TA - 9

1359 Words
"Kau tidak berniat membuka bisnis baru?" Vania memberi senyum setelah menawarkan Kenta kudapan sehat yang terbuat dari campuran aneka sayuran dan adonan tepung. Bahannya masih alami dan dipastikan sehat karena Vania bertanya pada Nina sebelumnya. "Kau pintar memasak. Ini hal yang sangat penting di kehidupan rumah tangga," ujar Kenta berbinar antusias karena Vania sering membuatkan ragam camilan enak untuknya. "Istriku pintar membuat olahan dalam bentuk apa pun. Satu dari sekian banyak alasan yang membuatku jatuh cinta setiap kalinya." "Aku biasanya membuat makanan manis. Tapi karena beberapa orang mencoba mengurangi gula karena takut dengan masa tua dan aku cenderung mencoba varian lain," balas Vania setelah bercerita pengalamannya membuat kue. "Tidak semua orang menyukai selera makanan ini." "Aku suka. Kau bisa teruskan pekerjaan ini." Kenta menyahut ramah dan Vania malah tersenyum lebar. "Terima kasih banyak. Kau sangat murah hati." Kenta menautkan alis. Memandang lurus pada kolam renang yang memamerkan pemandangan pantai lepas. "Putra bungsuku menghindari beragam macam makanan manis. Fagan seperti anti gula dalam hidupnya. Dia pecinta sejati kopi pahit. Tidak seperti anak pertama dan mendiang istriku paham benar kalau salah satunya pemilih makanan." Vania meringis mendengarnya. Tidak sama sekali terkejut dengan fakta baru tersebut. "Bagaimana dengan teman-temanmu?" "Mereka bisa dihitung dengan sepuluh jariku," timpalnya pelan. "Aku tidak terbiasa bersosialisasi sejak dulu. Ada beberapa hal dan salah satunya karena aku tidak mau. Tetapi yang benar-benar peduli hanya ada dua orang." "Apa mereka tahu kau di sini?" "Salah satunya ya, tentu dia tahu." Keraguan sekejap menyelimuti dirinya secepat badai. Berjuang untuk mengatasi dilema cukup sulit selama bertahun-tahun. "Kalau aku bisa bercerita sedikit, dulu ibu dari kedua putraku sering sekali berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia memang pekerja biasa dan menikmati pekerjaannya. Tidak semua sesuai maunya, lalu menyadari dirinya harus terus maju setelah mencoba bertahan dan gagal. Begitulah hidup yang sebenarnya." "Aku ingin melakukannya tapi kurasa untuk saat ini hanya bisa menikmati waktu. Mungkin terasa asing namun cukup berkesan karena aku tidak pernah berlibur ke pulau pribadi sebelumnya. Serasa menjauh dari realita sementara," balasnya dengan senyum cerah membiarkan angin membawa rambutnya terbang dengan lembut. "Aku harap Fagan bisa memilih perempuan yang tepat sepertimu. Karena dia punya selera yang aneh, aku akan sangat terkejut jika kalian berkencan." Vania mendengus pelan. "Pria akan selamanya menjadi dirinya. Aku merasa tidak punya kualifikasi apa pun yang pantas." "Sayang, kau hanya berusaha menurunkan nilai. Aku pun juga seorang pria dan jujur aku bisa melihat potensi itu dalam dirimu. Perlu tegakkan bahu dan angkat kepalamu, kau harus percaya diri." "Kalau itu Ivan, aku tidak akan pernah meragukan pandangan hidupnya. Tetapi kita bicara soal Fagan yang pemilih. Bukan hanya tentang makanan, perempuan pun termasuk." Vania tidak bisa menahan tawa sekarang. Ketika melihat Nina turun dari tangga, meminta agar Kenta istirahat kembali ke kamar. "Kau pikir aku bayi? Kau memintaku terus tidur dan berbaring. Kalau aku ingin main lompat tali, kau bisa apa?" "Tolong, jangan lakukan hal kekanakkan di sini." Kenta bangun dengan gelengan kepala lelah. "Ya Tuhan, Fagan harus membeli permainan yang baru untuk ayahnya. Aku merasa benda itu sudah menua karena peganganku terlalu kencang." "Silakan, nikmati waktumu Vania. Jika kau ingin berenang, cobalah untuk bersantai. Air ini bagus untuk kesehatan kulit terutama karena ini masih pagi. Lumayan cukup segar sebelum matahari terlalu tinggi," kata Kenta ramah dan membiarkan Vania sendiri ketika dia masuk diikuti Nina seperti kucing. "Selamat beristirahat, ayah." Suara ejekan dengan senyum miring mampir di wajah Fagan. Bertemu ayahnya di pintu masuk perbatasan antara rumah dan kolam renang. Kenta cemberut, memandang anak bungsu dengan pandangan sinis. "Tunggu sampai kau setua aku lalu dirimu pasti merengek seperti balita. Biasanya anak zaman sekarang mudah mengalami sakit punggung di usia kepala dua. Jangan meremehkan hal itu." "Aku tidak begitu," balas Fagan singkat membiarkan Nina meraih tangan Kenta agar tidak terjadi perdebatan di antara ayah dan anak. "Mengapa kau senang sekali mencari masalah?" "Aku?" Fagan mendengus keras. "Itu namanya pendapat penuh cinta. Ayahku sering melucu di rumah semasa dulu dan sangat berbeda dengan reputasinya selama ini. Kalau dia berani berceramah, itu berarti mulai membaik. Dia biasanya cenderung banyak diam dan berbicara tentang umur terus-menerus jika sedang sakit." "Apa kakakmu juga melakukan hal yang sama?" "Dia cenderung menjaga nama baik. Seperti ibu, Ivan hanya tertawa sebagai reaksi." Vania mengambil napas panjang. Menyadari Fagan mengambil tempat di mana sebelumnya Kenta duduk. Menikmati pemandangan birunya pantai dengan nyaman. "Aku menyumbangkan uangmu ke rumah sakit khusus anak. Sebagian lagi untuk mengatasi masalah hewan dilindungi dan pemberdayaan lingkungan hidup." "Kau sangat mulia." Vania tersenyum lebar. Merasa senang karena pria itu tidak menyelipkan uangnya di tempat sampah daur ulang. Fagan mengernyit, mendengus dengan tampang kagum. Karena kurang dari lima menit dia diam, Vania lebih dulu bangun dari sofa. Yang membuat Fagan terkejut, spontan mencoba ikut berdiri. "Kau mau ke mana?" "Tunggu di sini, aku punya sesuatu untukmu." "Kau akan terbuka di depanku?" "Apa kau ingin aku melakukannya sekarang?" Fagan melempar tatap dengan alis menyatu. Mata pekatnya yang bersinar tertimpa sinar matahari mengamati Vania yang memakai gaun senada dengan warna langit sebatas lutut. Tidak sampai menyentuh ujung kaki dan pikirannya sudah berkelana ke segala penjuru arah. Khas remaja tanggung yang sedang mencari jati diri. "Kau tidak akan berani," sindirnya dingin kembali berbaring di sofa dengan seringai kecil. "Tipikal yang menjaga diri di depan para pria." Vania hanya menautkan alis kemudian secara perlahan tapi pasti mulai berani melepas sandalnya. Fagan memandang curiga ketika wanita itu berusaha menarik tepi gaun miliknya ke atas. "Apa kau serius?" nyaris tercengang berkat tindakan itu membanjirinya penuh antusias. "Tidak." Lalu melenggang santai masuk ke dalam rumah setelah memasang kembali sandal rumah. Fagan kembali dengan mencela dirinya dalam hati. Berkata bahwa dia baru saja menjadi sosok memalukan di depan wanita berambut aneh itu hanya karena terlalu berharap akan melihatnya kembali seperti malam sebelumnya. Mengingatkan dirinya dengan hubungan singkat mereka yang membuat kulitnya merinding. Membayangkan ada satu atau dua kali kejadian yang sama di masa depan. Kemungkinan dia yang akan menyerah karena merasa semua tidak pernah cukup. Fagan belum bisa seutuhnya melupakan Vania dan efek terhadap dirinya. Manis serasa madu yang membuatnya lepas akal. Vania hadir dengan senyum misterius. Saat Fagan mengangkat kedua alis, menebak penuh tanya apa yang wanita itu lakukan untuk kembali memberinya kejutan lain. "Kau bersiap berenang?" "Iya, asalkan kau pindah dari sini dan mengunci dirimu di dalam kamar. Aku akan mencoba kolam renang sebentar lagi." Terdengar satu dengusan keras mengudara. Lalu pada amplop cokelat yang terletak di atas meja. Membuat Fagan lagi terdiam bereaksi dengan desisan kesal. "Kau bergurau?" suaranya hampir terdengar marah. "Apa dirimu baru saja mengambil semua uang di rekening? Tidak menyisakan apa pun hanya untuk ini?" Vania tahu pria itu akan terkejut karena dia memberi uang tambahan. Ini bukan semacam lanjutan untuk hubungan sebelumnya, tetapi karena kebaikan hati Fagan padanya selama mereka berada di pulau pribadi. "Itu untuk tiket pesawat dan makanan mewah. Aku hanya tidak benar-benar bisa menerima semua dengan lapang." Kedua mata pria itu melebar dengan sinis. Vania bersiap mundur dan mendebat, tetapi Fagan masih berusaha mencoba menahan diri. "Ambil amplop ini kembali." "Tidak mau." Vania menggeleng berulang kali. "Sekarang." Fagan masih bergeming menatap. Vania mengambil napas, masih mencoba menolak. "Jangan bertingkah berlebihan." "Kau dengar aku?" "Jawabannya tetap tidak," ujar Vania berusaha tetap menang. Lalu pada Fagan yang berdiri bangun, meremas amplop dan sebentar lagi siap menyisipkannya ke kolam renang. "Aku butuh taksi air," kata Vania tiba-tiba panik. "Untuk apa?" tanya pria itu datar. "Pulang ke kota. Aku merindukan apartemen di sana." "Kau bercanda. Tidak ada taksi air di sini." Fagan menggeleng tanpa ekspresi. Ekspresinya kembali menggambarkan keputusasaan. Sebelum benda malang itu berpindah tangan, Vania mundur tiga langkah. "Berhenti, kau harus terima itu. Fagan, aku tidak bisa diam saja karena kau memakai uang untuk segalanya." "Demi Tuhan, itu bukanlah apa-apa." Mereka bisa hilang akal sebentar lagi dan Kenta pasti berpikir kalau rumahnya baru saja tertimpa pohon besar tumbang atau terjadi kebakaran karena putranya bermain arus listrik sembarangan. "Ini berat buatku," lirihnya. Fagan menghela napas, melipat tangan sampai amplop tak lagi berbentuk sama. Membuat Vania meringis kecil, membayangkan wajah tampannya menggelap karena kesal. "Kalau kau tidak mau mengambilnya kembali, akan ada malam kedua, ketiga dan seterusnya. Aku memastikan kau tidak turun besok pagi untuk sarapan bersama." Vania merasakan dirinya membeku tak mampu bergerak barang sedikit saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD