TA - 2

1114 Words
Satu bulan kemudian. "Cantik, aku tidak membayarmu untuk tidur di sana. Bangun, angkat dirimu. Banyak pelanggan mengeluh karena kau tidak ada." Sangat menyebalkan. Suasana hatinya sedang buruk sekarang. Sekadar memamerkan senyum baik saja tak bisa. Topeng itu kini lepas. Vania berwajah masam telah kembali. Madam Lucy baru saja mengomel dengan mata memelotot. Nyaris membuatnya kehabisan napas. "Iya," sungutnya, memerhatikan penampilan kusutnya sekarang dari cermin kecil yang seukuran kepalan tangan kemudian berjalan keluar. Seperti biasa, memamerkan seulas senyum bosan karena menemukan p****************g tidak ingat umur tengah menyeringai. Menampilkan deretan gigi kuning yang membuat Vania mual. Dan yang lebih parah, ada aroma tembakau murah. "Lucy membayarnya dengan cukup. Dia menjadi karyawan teladan selama beberapa bulan belakangan ini," pamer Toyama, suami Lucy yang menyebalkan. Vania sendiri tidak paham. Mengapa perempuan murni golongan kauskasia itu mau menikahi pria yang terlihat pemalas dan hanya gemar mengadu kartu tipuan? "Oh, sesuai dengan penampilan sempurnanya. Aku menjadi karyawan tetap selama kurang lebih sepuluh tahun. Dan baru mendapat pencerahan selama kurang lebih tiga tahun ini. Lucy, kau yang terbaik," puji si kepala plontos yang membuat Vania jengkel. "Mari, ingin pesan apa?" Salah seorang menarik selembar tisu dari tempatnya. Vania mengangkat alis, terkesiap menemukan dorongan lembaran itu mampir di depannya, bersama pulpen hitam yang diselipkan. "Berikan aku nomor ponselmu," rayunya. "Ya Tuhan. Aku sudah tidak tahan lagi." Toyama sedikit menggeram dan tabiatnya yang buruk hampir muncul. Mempermalukan dirinya sendiri di depan pelanggan dan karyawan restorannya. Cukup sudah. Vania akan berhenti bekerja. "Kalau kau ingin marah, lupakan saja. Aku tidak meminta uang ongkos, pesangon atau apa pun itu sebutannya. Simpan saja untukmu sendiri." Lucy terlihat panik. Karena Vania melepas apron, melemparnya ke meja dan meraih tas selempangnya untuk pergi. Ia bahkan tidak perlu berusaha meninggalkan kesan baik pada karyawan lain yang memandangnya sinis dan tidak tahu diri. Toh, dia senior di sini. Kenyang dengan asam garam kehidupan pekerjaan dari keluarga kacau tersebut. "Vania, mau ke mana kau?" Lucy masih mengejarnya dari pintu belakang. Dan Vania hanya mengangkat tangan, memberikan lambaian kecil serta berlari untuk menghindari kerumunan. Ia hanya tidak suka menjadi pusat perhatian. Pemandangan kota di sore hari menjadi satu-satunya pelepas penat. Dia beruntung karena sepatu minim hak ini membantunya dengan luwes berjalan. Menikmati udara santai sembari melihat-lihat. Aneka toko dari ruko ternama mentereng. Menjadikan kota ini sebagai tempat mahal dengan koleksi barang yang bernilain tinggi. Target pasar mereka adalah premium. Vania tidak merasa sebagai salah satunya walau dia punya dua kartu kredit dan debit. Serta penghasilan bekerja di kelab malam yang tidak sedikit. Tapi itu bukan sepenuhnya milik dirinya. Ada amanah yang harus ia jaga, yang harus ia taati. Pandangannya menyapu pada sebuah gaun cantik tanpa tali yang terpajang dalam toko mungil di salah satu pusat kota. Modelnya tidak jauh berbeda dari model gaun yang sempat Vania lihat di pesta satu bulan lalu. Apa-apaan itu tadi? Semua sudah berlalu. Dia pun tidak lagi berlabel perempuan menyedihkan butuh hiburan. Cinta satu malamnya luar biasa. Dan mereka selesai sesuai kesepakatan. Vania membayar, pria itu memberikan pelayanan. Simbiosis mutualisme menyenangkan. "Isabelle." Sebuah suara mengejutkannya. Ia terkesiap karena mendapati pemandangan silau dari mobil berkilau yang parkir serampangan di pinggir jalan. Di mana kasus ini sangat menyalahi aturan. Lalu tidak bisa bernapas benar saat tahu siapa pelakunya. *** "Kau salah orang." Alis Fagan terangkat naik. Wanita ini sedang bercanda? Tiketnya bernama Isabelle dan jelas Isabelle yang terkenal ada dua. Salah satunya pengeruk harta para pria bujangan yang menyisakan usia renta sebelum terkubur. Hanya mendengar namanya membuat Fagan kesal. Dia tidak pernah terlibat apa pun dengan wanita itu sebelumnya. Kecuali cinta satu malam yang tidak terlupakan. Lalu wanita itu membayarnya dengan segepok uang. Uang panas yang mengesankan. "Salah orang, katamu?" Fagan menemukan dirinya sendiri mendesis. Kesabarannya sedang diuji. Terutama tampang Isabelle yang berpura-pura polos. Cih, wanita dan akal bulusnya. Sementara orang-orang mulai memusatkan perhatian pada mereka, Fagan dilanda cemas. Ia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian siapa pun. Keahliannya hanyalah di balik layar. Dia bahkan menolak mengikuti seminar atau memotivasi banyak orang hanya karena sukses di usia muda. "Kau mau apa?" Fagan harus bicara. Mengutarakan semua omong kosong ayahnya dengan dalih permintaan terakhir kemudian menurutinya. Lalu setelah kondisi membaik, dia akan menaruh wanita itu pergi dari hidupnya. "Kita harus bicara," tegasnya. Alis wanita itu menekuk sinis. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kau dan aku sudah selesai malam itu. Koreksi kalimatku. Maksudnya, pagi hari. Karena kau menerima uang setelah aku bangun." Kalau saja dia dan Ivan tidak mencapai kesepakatan konyol karena berunding terlalu lama, dia pun enggan melakukan ini. Turun langsung untuk mencari Isabelle yang tiba-tiba sulit dicari. Dan menemukan wanita ini berdiri mematung di pinggir jalan rupanya Tuhan memberikan pencerahan atas usahanya. Fagan tidak mungkin membiarkan orangtua satu-satunya yang ia miliki pergi dengan ketidakbahagiaan. Ibunya selalu dilimpahkan kehidupan baik. Namun saat dia pergi, Fagan terlambat untuk memegang tangannya. Hanya bisa menangisi peti duka itu dalam diam. Dia merasa bersalah untuk itu. "Apa kau datang untuk menagih pembayaran yang kurang?" Apa perempuan ini sudah tidak waras? Dia akan memberikan semua harta hasil menguras mantan suami kaya di pengadilan untuknya? "Dasar menyebalkan," gumam Fagan rendah, yang berhasil membuat sepasang manik hijau itu melebar. "Aku sama sekali tidak kekurangan uang." "Kau sangat sombong. Apa kau baru saja meremehkanku? Orang sepertimu kaya karena mendapat banyak bayaran. Kau seharusnya tahu diri," si wanita mulai tersulut emosi. Ini lucu karena mereka bertengkar di trotoar dan Fagan tidak mau mobilnya dibawa petugas lalu lintas nanti. "Kita harus bicara," putusnya dengan ajakan lebih lemah. "Tidak di sini. Tapi di tempatku." "Kau apa? Aku tidak punya waktu." "Aku pun sama. Untuk apa aku mengejarmu? Ini urusan mendesak. Hanya kau yang bisa membantuku." Tuhan, apa dia baru saja memohon? "Membantu? Apa kau berniat mencari asisten rumah tangga atau seseorang yang bisa mengurus kolam ikanmu di rumah?" "Bukan. Ini lebih penting. Dan satu hal lagi, aku tidak punya kolam ikan. Aku tinggal di apartemen dan sebaiknya kita bicara di sana." "Tidak mau." "Kenapa tidak?" Isabelle mencoba menepis tangan itu sekuat tenaga. "Karena aku tidak lagi punya urusan denganmu," desisnya dan usaha kuatnya sia-sia. Semakin dia meronta, semakin lekat pegangan Fagan di tangannya. "Lepaskan aku." "Kau mau kita menjadi tontonan?" "Apa? Tentu tidak." "Sekarang menurut," titahnya dingin dan wanita itu berupaya untuk melarikan diri. "Ya ampun, kita hanya harus bicara." Fagan mulai tidak nyaman dengan pandangan beberapa orang. Memandang mereka seakan baru saja melakoni drama picisan. Antara pasangan kekasih yang bertengkar dan butuh bicara. Memang benar mereka butuh mengobrol tetapi bukan sepasang kekasih. Isabelle masuk ke daftar merahnya sekarang. Yang ia ingat malam itu adalah membungkam semua racauan wanita dalam dekapan dengan ciuman. Fagan kali ini melakukannya, yang berhasil membuatnya nyaris rapuh. Merasakan euforia melepas kebanggaan seorang gadis seperti malam itu. Kenangannya terbawa ke masa kini dengan cukup deras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD