TA - 12

1154 Words
Fagan menciumnya dengan cara yang sama. Itu yang membuat Vania kehabisan akal, bersama napasnya yang memberat seiring dalamnya pagutan mereka bertambah. Suasana di luar seolah mendukung untuk saling mendekatkan diri satu sama lain. Vania terbuka malam ini. Dipenuhi pikiran berkecamuk dan keinginan konyol agar kembali membawa mereka berdua ke kamar. Mau bagaimana pun, dia yang meminta Fagan demi membebaskan bayangan keluhan yang mengusiknya. Kemudian tidak pernah menyangka di bulan selanjutnya terjebak bersama pria ini di pulau pribadi asing setelah mereka berpisah. Vania sempat melihatnya sebagai si paling tampan yang potensial. Kekurangan informasi tentang Fagan dan gambarnya membuat pikiran irasionalnya muncul. Lalu tanpa malu mengajak pria itu menjalani malam singkat dengan persyaratan. Aroma sampanye dan parfum berbaur. Wangi Fagan mungkin yang terbaik di kelasnya atau memang aroma pria itu sangat maskulin. Vania tidak tahu mana yang benar, keduanya membingungkan. Terlalu terlena membuatnya bungkam karena kehilangan daya pikir berkat ciuman ini. Fagan memundurkan kepala, bernapas berat di hadapan Vania yang merona dan sedikit gemetar. Terima kasih untuk surga singkatnya, pikir Vania murung. Semoga nanti Kenta tidak melihat apa pun yang terjadi di antara mereka. "Ya Tuhan kau benar-benar mengejutkanku," pria itu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya dengan baik. Sementara Vania menjalin tangan, memegang ujung kemeja Fagan yang tidak lagi rapi dan berubah kusut. "Aku bisa kehilangan kendali sekarang." Vania mendengus kecil. Belum bisa bernapas secara normal. Sama halnya dengan jalan kepalanya. Dia belum sepenuhnya pulih saat tangan Fagan naik, menyisip masuk ke dalam rambutnya yang terikat berantakan. Meraih ikatan dengan lembut dan membiarkan rambut panjang Vania terurai. Tangan pria itu berada dalam kelembutan rambutnya. "Aku sempat tidak percaya diri dengan rambut aneh ini." Tidak hanya rambut, tetapi keseluruhan dari dirinya yang seakan tidak menarik minat para pria. Vania merasa risih saat dia bekerja di restoran lama dan mereka dengan mudah lalu mengikis kepercayaan dirinya secara pasti. Yang dia maksud pemuda lain, bukan barisan pria yang sebentar lagi menikah dan memiliki istri. Fagan membawa matanya dari bagian bahu yang terlihat dan termenung lekat pada sepasang manik teduh meredup. Sebelum dia bisa berbicara, tangan wanita itu terangkat untuk menghentikan kalimatnya. "Kau tidak perlu berkomentar soal apa pun, aku tahu itu dengan benar," akunya masam mendadak mulas. "Mendengarnya hanya akan membuatku jatuh tak berdaya seperti selembar kertas tanpa tiupan angin." "Kau berpikir aku akan berkomentar buruk sekarang?" Fagan mengerutkan kening penuh tanya. Vania tidak menyangka pengendalian diri pria itu sukses besar setelah kejadian sebelumnya. Sedangkan dirinya masih berusaha bertahan dengan sensasi menyenangkan juga tangan Fagan yang bermain-main dengan rambutnya. Seharusnya malam singkat itu bukan hal yang patut terkenang di ingatan Fagan. Dia terbiasa melakukannya dengan banyak orang dan berusaha mencari aman. Semua perempuan yang dikenalnya dipastikan tidak memiliki masalah yang tidak perlu dia cemaskan. Vania bukan sesuatu yang tampak lain setelah sampai di kamar untuk menggapai langit sesaat. Tapi Fagan merasa seperti pria asing yang tidak berdaya sekarang. Merasa dirinya terpikat karena eksistensi perempuan itu mengikutinya di mana pun. Seakan menyeluruh dari satu titik ke tempat lain. Sudut bibirnya tertarik ketika melihat Vania berusaha mengendalikan dirinya yang sempat pudar karena satu kejutan, jika dia bisa menyebutnya begitu. Hanya sebagai selingan lewat. Karena kalau Fagan mau melakukannya, dia bisa merasakan Vania hingga mereka kelelahan atau sampai malam berganti pagi. Kemudian pikiran konyol yang menyenangkan itu kembali datang. Fagan menunduk, tidak membiarkan wanita itu menolak ciumannya sekali lagi. *** "Apa kau bisa beradaptasi dengan anak-anak?" Vania merasa siaga untuk beberapa hal atas pertanyaan yang terucap dengan pandangan berbinar dari Kenta. Nina memberikan reaksi kecil berupa kerutan kecil di kening. "Aku tidak merasa demikian karena tidak pernah bergabung dengan anak kecil. Namun semasa dalam bekerja, aku sering berusaha melucu di depan mereka. Karena anak-anak berwajah menggemaskan," ujarnya tulus sembari terkenang saat bekerja di restoran itu rupanya memiliki nilai positif walau hanya sedikit. Salah satunya memberi mainan gratis atau permen manis untuk mereka yang pada dasarnya suka hadiah dalam bentuk apa pun. Kenta menatapnya tanpa ekspresi. Kemudian memberi senyum yang hanya Tuhan dan dirinya tahu. Nina beranjak bangun dan masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya perempuan satu itu lebih suka memantau dan mengawasi. Kehadiran Nina sebelumnya ditentang, tetapi sekarang Kenta tidak lagi bersikap sembrono padanya. Vania ada di sini dan Fagan pun sama. Merelakan waktunya yang padat untuk memantau perkembangan sang ayah yang sempat sakit parah. "Aku tidak perlu mencemaskan putra pertamaku. Karena yang aku khawatirkan saat ini adalah Fagan. Dia bagus bersama dua keponakannya, tapi aku tidak melihat itu pada orang lain." Vania mengerutkan alis. Hidungnya sedikit mengernyit membayangkan Fagan terlalu datar dengan anak-anak. Namun ingatan Vania belum memudar tentang pria itu yang sempat memberikan banyak donasi khusus untuk anak di beberapa rumah sosial serta rumah sakit. "Sebagai seorang ayah, sesuatu yang lumrah seandainya aku mencemaskan ini. Aku sendiri tidak tahu apa yang salah dengan ini, terjadi kepada dirinya." Kebingungan Kenta muncul secara tak sabar. Sementara Vania hanya tercenung, memandang pria paruh baya itu serius sekaligus kasihan. "Kita bisa memberinya waktu. Usia bukan patokan dengan kewajiban harus menikah," katanya lembut berusaha menenangkan. "Kalau pun menikah bukan pilihan utama Fagan bisa membahagiakan dirinya dengan cara lain. Aku rasa putramu juga memikirkan hal yang sama. Dua anak itu punya sifat berbeda meski berasal dari satu ibu serupa." "Aku hanya teringat semua perkataan mendiang istriku. Dia begitu dekat dengan kedua anak kami. Fagan memiliki sedikit guncangan saat remaja dan itu membuatnya sangat khawatir. Yang membuat putra keduaku kabur, melarikan diri untuk membangun bisnis baru di luar kawasanku. Fagan melakukannya seorang diri." Vania baru mendengar kebenaran ini. "Apa dia menyukai tantangan semacamnya?" "Ya, dia menyukainya. Pria pemberani yang membuatku sangat bangga. Fagan cukup tenang dan dia sering mengasingkan diri sendiri untuk berteman dengan sepi." Kenta menghela napas. Memandang ke sepanjang pantai yang lepas. Pemandangan bernilai mahal yang tidak akan didapatkan dari mana pun. "Di sana ada kota yang cukup asri dan bersih. Beberapa kios untuk berbelanja dan berharga murah. Pergilah ke sana kalau kau ingin." Vania meringis, membayangkan dirinya belanja tanpa kenal berapa banyak pengeluarannya. Itu sama sekali bukan ide bagus. "Terima kasih. Aku memilih tetap tidur di rumah." Senyum Kenta melebar geli. "Dasar," gumamnya. "Ayah, dokter sudah menunggumu." Fagan muncul dengan pakaian formal yang rapi. Celana kain hitam panjang bersama kemeja putih yang bagian lengan tergulung sebatas siku. Kemudian mengendik, seakan tidak melihat adanya Vania duduk di sana. Kenta mengembuskan napas panjang. Seolah tidak mau berdebat di hari yang cantik ini selepas badai berlalu, dia bergegas masuk. Nina selalu ada di sana, memapah bahunya dan Kenta cemberut bosan. "Dia akan selalu begitu," pikir Fagan muram menatap sang ayah dengan pandangan datar. "Dokter terus mengusahakan kesehatannya sebaik mungkin. Kita hanya perlu berdoa lebih banyak." "Apa dia perlu tindakan medis lainnya?" "Perlu lebih dulu melihat kondisinya. Secara kemungkinan terburuk pasti ada di tengah perjalanan." Vania bisa mendengar rasa sedih yang terselip dari Fagan baru saja. Ketika dia menghela napas, berpikir untuk menghabiskan waktu dengan membaca di dalam kamar. Sebelum dirinya sempat melangkah lebih jauh, Fagan menahan tangan serta menatapnya lekat. "Kau tidak bisa pergi tanpaku," ujarnya penuh perhatian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD