TA - 10

2190 Words
Vania menyipit, menatap sebal pada sosok jangkung dan tegap di depannya. Bibirnya berkerut masam, sudutnya tertarik enggan. "Kau tidak akan berani melakukannya." "Kau mencoba peruntunganmu?" Ini tidak akan berakhir baik. Vania hanya ingin tidak ada apa pun kembali terjadi di luar kendalinya. Termasuk jatuh cinta, pengalaman berkencan dan segala macam sebutannya. Dia terbiasa menjadi penyendiri yang telah merasakan surga dunia sesaat atau mungkin akan ada pengembara kedua setelah dia merasa bosan dengan garis hidupnya. Kemudian berpikir untuk bersenang-senang lagi. Bibir itu terulas muram. "Tidak, aku sama sekali tidak meragukanmu," ujarnya skeptis. "Lagi pula, ini tempat kemenanganmu. Kau bisa menahan siapa pun di sini dengan segala kuasa." "Kau sangat aneh." Fagan berkata dingin, mengendik pada amplop cokelat yang kusut. "Mengapa kau memberikan itu kepadaku? Apa aku terlihat membutuhkan belas kasihan darimu?" "Kau mendengarku sebelumnya? Ini bukan karena apa pun. Aku terkesan dengan kebaikanmu, tapi bukan dengan bentuk dana. Selama diriku mampu, aku yang mencukupinya hanya agar tidak ada utang." Kening Fagan berkerut bingung. "Apa kau serius bicara seperti itu padaku?" "Aku sedang tidak bergurau. Terima itu sekarang atau aku melarikan diri dari pulau ini dengan segala cara." "Kau bahkan tidak bisa berenang melewati laut bebas." "Biarkan saja. Akan ada lumba-lumba besar yang membantuku sampai ke daratan," balasnya percaya diri dengan memicing sinis pada pria di depannya lalu merasa usahanya sia-sia. Fagan tidak terbantahkan. "Sekarang, giliran aku yang bicara." Suaranya mulai menurun tidak sedingin tadi. "Aku memberikannya karena aku mau. Bukan tentang malam yang terjadi di antara kita. Tetapi ayahku menyukaimu dan itu seribu persen terlihat jelas. Nina sadar jika kau banyak membantunya. Aku sepakat untuk mengeluarkan sedikit lebih banyak pengeluaran agar kau merasa lebih layak di sini. Kakakku tahu kau datang dan dia mendukung. Ini semua demi ayah kami." Vania membisu resah, tidak tahu harus bagaimana. "Aku bukan dinas sosial yang menerima donasi dan kau memberikannya dengan alasan tak masuk akal." Vania duduk dengan raut cemas. "Aku hanya tidak terbiasa mendapatkan sesuatu sebesar ini. Maksudku kau tahu, tidak semua bisa menerima kebaikan itu secara terbuka." Reaksi Fagan hanya berupa alis bertaut, tetapi dia tidak bertanya lebih lanjut. Semua ada batasan dan Vania memiliki kotak pandora sendiri. "Aku melakukannya karena aku mau. Cukup uang yang kau berikan padaku kemarin dan ini tak perlu. Simpan kembali ke tabunganmu." "Kau harus menerimanya, Fagan." Selama beberapa menit mereka bergabung dalam kesenyapan. Hanya debur ombak yang tenang mengusik keheningan. "Terserah padamu." Lalu pada Fagan yang tidak bisa berdebat memilih mundur bersama amplop malang di tangan. Sebelum dia benar-benar masuk, berhenti di ambang pintu dan melihat Vania terduduk dalam diam. Ekspresinya sekarang seakan tidak terbaca. Seperti perempuan itu baru saja keluar dari masa sulit dan mendapati kebebasan yang telah lama ia impikan. Fagan sama sekali tidak mengerti. Namun manusia pada dasarnya tidak bisa berbohong soal perasaan mereka hanya dari ekspresi dan sorot mata. Vania baru saja menunjukkan itu dibelakangnya walau secara sembunyi. Pegangannya pada amplop cokelat tua mengencang. Fagan mengambil napas, membiarkan Vania menikmati semua waktunya di rumah ini. Sebelum sepasang kakinya yang konyol berbalik untuk membawa perempuan itu masuk, Fagan dikejutkan dengan Vania yang tiba-tiba bangun bersama kedua tangan terentang ke atas. Lalu pada gerakan asing lain yang membuat napasnya gemetar. Vania hanya mencoba menjadi dirinya sendiri. Ya Tuhan, dia mau apa di sana? Sebelum Fagan sempat bersuara, pemandangan mengusik perhatian yang mengambil semua kewarasannya mendadak kacau. Matanya mendelik, tidak bisa mundur untuk sekadar melarikan diri dan bukan menjadi pemuja rahasia. *** "Tempatnya luar biasa. Kau tidak akan pernah menemukan tempat secantik ini di mana pun." Suara Vania terlalu gembira, bersemangat sampai dirinya merasa siap kembali berendam di kolam air hangat untuk menenangkan diri. Secara relaksasi, kolam itu terbilang sempurna. Dan untuk bagian jacuzzi di sebelah barat, itu lebih dari kata brilian. Vania mondar-mandir di sepanjang taman tanpa alas kaki. Setelah Kenta tidur dan menceritakan bagaimana dia berjuang menjadi pengusaha sukses serta memberi nasihat pada kedua putranya untuk menjadi apa yang mereka mau, Vania merasa sosok pria paruh baya itu sempurna. Karena semenyebalkan Fagan sekali pun, dia terlihat mengayomi dan bersedia melalukan apa pun untuk sang ayah tercinta. Tentu saja kecuali dengan pernikahan. Untuk satu itu, Vania mungkin sedikit setuju. "Temanku, kau terlihat sangat bahagia dan aku menyukai sikapmu. Apa kau makan dengan benar? Si kaya itu membuatmu nyaman, kan?" Tawa pelan meluncur bebas. Vania menatap pantai yang pekat dari atas rumah sembari membayangkan lapisan tebal tanah yang membuat bangunan ini tetap kokoh. "Ya, dia melakukannya dan aku baru saja mengganti semua kebaikannya. Kami sempat beradu pendapat kecil sebelumnya." Terdengar suara dengusan. "Kau memang sering bergurau. Itu jelas menyakiti hati para pria. Seakan kau tidak tahu saja." Bola mata senada hutan pinus bergulir malas. "Kau tahu, aku tidak terbiasa menyimpan utang pada siapa pun. Termasuk pria asing yang menghabiskan malam bersamaku." "Apa ayahnya berkelakuan baik?" "Sangat murah hati. Dia sempurna walau sedikit kekanakkan. Cukup berisik jika sedang berdebat dengan putranya," aku Vania jujur penuh tulus. "Sungguh, dia tidak dikenal seperti reputasinya selama ini. Tidak memandang bagaimana aku dan kami berdua dimulai sebagai orang asing yang terdampar di sebuah pesta aneh." Suara tawa membahana keras. Sementara Vania kembali ke teras belakang rumah, menatap kagum pada deretan taman yang mengelilingi dengan sinar keemasan penuh. "Jangan jatuh cinta." "Itu tidak akan terjadi. Kau bisa memegang ucapanku." Fagan mengusap rambutnya dengan decakan. Mencari ke mana wanita itu pergi saat dia terlalu sabar dan tabah menunggu kedatangannya lebih dari lima belas menit. Dia bukan tipikal pria suka menunggu dan Vania sudah membuatnya merasa terganggu. Ayahnya telah berbaring tidur. Fagan mundur dari makan malam dan menyampaikan kabar tanpa terkecuali pada sang kakak yang ikut gelisah menanti. Ada urusan birokrasi yang mesti Ivan selesaikan dan memakan waktu tidak sebentar. Lalu Fagan berusaha memaklumi karena paham keluarga tidak sesederhana itu. Dirinya melihat Vania berjalan-jalan santai di sekitar rumah. Hanya dengan kaki tanpa sandal, celana denim pendek, kaus polos yang melekat sempurna. Matanya menyipit memandang sosok itu dari jarak yang pantas, kemudian mencela karena ada sesuatu yang sekarang terasa panas. "Aku menyayangimu. Jaga dirimu baik-baik di sana, sampai nanti." Tubuhnya sontak membeku. Menegang dengan cara tidak biasa. Ini bukan karena sensasi lain apa pun terlebih wanita itu tertawa, terkadang cemberut dan berujung pada kalimat sayang di akhir percakapan. Vania punya kekasih? Pertanyaan itu tidak lantas mendapat jawaban secara singkat. Fagan mendapati dirinya menarik napas panjang, membuangnya perlahan. Kemudian pada sepersekian detik yang mendebarkan, Vania berbalik arah. Menatap sosoknya dengan senyum tipis. Tolong jangan tersenyum, pikirnya muram. "Oh, kau di sini karena mencariku?" "Ayahmu bilang kau ingin bicara selepas makan malam. Ada yang ingin kau katakan?" "Tidak ada, lupakan saja." Fagan lantas memutar badan, membiarkan kedua tangannya bersembunyi di dalam saku celana dan berjalan cepat. Malas untuk sekadar menoleh meski dia penasaran ekspresi apa yang Vania tunjukkan sekarang. "Dasar pria aneh." Dia mendengar wanita itu bergumam dan perasaannya berubah semakin kesal tak beraturan. *** "Tuhan, diberkatilah tangan ajaibmu. Rasa kue ini luar biasa. Fagan, coba cicipi salah satunya. Vania benar-benar berbakat karena membuat varian lain dari enam rasa." Vania menahan diri untuk tidak tersipu malu. Tetapi pujian Kenta sangat tulus untuknya, tidak penuh kepalsuan atau sedang berdusta. Vania mendapati dirinya senang dengan kalimat bagus itu agar termotivasi. "Terima kasih. Senang kalau kau menyukainya." "Fagan mungkin beranggapan sama kalau isi kue ini hambar di dalam mulutnya. Tapi dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Sepertinya komet lintas galaksi baru saja jatuh tepat di bangunan aneh itu," sindir ayahnya masam. "Itu adalah karya seni," tukas sang anak tidak mau kalah. "Kau tidak mengenali seni sama sekali. Ivan bilang itu inovasi yang cemerlang." "Kakakmu bermulut madu yang sebenarnya. Kau dan dia bekerja sebagai perancang strategi. Sementara dirimu tidak suka berbasa-basi, bocah satu itu senang memuji pihak lain sampai perutku mual mendengarnya." Fagan memutar mata sekilas dan kembali diam tidak menanggapi. Sedangkan Vania hanya duduk, menikmati sinar matahari pagi yang belum terlalu terik dengan dua pria berbeda. Satunya berhati mulia dengan ucapan spontan dan yang terakhir sangat kaya dengan aura negatif luar biasa menyebalkan. "Vania, apa kau terbiasa membuat makanan ini untuk orang terkasih?" "Tentu saja aku suka membuatnya. Jika mereka mengadakan perayaan, aku yang berperan penting membuat kue alih-alih kami membelinya di toko," balas Vania cerah. "Aku senang kalau mereka menyukai buatanku. Itu terasa berharga dan sulit dijelaskan." Senyum Kenta terlihat riang. "Aku setuju. Selera mereka tidak salah. Tanganmu adalah keajaiban dan pendapat temanmu sangat bagus." Vania kembali tertawa pelan. Yang kemudian memudar saat Fagan mendengus menatapnya singkat dan berakhir dengan memalingkan wajah. "Jika kedua cucu, menantu dan putra pertamaku ada di sini dengan senang hati mengenalkanmu kepada mereka. Pada dasarnya keluarga Ivan adalah orang baik. Anaknya sangat suka makan dan lahap. Cucuku bukan pemilih dan mereka menyukai makanan cepat saji seperti ibunya." "Sebelum Vania bertemu dengan Ivan dan Alena, dia sudah lebih dulu pergi dari tempat ini," sahut Fagan dengan senyum miring. "Lagi pula, kehadiran si kembar sangat penting untuk memulihkan kesehatanmu." Ekspresi Kenta luruh. Sama halnya pada Vania yang mendadak diam, memandang Fagan ragu dengan perasaan penuh tanya. Ada apa dengan pria itu sebenarnya? "Jika kau ingin memancing kesabaranku, tunggu sampai ayahmu sehat dan bisa memberimu kecupan dengan koleksi barang kesayanganku." Ringisan Fagan mengalir bebas. "Aku bicara kenyataan. Vania punya kehidupan lain yang kita berdua tidak perlu tahu. Aku dan ayah tidak berhak ikut campur urusannya. Dia tidak selamanya berada di sini." Kalimat itu berhasil membuat Kenta bergeming. Dengan kunyahan terakhir, pria paruh baya itu bangun dan Vania mencoba membantu. Kenta dengan santai melingkarkan tangan di bahu, memberi tepukan sebagai bentuk dukungan karena harus berhadapan dengan pria dewasa bertempramen lemah seperti balita. Nina datang setelah berlari dari dalam. Mungkin kalau dia disandingkan dengan pahlawan bertopeng merah dengan lambang petir di baju itu tidak ada apa-apanya. Nina sangat cekatan, cepat dan selalu siaga sesuai gaji Fagan untuknya. "Nina yang aku kenal adalah idolaku dari sebuah permainan boks anak remaja." Fagan terkejut mendengar kalimat bebas itu berupa sindiran dan Nina hanya mengangguk ringan. Beranggapan bahwa pria satu itu baru saja melantur. Setelah Vania memastikan Kenta naik ke lantai atas menuju kamarnya, kepalanya tertoleh untuk melihat Fagan yang bersantai seakan tanpa beban dan pekerjaan. "Kau tidak mau mencobanya?" Fagan hanya diam. Memejamkan mata dan membiarkan semilir angin membawa sisi rambut legamnya tertiup. "Ada apa denganmu?" "Bereskan saja sisa di atas meja. Biarkan aku sendiri." Vania menarik napas lelah. Tidak mengambil kesempatan untuk mengotori makanan bekas Kenta ke wajah pria itu. Yang dia lakukan hanya menurut dan berjalan mundur menjauhi area kolam renang. "Kau tampaknya sedang diare atau tertekan karena tidak bisa menemukan perempuan mana pun untuk pergi ke atas ranjang?" Alis pria itu tertaut dingin. Fagan duduk lebih tegak, memandangnya dengan pandangan sinis. "Kau bicara apa?" "Tingkah lakumu serupa seperti bocah dua tahun yang tidak diberi mainan ibunya. Kau punya masalah apa sebenarnya?" "Kalau aku memberikan alasannya, kau tidak akan suka mendengarnya." Pria itu berkata datar yang membuat Vania semakin meradang. "Kau tampaknya memiliki masalah denganku." Dengan santai mendekat, menilai penuh curiga. "Aku berbuat salah?" Fagan lantas menengadah. Membiarkan matanya menatap wajah kesal itu bersama aliran sensasi yang ada di bagian lainnya. Tingkat kecemasannya bertambah berkali lipat. Bukan karena pekerjaan namun eksistensi perempuan satu ini mulai mengusik batasan normal. "Dasar tidak sopan. Aku tidak sedang bertingkah bagai model di depanmu. Menurutku ini masih terlihat biasa dan apa-apaan tatapanmu itu?" Vania mendecih bertanda sebagai suatu protes. "Kalau kau di berada tempat umum memandang lekat seperti tadi, ada kemungkinan hidupmu berubah dan tidak lagi sama." Seringai miring pria itu muncul. "Aku tidak berniat memandang mereka. Di sini hanya menatapmu yang berpakaian tak ubahnya sama seperti dirimu di malam saat kita bersama." Dingin menjalari tangan dan sampai ke wajah Vania. Telinganya terasa berdenging dan sekujur tubuhnya meremang. Menyadari benar hubungan selintas itu terkenang bagi mereka berdua. "Aku yakin ayah dan kakakmu bertingkah sebaliknya." "Ini berasal dari pikiran," balas Fagan santai sama sekali tidak tersinggung. "Kau pergi tanpa menyelesaikan apa pun di antara kita." "Kurasa kau mulai meracau. Apa dirimu selalu memiliki pikiran aneh terhadap barisan wanita di luar sana?" "Aku tidak memiliki pemikiran tersebut," sahutnya. Vania terkesiap hebat saat tiba-tiba menunduk dengan gumam, mengamati pakaiannya sendiri lalu mendesis lemah. Berpura-pura tidak menganggap eksistensi pria itu ada adalah jawaban terbaik. Vania membersihkan semua sisa makanan di atas meja. Bersiap membawa piring ke dalam rumah saat Fagan membuka mulut, bersuara santai. "Aku menaruh uangmu di laut." "Kenapa kau harus berdonasi di tengah samudra sana?" "Kalau pun aku ingin donasi, aku tidak perlu uangmu." Fagan berucap datar seraya mengangkat alis saat mata mereka bertemu. "Beramal dengan uang receh seperti itu tidak akan membantu sama sekali." Bias matanya mengerjap menahan kekesalan yang terlanjur menyelinap. Vania memegang tepi nampan cukup kuat. Namun yang tersisa hanya tarikan napas pendek, mencoba mengurangi tingkat kemarahan dengan meninggikan kesabaran. "Semuanya berharga bagiku. Jika tidak bernilai di matamu, itu sama sekali bukan urusanku. Kau mau menyantap semua uang itu pun aku tidak lagi mau tahu." Vania kemudian berbalik. Melihat Nina yang baru saja turun, mencoba membantunya dengan hati-hati. Sigap dan dapat diandalkan dalam segala situasi. "Kau ingin tahu alasan aku kesal padamu semalam?" Fagan menunggu sampai wanita itu berbalik. Satu, dua sampai tiga menit setelahnya Vania memilih untuk menoleh dari pada memutar tubuhnya dan menciptakan perdebatan baru. "Aku tidak peduli." Sikap apatisnya membuat Fagan kembali dilanda suasana hati yang lebih buruk sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD