TA - 11

1353 Words
"Apa dia menghubungi perempuan lain untuk dibawa ke pulau saat kau ada di sana?" Suara tercengang Sarah mengejutkan Vania dari alat berbentuk pipih yang terpasang di telinga. Mengobrol sebentar tidak akan membuat Vania suntuk dalam kebosanan. Dia dilanda gundah untuk beberapa alasan dan mencoba tidur sangat sulit. Ia memutuskan menghubungi Sarah, memintanya untuk menemani berbincang sebentar. Lalu menyibukkan diri dengan mencari informasi tentang Fagan. Meski namanya mentereng dengan marga yang terkenal, karier pria itu tidak terlalu banyak disorot selain menjadi pebisnis hebat di luar lingkup bisnis pribadi ayahnya. Vania menemukan banyak artikel yang menjelaskan kehidupan Fagan kecil bersama kedua orang tuanya. Ivan yang beranjak dewasa memilih untuk meneruskan perusahaan dan mencoba meningkatkan kemampuannya dengan memegang tiga cabang di awal debutnya setelah selesai berkuliah. Bermula hanya dari karyawan magang, mencari pengalaman hingga pantas untuk menyandang generasi penerus. Kenta tidak pernah sungkan berbagi kehidupan keluarganya yang penuh kasih dengan teman media. Karena kedua anaknya telah tumbuh dewasa, privasi itu menjadi urusan mereka sendiri. Selain pernikahannya dengan dua perempuan muda, kepergian ibu Fagan sempat menjadi perbincangan. Kenta menutup dugaan pers dengan pernyataan bahwa istrinya sakit parah, bukan karena dia terlibat hubungan singkat bersama seorang model di sebuah pesta tertutup yang juga tengah hamil muda. Vania meringis pelan. Mendengar Sarah yang ikut mendesis karena lelah. "Kau tidak akan menemukan apa pun soal Fagan secara terperinci. Yang kutahu, dia memang tidak berkencan. Mungkin satu atau dua kali pernah. Tapi untuk kegiatan semacam itu, dia terlihat bukan tipikal pria sering menahan diri." Sarah memaparkan cukup jelas. Terutama detail asmara dan tidak berkencan jangka panjang. Fagan pasti memiliki alasan. Karena keluarganya dilimpahkan kebahagiaan, seharusnya dia termotivasi untuk mengalami hal yang sama. Seperti sang kakak, semisal berandai. "Itu alasan dia tidak mau menikah," gumam Vania pelan dan Sarah mengambil napas berat. "Semua orang tahu itu. Kalau Fagan menjadikan hal tersebut sebagai kebutuhan wajib, dia seharusnya menikahi salah satu koleksinya. Tapi ini tidak dan apa artinya? Dia hanya ingin bersantai. Sejenis pria kaya yang sombong dan banyak tingkah. Oh, karena dia juga berdompet tebal." Vania menutup laptop dengan tarikan napas pendek. Mendengar sahabatnya terus mengoceh soal Fagan dan kemungkinan mereka bersama membuat Vania pusing bukan main. Dia serupa dengan pria itu tentang kisah cinta. Berkencan pernah dan itu tidak menjadi prioritas. Menyudahi percakapan demi mencari segelas air dingin adalah jawaban. Vania turun dari ranjang, membiarkan pakaian tidur masih melekat alih-alih memakai jubah yang lebih hangat. Saat dia berhenti di dapur, sebuah kilat petir baru saja menyapa. Semua pintu rumah telah terkunci rapat. Mereka aman semisal badai turun malam ini. Angin berembus lebih dingin melalui puluhan celah ventilasi udara. Vania tidak menemukan botol minuman apa pun yang masih ada. Karena rumah ini memiliki beberapa ruang misterius, salah satunya mungkin terdapat gudang anggur fermentasi. "Kau sedang apa?" Nyaris kakinya terantuk tepi meja dengan guci antik di atasnya. Sebelum Vania menjatuhkan benda mahal itu, dirinya terburu-buru sadar. "Aku butuh meminum sesuatu." "Untuk?" "Aku tidak bisa tidur." Sesaat lampu di sekitar perapian menyala. Fagan duduk di sana beralaskan bantal karpet dengan segelas sampanye bersama botolnya. "Ambil gelas itu dari dapur. Kau bisa bergabung di sini." Vania tidak membantah. Lagi pula, dia memang sedang membutuhkannya untuk mengurangi lalat yang terbang di dalam kepala. Konsep perapian terdengar bagus. Karena pijar kemerahan yang memberi kehangatan sedikit membantu. Rumah ini luar biasa, istimewa dari segi interior sampai fasilitas. Orang kaya memang tidak bercanda untuk urusan membuang uang demi kepuasan pribadi. "Mengapa kau bekerja sebagai staf biasa?" "Apa?" Vania tersentak oleh pertanyaan mendadak itu. Saat dia menoleh, menemukan Fagan yang tercenung di depan kaca bersama tangan yang memainkan gelas kosong. "Karena aku ingin. Tidak, karena aku bisa menjadi apa pun. Kebetulan pekerjaan itu datang menghampiriku." Pantulan si merah yang melemahkan kayu bakar tergambar di mata Fagan yang pekat. Vania merasakan napasnya sedikit gemetar dan mencoba mengabaikan gemuruh yang berusaha membawa alam sadarnya kembali. "Kau memiliki satu bisnis yang sukses. Itu sudah cukup membiayaimu hidup dengan kemewahan dan tinggal di apartemen layak." Ini mengacu pada malam saat Fagan mengantarnya sampai pagar tempat tinggalnya yang sudah tua. "Ceritanya cukup panjang," seketika kenangan serta perasaan bersalah mengalir pedih. Vania menarik napas, tergesa menegak minuman. "Usaha itu memang milikku. Tapi memakai uangnya secara keseluruhan, jelas bukan yang kumau." "Aku tidak mengerti." Cukup sudah, seharusnya berhenti sampai di sini. "Sahabatku Sarah, dia juga menjadi asisten merangkap manajer di sana. Sarah banyak membantu selagi aku bekerja menjadi orang lain di luar rumah." Fagan mendengus pelan. Sudut bibirnya membentuk urai senyum penuh makna. Saat dia meraih botol, menuangkan sisa ke dalam gelasnya. "Kau mau?" "Tentu. Berikan aku segelas penuh." "Kau bisa muntah besok pagi." Vania memberinya kedipan mata. "Aku tidak peduli. Perutku sudah kenyang karena banyak makan. Sekarang aku butuh ini." Kesenyapan kembali menyelimuti. Saat Vania mendesis pelan, sadar bahwa rasa unik nyaris membuatnya hilang akal. "Seberapa dekat kau dengan kakakmu?" "Kami sangat dekat. Mungkin dalam batas untuk memberikan restu kepada pasangan masing-masing. Ivan tidak pernah menolak pernikahan dan dia bukan pria suci. Sebelum bertemu istrinya sekarang, dia banyak membuang waktu." "Kalian mirip satu sama lain." Kening Fagan berkerut dalam. "Begitukah menurutmu? Aku merasa kakak lebih parah dariku. Ibu kami mengajari beberapa kelas dasar untuk menjadi pria terhormat." Vania selalu mendapati dirinya antusias mendengar kehidupan rumah yang hangat dan bahagia orang lain. Yang bisa mereka bicarakan untuk dikenang. Karena baginya, itu adalah sesuatu yang mustahil. Vania kecil dan remaja tidak pernah mendapatkan kesempatan sama di rumah. Sebelum ibunya mengembuskan napas terakhir karena depresi saat dirinya sedang mengandung empat bulan. "Apa kau merasa sudah menjadi impian ibumu?" Fagan menggeleng pelan, memindahkan tatapannya dari perapian ke mata Vania yang jernih. "Tidak. Orangtuaku baik dan penyayang tetapi kami berdua sangat susah diatur dan ibu kesal." "Itu benar. Aku berharap kau tidak mendapat cinta dalam bentuk fisik karena kalian tidak berkelakuan baik," katanya dengan senyum geli. "Ayah tidak pernah melakukannya. Dia hanya meminta kami berdiri di taman berjemur ketika sinar matahari terlalu menyengat. Kulitku sempat gelap saat itu. Aku dan Ivan seperti adik kakak yang ditemukan dari jalan." Cekikian lain muncul dari Vania. "Ya Tuhan, aku terkejut dan ceritamu menyenangkan." Vania meminum habis sisa di dalam gelas. Kemudian mendengar suara lain dan meja yang berdecit samar. Fagan menaruh miliknya di sana, sedangkan Vania hanya bisa mematung. "Aku bukan malaikat seperti keinginan ibu. Karena kami bukan bangsawan atau publik figur yang membutuhkan reputasi bagus di depan publik," Fagan mencondongkan diri di hadapan Vania dengan gerakan lemah. "Aku jelas tidak akan melakukannya." Napasnya berembus cepat. Pendek yang membingungkan serta penuh debaran antisipasi. Ini bukan pertama kali, tetapi semua terasa seakan baru dan belum pernah terjadi. Fagan tidak berhenti untuk sekadar mundur dan menyesali semuanya. Sama halnya Vania yang tidak berniat pergi atau melarikan diri meski dia ingin. Punggungnya seakan telah bergeming untuk tetap di tempat. "Aku ingin melakukannya. Sangat ingin menciummu." Vania memandangnya penuh arti. "Kau bisa melakukannya beberapa hari terakhir. Apa ini sampai batasmu?" Bisikan beraroma manis, bagaimana mata itu membuatnya tidak bisa berkedip dan bagaimana Vania memakai pakaian tidurnya yang tepat, membuat pikiran remajanya berkelana. Fagan duduk untuk sekadar melepas penat, seperti yang biasa dia habiskan untuk membebaskan hari. Namun sekarang di malam ini dan tidak akan ada selanjutnya saat Vania bergabung. Bibirnya mulai menyapu satu-persatu dengan sadar dan perlahan. Merasakan napas mereka bertemu dengan terpaan yang lebih pelan dan cepat. Vania terasa seperti gula, pikir Fagan masam. Yang perlu dia lakukan adalah menjauh atau membiarkan dirinya sendiri seandainya Vania sadar dan memilih bersembunyi. Namun saat ini tidak ada tanda apa pun. Vania menarik napas, membuka bibir dan pagutan itu terjadi tanpa jengkal. Ia hampir kehilangan kendali merasakan bagaimana Fagan menari di dalam sana, mencari sisa minuman yang ada dan merasakan. Membuat dirinya gemetar, merasa tidak bertenaga dan tak berdaya. Begitu mendebarkan. Sama seperti malam singkat yang sempat mereka lalui di tempat asing. Vania membiarkan dan Fagan memberi segalanya. "Seharusnya kau kembali ke kamar," bisik pria itu di parau. Terlampau dekat, terlalu rapat yang malah membuat Vania tidak bisa berpikir jernih. "Aku bukan orang yang bisa menahan diri." "Kau ingin aku pergi?" Fagan bernapas cepat, yang menyentuh ujung hidung Vania dengan cara lain. "Tidak," lalu dekapan erat membuat wanita itu kehilangan akal. Apakah malam ini mereka akan kembali menjadi dua pribadi berbeda?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD