Saat Fagan terbangun di pagi hari, yang dia temukan seisi rumah sepi seakan tidak berpenghuni. Alisnya menyatu, mengintip ke lantai dasar dan hanya melihat Nina yang sibuk mondar-mandir bersama tukang kebun dengan benda sebagai penyiram tanaman di tangan.
Fagan mengusap wajah, menemukan pintu kamar Vania tertutup dan dia tergelitik untuk mencari ke mana wanita itu saat berada di pulaunya.
Sementara dirinya tidak biasa bangun terlambat, tetapi karena pekerjaan dan beberapa masalah kecil yang harus diatasi hari itu juga memaksanya untuk tetap terjaga. Fagan mengorbankan waktu nyaris dua puluh jam tidurnya. Lalu sekarang dia merasa lebih rileks dan nyaman. Bahu dan punggungnya tidak sesakit tempo hari.
"Di mana ayahku?"
"Oh, ayah Anda sedang berolahraga." Nina menjawab dengan urai senyum tipis. Sangat kontras karena biasanya perempuan satu ini cukup profesional. "Bukan memutari pulau, hanya berjalan-jalan sebentar."
"Apa itu namanya olahraga? Aku rasa dia hanya sedang melepas beban."
"Bukan masalah," sahut Nina ringan. "Selama dia mau meminum obat dan tidak terus berpura-pura seperti anak kecil yang baru saja membuang permen karet sembarangan. Dia tak lagi semuda itu."
Fagan mencibir, tidak mengelak bahwa fakta terkadang ayahnya sangat kekanakkan. Semisal, memintanya menikah dan itu sangat konyol.
"Teman Anda sangat berkompeten."
"Dalam hal?"
"Menarik perhatian," tukas Nina datar dan berbalik pergi. Pekerjaannya masih terlalu banyak. Mengurus seorang Kenta membutuhkan tenaga dan kesabaran ekstra.
Saat dia duduk untuk menikmati kopi di pagi hari bersama kudapan ringan, Fagan melihat sang ayah dan Vania tampak akrab sedang berjalan ringan menuju halaman rumah. Wajah Kenta tidak lagi pucat, namun tampak kelihatan lemah dan kurang bertenaga.
"Fagan, Vania begitu menyenangkan. Tapi sisi lainnya sangat buruk," seru Kenta ketika sampai sambil menunjuk Vania dengan satu senyum misterius.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Fagan berusaha penasaran.
"Dia terbiasa menggigit kuku. Aku tadi menegurnya dan Vania hanya tertawa. Tiba-tiba teringat padamu yang sering mengambil kaus kaki kakakmu dan memakainya setiap malam secara mengendap. Kau tidak mau berubah saat itu," keluh sang ayah muram akan tetapi wajahnya bersinar hangat mengenang kejadian lucu putranya di masa lalu.
Vania menahan senyum malu. Nampak puas dan muda. Ketika Fagan menatapnya, tanpa sadar memicing dan pandangannya turun untuk mengenali bagian yang sempat dia rasakan dan sentuh.
"Bagaimana dengan sarapan kita?"
"Sepuluh menit lagi."
"Oke, aku bersiap mandi." Kenta masuk dengan senyum lebar. Nina segera memapahnya selayaknya orang tua pesakitan dan Fagan mendengar Kenta menggerutu, meminta sang perawat pribadi untuk tidak memandangnya seperti pria tua yang butuh pertolongan pertama.
"Ayahmu terlihat luar biasa," kata Vania lirih.
Alis Fagan bertaut. "Kalian baru saja saling memuji. Apa sebentar lagi akan ada cincin di tanganmu?"
Vania mengernyit sinis. Tidak suka dengan sarkasme yang pria itu lontarkan kepadanya. "Apa yang kau bicarakan? Aku tidak butuh cincin. Kau pikir aku perebut harta serupa anak muda lainnya yang rela memamerkan diri mereka sendiri hanya untuk mendapat banyak uang?"
Fagan memandangnya datar dan Vania mendengus sebal, meraih air minum botolan di atas meja. "Kenapa kau gemar menggigit kuku?"
"Aku terbiasa melakukannya di saat sedang tertekan atau kebingungan. Terkadang kalau gugup juga memungkinkan. Lagi pula, aku tidak bersikap seperti itu di depan umum."
"Itu kebiasaan buruk seorang perempuan yang kurang sopan," kata Fagan malas lalu mengernyit dengan pandangan mencemooh dan Vania mendelik ke arahnya.
"Apa benar begitu? Baguslah. Aku datang kemari bukan untuk mengesankanmu dengan sikap malaikat dalam bentuk apa pun."
***
Vania bisa mendengar suara ceria khas anak-anak dari layar tablet yang sedang Kenta pegang. Rasanya menghangat melihat pria yang terlihat kurus dari sebulan lalu tengah tersenyum. Seakan mencoba mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah mereka. Senyumnya terus bertambah lebar. Saat keduanya bersahutan menceritakan pengalaman sekolah pertama dengan riang.
"Aku sayang kakek."
"Aku juga. Rindu sekali ingin bertemu."
"Kakek juga menyayangi kalian. Ayo, kau berdua harus tidur siang sekarang. Berikan ponselnya pada Papa."
"Sampai nanti."
Vania tidak ingin melihat siapa kakak Fagan saat ini. Dari suaranya, pria itu terdengar ramah dan sama sekali bukan tipikal suka menyombongkan diri seperti adiknya. Kemudian percakapan selesai, raut Kenta tampak bebas.
"Aku memandang mereka seperti bayi yang baru bisa berjalan dan memiliki gigi putih yang mungil. Mereka sangat pintar dan cepat mau belajar. Aku mencintai kedua cucu kembarku dengan sepenuh hati."
"Aku mendengarnya begitu. Mereka sangat aktif," gumam Vania santai sembari menggerakkan kudapan dan obat yang Nina susun di dalam satu wadah. "Sebelumnya, kita harus minum makan ini dulu."
"Ini benar-benar melelahkan," katanya pelan. "Apa Fagan bercerita soal aku yang memintanya untuk mencarimu?"
"Hm, ya aku tak terlalu ingat. Tidak banyak dan hanya beberapa poin penting," aku Vania tidak nyaman. "Karena perkenalan kami yang cukup singkat, aku tidak bisa mengenal banyak siapa pria yang berbincang denganku."
Kenta tertawa ramah. "Fagan tipikal yang akan berbicara langsung ke inti, tidak mau berbasa-basi. Sedikit berbeda dengan putra pertamaku," ujarnya mengenang.
"Aku lupa ingin bertanya. Apa kalian sudah saling mengenal sebelumnya?"
Vania terperanjat, tertegun mendapat pertanyaan spontan yang otomatis membuat kulitnya meremang. "Aku belum pernah melihatnya. Kami tidak saling kenal satu sama lain. Kehidupan yang nyaris tidak menyentuh dirinya karena perbedaan."
Kenta mengangguk pelan, menatap Vania lekat. "Aku melihat seakan kau menjaga jarak dengan putraku. Di saat perempuan lain terus berusaha menarik perhatiannya, kau malah membatasi diri. Menurutku itu unik dan tidak biasa."
Vania tersentuh dengan pujian itu. "Aku bekerja sebagai pelayan biasa. Beberapa dari mereka di restoran terlihat cukup baik dari segi tampang. Fagan mungkin bukan yang pertama," akunya tanpa ekspresi. "Tapi biasanya sangat menarik kalau dia memiliki uang dan kekuasaan."
Pria paruh baya itu meminum obat dengan senyum santai. Ringan setelah sarapan menikmati udara di sekitar rumah yang sejuk. Pulau ini belum tersentuh sama sekali oleh siapa pun. Selain dari keluarga Fagan dan penduduk setempat yang menawarkan diri sebagai asisten rumah tangga demi mengurus pulau dan penginapan yang tidak ditempati selagi pemilik tinggal di rumah yang sebenarnya.
"Apa Ivan baru saja menghubungi?"
"Ya, apa kalian saling bertukar kabar?"
Fagan memasang raut suntuk. "Kami selalu bertukar kabar secara rutin. Dia akan terbang kemari walau pekerjaan sangat menyita waktu."
"Kedua cucu rindu bertemu denganku," balasnya dengan senyum sumringah. "Bagaimana denganmu, Fagan? Seru jika dibayangkan seandainya anakmu dan si kembar bergabung. Mereka akan saling berupaya untuk mengambil perhatianku."
Fagan mendengus keras. Sedangkan Vania berpikir itu hal paling indah dari pemikiran seorang pria paruh baya yang mengidap penyakit komplikasi di waktu tua. Anak kecil selalu membawa kehidupan baru.
"Bukan itu yang kumau dan terdengar kuno."
Raut Kenta berubah murung. Saat dia bangun, membawa piring kudapannya sendiri dan Nina yang seakan memantau mereka segera bergerak untuk membantu. Namun kali ini pria itu tidak menolak. Membiarkan Nina menggandeng tangannya seperti manusia tanpa tenaga.
"Kalau kau memang tidak setuju dengan idenya, tidak perlu memasang wajah ketus begitu. Dia sedang berjuang untuk sembuh. Kau malah membuatnya semakin terbebani."
Fagan memicing sinis ke arahnya. "Kau terdengar baru saja memberi nasihat padaku."
"Apa? Semoga kau terbawa arus di laut lepas."
Vania mendesis marah sebelum akhirnya berlari, membiarkan Fagan mematung seorang diri.
***
"Aku menyukai perempuan yang tidak memandang aneh terhadap makanan lezat. Mereka mencintai diri mereka sendiri dengan lahap dan bersyukur atas nikmat."
Kenta sekali lagi terkesan karena Vania menyantap makan malam dengan santai dan sama sekali tidak menolak hidangan di atas meja. Serupa dengan kelakuan istrinya dulu.
Fagan mengangkat alis, sama sekali bersikap tidak peduli. Ketika sang ayah bangun, bersiap untuk tidur dan Vania sedang membereskan meja makan.
"Biarkan saja di sana. Asisten rumah tangga pasti datang besok pagi."
"Bukan masalah. Ini hanya sebentar dan aku bisa membersihkannya."
Fagan bangun dari kursi. Memindahkan piring dengan kening berkerut dalam. "Kau sudah membuat ayahku terkesima berulang kali. Apa biasanya wanita yang kesulitan secara finansial memang terlihat menarik? Tapi kau tidak seperti itu."
"Aku hanya berusaha memijak tanah," pungkasnya dan Fagan mencela keras.
"Jika kau sudah selesai, kita perlu bicara."
Vania menatapnya skeptis. Selama beberapa detik sebelum menggeleng dan mencuci semua piring kotor dalam diam.
Dia baru benar-benar naik setengah jam setelahnya. Cukup membuang waktu untuk mengamati pantai yang lepas dari jendela rumah sebelum mampir ke ruang kerja pria itu.
Segala memori tentang kebersamaan singkat mereka kembali berbaur menjadi satu. Vania menahan napas, memandang bagaimana pria itu mengeluarkan aura yang memang ditakdirkan untuk memikat.
Ketukan pintu mampir perlahan. Vania berharap Fagan tidak memintanya datang. "Masuklah," dan dia telah gagal untuk mundur kembali ke kamar.
"Apa kau sibuk?"
"Tidak terlalu," balasnya ringan tak terkesan ramah. Vania menatap dalam diam dan tidak berhasil menebak apa yang menjadi isi kepala Fagan. "Cari tempat duduk yang sekiranya membuatmu nyaman. Aku harus bicara."
"Tentang apa?" bahunya menegak tanpa sadar.
Fagan melirik dalam diam. Meminta Vania untuk tidak kehilangan ketenangan. Dia kurang terbiasa dipandang lekat oleh laki-laki. Fagan baru saja melakukannya. Itu tidak terdengar bagus untuk kesehatan diri dan kepalanya.
Vania tidak kunjung mendapat jawaban. Merasa tersudut karena tatapan kelam itu, dia melarikan diri ke arah piyama hitam yang menempel di tubuh Fagan.
"Aku mengembalikan uangmu. Sekaligus ingin meluruskan sesuatu, kalau diriku bukan sosok seperti dugaanmu," selanya pahit yang membuat Vania mendengus. Dengan tanpa sengaja secara spontan menggigit kuku jarinya.
"Kau tidak bisa melakukannya."
Vania tidak mendengarkan suara pria itu.
"Kalau kau masih menggigit kukumu, aku pastikan kita berdua tidak lagi sama."
Kepala Vania terasa pening. Sikap antisipasi membuatnya menurunkan tangan, menjalin cukup erat. "Aku tidak sampai membuat kuku mungil ini terluka."
"Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun."
Fagan memutar dirinya dari meja. Memberikan amplop yang sama seperti Vania berikan pagi itu untuk membayar. "Kau tidak bisa menyelipkan uang ini padaku."
"Apa kau tersinggung?" Vania tergesa meneruskan kalimatnya. "Karena kau kaya, dirimu yang terbiasa mengeluarkan dana? Ini tidak adil."
"Menurut siapa?"
"Bagiku," tukasnya dingin. "Aku resmi mencari rekan malam itu. Uang ini telah aku pikirkan matang enam bulan sebelumnya."
Fagan terperanjat. "Enam bulan?"
"Dengar, aku tidak ingin kau salah paham. Meski aku sangat sakit hati saat kau menduga aku berperan sebagai pengambil harta dan mengincar para pria tua kaya untuk mendapatkan semua warisan mereka. Itu salah besar. Aku bekerja sepanjang hari dan uang itu murni."
"Mengapa kau tidak berkencan?"
Vania membisu. Mengatur napasnya agar lebih teratur. "Kau tahu, aku terlampau tidak punya waktu luang. Aku juga tidak bisa melakukan kencan karena dikenalkan atau apa pun sebutannya. Waktu dihabiskan hanya bekerja dan tidur di rumah."
"Aku mendapatkan sesuatu yang berharga darimu," kata pria itu tenang yang malah membuat panas menjalari pipi hingga belakang telinga Vania. "Apa itu semua percuma?"
"Aku berpikir berhubungan bersama orang asing terasa menyenangkan. Karena kita tidak akan menyimpan perasaan satu sama lain. Berbeda jika itu orang yang dikenal. Semua bisa melakukan hal itu tanpa perasaan. Kau dan aku sama-sama melakukannya," ujarnya terbuka yang membuat Fagan mengangkat satu alis naik.
"Aku tidak mau mengambil uang ini."
Vania menggeleng putus asa. "Ambil saja. Aku tidak ingin menanggung apa pun karena itu bukan milikku lagi."
"Aku tidak membutuhkannya," timpal Fagan dingin.
"Memang. Tapi kau bisa memakainya untuk keperluan lain. Anggap saja karena kau jarang memiliki uang tunai di dompetmu," kata Vania masih berusaha membujuk. "Lupakan saja. Amplop itu resmi menjadi milikmu."
"Kau membuatku malu," sahutnya tanpa ekspresi berarti. Vania hanya memasang wajah tidak peduli.
"Jika kita berhubungan nanti, apa kau membayar lagi?"
Sepersekian menit Vania membisu. Mencerna ucapan pria itu dan seketika debarnya berdentam, kepala mengeluarkan suara gemuruh yang asing. Matanya melebar takjub. Kemudian secara alami mampu mengontrol diri. "Tidak ada selanjutnya."
"Kau hanya ingin melepas masa remajamu dan menjadi perempuan dewasa. Karena sekitarmu bersenang-senang dan mereka bukan berada di dunia yang sama denganmu."
Vania bungkam karena ucapan pria itu benar adanya. Dia kehabisan kalimat untuk membantah. Hanya bisa terpaku lalu mencoba menahan sedih. "Tidak, kau salah sangka."
"Coba berikan aku penjelasan yang logis." Fagan mendesak dengan pandangan penuh tanya.
Karena tidak ada kalimat yang meluncur, Vania membiarkan pria itu menang dengan pendapatnya. "Aku benar," imbuhnya puas. "Kau hanya tidak terima mereka menikmati hidup, sedangkan kau masih menetap di tempat."
Vania kehilangan suara. Dia merasa tidak berselera meladeni pria ini berdebat sementara dirinya berusaha untuk tidak memandang Fagan sama seperti malam itu. Ia tengah menahan diri dan seharusnya Fagan membiarkan pergi.
"Kenapa kau diam?"
"Aku merasa kau tahu banyak soal kehidupan," balasnya pahit seraya menatap benda di dalam ruangan dengan datar. "Tapi itu bukan urusanku. Kau sering berkelana, bukan? Kalau seandainya malam itu aku tahu dirimu, aku tidak akan mengajakmu ke tempat tidur dengan percaya diri."
Fagan mendongak dengan seringai miring. "Aku tidak keberatan sama sekali walau bukan yang pertama, kau pengecualian."
Dasar pria menyebalkan.
Vania mencoba menyemangati dirinya sendiri dengan pemikiran bahwa Fagan bukan contoh pria yang akan dia kencani di masa depan. Karena pria itu jelas hanya pantas untuk bergembira sesaat.
Suasana bertambah kaku. Vania mencoba bangun, memandang pria itu jengkel. "Apa kita terus membicarakan masalah ini? Aku perlu istirahat."
"Kau tidak senang membicarakannya?"
"Tidak, ini membuatku mengantuk."
Fagan ikut mendekat dan bayangan pria yang sempat menyentuh dirinya kembali menghantui. Vania menahan napas, berjalan mundur dan punggungnya menatap tepi meja.
"Sejujurnya aku tidak tahu apa yang menarik dari seorang wanita. Mungkin aku bisa belajar darimu."
"Apa kau butuh minum?" tanya Vania gusar.
"Tidak, aku hanya ingin melihatmu dari dekat."
"Lantas, bisa kau mundur?"
"Kenapa?" Fagan bertanya dengan senyum manis.
"Aku harus kembali ke kamar," pintanya dengan napas berat. Tahu dirinya mulai mengirimkan sinyal aneh yang mengundang sensasi.
Fagan dengan santai memberinya ruang. Yang tidak terpikirkan panjang oleh Vania setelah dia berbalik untuk menjauh dan bergumam kalau Fagan adalah pria tidak waras.