"Aku menginginkan cucu yang menggemaskan."
Kunyahan makan malam di mulut Fagan berhenti. Sama halnya dengan Vania yang mematung, menatap Kenta serius. "Maaf, apa itu tadi?"
"Cucu yang lucu," ujarnya lambat seraya menatap Fagan dengan tudingan dingin. "Jangan berpura-pura tidak mendengar. Aku sedang tidak bercanda."
Vania mengalihkan pandangan meringis ke arah pria itu. Sementara Fagan hanya mengembuskan napas, menyantap habis isi piring makan dan tidak peduli pada ocehan Kenta soal anak kembar sang kakak yang tampan, bertingkah unik serta pintar. Ivan sudah lengkap sedangkan Fagan masih meninggalkan noda.
"Itu bukan perkara sulit," Vania tiba-tiba menginterupsi. Lantas muram pada wajah Kenta serta merta memudar dengan intesitas yang mengharukan. "Aku punya kenalan beberapa agensi kenamaan yang menawarkan jasa atau ibu pengganti. Berikan milikmu di sana dan kau bisa mendapat anak yang sesuai kemauan."
Fagan nyaris tersedak acar sayuran saat dia menatap jengkel pada wanita berambut aneh di depannya. Vania mengerling, membayangkan ekspresi Kenta yang menggelap dan tertawa terbahak kemudian. Sampai nyaris membuat Nina panik karena takut sang tuan tak sadarkan diri.
"Ya Tuhan, berapa usiamu? Kenapa kau berpikir sampai ke sana? Tidak mungkin putraku melakukan hal memalukan seperti itu pada perempuan lain. Astaga, Fagan bahkan tidak biasa merana."
Vania menunduk malu mendengarnya. Mengingat kebersamaan cepat mereka yang luar biasa mencengangkan. Yang tidak akan pernah Vania lupakan. Untuk jangka waktu yang sangat lama.
"Aku sangat pemilih. Ibu pengganti tidak menyelamatkan apa pun. Meski aku yakin genetik ini sangat bagus, aku meragu dengan ide meminjam," sungut Fagan sebal tidak suka dengan obrolan yang jelas sekali menyudutkan dirinya sebagai seorang pria.
"Aku tidak memintamu pergi ke sana dan hanya sekadar memberi rekomendasi." Vania ikut bersungut, sebal karena pria itu tampak kesal.
Kenta mengulum senyum manis. Mendapat balasannya sendiri karena kini terbatuk berkat acar timun, lalu Nina meloncat sigap untuk membantu dengan segenap keahlian. Bersama Vania yang ikut bangun dari kursi, tiba-tiba berubah cemas.
"Aku tidak apa," ujarnya dengan senyum menenangkan dengan memegang perutnya diiringi tepukan lembut Nina pada punggung. "Sungguh, Vania punya humor yang bagus. Aku tidak bisa berhenti tertawa karena itu."
"Berhenti melucu. Kau membuatnya seperti ini."
"Kau menyalahkanku sekarang?"
Ujaran sengit terarah satu sama lain. Dari sisi nuraninya, Vania merasa bersalah. Jadi dia membantu Nina untuk membawa Kenta naik ke lantai atas, memastikan meminum obat dan membiarkan pria itu istirahat selagi Nina mengatur pengharum ruangan yang mengandung aroma terapi. Sesuai rekomendasi dokter bersangkutan demi membuat Kenta merasa santai.
Sebelum gadis itu benar-benar pergi, Vania berbisik dengan tatapan penuh tanya. "Apa aku bisa mendapatkan kamar lain?"
"Tidak ada. Lantai dua khusus untuk kamar tamu." Nina membalas ketus dan Vania mendesah panjang, membiarkan gadis itu turun dan menghilang di putaran anak tangga terakhir.
"Ayah sudah tidur?"
"Belum dan sedang mencoba," Vania membalas lamat mengintip ke dalam kamarnya sendiri dan merasakan sensasi luar biasa yang asing. "Apa ini betul kamarku?"
Fagan hanya mengangkat alis, kemudian mengangkat bahu acuh dan menutup pintu.
***
"Apa pekerjaanmu?"
Vania membuat kagum lidahnya dengan potongan pie manis yang memanjakan perut. Ia tidak terlalu pandai dalam hal semacam ini, tapi kalau mencoba pasti berhasil.
"Dia sebelumnya bekerja sebagai pelayan restoran dan baru saja memecat dirinya sendiri dengan cara terhormat," timpal Fagan masam yang jelas mendeklarasikan diri untuk mencelanya. Vania terpaku, tidak suka dengan ide pria itu menyelidiki kehidupannya dengan menyewa orang pilihan. Dan membiarkan Fagan masuk serta tahu latar belakangnya berhasil membuat Vania kurang nyaman.
"Staf rumah makan?"
"Aku orang yang simpel. Cukup sederhana karena aku mencintai pekerjaan apa pun selama menghasilkan uang," liriknya dingin pada pria menyebalkan yang duduk di sebelahnya. "Tapi bukan berarti itu hal yang kompleks seperti mengobral harga diri, bukan seperti itu. Aku lebih suka memperlihatkan kelebihan atau tenagaku. Itu cukup baik dan mendapat gaji adalah pencapaian luar biasa."
Vania bisa mendengar dengusan dari pria yang duduk murung di samping kursi. Sementara dirinya menikmati ekspresi Kenta yang bebas dan hangat, sama sekali tidak terprovokasi atau tampak malu dengan pekerjaan kelas bawah.
"Kalimatmu terdengar bijaksana. Istriku seorang pekerja di salah satu kedai minuman kecil. Kami bertemu dengan cara tidak praktis, tetapi aku mengenangnya selama puluhan tahun. Dia perempuan penuh warna dan menyenangkan serta tidak merasa silau karena harta dan mau menerima kekuranganku apa adanya."
"Aku bisa membayangkan hal itu terjadi di kehidupanmu," sambut Vania antusias. Dia terkesan dengan bagaimana mata pekat Kenta yang berubah setiap kali membicarakan mendiang istrinya. "Mempunyai teman hidup yang tidak membosankan juga menerima diri kita adalah suatu keajaiban."
Kenta mengangguk dengan senyum lebar. "Itu adalah kebenaran. Melihat bagaimana putra sulungku menjalani kerikil rumah tangga dengan beberapa keluhan disertai tawa, aku tahu dia mencintai istri dan dunia pernikahannya. Aku berharap kejadian yang sama turut berlaku pada anak yang lain."
Fagan menurunkan gelas air dengan tatapan mencemooh. "Itu tidak akan terjadi," akunya pahit yang membuat senyum Kenta berubah desisan. "Lagi pula, aku sudah puas dengan pencapaianku saat ini sebagai pebisnis sukses."
"Oh, tapi tidak dengan perempuan berbeda setiap bulan. Aku berpikir putraku seorang pengusaha muda dan bukan pria penuh lelucon yang bisa disewa wanita kaya hanya semalam."
Vania hampir menyembur jus karena terkejut. Selayaknya mata melebar mendengar pengakuan Kenta yang tepat sasaran, Fagan mencibir pelan. Tidak setuju dengan ujaran sang ayah yang terlewat batas. "Candaan sama sekali tidak lucu," tegurnya. "Aku bukan pria seperti dalam khayalanmu."
Lirikan pria itu sangat kuno, pungkas Vania pelan. Saat Fagan memberi sedikit peringatan untuk tidak membocorkan malam singkat mereka dan bagaimana Vania meruntuhkan harga diri pria itu dengan pergi tanpa pamit. Sejumlah uang yang tertinggal tidak sedikit dan cukup untuk membuat seorang Fagan merasa malu.
"Aku tidak ingin bertanya ini. Tapi perempuan secantik dan secerdas dirimu, tentu saja memiliki kehidupan kencan yang menyenangkan?"
Lidah Vania kelu membayangkan betapa membosankan kehidupannya selama tiga puluh tahun berjalan tanpa tujuan.
"Berhentilah bertanya begitu padanya, semua orang punya hak merahasiakan kehidupan kencan mereka," sela Fagan lamat dan sang ayah terdiam, tidak lagi bersuara dengan ekspresi masam yang kental.
"Kencan tidak berjalan sesuai yang kuharapkan," Vania berkata dengan nada gusar. "Terlalu membosankan. Karena pada dasarnya aku tidak terbiasa menjalani kehidupan lain seperti itu."
"Oh, gadis malang. Aku sekarang sedang membayangkan itu menimpamu," ujar Kenta penuh haru sebelum menepuk bahu Vania dengan ramah. "Mungkin kau menjadi pribadi sehangat mentari jika bertemu seseorang yang setara. Manusia biasanya lebih mengeluarkan aura positif bersama rekan yang sejalan dengannya. Pengalaman ini membuatku bisa memberimu saran brilian." Kenta bangga dengan pernikahannya sementara Vania berpikir itu tidak pernah ada atau terjadi dalam takdirnya.
Nina datang untuk menjemput setelah membiarkan Kenta bercakap santai. Pria paruh baya itu nampak bahagia dan senang setelah berbicara banyak, yang membuat Fagan merasa lega setelah melihat ayahnya masuk ke dalam rumah dan tidak berkomentar soal sikap kaku Nina.
"Pernikahan orang tuamu menyenangkan," gumam Vania ringan lurus menatap kolam renang yang terlihat berkilau dengan pemandangan laut lepas. Bagaimana bisa pulau ini sangat luar biasa?
"Memang, tanpa adanya rekayasa. Aku melihatnya selama beberapa tahun berjalan. Ivan yang menjadi saksi panjang sejarah keduanya," balas Fagan pelan menyadari kalau kehidupan rumah tangganya nanti mungkin tidak akan seberuntung ayah dan ibunya. "Ayah berusaha mencari cinta lagi setelah kepergian ibu."
"Aku memahami kesulitan itu," Vania berusaha berhenti agar obrolan mereka tidak berjalan terlalu serius. Tadi terdengar menyentuh sisi Fagan yang traumatis. "Pria biasanya cenderung kesepian karena merasa rumah tidak lagi sama dan berusaha mencari cinta baru, padahal cara itu tidak berhasil."
"Lima puluh persen, realitanya benar. Sisanya mungkin bahagia dengan pernikahan kedua atau ketiga," tukas Fagan membayangkan keuangan keluarganya habis oleh perempuan tidak tahu diri hanya karena kata perceraian. "Aku berusaha mencegah itu semua terjadi dengan upaya sendiri."
Fagan membayangkan kehidupan sang kakak yang berubah pesat. Mendapati dua kesayangan mungil yang hidup di rumah mereka turut membuat dirinya berbahagia. Namun itu saja belum seberapa karena sang ayah meminta lebih. Fagan tidak punya kuasa untuk menolak permintaan Kenta. Karena dia sendiri tidak pernah bisa mengabulkan permintaan ibu yang lebih dulu tertidur panjang.
Matanya menangkap siluet seorang wanita yang duduk bersandar sembari menikmati pemandangan lepas pantai dengan damai. Pikiran tak terkendali itu berkelana sampai tidak menemukan tepian. Kenangan saat Fagan bersamanya dan ada di dekapan kembali membuat Fagan menarik napas gusar, tidak bisa membayangkan perempuan dengan mulut seberbahaya ular hadir hanya untuk berbuat kacau di kehidupannya.
Vania tidak berhenti mengunyah camilan ringan. Mendapati bagaimana semua nampak sempurna dan Fagan nyaris kehilangan napas. Malam singkat mereka adalah peringatan cukup hanya sekali. Tetapi jauh dalam dirinya itu tidak akan pernah berlangsung hanya satu saja.
Vania bernapas berat, memandang Fagan dengan mata berkilat sinis. "Oh, ya Tuhan. Seharusnya aku memakai pakaian biarawati agar mata pria sepertimu tidak memandangku aneh."
Fagan ikut menarik napas panjang, menatap Vania dengan seulas seringai samar. "Kau tidak bisa menyalahkan pria dengan pikiran bercabangnya. Terutama jika mereka ada di dekat perempuan yang mengeluarkan aroma alami unik."
Vania bisa merasakan tengkuk dan pipinya memanas. "Kau benar-benar sudah kelewatan," semburnya marah. Mengangkat piring dan sekilas Fagan pikir Vania melakukan itu padanya. "Bicaramu tidak terkesan sopan."
"Kau seharusnya tidak berkata seperti itu saat usia kita hanya terpaut dua tahun," kata Fagan menahan bosan. "Aku merasa ini hanya proses alami jika sedang tidak melakukan atau berpikir tentang apa pun."
Mendadak dia mendapat lukisan dua buah kue cair mendarat tepat di wajah dengan cara kurang elegan yang teramat memalukan.