuhannya sendiri, mandiri dan bercita-cita membangun rumah adopsi, aku tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain. Jadi, apa pekerjaanmu selain menjadi pria bayaran?" Sudut bibir itu bergetar dan sorot matanya mendingin. Vania terburu-buru menyesap soda miliknya, menyembunyikan mata yang canggung. "Pertama-tama, aku harus tahu pekerjaanmu. Isabelle di sini begitu kontras. Dia pecinta barang mahal dan kau memakai pakaian menyedihkan." Vania mengernyit dalam, menemukan tatapan sinis itu menelusuri dirinya dan berhenti di sepasang kaki. Sampai ia merasakan napasnya berantakan kemudian menarik diri. "Apa kau baru saja menatap diriku? Bisakah aku menuntut untuk melakukan tindakan tidak terpuji secara terang-terangan?" Pria itu mendengus, melempar pandangan mencemooh yang menyebalkan. "Kalau kau tidak ingin para pria memandangmu liar, kau seharusnya tidak berpakaian seperti itu." "Ini pakaian seperti abad dua puluh. Restoran itu yang menjahitnya untukku. Ini cukup longgar. Isi kepala kalian saja yang sakit," tukasnya kesal. Vania kehilangan kata-kata saat mata mereka bertemu. Dingin yang membekukan, bertatapan dengan matanya yang teduh. Tapi menampilkan keberanian dan begitu tegar. "Kita akan membahasnya lain waktu. Apa pekerjaanmu?" "Aku seorang pekerja biasa di restoran laut. Yang tidak akan kusebutkan di mana ruko itu berada. Dan aku tidak akan kembali ke sana karena aku baru saja mengundurkan diri." "Oh, jadi kau hidup sulit?" Bibir itu terkatup ketat. Rahangnya hampir turun ke lantai karena mendengar penghinaan luar biasa dari pria sombong di depannya. "Tidak ayal, kau pria bermulut pedas." "Realistis," koreksinya cepat. "Dengar, aku bukanlah Isabelle. Sebelum kau yang tak waras dengan memanggil Isabelle di pinggir jalan, aku akan berterus terang. Kalau pun kau tidak percaya, itu bukan urusanku. Isabelle mungkin pernah mewarnai rambutnya sepertiku, tapi ini asli dan aku tidak pernah mengubah penampilanku. Pesta itu pengecualian," tukas Vania cepat sebelum keraguan menghapus tekad kuatnya. Merasa tersudut sekaligus lunglai di bawah tatapan sinisnya. Pria itu diam. Sesaat hanya menarik napas, membuangnya perlahan. Kemudian menaruh botol sodanya ke tempat sampah dengan lemparan sempurna. "Aku, Fagan. Fagan Erland. Kau mungkin mengenal namaku dari marga." "Tidak." "Tidak?" Ulangnya, merasa tidak mendengar. "Sudah aku bilang, aku tidak tahu siapa dirimu." Fagan tampak frustrasi. Tapi dia pintar menahan diri. Pengendaliannya luar biasa. Membawa Vania pada fase dia harus memberi apresiasi kontrol diri pria itu. "Yang ingin aku bicarakan adalah aku harus membawamu pergi. Aku punya pulau pribadi dan kau akan ada di sana untuk sementara waktu." "Mengapa harus diriku?" "Kau tidak punya kosakata yang lebih baik dari itu?" "Kau bukan pria realistis, tapi penuh halusinasi. Apa alasanmu membawaku ke sana?" "Ayahku," balas Fagan muram, menyadari kalau perempuan mana pun tidak akan tepat dengannya. "Dia yang memintaku pergi." "Apa aku dipekerjakan?" "Tidak. Tentu bukan," tukasnya cepat. "Aku hanya memintamu di sana selama satu bulan. Dia cukup kesepian. Dan dia bilang, dia merasa cocok denganmu. Aku curiga soal reputasi Isabelle yang bisa menarik hati para pria tua penyendiri." "Sudah kukatakan padamu, aku bukan wanita itu." Fagan berdecak lebih keras. "Kita akan membuktikan itu nanti. Yang jelas, kau akan di sana selama beberapa hari. Bawalah barang yang sekiranya cukup." "Apa aku bisa menolak?" Selintas, pandangan pria itu seakan memintanya untuk tidak membantah. Tapi mereka berdua orang asing. Vania hanya tidak mau terdampar di pulau luar. "Kau tahu, aku hanya mencoba menjaga diriku sendiri. Lagi pula, bayaranmu luar biasa mahal sampai bisa membeli pulau pribadi? Apa namanya? Laut Pongah?" Vania cukup puas dengan reaksi sebal yang pria itu berikan. "Apa ayahmu jatuh sakit karena tahu pekerjaan rahasia?" "Ayahku mungkin akan bertekuk lutut semisal dia tahu kau bukan Isabelle si pengambil harta. Karena dia pikir kau sempurna untuk menjadi ibu dan istri yang baik," kata Fagan muram menunjukkan raut enggan yang kentara. "Terkadang sikap menyebalkannya seperti cenayang dan aku menyayanginya. Hanya tidak mau kehilangan momen apa pun." Vania bangun dari sofa nyaman yang nyaris membuatnya mendengkur seperti keledai. Rasa manis itu tidak akan berlangsung lama. Nektar itu perlahan bisa melenyapkan. Sama halnya dengan eksistensi Fagan di sekitarnya. "Aku akan memberimu jawaban nanti. Sekarang, aku butuh udara segar. Apa kata sandinya?" "Tidak ada. Kau hanya perlu sedikit menarik gagang untuk terbuka." Semoga kau kurang beruntung di lain hari, Fagan. *** "Apa kau punya daftar pria dapat dibayar di sini?" Asistennya yang manis, Sarah hampir tersedak anggur di dalam mulutnya. "Kau bicara apa?" "Aku butuh daftarnya sekarang," kata Vania cepat, gusar dan merasa terburu-buru. "Tempat ini tidak akan sukses tanpa barisan pria tampan yang memberikan kesempatan dengan pelayanan luar biasa. Cepat, berikan padaku." "Kau bercanda? Kita bahkan tidak menyediakan itu sebagai bentuk fasilitas," sindir Sarah muram. "Itu agensi lain. Mereka membayar untuk ini. Dan omong-omong, aku mengenal semua orang di sini. Siapa pun, apa yang kau cari?" "Aku hanya ingin tahu. Karena sepertinya aku baru saja melakukan kesalahan besar." Sarah terdiam sebentar. Mengamati Vania dari atas sampai bawah, lalu mendengus. "Apa kau baru saja bertengkar seperti kucing liar?" "Tidak." "Lalu? Tidak sengaja banyak minum dan memuntahkan isi perutmu ke baju mahal mereka? Oh, kau memintaku mencari tahu?" "Kau mengenal Fagan?" "Fagan siapa?" sebelum Sarah meneruskan, wanita itu terlonjak dari sofa, membelalak pada Vania yang mematung di kursi. Menatapnya serius. "Kau bicara buruk kepadanya saat tidak sadar atau apa? Berpikir dia pria sama seperti pekerja di lantai bawah?" "Apa dia orang kaya?" "Sangat. Uangmu hanya butiran serbuk deterjen di kamar mandi. Apa kau mencari masalah?" desak Sarah karena mulai merasakan firasat buruk. Menduga perginya Vania dari restoran laut itu karena Fagan baru saja mencelanya. "Aku mengingat marganya. Tapi yang aku lihat di internet tidak terlalu banyak. Dia bahkan terkesan menghindari tempat umum dan keramaian atau tidak membiarkan berita lokal mengekspos soal dirinya. Aku tahu, ayahnya seorang pengusaha sukses dan bisnis guritanya berhasil membuat mereka sangat kaya." "Dia punya seorang kakak. Dan yang aku dengar, telah menikah dan punya anak. Hanya Fagan melajang dan mengurus sang ayah yang banyak mengeluh. Pengusaha satu itu ramah tetapi spontan dan bicara apa adanya," balas Sarah dengan pengetahuan seluas samudra yang dia tahu. "Kau bermasalah dengan Fagan atau ayahnya?" "Tidak keduanya." "Apa dia yang membuatmu tidak nyaman di restoran?" "Bukan juga." Sarah menghela napas. "Lantas, apa dia pernah menjadi tamu di sini? Tempat ini?" Vania bergidik. Membayangkan kedok pencarian kekasih bayangannya terbongkar memalukan. Sarah tahu kalau dia masih menjaga diri. Selamanya akan menyimpan itu sampai dia menikah. "Tidak sama sekali." "Oke, sekarang apa?" "Para wanita melihatnya seperti bank berjalan." "Memang," timpal Sarah tidak semangat. "Dia tampan dan sukses. Bisnisnya lebih banyak dari ayahnya dulu. Tetapi media tidak akan bisa memberitakan itu. Kedua anak Kenta mencintai kedamaian tanpa privasi terusik dari media setempat." "Kenapa kau mengenalnya dan aku tidak?" "Vania," ujar Sarah malas. "Kau tidur seperti boneka pajangan. Sibuk bekerja dan menjahit seperti nenek tua. Kalau pun menonton televisi, kau menghabiskan waktu dengan melihat kartun dan Telenovela. Lalu tertidur dan membaca buku konyol bertemakan kuda terbang yang menyembur air. Apa yang kau harapkan dari kehidupan monoton itu?" "Kenapa kau mengeluh seperti bocah?" "Kau yang memintaku untuk mengungkap tabiat buruk itu sendiri," dengus Sarah murung. "Hewan pun menolak semisal memiliki tuan rumah sepertimu." "Aku beruntung karena kamarku tidak pernah mengeluh," timpal Vania masam melipat tangan di meja. "Aku pernah menonton berita asal kau tahu." "Mari kita garis bawahi kata terakhir itu," tambah Sarah cemberut memandang Vania dengan cemoohan. "Kau mau turun untuk berdansa atau hanya minum?" "Aku tidak akan pergi. Besok adalah jam di mana aku harus mencari pekerjaan baru." Sarah memutar bola matanya acuh. "Kau sudah punya bisnis lancar ini dan pundi-pundi uang mengendap di rekeningmu. Kau ingin apa lagi? Mencari pekerjaan? Tuhan, beri temanku pencerahan." Vania terdiam sesaat. Menatap Sarah cukup dalam sampai dia menyerah, membuang muka dingin. "Ini bukan milikku. Aku hanya menjaga apa yang seharusnya. Sejauh ini semua cukup baik dan sukses." Sarah ikut diam. Mendadak suasana santai di antara mereka membeku. Tidak lagi mencair seperti aliran anak sungai yang mengairi sawah kering. "Kau benar. Aku butuh minum. Ayo, kita harus turun. Sepertinya musik di lantai dansa bisa meredakan sakit kepala." Sarah memberi senyum cerah. Saat dia menarik tangan Vania untuk menuruni tangga, pencahayaan yang remang menyapa mereka bersama suara berisik di lantai dansa. Musik telah dinyalakan dan semua orang berpesta dengan gembira. Mereka sampai untuk memesan sesuatu. Vania tidak melihat bartender muda yang biasa bertukar cerita. Sarah bilang, hari ini pria itu libur. "Minum dan setelah itu menari," kata Vania parau setelah menyesap anggur sekali lagi untuk maju ke lantai dansa. Sarah hanya mengawasi, takut perempuan itu terluka dan terlewat batas. Kepalanya ikut berayun. Mengikuti irama musik saat Sarah menaruh tatapannya ke arah pintu masuk, terkesiap dengan tarikan napas kasar saat melihat Fagan memasuki ruangan dengan pesona luar biasa. Nyaris membuat jantung berhenti berdetak. Tampilan bos memukau yang ada pada novel laris terbayang di kepalanya. Saat Fagan masuk melihat ke sekitarnya dan terpaku pada lantai dansa yang ramai, Sarah berubah penasaran. Sosok Vania larut dalam sekumpulan manusia yang saling menyentuh satu sama lain. Sebelum Sarah menemukan si cantik di antara kerumunan, suara berat Fagan hampir membuatnya mencair seperti cokelat panas. "Aku hanya butuh satu gelas," pesannya. Sarah tidak tahu berapa lama dia melamun sampai mendengar suara berisik yang terjadi di lantai dansa dan musik yang berhenti. Sesaat dia mulai cemas, bangun untuk memeriksa dan terkejut saat mendengar sesuatu. Ya Tuhan, Vania. Seharusnya Sarah tidak perlu mencemaskan rekannya satu itu. Vania bisa saja seliar hewan lepas ketika dia sedang setengah sadar. Atau menjadi manusia lapar saat sepenuhnya tidak sadar. Dan sekarang, Sarah membenarkan ucapannya. "Bagaimana bisa dia masuk ke tempat ini?" Semua orang menonton dengan penasaran. Termasuk pada si korban yang histeris karena dompet bersama tas kecilnya berhasil tertarik, membuat tali tipis itu putus, berubah menjadi dua bagian. Vania ada di dekatnya, melihat kejadian itu dan segera mengangkat sepatunya agar pria berhidung pesek itu cepat menyerah. Sarah bangun dengan desisan. Sesaat petugas keamanan datang, membubarkan situasi dan membawa pria kurus itu pergi dari tempat secepatnya. Ini memang bukan wilayah eksklusif, mahal atau yang bergaya tinggi dan cukup terjangkau untuk remaja yang ingin mencicipi kehidupan lain di sudut kota. "Vania ya Tuhan, aku pikir kau yang terkena masalah." Vania terkekeh sendiri. Memasang sepatunya dengan senyum manis saat dia terpaku, menyadari bahwa tali pada bahunya turun, membiarkan kulit putihnya terlihat bersih. "Kau tenang saja. Dia tidak akan mendapatkan luka dari pria itu karena temanmu sangat percaya diri untuk menjadi yang pertama. Benar, kan?" Sapaan lirih itu mengalun bagai musik hampa di telinganya. Vania menoleh, merasakan waktu berhenti berputar dan menyadari bahwa dia memberi pelajaran kepada pria tadi tepat di depan Fagan, si penonton yang menikmati aksi keren darinya. Serta bagaimana kedua mata itu yang perlahan berubah pekat ketika menatap ke arah bahunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD